Share

Akad Dadakan

Suasana kemudian menjadi sedikit gaduh saat orang-orang seperti dikomando mempersiapkan segala sesuatunya.

“Panggil Tuan Kadi,” titah Bapak Ayuk Fatma pada seseorang. (Tuan kadi adalah istilah untuk penghulu).

Bapak tertunduk sementara ibu erat menggenggam sebelah tanganku yang sudah basah oleh keringat sejak tadi.

“Kau yakin, Nak?” Sejenak Bapak mendongakkan wajah dan memandangku lekat.

“Insyaallah, Pak.” Bibirku berat menjawab meski hati sendiri masih tidak yakin. Meski spontan, kepala juga menggeleng karena keberatan.

Seharusnya Bapak membelaku, bukan? Ia adalah laki-laki yang memiliki hak prerogatif atas putrinya. Tapi ada saat di mana pertimbangan perasaan, situasi, dan keadaan mengalahkan ego dan kepemilikan. Hukum sosial sedang berlaku.

Kami lalu didudukkan bersebelahan, menghadap meja kayu rendah yang dialasi taplak seadanya, di samping jenazah Ayuk Fatma yang terbujur kaku.

Bang Sam tampak kikuk, wajahnya terlihat lelah, dan tertekan. Perlahan ia mencondongkan badan dan berbisik di telingaku.

“Maafkan Abang, Rin.” Aku hanya mampu mengangguk dan air mata menjebol pertahanan. Aku menangis sejadi-jadinya. Tersengal meski harus ditahan.

“Pak, Bu, maafkan saya,” bisiknya pula ke bapak ibuku dengan suara bergetar. Kedua orang tua itu tidak berkata-kata. Mereka hanya tertunduk. Meski aku tahu, hati mereka pasti berat meng-iya-kan.

“Ini cincin mas kawin mendiang istri kau, Sam. Pakailah untuk mas kawin pula,” ujar ibu Ayuk Fatma sambil menyodorkan kotak beludru berwarna merah. Sebentuk cincin berlian terletak di sana. Sekilas aku seperti melihat senyum pemilik cincin ini tepat di atas kotak. Hanya sekelebat. Tapi itu sudah membuatku sangat terkejut.

“Astaghfirullah!” pekikku tertahan.

Semua mata lantas tertuju padaku.

“Airin?! Kenapa? Tak suka kau dengan mas kawin tu? Nak apa? Bilang, bilanglah,” ujar ibu Ayuk Fatma melihat reaksiku.

“Eh … anu … bu-kan. Bukan begitu, Bu. Saya tadi tengok Ayuk ….” Kata-kata menggantung seiring telunjukku yang mengarah ke kotak beludru di tangannya.

“Apa kau tengok?”

“Ayuk. Ayuk Fatma tersenyum di atas kotak itu.” Aku gemetar. Meski ia dahulu adalah teman paling karib di kampus dan tempat kerja, aku tidak memiliki mental cukup jika harus berteman dengannya di lain dunia.

Ruangan sontak berdengung dengan bisikan. Sebagian mengucap takbir dan takmid.

“Alhamdulillah, Rin. Ayuk kau ridha dengan pernikahan ini.”

Bang Sam tergugu, sementara hatiku berdetak-detak karena terkejut. Ini kali kedua aku melihat dan merasakan Ayuk Fatma mencoba berinteraksi denganku.

Apakah ia nyata? Atau makhluk lain yang sengaja menyamar dan mempermainkan? Entah. Aku hanya mencoba berbaik sangka dengan takdir yang sudah ada di depan mata.

Hanya sepeminuman teh saat seorang laki-laki paruh baya bertampang teduh, mengenakan kopiah putih dengan jambang abu-abu menghiasi dagunya, datang bersama seorang laki-laki muda membawa map yang tampak begitu menghormatinya.

Salam sapanya memecah keheningan yang sedari tadi meraja.

“Alhamdulillah, Tuan Kadi sudah tiba pula.” Bapak Ayuk Fatma berucap hamdalah lalu mempersilahkan.

Hatiku berdetak-detak semakin riuh. Menghela napas panjang-panjang kulakukan, menahannya di dada beberapa jenak adalah cara sederhana untuk menetralisir ketegangan.

Kulirik Bang Sam yang duduk tepekur, ‘Rin, bukankah ia laki-laki yang gagah dan masih muda? Seorang programmer handal perusahaan ternama, suami yang selalu dibanggakan istrinya pula. Tanpa cacat. Tidak terlalu buruk, bukan?’ Hatiku berkata-kata sendiri, menghibur diri.

