Share

Bab 4

Author: Ilaks
"Ibu."

Aku menunduk. Clarisa berdiri di depanku. Dia mengenakan gaun pesta berwarna merah muda, tampak seperti seorang putri kecil.

"Ibu Anna menyuruhku memberi tahu Ibu." Nada bicaranya dingin, seperti sedang berbicara pada orang asing. "Sudah waktunya memotong kue."

"Terima kasih sudah memberitahuku." Aku berjongkok dan mencoba mendekatinya sedikit.

Namun, Clarisa segera mundur selangkah. "Ibu Anna bilang, sebaiknya Ibu berdiri agak jauh, supaya nggak merusak suasana hari ini."

Dadaku seperti disayat pisau. Putriku yang baru berusia lima tahun, sedang menyampaikan kebencian seorang wanita lain kepadaku.

"Clarisa..." ucapku lirih, "Ibu ingin memberitahumu sesuatu..."

"Aku nggak mau dengar!" potongnya dengan wajah penuh kejengkelan, "Ibu selalu membuat Ibu Anna sedih. Aku benci Ibu!"

Setelah mengatakannya, dia berlari sambil berteriak, "Ibu Anna! Ibu Anna!"

"Kasihan sekali Sofie," seseorang berbisik di dekatku, "bahkan putrinya sendiri nggak dekat dengannya."

"Siapa suruh dia terlalu sibuk bekerja. Anna jauh lebih baik, dia selalu ada untuk anak itu."

Tanganku yang memegang gelas sampanye bergetar pelan. Bukan karena komentar orang-orang. Namun, karena kalimat dari Clarisa barusan, aku benci ibu.

Itu anakku. Anak yang kukandung selama sepuluh bulan. Namun, dia mengatakan membenciku.

Aku berdiri di tengah keramaian seperti orang asing yang hanya menonton dari luar. Suamiku, anakku, orang tuaku, semuanya berpusat pada Anna. Sementara aku, justru menjadi orang yang tidak diinginkan.

"Pemandangan yang menyentuh, ya." Ibuku berdiri di sampingku. "Lihatlah, Clarisa sangat menyayangi Anna. Sofie, kamu seharusnya introspeksi diri."

"Benar." Ayah ikut bicara. "Mata anak-anak nggak bisa dibohongi. Kalau Clarisa memilih Anna, berarti Anna memang lebih pantas menjadi ibu daripada kamu."

Aku tidak menjawab. Apa lagi yang bisa kukatakan? Di mata mereka, aku selalu salah.

Setelah pesta usai, aku pergi sendirian. Tidak ada satu pun yang memperhatikan kepergianku. Semua sibuk mengucapkan selamat pada pasangan bahagia itu.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke ruang kerja.

"Gabby," panggilku pada perawat yang selama ini selalu menemaniku, "tolong bantu aku akan satu hal."

"Apa yang bisa saya bantu, Nyonya?"

Aku menyerahkan sebuah diska lepas padanya. "Di dalamnya ada beberapa rekaman video dan audio. Besok pagi jam delapan, kirimkan ke Tommy."

"Ini..."

"Beberapa kebenaran." Aku tersenyum lemah. "Pesan terakhir dari seseorang yang akan mati, seharusnya ada yang mendengarkannya."

Aku kembali mengambil beberapa pucuk surat. "Yang ini untuk orang tuaku, dan yang ini untuk Clarisa. Berikan padanya saat dia berusia 18 tahun."

"Nyonya..." Gabby sudah tidak mampu menahan tangis.

"Masih ada satu hal terakhir." Aku membuka brankas, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Ini cincin milik ibuku yang asli. Simpan untuk Clarisa. Katakan padanya, Ibu selalu mencintainya."

Setelah semua beres, aku bersandar di kursi. Tubuhku benar-benar tidak punya tenaga lagi.

Di luar jendela, kembang api meledak dengan meriah. Itu adalah perayaan pertunangan Tommy dan Anna. Sungguh ironis, malam terakhir hidupku dihabiskan dengan merayakan kebahagiaan mereka.

"Tinggal beberapa jam lagi, Sofie," bisikku pada diri sendiri, "bertahanlah."

Aku tahu, saat kebenaran terungkap besok, segalanya akan berubah. Namun, saat itu, aku sudah tidak ada lagi.

Inilah balas dendamku, mempertaruhkan nyawaku agar mereka selamanya dihantui penyesalan.

