Suara pintu diketuk. Menyela dua insan manusia yang kini sama-sama menitikkan sepasang netra indah itu untuk menatap tepat ke arah ambang pintu besar yang masih tertutup rapat. Suara menimpali. Di balik pintu kayu berukir itu seseorang sedang menunggu. Jika ditelisik dengan baik, Alice-lah yang memberi sebuah kabar akan datang beberapa saat yang lalu. Mengunjungi sang adik kandung bukanlah hal yang asing dan aneh lagi untuk semua orang.
Alexa menyahut kala namanya dipanggil dengan nada ringan. Sempurna senyum manis itu mengembang sesaat selepas pintu benar-benar terbuka. Di depan sana wanita bertubuh jenjang berdiri dengan menyilangkan rapi kakinya. Matanya menyapu setiap bagian yang tak asing lagi untuknya. Bukan kali pertama Alice Lansonia datang kemari. Meskipun tak sering, setidaknya sekali dua kali ia pernah datang untuk menjenguk keadaan sang adik.
Alice memang bukan saudara yang baik. Hubungannya dengan Alexa tak pernah membaik seiring berjalannya waktu. Baik Alexa maupun Alice, enggan untuk memperindah suasana yang tercipta kala keduanya bertemu. Ego sama-sama tinggi. Satu darah mengalir di dalam tubuh Alice juga Alexa, jadi tak aneh jikalau beberapa sifat itu sama bahkan identik. Sama-sama gila dan mempunyai ego tinggi misalnya.
Alice berjalan ringan. Menghampiri dua pasang insan yang sejenak saling tatap untuk menyambut kedatangan wanita bersurai ikal yang jatuh tepat di atas punggungnya itu. Wajah Alice memang tak mirip dengan Alexa. Jika boleh dibandingkan, Sherina Alexander Lansonia lah yang paling cantik di sini. Lukis wajah yang dimiliki Alice memang cenderung lebih garang dan tajam lagi. Sepasang mata kucing dengan ujung meruncing naik dan duduk alis hitam berbentuk garis itu seakan menjadi point untuk menegaskan betapa 'garang-nya' pembawaan seorang Alice Lansonia.
"Kau tidak menyambut kakakmu yang datang dengan baik, Alexa?" Alice menyela keheningan. Berhenti tepat di sofa besar tengah ruangan dan melempar tas kecil yang ia bawa tepat memantul di atasnya.
Luis menatapnya. Setiap gerak-gerik Alice tak pernah absen dari tatapan mata elang milik pria bertubuh kekar itu. Jujur saja, sampai detik ini ia masih belum bisa percaya bahwa sang ayah akan menikahi gadis macam ini. Alice memang saudara kandung dari gadis yang ia cintai, namun mencintai Alexa bukan berarti harus mencintai dan menyukai Alice juga. Luis memang tak pernah berbicara dengan Alice dalam perbincangan kesehariannya, namun kalau ditelisik dengan baik ia mampu menyimpulkan bagaimana Alice Lansonia itu.
"Ada Luis juga," ucap Alice tersenyum ringan. Kini wanita itu duduk di sisi sofa. Seakan sudah menjadi kebiasaannya, ia kembali menyilangkan kaki rapi. Alice melipat tangannya. Menatap Alexa yang baru saja membuang napasnya kasar. Tentu, Alice paham akan situasi yang sedang terjadi saat ini. Sang adik tak menyukai kehadirannya.
"Aku akan pergi, Alexa. Ada seseorang yang harus kutemui." Luis menyela keheningan. Sigap ia menarik jas yang ada di atas meja. Mengusap pundak gadis yang berdiri di sisinya sembari tersenyum manis.
Tak ada bantahan dari Alexa, kepergian Luis mendapat perijinan dari wanita yang diam membalas senyum manis yang diberikan Luis untuk dirinya.
