Home / Rumah Tangga / Titip / Akad Dadakan

Share

Akad Dadakan

Author: Airin Ahmad
last update Last Updated: 2022-11-13 22:26:45

Suasana kemudian menjadi sedikit gaduh saat orang-orang seperti dikomando mempersiapkan segala sesuatunya.

“Panggil Tuan Kadi,” titah Bapak Ayuk Fatma pada seseorang. (Tuan kadi adalah istilah untuk penghulu).

Bapak tertunduk sementara ibu erat menggenggam sebelah tanganku yang sudah basah oleh keringat sejak tadi.

“Kau yakin, Nak?” Sejenak Bapak mendongakkan wajah dan memandangku lekat.

“Insyaallah, Pak.” Bibirku berat menjawab meski hati sendiri masih tidak yakin. Meski spontan, kepala juga menggeleng karena keberatan.

Seharusnya Bapak membelaku, bukan? Ia adalah laki-laki yang memiliki hak prerogatif atas putrinya. Tapi ada saat di mana pertimbangan perasaan, situasi, dan keadaan mengalahkan ego dan kepemilikan. Hukum sosial sedang berlaku.

Kami lalu didudukkan bersebelahan, menghadap meja kayu rendah yang dialasi taplak seadanya, di samping jenazah Ayuk Fatma yang terbujur kaku.

Bang Sam tampak kikuk, wajahnya terlihat lelah, dan tertekan. Perlahan ia mencondongkan badan dan berbisik di telingaku.

“Maafkan Abang, Rin.” Aku hanya mampu mengangguk dan air mata menjebol pertahanan. Aku menangis sejadi-jadinya. Tersengal meski harus ditahan.

“Pak, Bu, maafkan saya,” bisiknya pula ke bapak ibuku dengan suara bergetar. Kedua orang tua itu tidak berkata-kata. Mereka hanya tertunduk. Meski aku tahu, hati mereka pasti berat meng-iya-kan.

“Ini cincin mas kawin mendiang istri kau, Sam. Pakailah untuk mas kawin pula,” ujar ibu Ayuk Fatma sambil menyodorkan kotak beludru berwarna merah. Sebentuk cincin berlian terletak di sana. Sekilas aku seperti melihat senyum pemilik cincin ini tepat di atas kotak. Hanya sekelebat. Tapi itu sudah membuatku sangat terkejut.

“Astaghfirullah!” pekikku tertahan.

Semua mata lantas tertuju padaku.

“Airin?! Kenapa? Tak suka kau dengan mas kawin tu? Nak apa? Bilang, bilanglah,” ujar ibu Ayuk Fatma melihat reaksiku.

“Eh … anu … bu-kan. Bukan begitu, Bu. Saya tadi tengok Ayuk ….” Kata-kata menggantung seiring telunjukku yang mengarah ke kotak beludru di tangannya.

“Apa kau tengok?”

“Ayuk. Ayuk Fatma tersenyum di atas kotak itu.” Aku gemetar. Meski ia dahulu adalah teman paling karib di kampus dan tempat kerja, aku tidak memiliki mental cukup jika harus berteman dengannya di lain dunia.

Ruangan sontak berdengung dengan bisikan. Sebagian mengucap takbir dan takmid.

“Alhamdulillah, Rin. Ayuk kau ridha dengan pernikahan ini.”

Bang Sam tergugu, sementara hatiku berdetak-detak karena terkejut. Ini kali kedua aku melihat dan merasakan Ayuk Fatma mencoba berinteraksi denganku.

Apakah ia nyata? Atau makhluk lain yang sengaja menyamar dan mempermainkan? Entah. Aku hanya mencoba berbaik sangka dengan takdir yang sudah ada di depan mata.

Hanya sepeminuman teh saat seorang laki-laki paruh baya bertampang teduh, mengenakan kopiah putih dengan jambang abu-abu menghiasi dagunya, datang bersama seorang laki-laki muda membawa map yang tampak begitu menghormatinya.

Salam sapanya memecah keheningan yang sedari tadi meraja.

“Alhamdulillah, Tuan Kadi sudah tiba pula.” Bapak Ayuk Fatma berucap hamdalah lalu mempersilahkan.

