Share

Bab 5

Author: RHS
last update Last Updated: 2025-09-12 17:59:48

Malam itu, setelah kelelahan menghadapi wawancara dan rutinitas rumah tangga, Rahayu terlelap lebih cepat dari biasanya. Namun tidurnya tidak damai. Bayangan masa lalu Radit menghantui mimpinya.

Ia menemukan dirinya kembali di sebuah aula besar, lampu redup, aroma anggur yang menempel di udara, dan musik lembut yang terdengar samar. Ia melihat sosok Radit—diri yang kini ditempatinya—mengarahkan tatapan sinis kepada seorang wanita cantik: Velia.

Dalam mimpi itu, Rahayu bisa merasakan ketegangan, ketakutan, dan kemarahan Velia. Sosok Radit yang lama—egois, kasar, dan sembrono—mendekatinya, menekan, dan mengambil hak Velia atas tubuh dan kehendaknya sendiri. Rahayu menahan napas, merasa jijik sekaligus bersalah karena ia kini menempati tubuh pria itu.

“Kenapa kau lakukan ini?” terdengar suara Velia dalam mimpinya, penuh ketakutan dan ketegaran sekaligus.

Radit tertawa sinis, “Ini semua karena aku bisa. Kau tidak bisa melawan, Velia.”

Rahayu menggigit bibirnya, menahan amarah yang membara. Ia ingin meneriakkan kebenaran, ingin melindungi Velia dari Radit yang kejam, tapi sadar ini hanyalah mimpi—refleksi dari masa lalu yang kini menjadi beban tanggung jawabnya.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti jam, mimpi itu melompat ke adegan berikutnya: ruang pengadilan keluarga, di mana pernikahan mereka dibicarakan. Ayah Velia, Pak Darmawan, berdiri dengan wajah tegang, sementara Laras menatap Radit dengan penuh kemarahan yang tertahan.

“Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja,” suara Pak Darmawan terdengar tegas. “Velia tidak mau menikah dengan orang yang tega menyakitinya.”

Radit di mimpi itu menundukkan kepala, namun bukan karena menyesal, melainkan karena kesombongannya—sikap yang Rahayu kini kenal begitu baik.

Velia menangis, menatap Radit dengan rasa benci yang mendalam, sementara Arka, yang masih bayi dalam ingatan itu, digendong di sisi Velia, tampak polos namun sudah menjadi simbol tanggung jawab yang Radit abaikan.

Rahayu menutup mata, merasakan kepedihan itu meresap ke dalam jiwanya. Bayangan masa lalu bukan hanya menunjukkan kesalahan Radit, tapi juga keputusasaan Velia, ketidakberdayaannya, dan luka yang akan membekas sepanjang hidup.

---

Rahayu terbangun di ranjang dengan keringat dingin menempel di kulit. Nafasnya terengah, tangan gemetar. Ia menatap jendela kamar, cahaya bulan menembus tirai, memberi ketenangan yang samar.

“Ini… ini nyata. Aku harus menebus semua ini,” gumamnya lirih. Bayangan masa lalu itu membuatnya menyadari bahwa perubahan yang ia lakukan bukan sekadar pekerjaan atau tindakan kecil sehari-hari. Ini tentang memperbaiki luka yang dalam, luka yang ditinggalkan Radit pada Velia, keluarganya, dan bahkan pada anaknya sendiri, Arka.

Rahayu menarik napas dalam, menenangkan diri. Ia menyadari satu hal: tinggal bersama keluarga besar Velia bukan hanya tentang membuktikan dirinya bisa menjadi ayah dan suami yang baik, tapi juga tentang menghadapi bayangan masa lalu yang menghantui rumah ini setiap hari.

Keesokan paginya, ia bangun dengan tekad lebih kuat. Arka sudah menunggu di kamar, tersenyum polos seperti biasa. “Ayah… ayo sarapan cepat, Arka lapar,” serunya riang.

Rahayu tersenyum, menatap wajah polos itu. “Iya, Nak. Ayah akan sarapan cepat. Hari ini Ayah akan menjadi ayah yang lebih baik, janji.”

