“You know, pernikahan demi kepentingan tidak lah buruk,” ucap Marco.
Alasan Marco membuat Gisela tercengang bercampur heran. Seorang Kolonel, putra terakhir Keluarga Klaus, bangsawan kelas atas, secara tiba-tiba mengajak Gisela menikah hanya untuk mengetahui, apa yang terjadi dengan kakak pertamanya. Padahal, sebagai orang yang memiliki kuasa, Marco bisa mencari tahu sendiri, tanpa bantuan Gisela.
Gisela mencoba mencairkan suasana dengan tertawa kaku. “Ya ampun, Tuan Marco lucu sekali,” ucapnya. “Menikah tanpa cinta akan membuat kita menderita,” tutur Gisela, mengungapkan sedikit pemikirannya akan hal itu.
“Cinta bisa datang kapan saja,” sahut Marco, menganggap candaan Gisela sebagai sesuatu yang serius.
Gisela memutar kedua bola matanya, ia tak memiliki kata untuk membalas Marco, ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, namun tindakannya langsung dihentikan oleh Marco. Sepertinya, Marco tak mengizinkan Gisela untuk beranjak darinya.
Mereka berdua berakhir dengan saling melempar pandangan satu sama lain, cukup lama, hingga pada akhirnya Marco bersuara. Marco membeberkan bahwa kematian Tuan Julian tak masuk akal menurutnya, terlebih, sikap Nyonya Emilia dan Lukas yang bungkam, seolah-olah menutupi sesuatu darinya. Ditambah, diangkatnya Lukas menjadi Duke, belum lama setelah kematian Tuan Julian, makin membuat Marco bingung, dan curiga.
Mendengar keluh kesah Maro, Gisela menghembuskan napas panjang. Sejujurnya ia sudah terlalu lelah hari ini. Gisela hanya ingin melepas penat dengan rebahan di kasurnya yang mungil nan empuk, bukan malah dijadikan teman curhat oleh Marco.
“Tuan Marco, aku baru saja dihempas oleh lelaki yang aku cintai. Ayolah... Biarkan aku masuk ke dalam rumahku, dan beristirahat,” mohon Gisela, agak ngedumel.
“Aku tidak akan membiarkanmu masuk, sebelum kamu mengatakan semua yang kamu ketahui soal kematian kakakku.” Marco memaksa dengan semakin mengeratkan cengkeramannya pada pergelangan tangan Gisela.
Gisela mendengus, “Jika aku memberitahumu, apa imbalan yang aku dapat?” Ia sangat frustrasi dengan sikap Marco yang seenaknya.
“Apa pun yang kamu mau? Harta? Uang? Istana mewah? Aku bisa memberikan semua yang aku miliki, jika kamu menginginkannya,” ujar Marco, tanpa ragu sedikit pun.
Dengan penuh percaya diri, Gisela menjawab, “Baik, aku menginginkan gelar Duchess of Elysium. Kamu bisa memberikannya padaku?” Tentu saja Gisela hanya menggertak. Mana mungkin Marco mau menuruti keinginannya yang tidak masuk akal.
“Kamu ingin menjadi Duchess? Aku bisa memberikannya padamu. Tapi kamu harus bersabar. Aku perlu melengserkan Lukas terlebih dahulu,” tutur Marco, setelah beberapa menit termenung.
Seketika kedua pundak Gisela merosot. Gisela tak habis pikir, bagaimana bisa Marco menyetujui permintaannya. Apakah Marco tidak sadar dengan apa yang ia katakan?
“Tuan, aku hanya bercanda.” Gisela buru-buru meluruskan. “Mustahil, wanita dari kalangan bawah sepertiku menjadi Duchess.”
“Apabila kita menikah, status sosialmu akan berubah,” ujar Marco.
“Menyinggung pernikahan lagi?” gumam Gisela, menggelengkan kepala pelan.
Gisela mencoba menarik lengannya, dan kali ini berhasil terlepas. Gisela sedikit bergidik saat Marco memandangnya lekat. Ekspresi yang ditampilkan Marco seperti binatang buas yang hendak menerkam mangsanya, menyeramkan.