"Selamat malam, orang-orang yang kucintai." Aku memejamkan mata. "Semoga kalian selamanya mengingat, bahwa pernah ada seorang wanita bodoh yang mencintai kalian melebihi hidupnya sendiri."

...

Pukul enam pagi, jantung Sofie berhenti berdetak.

Gabby duduk di tepi tempat tidur dengan air matanya terus mengalir. Dia menggenggam tangan dingin Sofie, memandangi wanita yang dulu begitu angkuh dan kuat, kini terbaring tenang dengan senyum lega di wajahnya.

Pukul delapan tepat, dia menekan nomor Tommy.

"Halo?" Suara lelah terdengar dari seberang.

"Tuan Tommy, saya Gabby. Nyonya... nyonya sudah meninggal dunia."

Hening panjang menyelimuti ujung telepon.

"Apa kamu bilang?" Suara Tommy mendadak meninggi. "Nggak mungkin! Tadi malam dia masih ada di pesta!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tiga Hari Terakhirku sebagai Wanita Sempurna   Bab 12

    Sore harinya, seorang wanita muda datang ke makam."Kamu siapa?" tanya Clarisa, sedikit bingung."Namaku Erin Woods aku penderita kanker pankreas," jawab wanita itu dengan mata memerah. "Lima tahun lalu, aku diselamatkan oleh Yayasan Sofie. Hari ini aku datang untuk mengucapkan terima kasih.""Dia pasti bisa mendengarnya," ucap Clarisa lembut.Erin meletakkan buket bunga di depan nisan, lalu membungkuk dalam-dalam. "Bu Sofie, terima kasih. Karena Anda, saya masih hidup sampai hari ini dan bisa melihat anak saya tumbuh besar."Pemandangan seperti itu bukan yang pertama bagi Clarisa. Setiap orang yang pernah ditolong yayasan itu akan selalu mengingat nama Sofie Barnes.Ibunya mengorbankan nyawanya, bukan hanya untuk meninggalkan penyesalan bagi keluarga, tapi juga demi memberi harapan hidup bagi ribuan orang.Langit mulai gelap, Clarisa akhirnya berdiri dan bersiap pulang."Ibu," katanya menatap batu nisan untuk terakhir kalinya, "dulu Ibu pernah bertanya, apakah kami akan mengingatmu."

  • Tiga Hari Terakhirku sebagai Wanita Sempurna   Bab 11

    Dua puluh tahun kemudian.Clarisa berdiri di depan jendela besar galeri seni, memandang jalanan Neoyark yang ramai. Dia tidak hanya mewarisi kecantikan ibunya, tapi juga bakat alami dalam dunia bisnis. Di usia 25 tahun, Clarisa sudah menjadi bintang baru yang tengah bersinar di dunia seni."Clarisa, waktunya wawancara," ujar asistennya mengingatkan.Hari ini adalah wawancara eksklusif bersama majalah TAME, dengan tema, Mewarisi Warisan Ibu, Kekaisaran Seni Putri Sofie Barnes."Clarisa, banyak orang bilang kamu sangat mirip dengan ibumu." Sang jurnalis bertanya, "Apa pendapatmu soal itu?"Clarisa terdiam sejenak sebelum menjawab pelan, "Aku nggak akan pernah bisa menjadi seperti dia.""Kenapa begitu?""Karena dia menggunakan 29 tahun hidupnya untuk mengajarkan semua orang arti cinta sejati. Sementara aku butuh 18 tahun, hanya untuk mengerti apa itu penyesalan."Sang jurnalis, yang jelas mengetahui sejarah kelam keluarga ini, tidak melanjutkan pertanyaannya.Setelah wawancara berakhir, C

  • Tiga Hari Terakhirku sebagai Wanita Sempurna   Bab 10

    Satu bulan kemudian.Tommy masih rutin mengunjungi makam Sofie setiap hari. Dia selalu membawa Clarisa, meskipun gadis kecil itu selalu enggan."Ayah, kenapa kita harus ke sini sih?" tanya Clarisa sambil menendang batu kerikil kecil."Karena di sinilah orang yang mencintaimu berbaring""Tapi dia nggak pernah main sama aku." Clarisa manyun. "Ibu Anna bilang, orang yang benar-benar menyayangiku akan selalu menemaniku."Hati Tommy hancur sekali lagi. Dia tidak tahu harus bagaimana menjelaskan pada anak berusia lima tahun itu, bahwa orang yang selalu menemaninya itu adalah pembohong, sementara orang yang tidak pernah bermain dengannya justru mencintainya dengan segenap hidupnya.Anna telah divonis penjara seumur hidup. Di pengadilan, dia masih bersikeras bahwa semuanya adalah jebakan dari Sofie. Namun, bukti-bukti yang ada terlalu kuat, tidak seorang pun yang memercayainya.Orang tua Sofie menjual rumah mereka dan pindah ke Florinda. Mereka berkata, setiap sudut kota Neoyark hanya menginga

