LOGINDunia malam yang penuh dengan aksi l!ar. Mungkin, bagi manusia yang tak pernah bersinggungan dengan gemerlapnya hiburan malam, mereka akan mengatakan tempat itu kotor, kejam dan tak berperasaan.
Tetapi para orang kaya, mereka mengatakan tempat itu merupakan kebebasan dalam mendeskripsikan kesenangan. “Imbalan apa yang bisa kudapatkan dari menyelamatkanmu. Hm?” “Apa pun.” Ya! Mungkin Giselle sudah tidak waras hingga berani memberikan janji walau tak diucapkan secara gamblang. Gadis itu hanya ketakutan, minuman alkohol yang memabukkan juga membuatnya tak bisa berpikir jernih. Giselle hanya ingin lolos dari mereka semua yang menargetkannya. *** Brugh! Secara singkat Giselle telah di bopong oleh Arnon ke kediaman Theodore. Pria itu melempar tubuh Giselle ke atas ranjang. Menatap Giselle yang seolah tak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Giselle menggeliat, kemeja yang dipakai oleh gadis itu basah sisa air alkohol yang tumpah, hingga mencetak bongkahan padat dadanya yang terlihat matang. “Kenapa kamu membawaku kesini?” tanya Giselle sedikit meracau lirih. Ia berusaha duduk kembali, matanya terpejam sesaat. Ketika ada rasa aneh yang mengalir pada aliran darahnya. Tangan Giselle mengudara memukul pelan kepala yang terasa pusing dengan pandangan yang mulai kabur. Minuman alkohol yang sedikit menyebar ke tubuhnya, membuat Giselle setengah tidak sadarkan diri. Belum lagi, rasa tidak nyaman yang belum pernah Giselle rasakan. “Aku mau pulang,” lagi Giselle terus meracau, ia berusaha turun dari ranjang. Saat kakinya menapaki marmer yang dingin, tubuhnya limbung sebab kepalanya terasa berat. Grep! Beruntung sekali Arnon dengan sigap menangkap pinggang ramping Giselle. Hingga tak sampai membuat tubuh gadis tersebut jatuh telungkup ke marmer. “Apa kau tidak bisa sedikit tenang.” tegur Arnon dingin, dia kembali melempar pelan tubuh Giselle hingga setengah duduk di atas ranjang. Sementara mata Giselle menyipit, ia menatap ke sekelilingnya. Kamar membentang luas ini bukan miliknya. Interior di dalamnya terlalu memukau untuk Giselle. Semua terlihat asing. Tetapi satu hal yang semakin membuat Giselle merasa keheranan. Sentuhan kulit yang tak sengaja terjadi di antara mereka, membuat Giselle merasakan desiran yang tak biasa. Sejenak, Giselle seperti menginginkan hal lain. “Aku telah menanyakan alamat rumahmu saat di mobil. Tapi kau tidak mengatakan dengan jelas,” dengus Arnon, dia melepas jas kemudian melempar ke sisi ranjang sebelah Giselle. “Tubuhku, kenapa dengan tubuhku?” Giselle bertanya pada dirinya sendiri dengan suara lirih. Ia justru tak fokus mendengar penjelasan dari Arnon, alasan kenapa pria itu harus membawa ke kediamannya. Giselle sibuk mengusap leher saat rasa gerah menggerogotinya. “Tinggallah disini malam ini.” tandas Arnon, sebab malam terlalu larut untuk sekedar keluar lagi. Pria itu bahkan belum menyadari gelagat Giselle yang sedang tersiksa. Giselle bahkan tak menanggapi sama sekali. Entah dengar atau tidak, gadis itu kembali sibuk dengan kemejanya yang basah. Berulang kali Giselle menarik-narik kemeja bagian atas hingga membuat kancing bagian atasnya terlepas. Srak! Tiba-tiba saja, Giselle beranjak dari tepi ranjang. Mengejutkan lagi, Giselle mendadak mengalungkan kedua tangannya pada leher Arnon. Kedua manik matanya memperlihatkan tatapan teduh penuh kabut gairah. “Panas, tubuhku terasa panas.” adu Giselle, ia nyaris menangis karena rasa tidak nyaman itu amat menyiksa dirinya. “Shit!” Arnon mengumpat tertahan saat menyadari ada yang tidak beres dari gadis yang ditolongnya, “Kau?” Arnon membuang pandangan sedikit ke atas. Dia