Share

Cincin Khitbah di Tangan Yang Berdarah

“Fatma nyuruh adek itu gantikan posisi dia jadi istri aku.”

Ia menghela napas panjang, menunjuk mukaku lalu meremas rambutnya sendiri, seakan baru saja mengungkapkan sesuatu yang berat.

Sementara aku berdiri kaku di samping Dokter Ramlan, dengan jantung berdebaran dan mulut melongo.

‘Ya Tuhan, jangan sampai nianlah orang-orang ini menganggap serius apa yang Ayuk Fatma pesankan sebelum pergi.' Hatiku berbisik-bisik ketakutan.

“Ha! Semudah itu nian, eh?! Kau kira berganti istri macam pesan nasi di lapau?! Laki-laki itu makin meradang. “Cucu awak alaah iyoo aeeh!” Ia tetap meracau panik sambil tak henti bergerak.

“Tapi Fatma ada juga benarnya, Pak.” Bang Sam membela diri, meski suaranya lirih.

“Ha! Masih mengalir darah bersalin bini kau tu di dalam sana, lah terpikir nak ganti bini pula kau?!”

Suasana makin ribut, aku mengkerut. Sementara Dokter Ramlan tak jua berinisiatif melakukan apa pun. Dalam keadaan emosi, seseorang akan sangat sulit diajak berdiskusi dan mendengarkan orang lain.

Semua orang di selasar diam, hanya saling pandang dan sebagian menangis, kecuali sang mertua yang masih panik tak terkira.

Segala rasa berkelindan memenuhi ruang dada. Sedih, kehilangan, rasa bersalah, ketakutan, dan kecemasan.

Bayi kecil itu, apa kabarnya? Tiba-tiba aku teringat bocah malang yang baru saja menjadi piatu. Ia yang tadi sempat asfiksia (gangguan aliran oksigen ke otak dan jaringan tubuh) dampak dari persalinan yang terlalu lama. Semoga tidak diikuti kerusakan organ.

Aku beranjak, berniat menjenguk bayi mungil itu, tapi sebuah suara menahanku. Kenapa semua orang jadi panik memikirkan yang sudah berpulang dan melupakan yang masih hidup?

“Wooi! Mau ke mana kau?!” Gelegar suara laki-laki itu menyurutkan langkahku. Sungguh, memancing emosinya sama dengan mencari perkara.

“Mau lihat bayinya, Pak.”

“Haa!” Mata tuanya terbelalak. Ia seperti dibangunkan dari tidur dan menyadari sesuatu.

“Mana? Mana cucu aku itu?”

Pertanyaan yang membuatku menunjuk ke satu arah.

Ia beranjak pergi disusul Bang Sam dan istrinya. Mereka berjalan tergesa di antara selasar menuju ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit) ditemani seorang rekan perawat.

Aku kembali ke ruang bersalin, menatap jasad kaku yang kini telah tertutup kain jarik bermotif batik itu. Air mataku kembali merebak. Serasa baru kemarin kami bercengkerama dan bersendau gurau. Semudah itu saja seseorang dipanggil pulang.

Ayuk Fatmalah teman mahasiswi yang kukenal pertama sekali. Ia berdiri mengenakan baju bebas dengan tas selempang di pundaknya saat itu. Ia berdiri di gerbang kampus menunggu jemputan saat aku tiba dengan ojek. Ayuk Fatma langsung menyapa ramah begitu melihatku.

“Anak ekstensi?”

“Iya, Yuk.”

“Samalah kita.” Ia lalu menyodorkan tangannya.

“Fatma. Kau?”

“Airin, Yuk.

“Baru lulus D3?”

“Lulus tahun kemarin.”

“Sudah kerja?”

“Keluar. Rumah kami jauh di kabupaten.”

“Di sini nge-kost lah tu?”

“Iya, Yuk.”

“Di tempat ayuk lagi ada penerimaan pegawai baru. Coba bae kalau tertarik. Lumayan buat bayar uang kuliah. Sayang, kan, kuliah dua hari. Waktu tersisa nak ngapo (mau apa)?” cerocosnya panjang lebar.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Begitulah ibaratnya. Ia semacam jalan keberuntungan yang Allah kirimkan kepadaku di saat memang membutuhkan pekerjaan dan dana segar.

Kuiyakan begitu saja tawarannya. Lalu kami bertukar kontak telepon.

Begitulah awal pertemuan kami. Ia yang merupakan senior dan supervisor di tempat kerja, rumah bersalin yang akhirnya menerimaku juga, tidak pernah segan membimbing juniornya yang masih minim pengalaman sepertiku. Tidak sombong apalagi terkesan menggurui.

