Pagi itu, Rahayu bangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru menembus tirai kamar, namun tubuhnya sudah bergerak dengan tekad yang kuat. Kini, tinggal bersama keluarga Velia bukan sekadar formalitas. Setiap langkahnya di rumah ini menjadi penilaian diam-diam dari orang tua Velia, Velia sendiri, bahkan Arka yang polos namun jeli menangkap perubahan ayahnya.
Setelah mandi dan merapikan rambut kusut, Rahayu mengenakan kemeja bersih seadanya dan celana panjang sederhana. Ia menatap wajah Radit di cermin—wajah yang dulu dipenuhi kesombongan dan kelicikan kini dipenuhi keteguhan baru. Ia menarik napas dalam-dalam. “Ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini tentang membuktikan aku bisa berubah… di depan mereka semua,” gumamnya. --- Di ruang makan, keluarga besar Velia sudah berkumpul. Pak Darmawan dan Laras duduk di ujung meja, Nadia menatapnya dengan ekspresi menyindir, sementara Velia duduk dekat Arka yang sedang bermain dengan balok. Ibu-ibu rumah tangga lain—pembantu dan kerabat—menatap Rahayu dengan rasa ingin tahu dan skeptis. “Radit, sarapanmu sudah siap,” ujar Laras sambil menyodorkan piring. Nada suaranya sopan, tapi setiap kata terasa berat untuk “Radit baru”. Rahayu menunduk, menerima piring itu. “Terima kasih, Bu. Saya akan makan cepat, saya ada urusan penting hari ini.” Velia menatapnya sekilas, matanya dingin tapi menampakkan sedikit kekhawatiran. Arka, yang duduk di dekat Velia, menoleh dan tersenyum tipis. “Ayah… jangan lama-lama ya,” kata Arka sambil menggenggam tangan Rahayu. “Aku mau Ayah main sama aku nanti.” Rahayu tersenyum, mengusap kepala kecil itu. “Iya, Nak. Ayah janji akan pulang cepat. Dan kali ini Ayah tidak akan kabur dari tanggung jawab.” Nadia menghela napas, terdengar seperti menggerutu, “Astaga… ini lagi. Mau bikin drama di perusahaan juga?” Rahayu menelan ludah, tapi senyum tipis tetap ada. Dalam hati ia menegaskan: “Aku tidak akan menyerah. Setiap langkah kecil di depan mereka adalah bukti.” --- Perjalanan menuju gedung perusahaan teknologi terasa panjang. Rahayu memikirkan kemungkinan penolakan, komentar sinis, dan bagaimana menghadapi wawancara yang menuntut ketegasan. Ia tahu reputasi Radit yang buruk bisa menjadi penghalang, tapi tekadnya kini lebih kuat daripada ketakutannya. Setibanya di gedung, ia menyerahkan CV dan surat lamaran kepada resepsionis. Tidak lama kemudian, seorang pria paruh baya memanggilnya. “Radit? Silakan ikut saya ke ruang wawancara,” ujar pria itu. Di ruang wawancara, empat orang duduk menatapnya penuh evaluasi. Satu dari mereka membuka pembicaraan. “Radit, kami sudah membaca CV-mu. Latar belakang akademismu menarik, tapi pengalaman kerja nyata masih minim. Bisa jelaskan kenapa kamu ingin bekerja di sini?” Rahayu menarik napas panjang, menatap mereka satu per satu. “Saya memang baru memulai, tapi saya cepat belajar dan mau bekerja keras. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Bukan sekadar mengandalkan nama atau status.” Salah satu pria mengangkat alis. “Kesalahan masa lalu?” Rahayu tersenyum tipis. “Maksud saya, sebagai pribadi—masa lalu saya tidak sempurna. Tapi sekarang saya ingin menjadi sosok yang bisa dipercaya dan bertanggung jawab.” HRD wanita menatapnya dengan pertimbangan. “Baik. Tapi tulus saja tidak cukup. Bagaimana kamu menghadapi tekanan dan konflik?” Rahayu menunduk sejenak, mengingat semua penolakan dan komentar sinis di rumah Velia, rasa takut Arka terhadap ayahnya yang lama. Ia mengangkat wajah, menatap mata mereka dengan tegas. “Tekanan adalah bagian dari kehidupan. Saya belajar untuk tidak lari, tapi menghadapi masalah dengan kepala dingin. Konflik bukan untuk dihindari, tapi untuk