Home / Rumah Tangga / Titip / Harum Semerbak

Share

Harum Semerbak

Author: Airin Ahmad
last update Last Updated: 2022-11-13 22:24:45

"Ayuk?!”

Heranku meraja saat perempuan yang jasadnya terbujuk kaku itu kini ada di hadapan. Ia terlihat segar dan cantik. Mengenakan gaun putih panjang dengan pita mungil berwarna hijau di dada. Rambutnya tergerai indah dan bergelombang.

Kuedarkan pandangan sekeliling. Tetap hening. Semua pergerakan dan waktu masih berhenti.

“Jangan takut. Ayuk titip Amanda sama kau, Rin.”

“Amanda?” Kuulang kalimatnya dengan lidah kelu.

Ayuk Fatma mendekat, menggeser duduk hendak meraba bayinya. Aku mengkerut. Takut setengah mati.

“Dak usah takut, Rin. Kasih nama bayi ini Amanda Fatma Samsuari. Aku titip nian sama kau anak-anak dan suami aku. Dak ada orang lain yang bisa ayuk percaya, Rin. Cuma kaulah satu-satunya. Ayuk pamit.” Matanya merebak meski seulas senyum terukir di bibirnya. Ia mengelus pipi mungil dalam dekapanku pelan sekali. Ayuk Fatma lalu berdiri, berjalan ke arah pintu dan kembali berbalik. Sementara aku masih kaku di tempat.

Sekali lagi ia tersenyum dan melangkah keluar. Bau harum tiba-tiba menyeruak ke dalam hidung, seiring waktu yang kembali bergerak.

Orang-orang saling bergumam dan berbisik. Sepertinyq, aroma wangi yang lembut itu ternyata juga mereka rasakan. Aroma yang belum pernah kucium sebelumnya.

“Harum nian.” Sebuah suara mampir di telinga.

“Itu tanda orang baik meninggal,” timpal yang lain.

Sementara aku masih terpana dengan apa yang baru saja terjadi. Tidak. Ini bukan mimpi. Nyatanya badanku yang awalnya menghadap jenazah sekarang posisi dudukku menjadi membelakanginya. Tadi, Ayuk Fatma menepuk pundak dan membuatku berpaling ke belakang.

Kutelan ludah sekali lagi dan mengatur napas yang masih tak beraturan. Bapak dan ibu yang juga turut hadir memandangku dengan tatapan nelangsa. Mereka kuberi tahu sesaat setelah Ayuk Fatma meninggal dan langsung menempuh dua jam perjalanan ke rumah duka.

Meski belum pernak bertemu muka, cerita tentang Ayuk Fatma dan kebaikan-kebaikannya sudah tidak asing di telinga mereka berdua. Sering berkirim salam dan berucap terima kasih karena telah membantu aku, putri mereka.

Sekonyong-konyong, laki-laki yang kemarin mengamuk dan memarahiku atas meninggalnya sang putri--bapak Ayuk Fatma--duduk di sampingku. Matanya masih merah, gurat luka tercetak jelas di wajah tuanya.

“Kau, Airin, kan?” intonasi suaranya sudah melunak. Ia merengkuh pundakku.

“Iya, Pak.” Aku tergagap.

“Kau luluskanlah permintaan terakhir anak aku itu. Toloong.”

Badanku kaku dengan dada yang berdentam bertalu-talu. Bapak ibu yang duduk tidak jauh memperhatikan lekat. Barangkali, melihat kegugupan dan kebingungan putrinya, membuat mereka mendekat dan duduk di sampingku.

Ayah Ayuk Fatma kemudain menceritakan semuanya, apa wasiat putrinya sebelum menghadap Ilahi kepada Bapak dan Ibu. Semua pasang mata menatap dan menjadi saksi peristiwa ini.

Lalu, bapak mengangkat suara.

“Tapi anak saya sudah dikhitbah, Pak. Insyaallah bulan depan akan menikah.”

“Toloong nian, Pak. Khitbah bisa dibatalkan asal calon anak Bapak izinkan. Biar saya yang meminta langsung sama dia. Kasihan pula bayi ini. Kalau bidan yang ngurus akan lebih baik pula.”