Lalu, kuembuskan napas dan memantapkan hati. ‘Bismillah, kupasrahkan semua padaMu ya Robb.’

Tuan Kadi lantas memberi nasehat panjang lebar, tentang bagaimana hidup berumah tangga, tanggung jawab suami dan istri, juga mulianya mengasuh anak yatim dalam pemeliharaan yang penuh kasih sayang.

“Airin anakku. Bapak tahu amanat ini tidaklah ringan. Tapi jika kau takar dengan balasannya, ini tidak ada apa-apanya. Berbaik-baik dan sayangilah mereka. Nanti di Surga, kau akan seperti ini dengan Rasulullah.” Tuan Kadi lantas mengisyaratkan dua jari dan direnggangkan sedikit.

“Jangan kau pakai ego dan matematika dunia, Nak. Sabar dan ikhlaslah, minta kekuatan padaNya. Ganjaran besar dan kemuliaan sudah Allah janjikan kalau kau memelihara mereka dengan baik.”

Hatiku luruh, air mata makin membanjir dari kedua kelopaknya. Masyaallah masyaallah masyaallah. Tidak ada yang sulit jika takarannya adalah ridha Sang Penggenggam Kehidupan. Tidak ada yang sia-sia jika tujuannya adalah hidup setelah kematian.

“Siap kau, Nak?” tanyanya lembut sambil matanya menatapku teduh.

Aku tidak mampu menjawab. Bibir kelu oleh ketegangan. Aku hanya mampu menatap bapak dan ibu yang juga memandang putrinya yang tergugu ini. Dalam derai air mata, mereka mencoba tersenyum dan mengangguk.

Bagiku itu cukup, ridha keduanya akan membuat jalan ke depan lapang.

Tuan Kadi lalu mengeluarkan secarik kertas, bertanya perihal nama lengkapku dan binti siapa. Begitu juga dengan Bang Sam. Untuk acara sesakral ini pun, kami tidak diberi jeda untuk latihan.

Dadaku bergemuruh oleh perasaan yang campur aduk ketika bapak akhirnya menggenggam erat tangan Bang Sam, lalu berikrar,

“Saudara Samsuari Radian bin Ridwan, saya nikah dan kawinkan engkau dengan Airin Mutia Ahmad bin Sobari Ahmad dengan mas kawin cincin emas seberat tiga setengah gram, tunaiii!”

“Saya terima nikah dan kawinnya Airin Mutia Ahmad binti Sobari Ahmad untuk diri saya sendiri dengan maskawin tersebut, tunai.”

Sah! Sah! Sah!

Lantunan takbir dan tahmid menggema disusul doa yang dipimpin Tuan Kadi.

“Baarakallaaahu laka wa baaraka ‘alaika wa jama’a baina kuma fii khaiir. Semoga Allah memberkahi kalian dan pernikahan kalian dan mengumpulkan dalam kebaikan.”

“Aamiin!” jawab semua yang hadir.

Bang Sam lalu memutar tubuh menghadapku dan mengangsurkan tangan. Jantung tiba-tiba serasa mau meledak. Laki-laki yang pernah menjadi standar, nanti ingin punya suami sepertinya, sekarang duduk di hadapan dengan status imamku!

Hidup terkadang penuh kejutan tak terduga.

Ragu-ragu kuraih tangannya lalu menciumnya takzim, mengucap bismillah dalam hati memohon kekuatan.

“Papa!” Pekik panggilan seorang anak membuyarkan suasana. Semua mata menoleh padanya. Dua lelaki kecil, putra kebanggaan Ayuk Fatma berdiri dekat jenazah ibunya, sang adik takut-takut berdiri di samping sang kakak, sementara yang besar meneruskan ucapannya,

“Kenapa Tante itu cium tangan Papa kek Mama?”

Hatiku berderak. Kisah telah dimulai. Semua terjadi sangat cepat hingga tidak ada yang bertanya atau memberi pengertian dua bocah laki-laki kecil itu. Semua mengabaikan, atau lupa? Bahwa mereka berhak tahu atau minimal ditanya kesediaannya.

Sorot matanya menatap tajam dan menuntut jawab pada sang papa, itu saja cukup membuatku bergidik. Zain dan Zidan. Dua jagoan Ayuk Fatma.

**

Rumah besar bak istana ini sungguh membuatku canggung meski sudah beberapa kali berkunjung.

Perlahan, aku letakkan bayi merah itu ke atas boks bayi di kamar utama. Mengedarkan pandangan di tempat Ayuk Fatma biasa menghabiskan malam dengan suaminya membuatku sedikit heran. Kenapa ada beberapa utas tali terikat di kepala ranjang?

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status