Ayuk Fatma adalah partner yang menyenangkan dan disayang, mulai dari pimpinan sampai tukang masak dan laundry. Mungkin begitulah katanya, orang baik selalu dipanggil pulang lebih cepat dari yang lain. Entah.

Perlahan kukemas semua peralatan yang tadi digunakan. Merendamnya dalam larutan klorin untuk mendesinfeksi dari kuman dan virus. Pelan sekali aku bergerak, menjaga agar dentingnya tidak terlalu gaduh. Konon katanya, salah satu adab terhadap mayit adalah dengan menghindari bersuara keras.

Bercak darah di lantai juga kubersihkan perlahan dengan mata yang memburam oleh air mata yang terus luruh.

Belum juga aku selesai dengan rutinitas, suara berisik kembali terdengar. Rupanya, keluarga pasien telah selesai menjenguk cucunya. Langkah kaki mereka tergesa memasuki kamar bersalin. Aku bangun dari berjongkok di bawah meja persalinan.

“Hei, kau!” Laki-laki, ayah Ayuk Fatma itu menunjukku tanpa basa basi.

“Iya, Pak?”

“Kau harus menepati permintaan putri aku. Rawat bayi dia sampai besar. Lemah nian kutengok di dalam kotak kaca tu. Cucu-cucu aku yang lain juga butuh ibu. Itu wasiat. Jangan bilang dak mau!”

Aku tercekat dengan tenggorokan yang tiba-tiba kering.

“Ha, kau, Sam! Uruslah administrasi dan bawa balik ke rumah istri kau ini,” titahnya pula pada sang menantu.

Aku dan Bang Sam saling pandang, tidak menjawab apa pun, lalu kuputar tubuh ke wastafel dan membuka sarung tangan yang dari tadi masih kukenakan. Menatap cincin yang calonku berikan dua bulan yang lalu, saat khitbah akhirnya dilakukan setelah proses ta’aruf beberapa kali.

Seharusnya bulan depan kami menikah.

**

Apa yang diinginkan seorang istri selain ridha suami? Tidak ada yang lebih baik dari itu. Banyak ahli ibadah yang tergelincir ke dalam neraka karena ingkar terhadap kebaikan suaminya.

Hal buruk itu yang tidak sekali pun kulihat dari Ayuk Fatma. Bagaimana acapkali ia hanya bercerita tentang kebaikan dan cinta Bang Sam kepadanya.

Satu hal yang terkadang membuatku berdoa di dalam hati, ‘Ya Allah, andai mungkin aku bisa memiliki suami seperti Bang Sam.’

Beberapa kali bertemu saat bertandang ke rumah mereka, ia memang sosok suami yang santun dan penyayang. Ditunjang fisik yang bisa dikatakan tampan khas wajah melayu, alis tebal dengan rahang yang kokoh. Kulitnya bersih dengan rambut hitam bergelombang.

Siapa nyana doaku seperti diaminkan malaikat. Bukan hanya seperti Bang Sam. Tapi justru Ayuk Fatma memintaku menggantikan posisinya.

**

Suasana rumah duka terasa begitu mendung dengan wajah-wajah sendu. Setiap melihat dua putranya yang masih belia, hatiku seperti teriris. Bayi piatu yang nyenyak dalam dekapanku beberapa kali menggerakkan mulutnya seperti mengisap. Ia yang tidak akan pernah merasai susu ibunya.

Air mataku kembali merebak. Sebuah perang sedang berkelindan di dalam kepala. Pergulatan antara egoisme diri dan simpati, juga rasa bersalah.

Setiap mata kami bersitatap, aku dan Bang Sam, masing-masing jadi salah tingkah. Cincin yang masih melingkar di jari terasa menjadi berat.

Kudekati jenazah Ayuk Fatma yang terbujur di ruang tamu sambil menggendong bayi merah, putri yang dinanti-nantikan tapi justru ia tinggalkan.

Tangan kananku menggantung di udara ketika hendak membuka kain penutup kepalanya. ‘Ya Allah, aku tidak akan tega melihat wajahnya lagi.’ Kuputuskan untuk membungkuk saja dan berbicara pelan di samping telinganya.

"Ayuk, maafkan kami. Lihatlah, gadis kecil ayuk, cantik nian. Mirip nian sama ayuk tuu."

Tiba-tiba waktu seakan berhenti bergerak. Semua orang mematung di tempat dan suasana mendadak hening. Kutegakkan badan dengan perasaan gemetar dan heran. Satu, dua, tiga detik.

Aku terlonjak ketika seseorang tiba-tiba menepuk pundakku pelan dari belakang. Sontak kubalikkan badan.

Ayuk Fatma kini ada di hadapanku.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status