Di meja makan, keluarga besar Velia sudah berkumpul. Laras menatapnya tajam, Nadia melirik dengan raut sinis, sementara Pak Darmawan tetap menjaga ketegasan wajahnya. Velia menatapnya datar, tapi ada kilatan kecil perhatian di matanya—tanda bahwa bayangan masa lalu tidak sepenuhnya menutup hati Velia untuk melihat perubahan.

“Radit, kau harus tahu,” suara Laras terdengar tegas. “Hari ini akan menjadi hari di mana kami mengamati tindakanmu. Jangan hanya kata-kata, tapi buktikan dengan sikapmu.”

Rahayu menunduk, menelan ludah, lalu mengangguk pelan. “Baik, Bu. Saya akan berusaha sekuat tenaga.”

Arka menggenggam tangannya. “Ayah… jangan buat Arka sedih lagi ya,” katanya polos.

Rahayu tersenyum dan mengusap kepala kecil itu. “Aku janji, Nak. Tidak akan ada lagi kesalahan yang sama.”

Selama sarapan, Rahayu memperhatikan setiap ekspresi keluarga Velia, mencatat hal-hal kecil yang bisa ia perbaiki: cara bicara, sikap, bahkan gesture kecil yang dulu membuat Radit dibenci. Ia sadar bahwa setiap tindakan kecil adalah langkah menebus luka masa lalu.

---

Siang harinya, Rahayu duduk sendiri di ruang tamu, menatap langit di luar jendela. Ia memikirkan mimpi malam sebelumnya—peristiwa awal pernikahan yang terpaksa, rasa takut Velia, dan kebencian yang masih tersimpan. Bayangan itu membuat hatinya remuk, tapi juga memotivasi. Ia harus lebih dari sekadar “Radit baru”. Ia harus menjadi sosok yang bisa menenangkan hati Velia, membimbing Arka, dan menebus semua kesalahan yang pernah dibuat.

“Masa lalu adalah bayangan yang tidak bisa hilang, tapi aku bisa memilih bagaimana menatap masa depan,” bisiknya.

Sore itu, Velia duduk di sofa dekat Rahayu. Matanya masih dingin, tapi ia berbicara dengan nada lembut yang jarang muncul. “Radit… kau terlihat berbeda belakangan ini. Tapi aku masih takut. Aku masih tidak yakin kau benar-benar bisa berubah.”

Rahayu menatap Velia, menahan rasa bersalah yang mengalir deras. “Vel, aku tahu aku bukan pria yang layak dulu. Tapi aku berjanji, setiap hari aku akan berusaha menjadi yang berbeda. Untukmu… untuk Arka… untuk kita semua.”

Velia menunduk sejenak, menatap Arka yang sedang bermain, lalu kembali menatap Rahayu. Ada kesunyian yang tegang, namun Rahayu merasakan sedikit kelonggaran di sana.

Arka tiba-tiba berlari ke pangkuannya. “Ayah… Ayah bacain cerita dong!”

Rahayu tersenyum lelah tapi bahagia. Ia mengambil Arka di pangkuannya, mulai menceritakan kisah sederhana tentang keberanian dan kebaikan. Suara Velia yang diam mendengar dari jauh terasa seperti penguat. Ia tahu, langkah pertama dalam menebus masa lalu bukan hanya kata maaf, tapi konsistensi dan kehadiran nyata.

Malam itu, Rahayu menulis di buku hariannya:

“Mimpi tadi mengingatkan semua kesalahan yang pernah dilakukan Radit. Aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku bisa menebusnya dengan setiap tindakan hari ini. Setiap kata yang aku ucapkan, setiap tindakan yang aku lakukan, adalah bagian dari penebusan. Aku harus kuat, bukan untukku sendiri, tapi untuk mereka yang pernah terluka karena kesalahanku.”