Namun Gisela tak mau ambil pusing. Ia berbalik, membelakangi Marco, lalu melangkah menuju pintu kayu di depannya. Akan tetapi, langkahnya ditahan oleh Marco. Bahkan kali ini laki-laki itu berani memeluk tubuh Gisela dari belakang. Kelakuannya membuat Gisela merinding.
“Gisela, menikahlah denganku,” pinta Marco, tepat di telinga Gisela.
Tak memungkiri, Gisela bisa merasakan kenyamanan ketika berada dalam pelukan hangat Marco.
“Tuan... Tolong jangan seperti ini.” Gisela tak ingin terlena.
Marco membalik tubuh Gisela hingga menghadap dirinya. Dengan lembut, Marco membelai untaian ramut Gisela yang menutupi telinga si gadis. Untuk sesaat Gisela terdiam, ia terpanah dengan wajah tampan Marco ketika mengeluarkan senyum tipis.
“Perlakuan kasar Lukas pasti membuat hatimu terluka,” tutur Marco. “Aku akan membantumu membalas Lukas.”
Gisela bingung, haruskah ia percaya dengan Marco? Mengingat bahwa baru kali ini mereka mengobrol panjang.
“Kamu ingin membantuku menghancurkan kakakmu?” kekeh Gisela, tergelitik. “Dengan cara apa? Menikah?” Gisela tak kuasa untuk tak mencibir Marco.
“Ya,” jawab Marco, cepat.
Tak habis pikir. Awalnya Gisela tertawa namun ia tersentak begitu melihat mata Marco yang sama sekali tak goyah, menandakan jika Marco tidak main-main dengan ucapannya.
Gisela menahan dada bidang Marco agar tak makin menghimpitnya. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, berharap tak ada orang lain yang melihat mereka dalam posisi intim seperti ini. Sangat tidak elok, mengingat keduanya bukanlah sepasang suami istri.
“Tuan... Malam semakin larut. Aku tidak bisa menahan rasa kantukku,” keluh Gisela, mengalihkan pembicaraan. “Kita bisa mengobrol di esok hari,” kilahnya.
Gisela merasa lega ketika Marco tak menghimpitnya lagi, melainkan menyentuh dagu Gisela dengan jari telunjuknya.
“Besok hari pernikahan Lukas dan Lady Clara. Datanglah untuk memberiku jawaban. Sopirku akan menjemputmu,” pungkas Marco, tersenyum tipis.
Belum sempat Gisela menyahuti, Marco berlalu menuju mobil. Ia sempat melambaikan tangan pada Gisela, sebagai tanda perpisahan, sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi.
Gisela menyentuh kepalanya yang berdenyut sakit. Ada beberapa hal mengejutkan yang terjadi hari ini, dan terasa begitu berat bagi Gisela. Yang pertama, Lukas membuangnya dan memilih menikahi Clara. Dan yang kedua, tak ada angin, tak ada hujan, Marco mengajaknya menikah dengan alasan yang membingungkan.
Tanpa sadar, Gisela membuang napas kasar. Daripada ia makin pusing karena terlalu banyak berpikir, lebih baik ia pergi tidur.
***
Keesokan harinya, Gisela terbangun dari tidurnya karena mendengar suara pintu rumahnya digedor-gedor cukup keras. Gisela yang masih mengumpulkan nyawa, terpaksa melangkah menuju pintu, guna memeriksa siapa yang telah berbuat gaduh di kediamannya.
Begitu pintu terbuka, tiga pelayan menyambut Gisela dengan ramah. Mereka memperkenalkan diri, dan memberitahu bahwa Marco yang memerintah mereka secara langsung untuk mendandani Gisela.
Gisela yang bingung, tetap mempersilakan mereka bertiga masuk. Sebagai tuan rumah yang baik, ia juga menghidangkan beberapa camilan, dan minuman untuk ketiga pelayan, dan beberapa bawahan Marco yang ikut datang.
Setelah Gisela membersihkan tubuh, dan didandani secantik mungkin, ia segera diantar ke tempat di mana Lukas menikah.