Hatiku berdetak-detak semakin riuh. Menghela napas panjang-panjang kulakukan, menahannya di dada beberapa jenak adalah cara sederhana untuk menetralisir ketegangan.

Kulirik Bang Sam yang duduk tepekur, ‘Rin, bukankah ia laki-laki yang gagah dan masih muda? Seorang programmer handal perusahaan ternama, suami yang selalu dibanggakan istrinya pula. Tanpa cacat. Tidak terlalu buruk, bukan?’ Hatiku berkata-kata sendiri, menghibur diri.

Lalu, kuembuskan napas dan memantapkan hati. ‘Bismillah, kupasrahkan semua padaMu ya Robb.’

Tuan Kadi lantas memberi nasehat panjang lebar, tentang bagaimana hidup berumah tangga, tanggung jawab suami dan istri, juga mulianya mengasuh anak yatim dalam pemeliharaan yang penuh kasih sayang.

“Airin anakku. Bapak tahu amanat ini tidaklah ringan. Tapi jika kau takar dengan balasannya, ini tidak ada apa-apanya. Berbaik-baik dan sayangilah mereka. Nanti di Surga, kau akan seperti ini dengan Rasulullah.” Tuan Kadi lantas mengisyaratkan dua jari dan direnggangkan sedikit.

“Jangan kau pakai ego dan matematika dunia, Nak. Sabar dan ikhlaslah, minta kekuatan padaNya. Ganjaran besar dan kemuliaan sudah Allah janjikan kalau kau memelihara mereka dengan baik.”

Hatiku luruh, air mata makin membanjir dari kedua kelopaknya. Masyaallah masyaallah masyaallah. Tidak ada yang sulit jika takarannya adalah ridha Sang Penggenggam Kehidupan. Tidak ada yang sia-sia jika tujuannya adalah hidup setelah kematian.

“Siap kau, Nak?” tanyanya lembut sambil matanya menatapku teduh.

Aku tidak mampu menjawab. Bibir kelu oleh ketegangan. Aku hanya mampu menatap bapak dan ibu yang juga memandang putrinya yang tergugu ini. Dalam derai air mata, mereka mencoba tersenyum dan mengangguk.

Bagiku itu cukup, ridha keduanya akan membuat jalan ke depan lapang.

Tuan Kadi lalu mengeluarkan secarik kertas, bertanya perihal nama lengkapku dan binti siapa. Begitu juga dengan Bang Sam. Untuk acara sesakral ini pun, kami tidak diberi jeda untuk latihan.

Dadaku bergemuruh oleh perasaan yang campur aduk ketika bapak akhirnya menggenggam erat tangan Bang Sam, lalu berikrar,

“Saudara Samsuari Radian bin Ridwan, saya nikah dan kawinkan engkau dengan Airin Mutia Ahmad bin Sobari Ahmad dengan mas kawin cincin emas seberat tiga setengah gram, tunaiii!”

“Saya terima nikah dan kawinnya Airin Mutia Ahmad binti Sobari Ahmad untuk diri saya sendiri dengan maskawin tersebut, tunai.”

Sah! Sah! Sah!

Lantunan takbir dan tahmid menggema disusul doa yang dipimpin Tuan Kadi.

“Baarakallaaahu laka wa baaraka ‘alaika wa jama’a baina kuma fii khaiir. Semoga Allah memberkahi kalian dan pernikahan kalian dan mengumpulkan dalam kebaikan.”

“Aamiin!” jawab semua yang hadir.

Bang Sam lalu memutar tubuh menghadapku dan mengangsurkan tangan. Jantung tiba-tiba serasa mau meledak. Laki-laki yang pernah menjadi standar, nanti ingin punya suami sepertinya, sekarang duduk di hadapan dengan status imamku!

Hidup terkadang penuh kejutan tak terduga.

Ragu-ragu kuraih tangannya lalu menciumnya takzim, mengucap bismillah dalam hati memohon kekuatan.

“Papa!” Pekik panggilan seorang anak membuyarkan suasana. Semua mata menoleh padanya. Dua lelaki kecil, putra kebanggaan Ayuk Fatma berdiri dekat jenazah ibunya, sang adik takut-takut berdiri di samping sang kakak, sementara yang besar meneruskan ucapannya,

“Kenapa Tante itu cium tangan Papa kek Mama?”