"Be careful, my son!" Bukan Alexa, namun suara lirih yang keluar dari celah bibir Alice-lah yang membuat langkah Luis sejenak terhenti. Menatap wanita yang yang melambaikan tangannya untuk memberi salam perpisahan. Luis tak menyukai kehadiran Alice sekarang ini. Bukannya membenci, ia hanya tak suka!
"What do you want?" Alexa akhirnya menyela selepas membiarkan Luis pergi dari dalam ruang kerjanya. Menyisakan dua wanita dengan ego tinggi yang memiliki senyum seringai yang identik. Alice tak lagi berbicara, ia hanya diam sembari mengetuk sisi meja. Memberi isyarat pada Alexa untuk duduk dan menemaninya berbincang sekarang ini.
Sudah cukup lama semenjak Alice pergi ke luar kota untuk mengembangkan sayap bisnisnya. Membangun hotel mewah dengan beberapa properti mahal dan memukau tentu bukan pekerjaan yang mudah untuk semua orang. Alice merasakan itu, meskipun ia tak sekaya sang adik. Jika dibandingkan, saham dan kekayaan milik Alice berada di bawah Alexa. Dalam keluarga Joy Holding's, Alexa-lah yang menguasai banyak hal.
Alexa menurut. Ia tak ingin terlihat pertengkaran di hari baik seperti ini. Sang kakak, benar-benar mengganggu mood-nya sekarang.
"Kau pasti sudah mendengar kabar pernikahannya bukan?" Alice menebak-nebak. Mencoba menelisik masuk ke dalam sepasang netra indah nan memukau itu. Tak banyak yang dikatakan oleh sang adik. Hanya ber-hm ringan dan menganggukkan kepalanya dirasa sudah cukup untuk Sherina Alexander Lansonia memberi jawaban atas apa yang dikatakan oleh sang kakak.
"Aku kemari untuk itu, Alexa." Alice kini merogoh masuk ke dalam tas yang ia bawa. Mengeluarkan satu lembar majalah dengan judul model gaun pengantin dan menyodorkannya pada Alexa. Diam tentunya, Alexa memilih untuk tak banyak bertingkah sekarang ini. Hanya menatap apa yang diberikan oleh sang kakak untuk dirinya. Alexa sudah lama tak bertemu dengan Alice. Kiranya hampir tiga bulan lebih, wanita dengan satu tahi lalat kecil di sisi matanya itu tak pernah terlihat selepas perjalanan bisnis yang diumumkan oleh media.
Alice tak tinggal satu rumah dengan Alexa. Tepatnya, Alexa-lah yang minggat dari beberapa tahun yang lalu. Tepat saat pembangunan rumah mewah dengan Desian modern dan super baru itu selesai. Alexa memilih tinggal sendirian, alih-alih bersama sang ayah kandung dan ibu tirinya. Ia tak terlalu menyukai suasana rumah. Baginya kisah Cinderella dan ibu juga suadara tirinya sudah tak keren lagi, kini waktunya menjadi kisah Cinderella dan bangunan megah yang dibangun oleh jerih payahnya sendiri.
"Pilihkan aku satu gaun yang bagus. Kau pandai memilih, Sister." Wanita itu tersenyum ramah. Sesekali menampilkan rentetan gigi putihnya untuk mencoba akrab dengan suasana sekarang ini.
"Begitu senangnya kau dengan pernikahan ini?" tanya Alexa akhirnya mau berbicara.
Tak diragukan lagi, sikap ambisius Alexa mirip dengan sang kakak. Jika Alexa mampu menyerahkan tubuhnya, maka Alice mampu menyerahkan hidupnya. Jika hanya untuk menikah dan mengambil alih perusahaan besar yang bergerak di bidang makanan kemudian melepaskan dan bercerai, Alice paham betul akan skema itu. Ia pandai bermain dengan jalur seperti itu. Jalur yang lebih terang ketimbang harus tidur bersama untuk bernegosiasi.
"Siapa yang tak bahagia menikah dengan pemilik perusahaan makanan terbesar di tiga negara?" tanya Alice sembari merentangkan tangannya. Wanita ini memang cantik, namun sayang bodoh dalam menerka keadaan.
"Kau pikir mana yang akan menang, Alice?" tutur Alexa menyahut.
"Ular yang memakan buaya, atau buaya yang membuka mulutnya untuk siap melahap?" imbuhnya melirih. Menjawab senyum menyebalkan milik sang kakak, kini Alexa tertawa kecil.
"Jangan merusak suasana, Alexa!" Tegas suara itu menginterupsinya.
"Alice!" teriak Alexa penuh kejengkelan. Ia tak menyangka kalau Alice benar-benar bodoh seperti ini.
"Batalkan pernikahan itu agar kau tak menyesal," ucapnya melirih.
Alice membuang wajahnya. Berdecak ringan sembari menarik satu sisi bibirnya. "Kau mulai peduli padaku sekarang?"
"Aku tak akan pernah menaruh simpati pada anak yang membunuh ibunya sendiri," pungkas Alexa menatap dengan penuh amarah.
... To be Continued ...
Kapal berlayar. Bukan hubungan dua insan yang bisa saling menyatukan dua rasa yang sama tujuannya. Kapal besar itu membawa banyak kesedihan untuk meninggalkan London. Alexa tak bisa mempertahankan apapun lagi. Bangunannya runtuh, dirinya menjadi buronan dengan kedua orang tua yang sudah mendekam di dalam penjara. Wanita itu tak bisa berbuat banyak. Pasrah dan terkesan menyerah, tetapi laju kapal ini menjanjikan sebuah kehidupan yang baru.Wanita itu duduk di sisi kapal. Ia menatap laut lepas dengan ombak sedang yang bergulung di depannya. Matanya masih sayu, kakinya sesekali terasa begitu nyeri sebab ia belum mendapatkan pengobatan yang benar-benar layak. Pertolongan pertama yang dilakukan oleh Zia juga Dokter Lim tak bisa banyak membantunya sekarang. Katanya, yang terpenting peluru sudah keluar dari dalam kakinya. Jadi ia tak perlu mengkhawatirkan apapun sekarang ini.Duduk merenung seorang diri, sebelum akhirnya Harry menghampi
Alexa terus meneteskan air matanya. Ia hanya bisa menatap dengan sayu bangunan besar miliknya yang hancur lebur sebab bom meledak dari atas Puncak Camaraderie. Ia tak menyangka kalau inilah akhir dari kisah hidup Alexa. Wanita itu benar-benar tak bisa melakukan apapun untuk saat ini. Isak tangis yang keluar bukan hanya sebab menahan rasa sakit yang ada di kaki kirinya, tetapi juga rasa sakit selepas kehilangan semua yang ia bangun selama sepuluh tahun terakhir. Semuanya hancur begitu saja, Mate dan Daniel benar-benar bajingan gila yang tak punya hati. Ia hanya adalah dua pria bodoh yang terlalu larut dalam dendam dan emosinya di masa lalu."Alexa ...." Mate berjongkok. Ia menarik rambut pendek wanita yang ada di depannya. Sebuah kepuasan tersendiri saat melihat wajah cantik itu menangis tersedu-sedu. Air mata itu mengisyaratkan kemenangan untuk dirinya. "Kau tahu ... dimana Xena dan Wriston meninggal?" tanyanya berbasa-basi. Alexa tak menjawab itu. Ia hany
"Mr. Luis Ambrosius, Anda ditangkap atas pembunuhan Mr. Joe Franky. Anda berhak diam atau menyewa pengacara." Sial! Seseorang melaporkan dirinya. Kini bukti ada di depan mata, Luis tak bisa mengelak apapun lagi. Seseorang menyimpan bukti ini dengan cara yang aman selama ini, hingga ia lupa bahwa ada orang lain selain dirinya. Luis bukan orang yang memotong jari jemari milik Mr. Joe, ia hanya membunuh pria itu juga membunuh mata-mata yang dikirimkan oleh Alexa lalu menyayat telinganya. Luis membenci anggota tubuh yang mempunyai dosa. Itu sebabnya ia melakukan hal itu. Ia tak bisa berbicara apapun selepas rekaman video amatir menampilkan betapa kejamnya ia membunuh dua orang sekaligus dalam satu malam. Kiranya, orang inilah yang ada di tempat kejadian malam itu. Ia muncul pada akhirnya. "Kau tak ingin berbicara apapun lagi, Mr. Luis?" Seorang detektif mencoba untuk menggali informasi darinya. Membuat pria yang ada di depannya itu berbicara. Luis sedari tadi han
-Laboratorium BioCell, Dokter Lim, London, Inggris-Suasana riuh, kedatangan beberapa polisi yang cukup mengejutkan Dokter Lim tak bisa dibendung lagi. Semuanya menerobos masuk, tak ada satu ruangan pun yang tak dijamah oleh mereka. Seseorang melaporkan laboratorium ini. Bukan sebab penelitian gila yang mencuat ke permukaan, tetapi sebuah laporan yang mengatakan bahwa ruangan ini menyimpan potongan jari jemari milik Mr. Joe dan seorang bocah malang bernama Daniel Denan Ambrosius. Tentu, itu adalah potongan jari manusia yang ilegal. Tak ada perjanjian untuk menempatkan itu di dalam bangunan Dokter Lim. Sekarang pria itu tahu, mengapa Mr. Cristiano datang waktu itu. Pria itu hanya ingin memastikan bahwa jarinya masih ada di dalam laboratorium ini. Ia menunggu waktu yang tepat untuk menghancurkan bangunan ini.Dokter Lim hanya bisa pasrah. Ia tak bisa mengelak dan tak bisa berbicara banyak lagi. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya dengan dua polisi yang menjaga di belakan
"Pemilik gedung Shan Entertainment ditemukan tewas gantung diri di dalam apartemen pribadinya. Sebuah surat ditinggalkan oleh Nona Xena Alodie Shan terkait dengan beban yang sedang ia tanggung saat ini. Kasusnya masih didalami oleh pihak kepolisian, Nona. Tak ada yang bisa memberikan jawaban pasti untuk saat ini. "Alexa memejamkan matanya. Menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan kasar. Ia memberikan kode pada pria yang ada di sisinya untuk segera membuka pintu mobil. Ia akan pergi menjenguk jenazah si kawan lama.Senja yang buruk, dirinya tak habis pikir jikalau semuanya terjadi begitu cepat. Alexa dan Xena bahkan belum bisa kembali bertemu selepas waktu itu. Percakapan mereka terhenti dan komunikasi mulai putus begitu saja. Ia terkejut, meksipun dasarnya Alexa enggan peduli. Ia benar-benar tak peduli dengan apa yang menimpa Xena, tetapi tetap saja. Bunuh diri? Xena bukan orang bodoh yang akan melakukan itu.&n
"Kepercayaan bisa mengubah orang baik menjadi orang jahat?" Tawa ringan muncul dari celah bibir wanita cantik yang baru saja meletakkan pantatnya di atas kursi. Pandangan wajahnya tak pernah luput dari pria berjenggot tipis yang baru saja mengundangnya untuk datang. Ia terkejut, saat sang kekasih membawanya pergi ke tempat pria asing yang sukses membuat Xena Alodie Shan terperangah tak percaya. Baiklah, jika Mate Xavier masih hidup. Xena menonton berita saat pria itu menjebloskan Alexa ke dalam penjara. Ia juga mulai percaya saat media menyebut dirinya sebagai si jaksa mata satu yang kompeten. Kiranya, mata itulah yang melambangkan bahwa pria ini benar-benar Mate Xavier yang datang dari masa lalu."Lagian, kau benar-benar Daniel Denan Ambrosius?" tanyanya lagi. Kali ini bukan hanya pria bertubuh kekar yang duduk di sisi meja yang mendapatkan perhatian Xena, tetapi juga sang kekasih. Alexa benar, pria ini dikendalikan oleh seseorang. Wriston tak benar-benar