Gisela menghirup napas panjang, lalu menghembuskannya secara kasar. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Gisela sangat malas melihat Lukas semenjak ia dicampakkan begitu saja, apalagi sampai harus menjadi salah satu saksi dari pernikahannya bersama wanita lain.
Tidak bohong, Gisela memang sakit hati diperlakukan layaknya sampah oleh Lukas. Namun, rasa kesalnya pada sang mantan kekasih, kini jauh lebih dominan. Seakan bisa mengubah kesedihan menjadi amarah yang memuncak.
Berhubung selama perjalanan Gisela terlalu fokus pada pikiranya sendiri, ia sampai tak sadar jika telah sampai di tempat tujuan.
Kedatangan Gisela disambut hangat oleh Marco yang ternyata telah menunggunya.
“Kamu terlihat mempesona,” puji Marco, meraih jemari Gisela agar mau mengikutinya.
Gisela merasa bersyukur, sebab, Marco tak mengajaknya bertemu dengan Lukas. Pemuda gagah itu justru membawa Gisela ke paviliun yang berada di lantai tiga istana. Dari tempat tinggi ini, keduanya masih bisa menyaksikan upacara pernikahan Lukas dan Clara.
“Tuan tidak menemani Lukas?” tanya Gisela, memecah keheningan yang melanda.
“Untuk apa aku menemaninya?” balas Marco, menggenggam jemari Gisela yang terbalut sarung tangan beludru. “Aku lebih suka di sini bersamamu,” gombalnya.
Kendati Marco menghujani Gisela dengan kata-kata manis, Gisela sama sekali tak terharu, atau tergoda. Gisela justru merasa aneh dengan sikap manis Marco.
Gisela kembali fokus memperhatikan Lukas dan Clara. Matanya terasa perih saat menyaksikan Lukas mencium bibir Clara dengan lembut. Gisela yang merasakan sesak pada dadanya, memejamkan kedua mata sambil menggigit bibir bawahnya. Perasaannya jadi campur aduk.
Gisela tersentak saat Marco merangkul pinggangnya tanpa permisi. Gisela yang panik, justru membuatnya kehilangan keseimbangan, dan akhirnya terjatuh di atas Marco yang otomatis ikut terjatuh. Untungnya mereka terjatuh di atas sofa empuk. Keduanya pun terduduk dengan posisi Gisela berada di pangkuan Marco.
“Maaf, Tuan. Aku terkejut.” Gisela buru-buru berdiri, namun Marco menahan. Alhasil, Gisela tetap berada di dekapan Marco.
Tanpa aba-aba, Marco mencium bibir Gisela. Tak hanya mencium, lelaki itu juga melumat bibir Gisela, memperlakukan bibir itu layaknya permen empuk. Tindakan tiba-tiba marco membuat Gisela gelagapan. Ia berusaha mendorong pundak Marco untuk menghentikan aksi sang Kolonel, akan tetapi usaha Gisela tak membuahkan hasil, sia-sia, tubuh Marco bergeming, seperti batu.
Pada akhirnya, daripada menguras banyak energi, Gisela lebih memilih untuk pasrah dan menikmati ciuman yang diberikan Marco. Tingkah Marco yang seperti inilah yang membuat Gisela jadi curiga. Otak Gisela terus menebak-nebak, apakah Marco sebenarnya menyukainya? Tapi, apa alasannya? Toh, banyak wanita cantik dari kalangan bangsawan yang lebih pantas untuk disukai, ketimbang dirinya.
Terbesit niat buruk Marco di kepala Gisela. Apakah Marco hanya ingin memanfaatkan Gisela, sama seperti Lukas yang hanya menjadikan Gisela sebagai alat semata?
Ciuman terlepas di saat Marco telah puas menikmati bibir berisi Gisela. Napas keduanya memburu bersamaan dengan pandangan yang saling menaut. Lagi-lagi Gisela terpanah dengan senyum manis yang ditunjukkan Marco padanya.
“Aku tidak keberatan jika menjadi pelampiasanmu,” bisik Marco. “Asalkan kita menikah,” imbuhnya.