Hatiku berderak. Kisah telah dimulai. Semua terjadi sangat cepat hingga tidak ada yang bertanya atau memberi pengertian dua bocah laki-laki kecil itu. Semua mengabaikan, atau lupa? Bahwa mereka berhak tahu atau minimal ditanya kesediaannya.

Sorot matanya menatap tajam dan menuntut jawab pada sang papa, itu saja cukup membuatku bergidik. Zain dan Zidan. Dua jagoan Ayuk Fatma.

**

Rumah besar bak istana ini sungguh membuatku canggung meski sudah beberapa kali berkunjung.

Perlahan, aku letakkan bayi merah itu ke atas boks bayi di kamar utama. Mengedarkan pandangan di tempat Ayuk Fatma biasa menghabiskan malam dengan suaminya membuatku sedikit heran. Kenapa ada beberapa utas tali terikat di kepala ranjang?

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Titip   Jurnal Terakhir

    Sepulang dari kampus, aku kembali ke ruko setelah mampir sebentar ke cabang laundry ke dua di dekat tempat kerja. Aku duduk termenung di lantai dua. Mengingat dan meresapi lagi apa yang tadi pagi Bu Suji katakan.“Kita tidak bisa selalu menjadi malaikat bagi orang lain. Berikan pada ahlinya. Biar mereka yang menyelesaikannya. Cerita sama mertua Bu Airin. Ini bukan perkara aib, tetapi Ibu harus tetap waras, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini.”“Tapi, Bu ….”“Saya belum terlalu yakin sebab menegakkan diagnosa memang tidak hanya mengambil dari sumber kedua. Tetapi saran saya, cari pertolongan, jangan dipendam sendirian. Ini bukan lagi perkara menutup aib, tetapi menjaga kewarasan.”Aku menarik napas berat. Perpisahan, apapun namanya, bukanlah cita-cita bagi setiap perempuan. Tetapi mengingat kelakuan Bang Sam dan Amak, tak urung membuatku bergidik. Benar kata Bu Suji, mengerikan jika harus bertahan lebih lama lagi.Kuedarkan pandangan sekali lagi. Aku putuskan untuk tinggal di sini,

  • Titip   Sebuah Cerpen

    Kalau tidak ingat sedang di kampus, ingin rasanya aku menjerit. Dada rasanya sakit sekali. Sehingga aku hanya tergugu dan meratapi diri, kenapa dipertemukan dan harus menikah dengan laki-laki model begini.Bu Suji segera mendekat dan mendekapku yang terus mengigil sambil menangis.“Saya udah dak kuat lagi, Ibuu. Toloong. Saya udah dak kuat.” Aku merintih seperti anak kecil. Sementara, Bu Suji diam dan hanya membiarkanku terus menumpahkan air mata di bahunya.Cukup lama aku terisak, namun rasanya belum juga hilang rasa sakit yang mengoyak harga diriku begitu dalam.Bu Suji segera bangkit dan aku berpaling ke arah tembok saat seseorang terdengar mengetuk pintu. Aku berusaha menyembunyikan wajah dari siapa pun yang berdiri di depan situ.“Assalamualaikum, Ibu. Sekarang jam kebidanan psikologi sama Bu Suji di ruang 3B lantai tiga.” Seorang mahasiswa terdengar menjemput beliau untuk mengajar. Ternyata sudah satu jam kami mengobrol dan tidak terasa waktu beranjak begitu cepat.“Waalaikumuss

  • Titip   Silent Mode

    Pagi-pagi sekali, indekost gempar. Sebab ada seorang ibu hamil yang kabur dari rumah suaminya dan kembali terdampar, di kontrakan mereka.“Maaf, ngrepotin kalian lagi,” ujarku penuh sesal. Tetapi bukannya marah, mereka justru excited. berceloteh tentang kebahagiaan bahwa nanti bakal ada bayi yang bisa jadi hiburan. “Senanglah kami, Yuk. Ada yang bisa dimainin balek kami dari kuliah.”Andai saja Bang Sam bisa seperti mereka ini, yang memberi tanpa perhitungan dan meminta ganti rugi.Makanan segera terhidang, meski mereka beli dari lapak pagi sarapan di depan gang. Nasi kuning dengan telur balado dan teh hangat. Bungkusan sejumlah kepala yang sekarang menghuni kost. Rame dan riuhnya mereka sedikit melipur lara hati.Panggilan telepon dari Bang Sam terhitung belasan kali sampai jam satu malam tadi. Aku menghapusnya tanpa ada keinginan untuk menelepon balik. Buat apa. Baginya, aku hanyalah perempuan hina. Setelah Amak menuduh dengan tuduhan keji, sekarang anaknya setali tiga uang. Sama s