“Pak?” Kutatap bapak dengan air mata merebak.

“Kek mana, Rin?” Bapak justru bertanya kepadaku yang kebingungan.

“Airin dak tahu, Bapak.” Kugelengkan kepala kuat-kuat. Satu sisi aku kasihan, sisi lain hati sungguh tidak tega menggagalkan begitu saja lamaran yang sudah diterima.

“Iya, Nak. Batalkan bae lah. Kasihan dedek bayi tuu.” Beberapa suara di sekeliling menimpali. Aku tertunduk dengan lidah kelu dan dada membadai oleh perasaan bingung.

Bang Sam baik, meski sudah sedikit berumur, ia laki-laki yang patut diperhitungkan. Bang Idam, laki-laki yang telah mengkhitbahku itu juga tidak kalah baik. Kami beberapa kali bertemu di badan kerohaniawan islam kampus. Ia juga merupakan mahasiswa ekstensi dari fakultas keperawatan.

Cinta? Aku tidak tahu. Jujur belum ada cinta di hati dengan calon suamiku itu, tidak ada pendekatan apa pun sebelumnya. Aku hanya yakin ia laki-laki yang bisa menjadi imamku. Bang Sam? Aku pernah membayangkan bisa memiliki suami sepertinya, meski tidak pernah terbersit sedikit pun untuk jatuh hati kepada suami sahabatku itu.

Hatiku diliput bimbang. Sementara bisik-bisik pelayat makin santer terdengar di telinga.

“Ha, macam ini be, mana nomor telepon calon kau tu, biar bapak yang ngomong.” Bapak Ayuk Fatma memutuskan sepihak. Di bawah hujan tatap mata puluhan orang yang hadir, aku tidak punya pilihan lain selain memberikan hape yang ada di saku baju.

Lalu, terjadilah pembicaraan yang cukup panjang dengan perangkat elektronik itu. Semua mata mengawasi dengan mulut terkunci. Sementara bayi dalam gendonganku bergerak-gerak mencari puting susu.

Aku hanya bisa menangkap sedikit dari apa yang mereka bicarakan. Bagaimana bapak Ayuk Fatma memohon dan bernegosiasi dengan Bang Idam di seberang sambungan. Hingga akhirnya laki-laki itu menutup telepon dengan berujar,

“Makasih nian Nak Idam. Makasih nian. Bapak yakin kau akan dapat perempuan sebaik Airin untuk jadi istri kau nanti.”

Kalimat pemungkas itu memberi satu kesimpulan bahwa Bang Idam merelakan pembatalan khitbah yang dua bulan lalu kami selenggarakan.

Kuremas telapak tangan yang di sana tersemat cincin yang ia berikan. Sementara rasa bersalah membingkai di dalam dada.

Harus seperti inikah akhirnya?

“Idam lah boleh, Nak Airin. Nanti proses pengembalian omongan bapak temani ke rumah mereka.” Bapak Ayuk Fatma seperti memonopoli keadaan. Tidak ada yang berinisiatif membantah. Semua orang sedang dalam keadaan berduka.

“Kek mana kalau akad nikah kita langsungkan sekarang be? Mumpung masih ada Fatma di sini.”

Heh?! Bagai halilintar yang bertasbih memuji Allah karena takut kepada-Nya, kalimat itu telak menghantam jantungku. Bapak menghela napas panjang, ibu menatapku sambil berkaca-kaca. Sementara air mataku sudah luruh semenjak tadi.

**

Ruangan sontak bergemuruh oleh lantunan takbir.

“Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!”

Semua mata tertuju padaku, bagai seorang pesakitan yang harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dosa yang sama sekali tidak dilakukan. Sanksi sosial. Begitu hukum masyarakat berlaku.

Badanku bergetar-getar. Ini bukan perkara main-main. Sementara umur belum bisa dikatakan dewasa untuk mengemban amanah yang begitu berat. Menjadi ibu sambung dari tiga orang anak sekaligus, diantaranya masih bayi merah. Tetapi melihat wajah-wajah yang penuh harap, terutama bapak Yuk Fatma yang sampai menangkupkan tangan di dada, membuatku tidak berkutik.