diselesaikan. Setiap masalah yang bisa saya selesaikan adalah bukti bahwa saya bisa berubah.” Selama satu jam berikutnya, Rahayu menghadapi simulasi pengambilan keputusan, analisis masalah, dan kerja tim dengan pegawai lain yang disiapkan sebagai “partner” tes. Beberapa kali ia melakukan kesalahan, tapi cepat memperbaiki. Keberanian dan ketegasannya membuat para penguji diam-diam mengangguk. Setelah sesi selesai, HRD wanita berkata, “Kamu memiliki potensi, Radit. Kami akan mempertimbangkanmu untuk tahap selanjutnya. Tapi ingat, kerja kerasmu baru akan dimulai nanti.” Rahayu mengangguk. “Terima kasih, Bu. Saya tidak akan mengecewakan.” --- Perjalanan pulang terasa lebih ringan. Ia duduk di bangku taman dekat halte, menyesap kopi panas, dan merenungkan semua pengalaman hari ini. Keringat di dahinya menandakan ketegangan, tapi juga keberhasilan melewati ujian pertama. Sesampainya di rumah, suasana tetap menegangkan. Pak Darmawan menatapnya diam-diam, Laras memperhatikannya dengan penuh evaluasi, sementara Nadia terus menatap dengan sinis. Velia duduk dekat Arka, matanya tetap dingin tapi Arka terus meraih tangan Rahayu. “Ayah… cepat pulang, ayo main,” seru Arka riang, menggenggam tangan Rahayu. Rahayu mengangkat Arka, menatap Velia dengan tulus. “Aku pulang, Vel. Hari ini Ayah mencoba sesuatu yang baru. Dan aku berjanji, Ayah tidak akan menyerah lagi.” Velia menatapnya sebentar, lalu berpaling. Senyum tipis di wajahnya menandakan sedikit kelonggaran hati. Arka tersenyum, tanpa sadar memberikan kekuatan baru bagi Rahayu. Malam itu, setelah Arka tertidur di kamar sebelah, Rahayu duduk di tepi ranjang. Suasana rumah yang sunyi membuatnya lebih fokus pada pikirannya sendiri. Lampu kamar redup, hanya menyoroti wajahnya yang tampak tenang dari luar, namun di dalam hatinya ada pergulatan yang terus berlangsung. Ia menatap langit-langit kamar, mengingat semua kejadian hari ini. Wawancara yang menegangkan, komentar sinis dari beberapa orang, dan tatapan dingin Velia yang tak sepenuhnya memercayainya. Semua itu menjadi ujian pertama dari banyak ujian yang akan datang. “Kalau aku gagal lagi… kalau aku tidak bisa membuktikan diri… apa yang akan terjadi dengan mereka? Apa yang akan terjadi dengan Arka?” gumamnya lirih. Rasa takut muncul, tapi segera ia ingat janji yang ia buat di hadapan anak kecil itu: tidak akan lari dari tanggung jawab. Rahayu menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tubuh Radit yang kini ia tinggali terasa berat di awal, namun ia perlahan mulai menerima kenyataan. Ia harus belajar menjadi sosok yang berbeda—lebih sabar, lebih bijaksana, dan lebih bertanggung jawab. Di dalam hati, ia merenungkan Velia. Wanita itu dingin, keras kepala, dan trauma karena Radit yang dulu. Menaklukkan hatinya tidak akan mudah, namun ia sadar bahwa bukan cinta semata yang akan memenangkan hati Velia, melainkan perubahan nyata yang bisa dilihat dan dirasakan. “Aku harus sabar. Aku harus konsisten,” bisiknya. “Setiap tindakan kecil akan membentuk citra baru. Aku tidak bisa terburu-buru, tapi aku tidak boleh menyerah.” Rahayu menulis catatan kecil di buku hariannya: tentang wawancara yang dijalani, kesan para pewawancara, dan kesalahan kecil yang bisa diperbaiki. Semua itu menjadi bahan refleksi, sekaligus strategi untuk menghadapi hari-hari berikutnya. > “Hari ini aku belajar bahwa dunia nyata tidak memberi kesempatan kedua begitu saja. Tapi aku punya kesempatan untuk membuktikan diri, jika aku mau bertindak dengan sungguh-sungguh.” Ia menutup buku, mematikan lampu, dan menatap langit-langit yang gelap. Suara angin malam yang lembut menenangkan hatinya. Arka yang sedang tidur di kamar sebelah sesekali