LOGIN"Pernikahan berdasarkan kepentingan," ucap Marco.
Aku mengernyit heran. Seorang Kolonel, putra terakhir Keluarga Klaus, bangsawan kelas atas, secara tiba-tiba mengajakku menikah. "Kepentingan apa?" tanyaku, tak ingin berasumsi. Marco terdiam cukup lama, kemudian ia berkata, "Kematian Julian penuh dengan kejanggalan. Kamu pasti tahu apa yang terjadi padanya, 'kan?" "Tuan Julian mengalami kelumpuhan, sampai akhirnya meninggal. Aku sendiri tidak tahu persis apa penyebab beliau sakit." Aku memberitahu apa yang aku ketahui. Marco menghela napas berat. "Gisela, apakah kamu membenci Lukas?" tanyanya, memandangku lekat. Aku tersenyum tipis. Tentu saja aku membenci pria yang menyakitiku. Kenapa Marco masih bertanya? "Bagaimana jika kita menikah? Aku bisa membantumu membalas Lukas," tawar Marco, terlihat serius. "Lantas, apa yang kamu minta dariku?" tanyaku. Di dunia ini tidak ada yang gratis. Sambil tersenyum miring, Marco menjawab, "Sebagai gantinya, kamu harus membantuku mengungkap kematian Julian." Marco meminta bantuanku? Kenapa? Bukankah ia memiliki kuasa? "Pernikahan kita akan mempermudahmu membalas Lukas," ucap Marco, sepertinya ia berusaha meyakinkanku. "Tapi...." "Apa yang kamu inginkan? Harta? Uang? Perhiasan mewah? Akan aku berikan," imbuhnya, sambil menatapku dalam, seolah memaksaku menerima ajakannya. "Tuan Marco, hari ini aku sangat lelah. Biarkan aku istirahat dulu," pintaku, agak mengantuk. Terlebih, otakku buntu, tak mampu berpikir dengan jernih. Semua terlalu mengejutkanku. Mentalku tidak kuat. "Tolong beri aku jawaban," paksa Marco, tak membiarkanku masuk ke dalam rumah. Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Dengan wajah lusuh, aku menatap Marco. "Aku ingin menjadi Duchess of Elysium," tandasku, tanpa ragu. "Tuan bisa memenuhi keinginanku?" tantangku. "Jika aku melengserkan Lukas, gelar itu untukmu," balas Marco, mantap. Seketika kedua pundakku merosot. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa Marco menyetujui permintaanku begitu saja. "Hubunganmu dengan Lukas pasti tak baik-baik saja," sindirku. "Memang begitu kenyatannya. Lukas adalah anak haram. Dia tidak pantas menggantikan Julian," terang Marco. Kedua mataku melotot, bibirku terbuka lebar. Apakah aku salah dengar? Lukas... Dia anak haram? "Ayahku menutupinya setelah menikahi Ibu Emilia," tambah Marco. "Aku sudah memberitahumu rahasia keluargaku. Apakah itu kurang?" Aku menarik paksa kedua tanganku yang masih digenggam erat oleh Marco. "Aku akan memikirkannya," kataku, tak mau buru-buru mengambil keputusan. Saat aku berbalik, dan hendak melangkah, tiba-tiba Marco memelukku dari belakang. Sangking terkejutnya, tubuhku sampai mematung. "Gisela, aku tak mengizinkanmu memikirkan, dan menolakku," bisik Marco, tepat di telingaku. Marco pasti sudah gila! "Tuan... Tolong jangan seperti ini." Aku berusaha melepaskan diri. Tapi Marco malah membalik tubuhku. Mau tak mau, kami saling berhadapan dalam posisi intim. Sekujur tubuhku merinding saat Marco membelai untaian rambutku. Meski Marco sangat tampan, tapi kelakuannya yang agresif, membuatku takut. "Aku tidak menerima penolakan." Dia menegaskan. "Tuan... Kamu beneran mau melengserkan Lukas?" tanyaku memastikan sekali lagi. "Ya," jawab Marco, cepat. Tak habis pikir, dan tak ingin aku percaya. Tapi... Melihat mata Marco yang sama sekali tak goyah, aku merasa kalau aku harus percaya padanya. "Besok hari pernikahan Lukas dan Clara. Datanglah untuk memberiku