‘Bismillah, kuatkan hamba ya Allah, tegakkan punggung, dan kokokkan pundakku untuk memikul amanah ini. Jika ini memang takdir yang telah Engkau janjikan semenjak aku di dalam garba ibu perkara rezeki, jodoh, dan ajal,’ bisikku dalam hati.

Kupandang bayi mungil yang masih nyaman tidur di dadaku, lalu berpaling menatap Bang Sam yang salah tingkah, ia membalas mataku sekilas saja sebelum menunduk menekuri lantai.

Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk. Lantunan hamdalah dan takbir lantas memenuhi ruangan.

Sementara, kecemasan meraja di dada. Semua terjadi begitu mendadak dan di luar rencana

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Titip   Jurnal Terakhir

    Sepulang dari kampus, aku kembali ke ruko setelah mampir sebentar ke cabang laundry ke dua di dekat tempat kerja. Aku duduk termenung di lantai dua. Mengingat dan meresapi lagi apa yang tadi pagi Bu Suji katakan.“Kita tidak bisa selalu menjadi malaikat bagi orang lain. Berikan pada ahlinya. Biar mereka yang menyelesaikannya. Cerita sama mertua Bu Airin. Ini bukan perkara aib, tetapi Ibu harus tetap waras, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini.”“Tapi, Bu ….”“Saya belum terlalu yakin sebab menegakkan diagnosa memang tidak hanya mengambil dari sumber kedua. Tetapi saran saya, cari pertolongan, jangan dipendam sendirian. Ini bukan lagi perkara menutup aib, tetapi menjaga kewarasan.”Aku menarik napas berat. Perpisahan, apapun namanya, bukanlah cita-cita bagi setiap perempuan. Tetapi mengingat kelakuan Bang Sam dan Amak, tak urung membuatku bergidik. Benar kata Bu Suji, mengerikan jika harus bertahan lebih lama lagi.Kuedarkan pandangan sekali lagi. Aku putuskan untuk tinggal di sini,

  • Titip   Sebuah Cerpen

    Kalau tidak ingat sedang di kampus, ingin rasanya aku menjerit. Dada rasanya sakit sekali. Sehingga aku hanya tergugu dan meratapi diri, kenapa dipertemukan dan harus menikah dengan laki-laki model begini.Bu Suji segera mendekat dan mendekapku yang terus mengigil sambil menangis.“Saya udah dak kuat lagi, Ibuu. Toloong. Saya udah dak kuat.” Aku merintih seperti anak kecil. Sementara, Bu Suji diam dan hanya membiarkanku terus menumpahkan air mata di bahunya.Cukup lama aku terisak, namun rasanya belum juga hilang rasa sakit yang mengoyak harga diriku begitu dalam.Bu Suji segera bangkit dan aku berpaling ke arah tembok saat seseorang terdengar mengetuk pintu. Aku berusaha menyembunyikan wajah dari siapa pun yang berdiri di depan situ.“Assalamualaikum, Ibu. Sekarang jam kebidanan psikologi sama Bu Suji di ruang 3B lantai tiga.” Seorang mahasiswa terdengar menjemput beliau untuk mengajar. Ternyata sudah satu jam kami mengobrol dan tidak terasa waktu beranjak begitu cepat.“Waalaikumuss

  • Titip   Silent Mode

    Pagi-pagi sekali, indekost gempar. Sebab ada seorang ibu hamil yang kabur dari rumah suaminya dan kembali terdampar, di kontrakan mereka.“Maaf, ngrepotin kalian lagi,” ujarku penuh sesal. Tetapi bukannya marah, mereka justru excited. berceloteh tentang kebahagiaan bahwa nanti bakal ada bayi yang bisa jadi hiburan. “Senanglah kami, Yuk. Ada yang bisa dimainin balek kami dari kuliah.”Andai saja Bang Sam bisa seperti mereka ini, yang memberi tanpa perhitungan dan meminta ganti rugi.Makanan segera terhidang, meski mereka beli dari lapak pagi sarapan di depan gang. Nasi kuning dengan telur balado dan teh hangat. Bungkusan sejumlah kepala yang sekarang menghuni kost. Rame dan riuhnya mereka sedikit melipur lara hati.Panggilan telepon dari Bang Sam terhitung belasan kali sampai jam satu malam tadi. Aku menghapusnya tanpa ada keinginan untuk menelepon balik. Buat apa. Baginya, aku hanyalah perempuan hina. Setelah Amak menuduh dengan tuduhan keji, sekarang anaknya setali tiga uang. Sama s