Ia menatap langit-langit kamar, menutup mata, dan menarik selimut erat. Tekadnya menguat: menjadi sosok ayah dan suami yang bertanggung jawab, membangun kembali kepercayaan Velia, dan memastikan Arka tidak lagi merasakan ketakutan dan kehilangan ayah yang pernah terjadi.

Di hatinya, satu kalimat motivasi menjadi pegangan:

“Masa lalu adalah bayangan, tapi masa depan bisa kubentuk dengan setiap tindakan nyata hari ini.”

Malam semakin larut. Rahayu masih duduk di tepi ranjang, memandang langit-langit kamar. Hatinya gelisah, namun ada rasa damai yang samar. Ia menyadari satu hal: mimpi tadi bukan hanya sekadar kenangan masa lalu, tapi peringatan tentang tanggung jawab nyata yang kini ada di pundaknya.

Ia mengingat setiap wajah yang pernah terluka karena Radit: Velia yang takut dan benci, Arka yang kecil dan polos, serta keluarga besar Velia yang menaruh harapan sekaligus keraguan. Semua itu menjadi motivasi yang tak bisa diabaikan.

Rahayu menulis catatan tambahan di buku hariannya:

“Hari ini aku memahami satu hal: perubahan bukan tentang kata-kata atau niat, tapi tentang tindakan yang bisa dirasakan oleh mereka yang pernah terluka. Aku harus membuktikan setiap hari, bukan untuk diriku, tapi untuk Velia, Arka, dan keluarga ini.”

Ia menarik selimut lebih erat, mencoba menenangkan diri. Angin malam dari jendela kamar membawa aroma taman di luar, seolah memberi tanda bahwa hari baru akan membawa kesempatan baru.

Pikiran Rahayu kemudian melayang pada Arka. Bayi kecil itu, meski polos dan ceria, telah menjadi simbol tanggung jawab yang Radit dulu abaikan. Kini, setiap langkah Rahayu harus diukur agar Arka merasa aman dan dicintai. Ia membayangkan pagi esok, saat Arka menunggu ayahnya untuk sarapan, bermain, dan belajar tentang dunia yang penuh kasih.

Velia juga ada dalam pikirannya. Wanita itu dingin, tegas, dan keras kepala. Namun di balik sikapnya, ada luka yang harus disembuhkan dengan ketulusan, kesabaran, dan konsistensi. Rahayu sadar bahwa setiap interaksi, sekecil apa pun, menjadi peluang menebus kesalahan masa lalu.

Ia menarik napas panjang, menutup mata, dan membayangkan langkah-langkah konkret yang akan ia ambil:

1. Tinggal bersama keluarga besar Velia dengan hormat – mengamati, memahami, dan menyesuaikan diri tanpa memaksakan kehendak.

2. Membangun hubungan dengan Arka – menunjukkan konsistensi, kesabaran, dan kasih sayang yang tulus agar Arka percaya pada “ayah baru” ini.

3. Memperbaiki hubungan dengan Velia – tidak terburu-buru, tetapi melalui tindakan nyata sehari-hari, setiap kata, dan perhatian yang konsisten.

4. Menebus luka masa lalu – melalui kesadaran diri dan kerja keras, memastikan masa depan mereka lebih baik dari masa lalu yang kelam.

Rahayu membuka jendela sedikit, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Ia membayangkan matahari terbit keesokan hari, simbol awal baru bagi dirinya dan keluarga Velia.

“Aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku bisa membentuk masa depan. Dan aku akan melakukannya dengan sepenuh hati.”

Ia menutup buku hariannya dan meletakkannya di meja samping. Tubuh lelah mulai merasakan kantuk, tapi pikirannya tetap aktif, memikirkan semua skenario yang mungkin terjadi esok hari: komentar sinis, pengawasan ketat, bahkan ketidakpercayaan Velia. Semua itu tidak membuatnya takut, justru menegaskan satu hal: perubahan tidak akan mudah, tapi setiap langkah kecil adalah bukti penebusan.