jawaban. Sopirku akan menjemputmu," pungkas Marco, menjauhkan tubuhnya dariku. Fiuh... Aku bisa bernapas lega. Aku melihat Marco berjalan menuju mobil. Ia sempat melambaikan tangan padaku sebagai tanda perpisahan, sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi. "Auh...." keluhku merasakan nyeri pada kepalaku. Aku menyentuh kepalaku, sambil berusaha mengatur napasku. Hari ini terasa begitu berat. Mengetahui sifat asli Lukas, dan diajak menikah oleh Marco. Sebaiknya aku harus segera tidur. *** Keesokan harinya. Pintu yang digedor-gedor, membuatku terbangun dari tidurku. Aku yang masih mengumpulkan nyawa, terpaksa melangkah menuju pintu. Aku ingin tahu, siapa orang yang mengganggu waktuku. Begitu pintu terbuka, tiga pelayan menyambutku dengan ramah. Mereka memperkenalkan diri, dan memberitahu bahwa Marco yang memerintah mereka secara langsung untuk mendandaniku. Ah... Aku teringat. Kemarin Marco ingin aku datang ke pernikhan Lukas dan Clara. Aku pun mempersilakan mereka bertiga masuk. Beberapa jam berlalu, akhirnya aku selesai didandani. Aku diantar ke tempat pesta. Berhubung selama perjalanan aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri, aku tak sadar jika telah sampai di tempat tujuan. Kedatanganku disambut hangat oleh Marco yang ternyata telah menungguku. "Kamu terlihat mempesona," puji Marco, meraih jemariku, memintaku mengikutinya. "Kita mau ke mana?" tanyaku, meliriknya. "Aku tidak mau mengganggu pernikahan keluarga kerajaan," ungkapku, sebelum kemungkinan terburuk menimpaku. "Kita tidak datang untuk mengganggu pernikahan pewaris palsu." Jawaban Marco membuatku lega. Aku tak perlu berinteraksi secara langsung dengan Lukas. Aku belum siap bertemu dengannya, nanti kalau aku lepas kendali terus meludahinya, aku bisa masuk penjara. Rupanya, Marco membawaku ke paviliun yang berada di lantai tiga istana. Dari tempat tinggi ini, aku bisa menyaksikan upacara pernikahan Lukas dan Clara, yang diselenggarakan di taman megah istana. Konsep pernikahan mereka cukup menarik. "Tuan tidak menemani Lukas?" tanyaku, memecah keheningan yang melanda di antara kami. "Untuk apa aku menemaninya?" balas Marco. Ia menggenggam jemariku yang terbalut sarung tangan beludru berwarna merah. "Aku lebih suka di sini bersamamu," imbuhnya menggodaku. Gombalan murahan Marco tak akan membuatku tersentuh, apalagi sampai terlena. Aku tersentak, tiba-tiba Marco merangkul pinggangku tanpa permisi. Aku mencoba melepaskan pelukan Marco, namun sepertinya ia enggan melepaskanku. Aku memundurkan tubuhku sendiri, berharap Marco melepas pelukannya secara cuma-cuma. Akan tetapi, kami berdua malah terhuyung ke belakang, dan terjatuh. "Akh!" Aku terduduk di pangkuan Marco. Aku buru-buru berdiri, tapi Marco menahanku. Alhasil, aku memilih pasrah. Marco menarik daguku, tanpa aba-aba ia mencium bibirku. Apa? Tubuhku seketika membeku. Tak hanya mencium, Marco juga melumat bibirku. Mempermainkannya layaknya permen empuk. Aku berusaha mendorong pundak Marco saat lelaki itu mulai mengelus pahaku. Namun usahaku tak membuahkan hasil, malahan ciuman Marco makin dalam. Alhasil, daripada aku lelah sendiri, lebih baik aku menikmatinya. Marco melepas ciuman kami. Mungkin ia sudah kehabisan napas. Dengan napas memburu, aku menatapnya lekat. Begitupun sebaliknya, Marco tersenyum tipis, matanya menyorotiku dengan seksama. "Gisela, beri aku jawaban." Marco menagihku. Aku menggit bibir bawahku. "Tuan Marco, Kamu ingin aku membantumu