terdengar menggerak-gerakkan tubuh kecilnya, seakan mengingatkan Rahayu tentang tanggung jawab yang menunggu di pagi hari. Rahayu menutup mata, membiarkan tubuhnya beristirahat. Namun pikirannya tetap aktif, membayangkan skenario keesokan hari: bangun pagi, sarapan bersama keluarga besar Velia, menghadapi tatapan orang tua Velia yang selalu menilai, dan terus menunjukkan bahwa “Radit baru” bukan lagi pria yang sama seperti dulu. Dalam hati, ia menegaskan satu prinsip yang akan menjadi pegangan: “Kesalahan masa lalu tidak menentukan siapa aku sekarang. Yang menentukan adalah bagaimana aku bertindak hari ini dan esok.” Rahayu menarik selimut lebih rapat, mencoba menenangkan hati. Malam itu ia tidur dengan tenang, meski tahu tantangan besok akan lebih berat. Ia tahu, tinggal bersama keluarga besar Velia akan menuntut kesabaran, ketekunan, dan keberanian untuk menghadapi setiap komentar, tatapan sinis, dan ekspektasi yang menumpuk di sekitarnya. Di ujung malam, satu tekad menguat di dalam dirinya: menjadi sosok yang bisa dipercaya, ayah yang bisa diandalkan oleh Arka, dan menebus kesalahan masa lalu Radit di mata Velia dan keluarga besarnya. Dengan pikiran itu, Rahayu akhirnya terlelap, bersiap menghadapi hari baru yang akan menjadi ujian berikutnya dalam perjalanannya menebus kesalahan dan membangun kehidupan yang lebih baik.Tiga bulan berlalu sejak malam api dan peluru itu.Kini, halaman panti asuhan “Pelita Hati” dipenuhi warna-warna baru — bukan lagi abu-abu kehancuran, tapi hijau muda dari taman kecil yang Radit bangun bersama anak-anak.Bangunan lama yang dulu reyot kini berdiri kokoh dengan cat putih dan jendela-jendela besar yang menghadap ke langit.Di atas gerbang terpasang papan kayu bertuliskan sederhana:“Rumah Harapan” – Dibangun oleh RHS Foundation.---Pagi itu, Radit berdiri di tengah halaman, mengenakan kemeja putih dan celana krem, tangannya memegang daftar nama anak-anak yang baru masuk.Di sebelahnya, Velia menggendong bayi kecil mereka — Rama — yang baru berusia dua bulan, wajahnya tenang di pelukan ibunya.Anak-anak berlarian di sekeliling, tertawa, memanggil nama “Om Radit” sambil membawa bola, kertas gambar, dan beberapa buku baru yang mereka dapat pagi itu.“Om Radit! Lihat, aku bisa baca huruf ‘R’ sekarang!” teriak seorang anak laki-laki berumur enam tahun.Radit menoleh, terseny
Langit malam di pinggiran kota Bekasi tampak pekat tanpa bintang. Gerimis tipis menetes di atap kontainer tua yang berdiri berjejer di lahan industri yang sudah lama ditutup. Di balik kabut asap dari pabrik terbengkalai itu, sejumlah kendaraan hitam berhenti tanpa suara.Tim Bayangan keluar satu per satu.Radit berjalan paling depan, wajahnya tertutup topeng taktis hitam dengan emblem kecil RHS di pundaknya. Mata tajamnya menelusuri area gelap itu.“Semua unit, laporan posisi,” bisiknya melalui alat komunikasi di telinga.“Rian dan Faris di titik barat, visual aktif,” jawab suara tenang Rian, diiringi dengung drone yang mengintai dari atas.“Bima dan Surya siap di selatan, ledakan pengalih tinggal tunggu perintah,”“Dewi standby di kendaraan medis, akses ke jalur aman sudah disiapkan.”Radit menarik napas panjang. “Baik. Kita ambil alih anak-anak itu malam ini. Tidak ada korban dari pihak kita, tidak ada celah. Jalankan.”---Tiga jam sebelumnya, mereka mendapat laporan dari kontak la