Rahayu menunduk, memejamkan mata, dan membiarkan diri terhanyut dalam tidur yang damai. Dalam tidurnya, ia membayangkan Arka tersenyum riang saat bermain bersama ayahnya, Velia yang menatapnya dengan mata yang mulai terbuka untuk percaya, dan keluarganya yang kini bisa melihat kebaikan yang tulus.

Di hatinya, satu kalimat motivasi menguat sebagai penutup Bab 5:

“Masa lalu adalah bayangan yang tidak bisa dihapus, tapi masa depan bisa kubentuk dengan tindakan nyata dan sepenuh hati.”

Malam itu, Rahayu tidur dengan tenang, bersiap menghadapi hari baru di mana perjalanan penebusan dan perubahan Radit benar-benar dimulai. Ia tahu bahwa hidupnya kini bukan lagi tentang dirinya sendiri, tetapi tentang memperbaiki kesalahan, membangun kepercayaan, dan menghadirkan kasih sayang bagi mereka yang pernah terluka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 72

    Tiga bulan berlalu sejak malam api dan peluru itu.Kini, halaman panti asuhan “Pelita Hati” dipenuhi warna-warna baru — bukan lagi abu-abu kehancuran, tapi hijau muda dari taman kecil yang Radit bangun bersama anak-anak.Bangunan lama yang dulu reyot kini berdiri kokoh dengan cat putih dan jendela-jendela besar yang menghadap ke langit.Di atas gerbang terpasang papan kayu bertuliskan sederhana:“Rumah Harapan” – Dibangun oleh RHS Foundation.---Pagi itu, Radit berdiri di tengah halaman, mengenakan kemeja putih dan celana krem, tangannya memegang daftar nama anak-anak yang baru masuk.Di sebelahnya, Velia menggendong bayi kecil mereka — Rama — yang baru berusia dua bulan, wajahnya tenang di pelukan ibunya.Anak-anak berlarian di sekeliling, tertawa, memanggil nama “Om Radit” sambil membawa bola, kertas gambar, dan beberapa buku baru yang mereka dapat pagi itu.“Om Radit! Lihat, aku bisa baca huruf ‘R’ sekarang!” teriak seorang anak laki-laki berumur enam tahun.Radit menoleh, terseny

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 71

    Langit malam di pinggiran kota Bekasi tampak pekat tanpa bintang. Gerimis tipis menetes di atap kontainer tua yang berdiri berjejer di lahan industri yang sudah lama ditutup. Di balik kabut asap dari pabrik terbengkalai itu, sejumlah kendaraan hitam berhenti tanpa suara.Tim Bayangan keluar satu per satu.Radit berjalan paling depan, wajahnya tertutup topeng taktis hitam dengan emblem kecil RHS di pundaknya. Mata tajamnya menelusuri area gelap itu.“Semua unit, laporan posisi,” bisiknya melalui alat komunikasi di telinga.“Rian dan Faris di titik barat, visual aktif,” jawab suara tenang Rian, diiringi dengung drone yang mengintai dari atas.“Bima dan Surya siap di selatan, ledakan pengalih tinggal tunggu perintah,”“Dewi standby di kendaraan medis, akses ke jalur aman sudah disiapkan.”Radit menarik napas panjang. “Baik. Kita ambil alih anak-anak itu malam ini. Tidak ada korban dari pihak kita, tidak ada celah. Jalankan.”---Tiga jam sebelumnya, mereka mendapat laporan dari kontak la

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 70

    Hari-hari setelah kelahiran anak pertama mereka terasa seperti babak baru dalam hidup keluarga kecil itu. Rumah terasa lebih hangat, tapi juga lebih riuh. Tangisan bayi di malam hari bercampur dengan tawa kecil Arka yang antusias melihat adiknya.Velia masih tampak lelah. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, kadang terlihat pucat, kadang matanya tampak sayu karena kurang tidur. Tapi di balik itu semua, ada cahaya lembut dalam pandangannya setiap kali menatap bayinya.Radit — atau Rahayu dalam tubuh Radit — selalu berada di sisinya. Ia mempelajari segala hal tentang perawatan pasca melahirkan: dari cara mengganti perban luka operasi, menyiapkan makanan bergizi, hingga mengatur suhu kamar agar nyaman untuk Velia dan si kecil.Setiap pagi, Radit akan bangun lebih dulu, menyiapkan air hangat, lalu dengan hati-hati membantu Velia duduk di tempat tidur. Ia selalu memastikan Velia tidak kelelahan, dan setiap kali Velia menolak bantuan, Radit hanya tersenyum lembut.“Biar aku aja,” katanya pelan

