Dadaku tiba-tiba dipenuhi ketakutan dan pengandaian. Jangan-jangan laki-laki yang selama ini aku kenal sebagai pribadi yang baik dan santun adalah penganut masokisme? (Kelainan yang puas setelah menyiksa pasangan.)Hiii …! Aku bergidik seketika.Namun, selama ini Ayuk Fatma tampak baik-baik saja. Apa mungkin mereka berdua adalah pelaku? Jantungku berdetak-detak tak keruan. Bisikan buruk dan suudzon berkelindan memenuhi ruang benak.Menjelang melahirkan, Ayuk dan Bang Sam memang memutuskan kembali ke rumah orangtua laki-laki itu, agar lebih mudah merawat bayi dan ibunya. Siapa sangka semua berjalan di luar kehendak manusia.Tetapi, kami kembali ke kediaman mereka, rumah Ayuk dan Bang Sam sendiri Abah dan Amak Bang Sam juga iya iya saja saat di rumah duka. Ketika bapak Ayuk Fatma mencetuskan ide gila demi meluluskan wasiat putrinya sebelum meninggal.Aku melirik bayi yang masih pulas tertidur dan pandangan beralih ke tali yang terikat menakutkan di ujung sana.Karena didorong rasa pena
Tali di kepala ranjang dan bercak darah itu kembali menari-nari di pelupuk mata, sementara dada dihantam badai kengerian.“Abaang?” panggilku takut-takut.“Heem?” Dia menatapku, teduh. Sisa air wudhu yang masih membasahi wajah dan rambutnya meninggalkan aura segar. Bang Sam memang sangat tampan.Hatiku berdesir, campur aduk. Ngeri dan juga … entah. Sulit otakku mencerna dan mendeskripsikan.“Cu-ma sholat, kan?” Aku membalas tatapannya sekilas lalu menunduk, pura-pura membersihkan kuku. “Pergilah wudhu, Abang tunggu,” ujarnya sekali lagi. Aku mendongak. Dia tersenyum lagi dan mengangguk. Dadaku berdesir lagi.Ragu-ragu aku beranjak ke kamar mandi dan menyempurnakan bersuci, sedangkan jantungku sungguh tak hendak diajak kompromi. Ritmenya semakin naik dan membuat ujung-ujung anggota gerakku terasa dingin.Perlahan, aku menghirup dan melepaskan napas sekedar mengurangi tekanan dalam dada.Betapa khawatirku bertambah besar saat keluar dari berwudhu, pintu kamar sudah tertutup rapat.Iyu
Lepasnya jeritan dari mulut seakan melepas juga kelumpuhan yang aku rasakan baru saja. Kesadaranku pulih seketika.Aku masih dalam ikatan, tapi dua lengan kokoh dengan bau feromon yang memabukkan. Pelukan Bang Sam.“Adek kenapa? Mimpi apa?” tatapnya penuh keheranan. Ah, mata itu.Aku bernapas lega dan membenamkan wajahku ke dadanya, mencari ketenangan. Meski sebenarnya detak riuh kecemasan masih menghantui pikiran.“Baca taawuz dan meludahlah ke kiri tiga kali, mimpi buruk datangnya dari setan,” ujarnya lembut sambil mengelus kepalaku.Aku beringsut dari pelukannya, membaca taawuz dan meludah ke kiri tiga kali.“Adek pasti tertekan dengan pernikahan ini. Maafkan Abang,” ujarnya lembut dan kembali membenamkanku dalam pelukannya.Ya Allah. Perlakuannya sungguh membuatku meleleh.Detak jantung kembali riuh, tapi dengan irama yang berbeda.“Abang harusnya tegas bilang idak kalau hanya buat Adek tersiksa seperti ini. Tapi, semua memang salah Abang. Maaf.”Aku mendengar ia menarik napas ber
Lepasnya jeritan dari mulut seakan melepas juga kelumpuhan yang aku rasakan baru saja. Kesadaranku pulih seketika.Aku masih dalam ikatan, tapi dua lengan kokoh dengan bau feromon yang memabukkan. Pelukan Bang Sam.“Adek kenapa? Mimpi apa?” tatapnya penuh keheranan. Ah, mata itu.Aku bernapas lega dan membenamkan wajahku ke dadanya, mencari ketenangan. Meski sebenarnya detak riuh kecemasan masih menghantui pikiran.“Baca taawuz dan meludahlah ke kiri tiga kali, mimpi buruk datangnya dari setan,” ujarnya lembut sambil mengelus kepalaku.Aku beringsut dari pelukannya, membaca taawuz dan meludah ke kiri tiga kali.“Adek pasti tertekan dengan pernikahan ini. Maafkan Abang,” ujarnya lembut dan kembali membenamkanku dalam pelukannya.Ya Allah. Perlakuannya sungguh membuatku meleleh.Detak jantung kembali riuh, tapi dengan irama yang berbeda.“Abang harusnya tegas bilang idak kalau hanya buat Adek tersiksa seperti ini. Tapi, semua memang salah Abang. Maaf.”Aku mendengar ia menarik napas ber