Kedua mata Gisela melebar, menunjukkan keterkejutannya. “Tuan Marco, maaf. Kenapa kamu berkata seperti itu? Rela menjadi pelampiasanku?” tanya Gisela, berpindah duduk di samping Marco. Ia sempat merapikan gaunnya, sebelum lanjut berkata, “Tolong katakan dengan jelas. Apa maksud dari semua ini? Anda sangat aneh.”
Marco tertawa kecil. “Aku juga tidak tahu, kenapa aku sangat ingin memilikimu.”
Gisela mengeluarkan napas lelah, sedikit muak. “Aku baru saja dipermainkan oleh kakakmu. Jika kamu hanya ingin mencobaku, maaf saja, aku tidak bersedia.” Gisela harus tegas.
“Mencobamu?” Marco menaikkan sebelah alisnya.
“Mari memperjelas segalanya,” tandas Gisela. “Kamu ingin menikah denganku?”
Marco mengangguk sebagai jawaban.
“Kamu ingin aku membantumu mengungkap kematian Tuan Julian? Lantas, sebagai imbalan, kamu bersedia menjadi pelampiasanku?” Gisela memastikan.
Dengan santai Marco menjawab, “Kurang lebih begitu.”
“Baiklah, aku bersedia menikah denganmu.”
Bersambung...
Cahaya putih redup menyelinap dari sela-sela tirai, menari lembut di langit-langit ruangan. Perlahan, Gisela membuka kedua matanya. Dunia di sekitarnya tampak kabur, seperti dilihat dari balik kaca buram. Ia mengerjap pelan, mencoba menangkap bentuk-bentuk di sekelilingnya, tetapi hanya siluet-siluet samar yang menjawab tatapannya.Tubuh Gisela terasa berat, seolah seluruh sendi memutuskan untuk tak bekerja sama. Ketika ia mencoba mengangkat tangannya, hanya sedikit getaran lemah yang muncul. Sakit di kepala datang bagai gelombang, tajam dan menyambar dari pelipis ke belakang kepala. Ia meringis, napasnya tercekat.“Aku.... Masih hidup?” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.Langit-langit putih, aroma antiseptik, suara pelan mesin monitor, semuanya perlahan masuk dalam kesadarannya. Gisela tidak tahu di mana ia berada. Yang ia tahu hanyalah satu hal, ini bukan kamarnya. Bukan rumahnya. Dan ia tidak sendirian.Dari sudut pandang terbatas, Gisel
~~3 tahun kemudian,Hari ini Marco pulang karena mendengar kabar mengenai kematian Yang Mulia Duke, kakak pertamanya yang kerap dipanggil Tuan Julian. Betapa hancur Marco saat ia tak diberi kesempatan untuk melihat jasad sang kakak, orang yang begitu ia cintai dan hormati.Nyonya Emilia sebenarnya takut pada Marco yang terlihat seperti monster. Namun beliau tetap berusaha untuk menenangkan Marco.“Kakakmu harus segera dimakamkan, sebelum mengalami pembusukan. Maka dari itu, pihak istana menguburkan kakakmu sebelum kamu datang,” terang Nyonya Emilia, mengelus pundak Marco. “Aku sungguh menyesal karena tidak bisa menahan mereka.”Marco menyingkirkan jemari berkerut Nyonya Emilia yang sedari tadi bertengger manis di bahunya, seakan menunjukkan jika dirinya risih disentuh oleh wanita itu.“Berhentilah bersedih,” ucap Lukas, tegas. “Semua yang hidup pasti akan mengalami kematian. Bersikaplah layaknya seo
~~3 tahun lalu ...Udara berbau asap dan darah memenuhi jalanan Kadipaten Elysium bagian barat. Bangunan-bangunan hancur, jeritan dan tangisan memenuhi telinga. Kerusuhan yang dahsyat tengah melanda wilayah ini, menghancurkan kehidupan warga sipil yang tak berdosa.Gisela, seorang relawan sekaligus pelajar kedokteran, menginjakkan kaki di Elysium untuk pertama kalinya. Ia mengenakan seragam yang sederhana, wajahnya penuh keprihatinan. Gisela tak sendirian, ia datang bersama para seniornya untuk membantu para korban.Di tengah hiruk pikuk evakuasi dan pertolongan pertama, tiga tentara masuk ke dalam tenda medis. Dengan posisi, dua tentara membopong satu tentara yang terluka parah.“Lekas selamatkan Tuan Marco!” perintah tentara lain, mendesak agar orang yang ia bawa diutamakan.Melihat kondisi Marco yang tubuhnya dipenuhi luka, Gisela bergegas mendekati p