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 69

    Pesawat militer RHS Intel mendarat dengan lembut di landasan udara milik pribadi perusahaan. Angin sore berembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Langit memerah jingga, seolah ikut menyambut kepulangan mereka.Radit melangkah keluar lebih dulu, menatap matahari yang mulai tenggelam di balik horizon. Tubuhnya lelah, tapi dadanya penuh rasa lega. Misi besar telah selesai, dunia aman untuk sementara — dan yang paling penting, dia masih hidup untuk menepati janjinya pada Velia.Bima bersuara di belakangnya sambil meregangkan badan. “Akhirnya... udara rumah juga punya bau kemenangan.”Surya menepuk bahunya. “Kita pulang dengan utuh, Dit. Itu yang paling penting.”Dewi yang masih memakai jaket medis menatap mereka sambil menahan senyum. “Aku nggak mau jadi dokter darurat lagi selama sebulan.”Rian mengangkat laptopnya. “Dan aku mau libur dari kode dan firewall minimal seminggu.”Faris menambahkan dengan nada menggoda, “Asal jangan libur dari ngopi bareng aku.”Tawa ringan mel

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 68

    Langit senja di atas markas RHS Intel berwarna oranye keemasan ketika sirene darurat berbunyi. Lampu merah di sepanjang lorong berkedip cepat, tanda bahwa perintah misi internasional baru saja turun. Semua anggota tim Bayangan—Radit, Surya, Rian, Faris, Bima, dan Dewi—bergegas menuju ruang briefing utama.Pak Wira, yang kini tetap menjadi direktur operasional, berdiri di depan layar besar menampilkan peta dunia. Suaranya tegas dan berat. “Kita mendapat panggilan langsung dari aliansi internasional. Operasi bernama Silent Hope. Sebuah kelompok separatis di wilayah Alpen Utara menahan ratusan warga sipil dan ilmuwan dari berbagai negara. Mereka menuntut akses ke sistem satelit pertahanan dunia. Jika gagal dinegosiasikan, seluruh sandera akan dieksekusi dalam 48 jam.”Ruang itu langsung senyap. Surya menatap layar, rahangnya mengeras. “Target mereka bukan uang. Mereka ingin kendali.”Radit berdiri di sisi kanan layar, menatap data intel yang terus bergulir. “Kalau mereka berhasil membuka

  • Transmigrasi: Tebusan dalam Diri Radit   Bab 67

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar Radit dan Velia, membangunkan mereka dari tidur lelap. Udara terasa segar; burung-burung bernyanyi di luar rumah. Arka sudah lebih dulu bangun, berlarian di ruang tamu sambil membawa mainan dinosaurus kesukaannya. “Papa! Mama! Cepat bangun! Hari ini kan kita mau jalan-jalan!” serunya girang, suaranya menggema ke seluruh rumah. Velia membuka mata perlahan sambil menguap. “Astaga... anak kecil ini nggak ada capeknya, ya?” Radit tertawa kecil, lalu duduk di tepi ranjang, menatap istrinya dengan lembut. “Namanya juga Arka. Kalau disuruh santai, bisa-bisa rumah ini kebakaran duluan.” Velia memukul pelan bahunya. “Kamu tuh, jangan ngelucu dulu. Tolong ambilkan aku air putih, cepat. Aku haus banget.” Radit segera menuruti. Ia tahu belakangan ini Velia sedang dalam masa kehamilan yang sensitif. Kadang bisa marah hanya karena salah menaruh sendok, tapi lima menit kemudian bisa menangis hanya karena melihat Arka memeluk boneka. Setelah minum

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status