  • Tiga Hari Terakhirku sebagai Wanita Sempurna   Bab 9

    Setelah Anna dibawa pergi, Kediaman Keluarga Barnes tenggelam dalam keheningan yang mencekam.Tommy duduk di samping jenazah Sofie, dia seperti kehilangan jiwanya. Ponselnya berdering tanpa henti, anggota dewan direksi, rekan bisnis, dan wartawan semua menanyakan apa yang telah terjadi. Namun, tidak satu pun panggilan dia jawab."Tuan," ujar Gabby dengan suara pelan, "Petugas dari rumah duka sudah datang."Tommy langsung menoleh dengan terkejut. "Nggak! Jangan bawa dia pergi!"Namun, dia tahu, itu tidak bisa dihindari. Sofie telah pergi untuk selamanya.Di lantai bawah, kedua orang tua Sofie masih memeriksa tumpukan bukti. Setiap dokumen, setiap rekaman, seakan mengiris hati mereka."Tanggal ini..." Sang ibu menunjuk pada sebuah hasil pemeriksaan medis, suaranya bergetar. "Natal tahun lalu, Sofie sudah didiagnosis kanker.""Tapi dia nggak mengatakannya sama sekali." Suara sang ayah terdengar jauh lebih tua dan lelah.Gabby mendekat dan menjelaskan, "Hari itu Anna mendadak jatuh sakit.

  • Tiga Hari Terakhirku sebagai Wanita Sempurna   Bab 8

    Tommy membaca surat itu dengan tangan yang makin gemetar. Surat itu mencatat detail kondisi kesehatan Sofie, keputusan yang dia ambil, serta perjalanan batin yang dia alami selama tiga hari terakhir.Ibu Sofie langsung hancur begitu membaca separuh surat. "Putriku... Anakku yang malang..."Saat itu juga, Gabby menyalakan televisi dan menyambungkan diska lepas. "Ini adalah sesuatu yang nyonya minta untuk diputar hari ini."Rekaman CCTV memperlihatkan dengan jelas kejadian tiga hari lalu di rumah sakit. Tommy tanpa ragu memberikan kesempatan pengobatan kepada Anna, bahkan tanpa bertanya pendapat Sofie sekali pun.Kemudian, terdengar rekaman suara, percakapan antara Anna dan kekasih gelapnya, Logan Walsh. Setiap kata yang terucap bagaikan pisau yang menyayat hati semua orang di ruangan itu."Rencananya berjalan lancar. Sofie akan mati sebentar lagi.""Aku sudah bertahun-tahun berpura-pura sakit dan dia sama sekali nggak curiga..."Suasana di ruang tamu menjadi hening seperti kuburan."Ngg

  • Tiga Hari Terakhirku sebagai Wanita Sempurna   Bab 7

    Di dalam mobil, ibu Sofie terus-menerus mencoba menelepon putrinya."Masih nggak aktif." Dia memandang suaminya dengan cemas. "Sofie nggak pernah selama ini nggak mengangkat telepon.""Jangan panik dulu, aku coba hubungi Tommy," kata ayah Sofie sambil menyetir.Nada sambung terdengar cukup lama sebelum akhirnya diangkat."Ayah Mertua?" Suara Tommy terdengar aneh, berat dan lelah."Tommy, apa Sofie ada di tempatmu?" tanya ayah Sofie dengan penuh kegelisahan, "teleponnya nggak aktif, kami juga nggak bisa menemukannya. Kata pengacara, dia telah memindahkan semua harta miliknya ke Anna. Kami khawatir jangan-jangan dia..."Ada keheningan di ujung telepon selama beberapa detik."Ayah Mertua, Ibu Mertua, kalian... kalian sekarang di mana?""Kami sedang dalam perjalanan ke rumahmu," jawab ibu Sofie sambil merebut ponsel, "Tommy, apa Sofie ada di sana? Bagaimana keadaannya?""Kalian... sebaiknya cepat datang ke sini," ujar Tommy dengan suara makin lirih."Apa yang sebenarnya terjadi?" Hati ibu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status