Kami makan dalam kehangatan sebuah keluarga. Bisa dipahami jika Bang Sam memiliki pribadi yang santun dan penuh perhatian. Barangkali sikap Amak yang seperti itu dicontoh oleh putra tampannya itu.Tiba-tiba ponselku berdering.Rumah sakit mengabarkan bahwa audit maternal perinatal (Serangkaian kegiatan penelusuran sebab kematian atau kesakitan ibu, bayi, dan bayi baru lahir guna mencegah kesakitan dan kematian serupa di masa yang akan datang) akan segera dilakukan.Lidahku mendadak kelu. Hari-hari di mana aku dan tim akan menjadi pesakitan akan di gelar dua hari dari sekarang.Sementara, aku sama sekali tidak dilibatkan dalam pembuatan laporan.“Ada apa?” Bang Sam heran melihatku terpaku sambil memeluk ponsel di dada.“Audit.”“Tentang Ayuk?”Aku mengangguk sementara air mata spontan luruh.**Semua kenangan berkelindan menyerbu kepala. Wajah Ayuk Fatma, persahabatan kami, dan wasiat terakhirnya.Beberapa hari ke depan, aku dan tim akan duduk di kursi pesakitan, ditanya layaknya terdak
Waktu merambat perlahan hingga masing-masing pamit undur diri ke peraduan. Zain dan Zidan juga sudah beberapa waktu lalu diantar papanya. Mendongeng dulu, begitu kebiasaan mereka, cerita Si Pahit lidah atau Malin Kundang. Jika bosan papanya diminta membacakan buku cerita favorit mereka. The Little Prince. Kisah petualangan seorang pilot yang terdampar di padang gurun dan bertemu pangeran kecil dari planet lain. Bang Sam menceritakan ini padaku kemarin malam.Aku masih terpaku di tempat dengan bayi yang terlelap dalam pangkuan. Kamar mana yang harus kutuju? Kamarku dan Amanda atau kamar utama?Ada debar yang makin meningkat di dalam dada. Sejujurnya, aku belum siap untuk satu ruang semalaman dengan laki-laki penuh pesona itu.“Dek?” panggilnya.Aku terhenyak kaget karena sedang membayangkan sesuatu yang menggoda. Bahasa gaulnya, sesuatu yang iya iya. Bang Sam pasti telah selesai menidurkan buah hatinya“Kok masih di sini?” Bang Sam mengambil posisi duduk di sampingku.“Belum bisa tidur
Bang Sam seperti tidak peduli. Dia menangis dalam sedu sedang yang panjang dan menyayat. Membuat suasana pagi semakin mendung.Bang Sam lalu meletakkan kepalanya di pangkuanku yang terduduk di sisinya. Dia yang selama ini mencoba tegar, akhirnya tumbang juga dihajar kepahitan.“Menangislah, Abang. Menangislah. Tumpahkan saja semua yang mengganjal,” ucapku sambil membelai kepalanya. Hatiku pilu melihat kondisinya.Tidak lama kemudian tangis itu reda. Aku lalu membimbingnya ke kamar untuk mandi, memutar shower unuk menyiapkan air mandi hangat, dan Bang Sam menurut masuk untuk membersihkan diri.Aku tutup pintu itu, mencarikan ganti baju, dan keluar kamar. Secepat kilat menyiapkan sarapan dan teh panas. Sejujurnya aku tidak pandai memasak. Ayuk yang bantu-bantu di rumahlah yang mengerjakan.“Kenapa Abang kau, Rin?” Amak bertanya penasaran.“Airin juga belum tahu, Amak. Abang sedang mandi,” jawabku dengan kegusaran yang sama.Bang Sam sudah bergelung di atas tempat tidur saat aku kembali
Bergegas aku masuk dan menuju kamar utama, sekalian melarikan diri dari rasa malu ditegur Abah barusan.Abah adalah orang berpengaruh dan pengusaha sukses di daerah ini. Sikapnya keras, tegas tetapi bijak. Menurutku. Beliau hanya berbicara jika perlu saja. Tapi kalau sedang menyampaikan nasihat, bahasanya meresap ke dalam dada.Teringat kembali marah dan murkanya Abah saat Ayuk Fatma meninggal di tangan kami waktu itu. Kupikir, Abah adalah seorang laki-laki yang arogan dan pemarah. Nyatanya, terkadang manusia menjadi panik pada kondisi yang menekan mental. Abah baru megetahui menantunya meninggal swsaat sebelum akad, ketika Bapak Ayuk Fatma.mengabari dan meminta izin lewat telepon.Praktis, pernikahan mendadak antara aku dan Bang Sam tanpa kehadiran dua mertua di depanku itu.Kini, aku tidak bisa membayangkan jikalau apa yang kami khawatirkan benar-benar menjadi kenyataan. Bahwa putra kesayangan Abah telah menjadi seorang pembunuh.Perlahan kutekan handel pintu dan melongok. Tampak Ba