Api unggun berkobar redup, nyalanya bergoyang liar saat raungan wyvern mengguncang udara malam. Makhluk itu berdiri di tepi sungai, sayapnya yang compang-camping bergetar penuh amarah, dan taringnya berkilau dalam cahaya bulan yang samar. Cakarnya mengoyak tanah berlumpur, meninggalkan bekas dalam yang berbau asam menyengat, sementara mata kuningnya menyala dengan nafsu membunuh yang liar. Pedagang berteriak panik, Toman mendorong keluarganya ke belakang gerbong, sementara Kael berdiri teguh di depan kelompoknya, energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat** menyala di tangannya, berpendar dengan semburat ungu yang mengerikan. "Sarah, Laila, mundur!" bisik Kael tajam, matanya melirik ke arah lima sosok pemburu yang berdiri tenang di sisi unggun, mantel cokelat tua mereka bergoyang pelan di angin malam. "Awasi mereka—jangan ikut bertarung dengan wyvern. Aku dan Murphy akan menangani ini." Sarah mengangguk cepat, tangannya menggenggam erat lengan Laila. Matanya berpendar ungu samar sa
Pagi menyingsing dengan langit kelabu yang berat, awan tebal menggantung rendah di atas jalan tanah berdebu yang membentang di depan Kael dan kelompoknya. Udara terasa dingin dan lembap, membawa aroma samar rumput basah dan kayu bakar yang masih mengepul dari unggun semalam. Gerbong pedagang bergoyang pelan, roda kayunya berderit di atas batu kecil, sementara kuda-kuda mendengus lelet, seolah merasakan ketegangan yang menyelimuti kelompok itu. Pertarungan malam sebelumnya masih membekas—bau darah wyvern dan energi emas yang hangus terngiang di ingatan mereka, membuat setiap suara kecil dari semak di pinggir jalan terasa seperti ancaman. Kael duduk di tepi gerbong, tangannya memegang salah satu kristal sihir pengubah penampilan yang ia ambil dari Pemburu Crimson yang tewas. Cahaya biru samar dari kristal itu berkedip pelan di tangannya, hangat namun asing. Matanya yang tajam menatap benda itu dengan konsentrasi penuh, keningnya berkerut saat ia mencoba menyalurkan energi sihirnya ke
Penginapan kecil itu berdiri sederhana di tepi jalan berbatu, dinding kayunya sudah lapuk dan berderit ditiup angin pagi. Aroma roti panggang dan kayu bakar menguar dari dapur kecil di dalam, bercampur dengan bau debu dan keringat yang masih melekat pada pakaian Kael dan kelompoknya. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela yang retak, menerangi ruangan sempit tempat mereka duduk di meja kayu usang, penuh goresan dari tamu-tamu sebelumnya. Setelah malam penuh pertempuran dan ketegangan, penginapan ini terasa seperti tempat berlindung sementara, meski bayangan Pemburu Crimson masih mengintai di pikiran mereka. Kael duduk di sudut meja, tangannya memainkan salah satu kristal sihir pengubah penampilan yang tak bisa ia gunakan, matanya tajam menatap kelompoknya. Sarah dan Laila, yang masih mengenakan penyamaran dari kristal—rambut cokelat tua dan merah kecokelatan—duduk berdekatan, wajah mereka pucat tapi penuh tekad. Murphy, dengan janggut kecil dan rambut pirang dar
Gerbong sederhana itu bergoyang pelan di jalan berbatu, roda kayunya berderit keras di bawah tekanan, sementara kuda-kuda mendengus dengan napas berat. Udara siang terasa panas dan kering, debu beterbangan di sekitar mereka, menempel di kulit dan pakaian yang sudah lusuh. Kael memegang tali kekang erat, jantungnya berdegup kencang saat suara derap kaki mendekat dari belakang. Ia melirik ke samping, matanya tajam menangkap kilatan jubah putih Ordo Cahaya yang kini mengelilingi gerbong mereka seperti bayang-bayang cahaya yang mencekam. Serigala kabut raksasa itu berhenti tepat di samping gerbong, bulu abu-abunya yang bergetar seperti asap berkibar di angin, dan matanya biru pucat menyala penuh kewaspadaan. Hidungnya mengendus udara dengan liar, mengeluarkan suara mendengus yang dalam dan menggetarkan, mendekati Kael yang duduk paling depan. Energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat** di tubuhnya bergetar halus tanpa ia sadari, aura terlarang itu tampaknya menarik perhatian makhluk itu