mengungkap kematian Tuan Julian, 'kan?" Marco tersenyum miring. "Bukankah kita juga memiliki tujuan yang sama?" godanya, menepuk pinggangku, lalu mengelusnya pelan. Aku menyingkirkan tangan Marco yang jahil, lalu berkata, "Memang benar, aku ingin Lukas lengser. Tapi, aku juga menginginkan gelar Duchess." Dengan cepat Marco menyanggupi. Tapi ia tetap menegaskan bahwa kami harus menikah. "Bagaimana mungkin kamu menjadi Dichess, jika tidak menjadi istri Duke?" tuturnya, seperti berusaha meyakinkanku. Lukas pernah menjanjikanku posisi itu, tapi dia tidak pernah mengatakan akan menikahiku. Marco berbeda, dia ingin aku menjadi istrinya, meski aku bukan bangsawan. Haruskah... Aku percaya padanya? Tapi, bagaimana jika Marco mengkhianatiku? Aku menggelengkan kepalaku saat mencoba menghilangkan pikiran yang membuatku takut. Aku harus mengambil keputusan. "Tuan Marco... Aku bersedia menikah denganmu." Bersambung...Sembari memasang ekspresi gelisah, Nyonya Emilia Mondar-mandir tak tentu arah di hadapan Clara. Kelakuannya membuat Clara bingung sekaligus bertanya-tanya. "Ibu... Berhentilah bergerak," pinta Clara, yang lama-lama pusing mengikuti ke mana arah ibu mertuanya melangkah. Dengan gusar, Nyonya Emilia duduk di sofa yang berada di seberang Clara. "Ibu kenapa? Semenjak pulang dari rumah sakit, ibu terlihat tidak tenang. Apa yang sebenarnya terjadi pada Gisela? Apakah lukanya sangat parah? Kenapa dia tak kunjung pulang?" cecar Clara, mengeluarkan semua pertanyaan yang selama ini ia tahan. "Apakah Lukas tidak memberitahumu soal keadaan Gisela?" Bukannya menjawab, Nyonya Emilia justru balik bertanya. Clara mengerucutkan bibirnya. "Lukas sudah memberitahuku. Tapi... Kenapa Ibu terlihat tidak tenang? Bahkan Ibu kehilangan nafsu makan Ibu... Apakah Ibu mengkhawatirkan Gisela?" Dengan cepat Nyonya Emilia menyangkal jika dirinya mengkhawatirkan Gisela. Ia justru senang karena orang yang pa
Cahaya putih redup menyelinap dari sela-sela tirai, menari lembut di langit-langit ruangan. Perlahan, Gisela membuka kedua matanya. Dunia di sekitarnya tampak kabur, seperti dilihat dari balik kaca buram. Ia mengerjap pelan, mencoba menangkap bentuk-bentuk di sekelilingnya, tetapi hanya siluet-siluet samar yang menjawab tatapannya. Tubuh Gisela terasa berat, seolah seluruh sendi memutuskan untuk tak bekerja sama. Ketika ia mencoba mengangkat tangannya, hanya sedikit getaran lemah yang muncul. Sakit di kepala datang bagai gelombang, tajam dan menyambar dari pelipis ke belakang kepala. Gisela meringis, napasnya tercekat. "Aku.... Masih hidup?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar. Langit-langit putih, aroma antiseptik, suara pelan mesin monitor, semuanya perlahan masuk dalam kesadarannya. Gisela tidak tahu di mana ia berada. Yang ia tahu hanyalah satu hal, ini bukan kamarnya. Bukan rumahnya. Dan ia tidak sendirian. Dari sudut pandang terbatas, Gisela bisa melihat seseorang du
3 tahun lalu. Udara berbau asap dan darah memenuhi jalanan Kadipaten Elysium bagian barat. Bangunan-bangunan hancur, jeritan dan tangisan memenuhi telinga. Kerusuhan yang dahsyat tengah melanda wilayah ini, menghancurkan kehidupan warga sipil yang tak berdosa. Gisela, seorang relawan sekaligus pelajar kedokteran, menginjakkan kaki di Elysium untuk pertama kalinya. Ia mengenakan seragam yang sederhana. Wajahnya penuh keprihatinan. Gisela tak sendirian, ia datang bersama para seniornya untuk membantu para korban. Di tengah hiruk pikuk evakuasi dan pertolongan pertama, tiga tentara masuk ke dalam tenda medis. Dengan posisi, dua tentara membopong satu tentara yang terluka parah. "Lekas selamatkan Tuan Marco!" perintah tentara lain, mendesak agar orang yang ia bawa diutamakan. Melihat kondisi Marco yang tubuhnya dipenuhi luka, Gisela bergegas mendekati pria muda itu. Dengan perlahan, Gisela membuka seragam yang dikenakan Marco, lalu mulai mengobati luka yang terpajang di tubuh s