  • Titip   Perang

    Reaksi Bang Sam sungguh membuatku geram. Bisa-bisanya dia berpikir senaif itu. Apa dia kira semua orang seperti dirinya yang dengan mudah bermain mata?Perang mulut tidak lagi terhindarkan. Ini adalah keributan kedua meski belum genap satu tahun umur pernikahan kami. Bagaimana bisa dia berpikir, aku akan macam-macam dengan perut sebesar ini? Usahaku membantunya, mengurus rumah, melunasi hutang, mencukupi kebutuhan, justru dibalas dengan kecurigaan yang tidak masuk akal.Meski tidak ada lagi rasa hormatku, aku tetap melayani semua kebutuhannya. Mengurus anaknya, menyiapkan pakaian, makan, dapur dan lain sebagainya. Lalu ini balasannya? Bagaimana pun aku menjelaskan, Bang Sam tetap kukuh menuduh, bahwa aku masih mencintai Bang Idham. Sengaja tidak mengganti judul proposal demi bertemu dengan mantan. padahal proposal itu sudah di acc pembimbing sebelum tragedi kematian Ayuk Fatma.Dia lalu mengotak-atik ponselku dan duduk diam terpaku di sofa, membiarkan gemuruh di dadaku semakin bertal

  • Titip   Cari Kesempatan

    Seperti tidak punya daya, Bang Sam duduk dan mulai makan, ditingkahi anak-anaknya yang sibuk berebut mainan. "Maem dulu, Bang, Dek. Nanti lagi mainnya." Dengan lembut, Bang Sam menegur anak-anaknya. Barangkali sedang mode kalem, dia melayani kedua anak bujang dengan telaten dan sabar. Ekor matanya sesekali melirikku yang duduk di seberang meja. Aku sibuk mengaduk susu hangat yag sudah larut semenjak tadi. Sibuk dengan pikiranku sendiriMembiarkannya makan sambil melayani Zain dan Zidan."Papa, ada tulangnya." Zidan menyodorkan piringnya. Sepotong pesmol ikan mas memang harus hati-hati disiangi, sebab durinya banyak dan kecil-kecil sekali. Belum selesai Bang Sam membersihkan duri lauk milik Zidan, si sulung pun tidak tinggal diam. "Punya Abang juga."Bang Sam menghela napas, lalu menarik piring Zain juga ke hadapannya. Sementara aku pura-pura tidak peduli. Cepat-cepat kuhabiskan susu dan berdiri."Dak makan dulu, Adek?""Sudah tadi," jawabku cepat, meski aku belum makan malam, mel

  • Titip   Ultimatum

    Wajah tampan itu kini berubah menyeramkan. Pongah. Arogan. Menyebalkan. Aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa lama. Sepertinya, ada yang salah dengan otaknya.“Kenapa? Laki-laki boleh menikah lebih dari satu, Dek.”“Tau. Tapi bukan seperti itu konsepnya. Bukan begitu cara mencari dan menyelami sifat seorang perempuan.”“Jadi, cari istri macam dapetin Adek? Perempuan macam Adek? Yang keras kepala, kerja dak izin suami. Lancang buka-buka hape suami? Istri yang suudzon bae sama suami? Gitu?”Astaghfirullah. Kenapa sekarang justru aku yang salah? Bukannya kemarin dia bilang menikah karena cinta sama aku.“Asal Adek tau, Abang kenal mereka sebelum kita menikah. Abang niat berhenti karena punya Amanda. Tapi, kan dak secepat itu.”“Kan, tinggal bilang putus, apa susahnya?”“Kasian, Dek. Mereka manusia, punya perasaan.”“Dan, Abang? Dak merasa bersalah Ayuk sampai nekat melakukan vaginolpasty demi Abang? Karena sudah merasa dak sempurna sampai lakinya sibuk cari gebetan? Dak pedul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status