Gerbong sederhana itu bergoyang pelan di jalan berbatu, roda kayunya berderit seiring langkah kuda-kuda tua yang mulai lelet. Matahari perlahan naik di langit, sinarnya hangat tapi pucat, menyelinap di antara awan tipis yang bergoyang di angin sepoi-sepoi. Udara terasa lebih segar sekarang, membawa aroma rumput kering dan bunga liar dari padang terbuka yang menggantikan hutan purba yang gelap. Kael duduk di depan, tangannya memegang tali kekang dengan santai tapi mata birunya tetap tajam, memindai setiap semak dan bukit kecil di kejauhan. Sarah dan Laila duduk di belakang, penyamaran kristal mereka masih aktif, sementara Murphy bersandar di sisi gerbong, pedangnya tersedia di pangkuannya, bersiul pelan untuk menjaga semangat. Perjalanan mereka berlangsung tenang selama beberapa hari, hanya berhenti untuk makan roti kering dan daging asin dari bekal, serta memberi istirahat pada kuda-kuda yang kelelahan. Mereka melewati desa-desa kecil di sepanjang jala
Sungai mengalir pelan di bawah langit senja yang memudar, kilauan jingga di permukaannya perlahan digantikan oleh bayang-bayang malam yang merayap. Pepohonan di pinggir sungai berdiri diam, daun-daunnya bergoyang pelan ditiup angin, menciptakan gemerisik halus yang bercampur dengan deru napas Kael dan kelompoknya. Mereka bersembunyi di balik semak dan akar pohon yang menjalar, tubuh mereka merunduk rendah, napas mereka tertahan dalam kewaspadaan. Ilusi Sarah berdiri di tepi api unggun yang belum dinyalakan—bayangan Kael, Murphy, Sarah, dan Laila duduk santai, sempurna namun rapuh, hanya bertahan lima menit sebelum menghilang. Kael menggenggam energi **Racun Tiga Mayat**, jari-jarinya bergetar dengan kabut hijau kehitaman yang siap meluncur, matanya tajam menatap ke arah hutan. Laila menutup matanya, telinganya yang peka mendengarkan setiap suara—derap kuda dan langkah kaki Pemburu Crimson yang mendekat dari kejauhan, semakin jelas di pendengaran supernya yan
Sungai mengalir perlahan di bawah langit malam yang gelap pekat. Permukaannya memantulkan bintang-bintang samar, meski tertutup awan tipis yang melintas. Udara di sekitar terasa berat, masih menyimpan aroma darah dan energi emas yang hangus, bercampur dengan bau tanah basah serta lumut di tepi sungai. Di tanah berlumpur, tiga mayat Pemburu Crimson tergeletak tak bernyawa. Mantel merah tua mereka robek, basah oleh darah yang mulai mengering, menciptakan pemandangan yang suram.Kael berdiri di atas salah satu mayat itu. Napasnya tersengal, dan tangannya masih bergetar, sisa energi hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** perlahan memudar dari kulitnya. Cahaya bulan redup menyentuh wajahnya, menonjolkan garis-garis tegang di rahangnya, sementara matanya menyiratkan campuran kekhawatiran dan tekad yang membara."Kita tak boleh biarkan jejak ini membawa lebih banyak dari mereka," gumam Kael dengan suara rendah namun penuh ketegasan. Ia berlutut di samping may
Gerbong sederhana itu bergoyang pelan sebelum akhirnya berhenti di tepi jalan berbatu yang lebar. Roda kayunya diam setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Di depan mereka, gerbang besar kota Nexus menjulang megah, dikelilingi dinding batu hitam mengilap yang diperkuat dengan sihir. Dinding itu begitu tinggi hingga menutup sebagian langit malam. Menara ramping berdiri di kedua sisi gerbang, masing-masing dihiasi kristal energi sihir biru besar yang bersinar lembut, memancarkan dengungan halus yang terasa hingga ke tulang.Udara di sekitar penuh dengan aroma logam bercampur energi sihir, diselingi bau asap dari tungku pandai besi dan wangi roti panggang dari pasar malam di dalam kota. Di atas, kapal terbang bertenaga sihir melayang perlahan, baling-balingnya berdengung lembut. Di jalanan, monster tunggangan unik seperti naga kecil berbulu logam dan kuda bersisik kristal berjalan di antara kerumunan penyihir yang sibuk.Kael melompat turun dari gerbong,
Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y
Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi
Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi
Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya
Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal
"Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,
Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o
Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua
Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi