Share

bab 06 <> Sosok misterius

Sejenak Agam tertegun dengan senyum tipis penuh harap, ia sangat yakin jika Inara pasti akan lebih memilih dirinya daripada Kiev yang hanyalah seorang karyawan biasa. Cinta masa lalu mereka yang pernah terjalin begitu indah, Sedikit membuatnya lupa akan kemarahan yang telah melanda hatinya. Pria itu berdiri dengan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, bersiap mendekap mesra tubuh wanita yang kini sedang berlari ke arahnya.

Namun, semua itu ternyata hanyalah harapan belaka, karena pada detik berikutnya Inara berlari melewati Agam dan menembus kerumunan anak buahnya. Dengan segenap jiwa serta kebesaran kekuatan cinta, ia memeluk tubuh Kiev yang telah bersimbah darah. Inara menyatakan bahwa cintanya terhadap pria itu jauh lebih besar daripada terhadap Agam yang merupakan cinta pertamanya.

"B-benarkah, yang aku dengar ini? K-kau tidak akan meninggalkanku?" Kiev bertanya dengan suara sedikit mengerang menahan rasa sakit.

Senyum kebahagiaan terulas di bibirnya yang dipenuhi darah, rasa takut akan kehilangan Inara yang selama ini melanda hatinya tiba-tiba sirna dalam sekejap. Dengan suara parau Kiev berbisik di telinga kekasihnya, sejenak membuat Inara tertegun kemudian mengangguk menyetujui. Meskipun ia tidak mengerti, mengapa Kiev melarangnya untuk tidak mengakui ingatannya yang kini telah kembali.

Di tengah sepasang kekasih itu sedang berpeluk mesra, Agam yang saat ini berada pada titik kemurkaan paling tinggi segera menarik tubuh Inara dan membawanya pergi menjauh dari Kiev. Pria itu tidak terima dirinya diabaikan. Di tengah cengkraman Agam, Inara masih berusaha menggapai tubuh Kiev, meskipun pada akhirnya ia harus rela meninggalkan pria itu ditengah kerumunan anak buah Agam yang terus menghajarnya. Tak tega melihat kekasihnya diperlakukan sekeji itu, perlahan Inara merasakan segerombolan kunang-kunang terbang seraya berputar mengelilingi kepalanya kemudian tubuhnya lunglai di samping Agam.

"Sampai matipun aku tidak akan pernah melupakan semua perbuatanmu, Agam! Sungguh kau makhluk yang tidak berperikemanusiaan! Suatu saat nanti kau akan menuai hasilnya!" Inara bersumpah dalam keadaan setengah sadar, ia memaki Agam dengan emosi yang menyesakkan dadanya.

Namun, pria itu sama sekali tidak menghiraukannya, rasa puas dalam hatinya seolah mengubah kalimat makian Inara menjadi sebuah pujian baginya. Sebelah tangannya mulai memutar kunci mobil, menimbulkan deru mobil yang siap melaju. Inara membuang pandangannya ke arah luar jendela mobil, memandangi dahan-dahan pohon yang kering dalam kegelapan, suara kerikil yang terlindas ban mobil seakan mematahkan hati Inara.

Angin malam berhembus semakin kencang, membelai tubuh yang telah berlumuran darah. Terkapar begitu saja di atas tanah yang telah basah oleh darah yang terus mengalir dari tubuh Kiev. Tubuh itu tampak begitu lemas ketika sepasang tangan mengangkat dan membawanya9 pergi.

"Aku harus menyelamatkannya, walau bagaimana pun dia akan berguna untukku suatu saat nanti." Senyum penuh kelicikan terbit di bibir pria setengah baya itu.

Garis-garis keriput di wajahnya seakan mewakili usianya, yang tak lagi muda. Dalam gelapnya malam, pria itu membaringkan tubuh Kiev dalam sebuah mobil yang terparkir di kegelapan. Sesaat kemudian ia kembali lagi dengan menjinjing sebuah drum berukuran besar dan mulai menuangkan minyak tanah membentuk sebuah lingkaran besar. Di tengah lingkaran itu diletakkan seekor anjing yang telah mati, pria itu membakarnya hingga habis tak bersisa.

Pada saat yang sama, tetapi dalam tempat yang berbeda. Seorang pria berkaca mata sedang berjalan mondar-mandir di ruang tamu, sesekali ia melihat ke arah luar jendela berharap putranya akan segera datang. Raut kecemasan tersirat diwajahnya, akan bayangan peristiwa (dua puluho{ lima tahun yang lalu.

"Minumlah dulu, Tuan. Nyonya!" Bi Yum meletakkan dua cangkir kopi susu di atas meja dengan sangat hati-hati dan kepala tertunduk. Ia begitu menghormati majikannya.

"Sejak kapan putraku pergi, Bi? Ada urusan apa hingga selarut ini belum pulang," sahut Tuan Zerga seraya menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Berkali-kali ia menghela napas seakan sesak tidak berkesudahan sebelum memastikan keadaan putranya.

Tuan Zerga sangat memanjakan Agam sejak kecil, apapun yang diinginkannya selalu di penuhi. Kasih sayangnya begitu besar, hingga membuat Agam tumbuh sebagai seseorang yang arogan. Tuan Zerga tidak memperdulikan tanggapan orang lain, yang terpenting baginya adalah membahagiakan putra satu-satunya, meskipun pada hakekatnya ia bukanlah putra semata wayangnya.

Seorang wanita yang masih terlihat cantik dalam usianya yang tak lagi muda, begitu setia mendampinginya. Nyonya Anny, istri keduanya tersenyum seraya meletakkan kepalanya di pundak Tuan Zerga, berharap suaminya itu akan segera tenang. Dulu, mereka menikah atas permintaan dari Nyonya Wilona, istri pertama tuan Zerga sebelum meninggal, karena pendarahan pasca melahirkan. Wanita itu tidak segan-segan bermanja-manja di depan asistennya, hingga membuat Bi Yum merasa malu sendiri.

"Pa, putra kita telah dewasa, istrinya pun sudah banyak, jadi janganlah terlalu khawatir." Suara lembut nyonya Anny berusaha membujuk suaminya, "mari kita istirahat."

Tuan Zerga menatap secangkir kopi di depannya, dengan sebelah tangannya ia meraih cangkir kopi itu kemudian menyesapnya. Rasa hangat dari kopi itu sedikit meredakan penatnya setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Baru saja ia tiba dari Jepang setelah tujuh tahun lamanya meninggalkan kota bandung.

Atas bujuk rayu dari nyonya Anny, Tuan Zerga akhirnya terpaksa meninggalkan ruangan itu, walau dengan berat hati. Ia melangkah dengan langkah gontai seraya pandangannya yang selalu mengarah pada jendela, berharap putranya akan segera datang. Beberapa langkah ia berjalan, suara deru mobil berhenti dihalaman mansion.

"Pa … Ma …!" Agam berjalan ke arah kedua orangtuanya. Sontak mendapat tatapan tajam karena ia datang dengan seorang wanita dan mereka masih dalam keadaan memakai baju pengantin.

Tuan Zerga yang sebelumnya tersenyum lega, kini mendadak heran menatap pada Inara yang berjalan dengan kedua mata yang telah membengkak, serta gaun pengantin yang kotor penuh lumpur. Tak hanya dirinya, nyonya Anny pun merasakan hal yang sama. Ia tidak habis pikir dengan kehidupan putranya sendiri yang sangat berminat mengoleksi wanita.

Inara meringis menahan sakit pada keningnya, sebelah tangannya menutupi dahinya berusaha menyembunyikannya dari pandangan kedua mertuanya. Dengan sangat sopan Inara menyalami kedua orang tua itu, setelah sebelumnya mendapatkan peringatan dari Agam ketika mereka baru saja sampai dan melihat mobil kedua orang tuanya. Saat itu Inara yang masih dalam keadaan pingsan, dipercikkan segenggam air agar cepat tersadar. Kecantikan dan kesopanan Inara sontak memenangkan hati kedua orang tua Agam, mereka terlihat begitu senang mendapatkan menantu ketujuh yang baik.

Derap langkah seseorang terdengar semakin mendekat ke arah mereka, tak lama kemudian menampilkan sosok wanita cantik, tetapi terkesan sombong dan penuh dendam.

Sontak pandangan Inara tertuju pada wanita itu yang saat ini sedang menuruni anak tangga, dengan pandangan penuh kebencian wanita itu membalas tatapan matanya pula. Manik mata wanita itu menyipit memandang intens pada Inara, seolah mengintimidasi.

Inara menggenggam erat tangannya, urat-urat halus mulai menonjol dari kedua tangan mulusnya. Kepalan tangan yang sangat kuat, siap melayang ke arah kepala wanita itu. Namun, Inara berusaha agar tetap terlihat tenang dan elegan. Ia tidak ingin kemarahan menghancurkan tujuannya.

Dengan menahan rasa marah sekaligus kecewa Inara membatin, 'Cukup! selama ini aku menderita karenamu, mulai sekarang, secara perlahan aku akan membuka kedokmu!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status