  • Titip   Perang

    Reaksi Bang Sam sungguh membuatku geram. Bisa-bisanya dia berpikir senaif itu. Apa dia kira semua orang seperti dirinya yang dengan mudah bermain mata?Perang mulut tidak lagi terhindarkan. Ini adalah keributan kedua meski belum genap satu tahun umur pernikahan kami. Bagaimana bisa dia berpikir, aku akan macam-macam dengan perut sebesar ini? Usahaku membantunya, mengurus rumah, melunasi hutang, mencukupi kebutuhan, justru dibalas dengan kecurigaan yang tidak masuk akal.Meski tidak ada lagi rasa hormatku, aku tetap melayani semua kebutuhannya. Mengurus anaknya, menyiapkan pakaian, makan, dapur dan lain sebagainya. Lalu ini balasannya? Bagaimana pun aku menjelaskan, Bang Sam tetap kukuh menuduh, bahwa aku masih mencintai Bang Idham. Sengaja tidak mengganti judul proposal demi bertemu dengan mantan. padahal proposal itu sudah di acc pembimbing sebelum tragedi kematian Ayuk Fatma.Dia lalu mengotak-atik ponselku dan duduk diam terpaku di sofa, membiarkan gemuruh di dadaku semakin bertal

  • Titip   Cari Kesempatan

    Seperti tidak punya daya, Bang Sam duduk dan mulai makan, ditingkahi anak-anaknya yang sibuk berebut mainan. "Maem dulu, Bang, Dek. Nanti lagi mainnya." Dengan lembut, Bang Sam menegur anak-anaknya. Barangkali sedang mode kalem, dia melayani kedua anak bujang dengan telaten dan sabar. Ekor matanya sesekali melirikku yang duduk di seberang meja. Aku sibuk mengaduk susu hangat yag sudah larut semenjak tadi. Sibuk dengan pikiranku sendiriMembiarkannya makan sambil melayani Zain dan Zidan."Papa, ada tulangnya." Zidan menyodorkan piringnya. Sepotong pesmol ikan mas memang harus hati-hati disiangi, sebab durinya banyak dan kecil-kecil sekali. Belum selesai Bang Sam membersihkan duri lauk milik Zidan, si sulung pun tidak tinggal diam. "Punya Abang juga."Bang Sam menghela napas, lalu menarik piring Zain juga ke hadapannya. Sementara aku pura-pura tidak peduli. Cepat-cepat kuhabiskan susu dan berdiri."Dak makan dulu, Adek?""Sudah tadi," jawabku cepat, meski aku belum makan malam, mel

  • Titip   Ultimatum

    Wajah tampan itu kini berubah menyeramkan. Pongah. Arogan. Menyebalkan. Aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa lama. Sepertinya, ada yang salah dengan otaknya.“Kenapa? Laki-laki boleh menikah lebih dari satu, Dek.”“Tau. Tapi bukan seperti itu konsepnya. Bukan begitu cara mencari dan menyelami sifat seorang perempuan.”“Jadi, cari istri macam dapetin Adek? Perempuan macam Adek? Yang keras kepala, kerja dak izin suami. Lancang buka-buka hape suami? Istri yang suudzon bae sama suami? Gitu?”Astaghfirullah. Kenapa sekarang justru aku yang salah? Bukannya kemarin dia bilang menikah karena cinta sama aku.“Asal Adek tau, Abang kenal mereka sebelum kita menikah. Abang niat berhenti karena punya Amanda. Tapi, kan dak secepat itu.”“Kan, tinggal bilang putus, apa susahnya?”“Kasian, Dek. Mereka manusia, punya perasaan.”“Dan, Abang? Dak merasa bersalah Ayuk sampai nekat melakukan vaginolpasty demi Abang? Karena sudah merasa dak sempurna sampai lakinya sibuk cari gebetan? Dak pedul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status