Hari-hari setelah kelahiran anak pertama mereka terasa seperti babak baru dalam hidup keluarga kecil itu. Rumah terasa lebih hangat, tapi juga lebih riuh. Tangisan bayi di malam hari bercampur dengan tawa kecil Arka yang antusias melihat adiknya.Velia masih tampak lelah. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, kadang terlihat pucat, kadang matanya tampak sayu karena kurang tidur. Tapi di balik itu semua, ada cahaya lembut dalam pandangannya setiap kali menatap bayinya.Radit — atau Rahayu dalam tubuh Radit — selalu berada di sisinya. Ia mempelajari segala hal tentang perawatan pasca melahirkan: dari cara mengganti perban luka operasi, menyiapkan makanan bergizi, hingga mengatur suhu kamar agar nyaman untuk Velia dan si kecil.Setiap pagi, Radit akan bangun lebih dulu, menyiapkan air hangat, lalu dengan hati-hati membantu Velia duduk di tempat tidur. Ia selalu memastikan Velia tidak kelelahan, dan setiap kali Velia menolak bantuan, Radit hanya tersenyum lembut.“Biar aku aja,” katanya pelan
Pesawat militer RHS Intel mendarat dengan lembut di landasan udara milik pribadi perusahaan. Angin sore berembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Langit memerah jingga, seolah ikut menyambut kepulangan mereka.Radit melangkah keluar lebih dulu, menatap matahari yang mulai tenggelam di balik horizon. Tubuhnya lelah, tapi dadanya penuh rasa lega. Misi besar telah selesai, dunia aman untuk sementara — dan yang paling penting, dia masih hidup untuk menepati janjinya pada Velia.Bima bersuara di belakangnya sambil meregangkan badan. “Akhirnya... udara rumah juga punya bau kemenangan.”Surya menepuk bahunya. “Kita pulang dengan utuh, Dit. Itu yang paling penting.”Dewi yang masih memakai jaket medis menatap mereka sambil menahan senyum. “Aku nggak mau jadi dokter darurat lagi selama sebulan.”Rian mengangkat laptopnya. “Dan aku mau libur dari kode dan firewall minimal seminggu.”Faris menambahkan dengan nada menggoda, “Asal jangan libur dari ngopi bareng aku.”Tawa ringan mel
Langit senja di atas markas RHS Intel berwarna oranye keemasan ketika sirene darurat berbunyi. Lampu merah di sepanjang lorong berkedip cepat, tanda bahwa perintah misi internasional baru saja turun. Semua anggota tim Bayangan—Radit, Surya, Rian, Faris, Bima, dan Dewi—bergegas menuju ruang briefing utama.Pak Wira, yang kini tetap menjadi direktur operasional, berdiri di depan layar besar menampilkan peta dunia. Suaranya tegas dan berat. “Kita mendapat panggilan langsung dari aliansi internasional. Operasi bernama Silent Hope. Sebuah kelompok separatis di wilayah Alpen Utara menahan ratusan warga sipil dan ilmuwan dari berbagai negara. Mereka menuntut akses ke sistem satelit pertahanan dunia. Jika gagal dinegosiasikan, seluruh sandera akan dieksekusi dalam 48 jam.”Ruang itu langsung senyap. Surya menatap layar, rahangnya mengeras. “Target mereka bukan uang. Mereka ingin kendali.”Radit berdiri di sisi kanan layar, menatap data intel yang terus bergulir. “Kalau mereka berhasil membuka
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar Radit dan Velia, membangunkan mereka dari tidur lelap. Udara terasa segar; burung-burung bernyanyi di luar rumah. Arka sudah lebih dulu bangun, berlarian di ruang tamu sambil membawa mainan dinosaurus kesukaannya. “Papa! Mama! Cepat bangun! Hari ini kan kita mau jalan-jalan!” serunya girang, suaranya menggema ke seluruh rumah. Velia membuka mata perlahan sambil menguap. “Astaga... anak kecil ini nggak ada capeknya, ya?” Radit tertawa kecil, lalu duduk di tepi ranjang, menatap istrinya dengan lembut. “Namanya juga Arka. Kalau disuruh santai, bisa-bisa rumah ini kebakaran duluan.” Velia memukul pelan bahunya. “Kamu tuh, jangan ngelucu dulu. Tolong ambilkan aku air putih, cepat. Aku haus banget.” Radit segera menuruti. Ia tahu belakangan ini Velia sedang dalam masa kehamilan yang sensitif. Kadang bisa marah hanya karena salah menaruh sendok, tapi lima menit kemudian bisa menangis hanya karena melihat Arka memeluk boneka. Setelah minum