"Kamu pasti bingung, kok aku bisa tahu?" ledek Nela. "Itu karena... Aku masih menjalin hubungan romantis dengan Marco, suamimu," bisiknya, sembari memajang ekspresi mengejek. Seketika tubuhku menegang. Rasanya seperti deja vu. Mungkinkah, Marco sama saja dengan Lukas? Hanya ingin memanfaatkanku, lalu menghempasku layaknya debu. "Lady Nela sangat cocok bersanding dengan Tuan Marco. Kenapa kalian berpisah?" Aku menoleh ke seseorang yang berkomentar. "Kamu lebih pantas menjadi pendamping Tuan Marco," timpal lainnya. Karena terlalu tekun memikirkan pernyataan Nela, serta ocehan-ocehan wanita di sekeliling kami yang mendukung Nela, kepalaku jadi sakit. Sambil menyentuh dahi, aku berlalu menuju kamar mandi untuk menenangkan diri. Setelah berhasil menghilangkan kegelisahanku yang bergelora, aku memantapkan langkahku kembali ke pesta, berharap bisa menanggapi kejutan-kejutan dari Nela dan Clara dengan baik. Namun, langkahku terhenti di ambang pintu raksasa saat kedua mataku melihat M
Jantungku berdebar kencang karena adrenalin yang memacu. Di tengah keberanianku yang kini menjadi pusat perhatian, aku bisa merasakan hawa menghakimi dari para bangsawan yang berbisik, membicarakanku. Tapi yang membuatku sedikit merinding adalah tatapan dingin, tajam, dan penuh kebencian dari Yang Mulia Duke Lukas. Ia berdiri tepat di depanku. Sosoknya yang gagah dan berwibawa seakan memancarkan aura ancaman. Tatapan Lukas begitu menusuk, seolah-olah aku adalah hama yang harus segera dibasmi. Lukas melirik ibunya, Nyonya Emilia, ia memberi isyarat halus padanya agar mengusirku dari pesta. Tanpa membuat Lukas menunggu, Nyonya Emilia dengan anggunnya mendekatku. Begitu sampai di dekatku, tangannya terulur untuk menarikku. Namun, sebelum tangannya menyentuh lenganku, sebuah tangan lain lebih dulu mencegat. Tangan ramping milik Clara, menantu kesayangan Nyonya Emilia, yang entah sejak kapan ia ada di sampingku. "Ibu, serahkan tamu undangku, kepadaku," pinta Clara, bersuara lembut.
Pupil mata Nyonya Emilia sempat mengecil, sebelum kembali normal. Wanita tua di hadapku jelas-jelas sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. "Ibu... Tidak melihat Angelia, ya?" tanyaku, sekali lagi. "Angelia sudah aku usir. Dia tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya lagi," jelas Nyonya Emilia, setelah menarik napas dalam. Tunggu, maksudnya diusir itu apa? Dibunuh kah? "Jadi, Ibu telah menegurnya? Baguslah, sudah tidak ada orang yang berbicara sembarangan mengenaimu lagi, Ibu," timpalku, bersyukur. "Cih, setelah kejadian ini, kamu pikir kita dekat? Tentu tidak. Aku tetap tidak menyukaimu," tegas Nyonya Emilia, masih jijik denganku. Aku hanya diam, sambil menundukkan kepalaku. Tidak ada kalimat yang tepat untuk aku keluarkan saat ini. "Aku akan mengawasimu mulai detik ini. Apabila tersebar rumor tak mengenakkan mengenai diriku, orang pertama yang aku curigai adalah dirimu. Dan aku tidak akan segan-segan menghukummu." Nyonya Emilia mengancamku. "Ibu... Aku tidak akan pe