“Kamu pasti bingung, kok aku bisa tahu?,” ledek Nela. “Itu karena ... Aku masih menjalin hubungan romantis dengan Marco, suamimu,” bisiknya, sembari memajang ekspresi mengejek. Seketika tubuhku menegang. Rasanya seperti deja vu. Mungkinkah, Marco sama saja dengan Lukas? Hanya ingin memanfaatkanku, lalu menghempasku layaknya debu.“Lady Nela sangat cocok bersanding dengan Tuan Marco. Kenapa kalian berpisah?”Aku menoleh ke seseorang yang berkomentar.“Kamu lebih pantas menjadi pendamping Tuan Marco,” timpal lainnya. Karena terlalu tekun memikirkan pernyataan Nela, serta ocehan-ocehan wanita di sekeliling kami yang mendukung Nela, kepalaku jadi sakit. Sambil menyentuh dahi, aku berlalu menuju kamar mandi untuk menenangkan diri.Setelah berhasil menghilangkan kegelisahanku yang bergelora, aku memantapkan langkahku kembali ke pesta, berharap bisa menanggapi kejutan-kejutan dari Nela dan Clara dengan baik.
Jantungku berdebar kencang karena adrenalin yang memacu. Di tengah keberanianku yang kini menjadi pusat perhatian, aku bisa merasakan hawa menghakimi dari para bangsawan yang berbisik, membicarakanku.Tapi yang membuatku sedikit merinding adalah tatapan dingin, tajam, dan penuh kebencian dari Yang Mulia Duke Lukas. Ia berdiri tepat di depanku. Sosoknya yang gagah dan berwibawa seakan memancarkan aura ancaman.Tatapan Lukas begitu menusuk, seolah-olah aku adalah hama yang harus segera dibasmi.Lukas melirik ibunya, Nyonya Emilia, ia memberi isyarat halus padanya agar mengusirku dari pesta.Tanpa membuat Lukas menunggu, Nyonya Emilia dengan anggunnya mendekatku.Begitu sampai di dekatku, tangannya terulur untuk menarikku. Namun, sebelum tangannya menyentuh lenganku, sebuah tangan lain lebih dulu mencegat.Tangan ramping milik Clara, menantu kesayangan Nyonya Emilia, yang entah sejak kapan ia ada di sampingku.“Ibu ... Serahkan tamu undangku, kepadaku,” pinta Clara, bersuara lembut. Den
Pupil mata Nyonya Emilia sempat mengecil, sebelum kembali normal. Wanita tua di hadapku jelas-jelas sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.“Ibu ... Tidak melihat Angelia, ya?” tanyaku, sekali lagi.“Angelia sudah aku usir. Dia tidak akan pernah menunjukkan batang hidungnya di sini lagi,” jelas Nyonya Emilia, setelah menarik napas dalam.Tunggu, maksudnya diusir itu apa? Dibunuh kah?“Jadi, Ibu telah menegurnya? Huh ... Baguslah, sudah tidak ada orang yang berbicara sembarangan mengenaimu lagi, Ibu,” timpalku, bersyukur.“Cih, setelah kejadian ini, kamu pikir kita dekat? Tentu tidak. Aku tetap tidak menyukaimu,” tegas Nyonya Emilia, lagi-lagi merendahkanku.Aku hanya diam, sambil menundukkan kepalaku. Tidak ada kalimat yang tepat untuk aku keluarkan saat ini.“Aku akan mengawasimu mulai detik ini. Apabila tersebar rumor tak mengenakkan mengenai diriku, orang pertama yang aku curigai adalah dirimu. Dan aku tidak akan segan-segan menghukummu.” Rupanya Nyonya Emilia mengancamku.“Ibu ...