baru sadar, minuman yang disuguhkan malam itu untuk Giselle sudah tercampur oleh zat stimulan dosis ringan. Terlihat jelas dari efeknya yang tergolong lambat. Arnon juga tak lupa berusaha menjauhkan kedua tangan Giselle yang melingkar di lehernya. Tetapi, Giselle tetap tak menyerah, dia tetap kembali mendekat pada Arnon. “Tolong aku!” pinta Giselle memelas, “A-aku sudah tidak bisa menahannya.” sambungnya berkaca-kaca. Giselle berjinjit, tiba-tiba mengecup kulit leher Arnon dengan serempangan. Kecupan itu terlalu amatir, menunjukkan jika gadis itu tak pernah melakukan hal ini sebelumnya. “Tahan dirimu.” peringatkan Arnon. Dikuasai oleh obat, Giselle tak mendengarkan ucapan Arnon sama sekali. Ia semakin menarik kemeja Arnon, menempelkan bibir di antara mereka. Ketika Giselle ingin melumat bibir Arnon, pria itu lebih dulu menolehkan kepala ke samping. “Ku bilang tahan dirimu, Giselle.” Giselle tak menggubris, kewarasannya sirna digantikan dengan efek obat di dalam tubuhnya. Ia tetap mencium serampangan leher Arnon. Bahkan menyesapnya hingga meninggalkan jejak kissmark. Arnon semakin mengumpat dalam-dalam. Dia menekan bahu Giselle, menjauhkan tubuh gadis yang telah menggila. “Kau akan menyesal melakukan ini.” Tatapan Giselle berubah menghiba, “Tidak, aku tidak akan menyesal.” bantah Giselle, walau tubuhnya tertahan tetapi, tangan mungil itu masih bisa bergerak liar meraba otot tubuh Arnon yang terbentuk sempurna. “Aku menginginkannya, biarkan aku menyentuh itu.” Giselle semakin tak terkontrol, dia menunjuk otot perut Arnon yang terlihat menggoda tanpa malu. Sesekali Giselle terlihat menelan salivanya, ia mendambakan dapat menjamah seluruh tubuh Arnon. Giselle seperti kehilangan jati dirinya. Dan Arnon semakin menjauhkan jarak di antara mereka. Sepertinya Giselle tetap tak gentar. Ia kembali mendekat walau Arnon sudah menolak berulang kali. “Jahat!” maki Giselle. Arnon mengernyit. “Kenapa kau jahat sekali,” isak tangis kecil Giselle terdengar, tangan mungilnya mengudara turut memukul dada bidang Arnon berulang kali. Badan Arnon masih berdiri kokoh sebab, pukulan Giselle tak berarti sama sekali. “Tubuhku terasa tersiksa, panas sekali.” keluh Giselle yang sudah menangis. Ia mencengkram kembali kemeja Arnon, menarik mendekat dan …. “Sst,” Arnon mendesis tertahan, matanya terpejam saat Giselle menggigit rahang tegasnya. Brug! Arnon segera mendorong pelan badan Giselle hingga mundur ke belakang. Giselle geram, ia menatap benci pada Arnon. “Kalau kau tidak mau, aku akan keluar dan mencari pria lain!” sentak Giselle melenggang pergi. Tetapi baru tiga langkah, tangan Giselle telah lebih dulu ditangkap oleh Arnon. Rahangnya mengeras, kulit wajahnya berubah merah padam. “Jangan bodoh.” “Lepaskan! Kau tidak mau ‘kan.” berontak Giselle memukul-mukul tangan Arnon minta dilepaskan. “Kau akan menyesal saat esok hari.” “Bukan urusanmu, kita tidak saling kenal dan kau tidak berhak untuk melarangmu.” bantah Giselle keras kepala. Arnon semakin menggeram rendah. Tanpa banyak bicara, pria itu menyeret tubuh Giselle untuk dibawah ke kamar mandi. Kediaman Theodore saat malam hari, para pelayan wanita akan dikosongkan untuk kembali pulang ke rumah mereka masing-masing. Hanya menyisakan pelayan lelaki dan juga para penjaga. Tak hanya satu kali, bahkan beberapa kali ada pelayan wanita yang nekat menggoda Arnon, menyelinap ke kamarnya saat malam hari. Itu sebabnya kenapa Arnon enggan menyediakan pelayan wanita saat malam hari. Dia benci ada seseorang yang memanfaatkan pekerjaan hanya untuk naik ke ranjangnya. Dan saat ini, dia harus direpotkan karena memutuskan membawa Giselle. Mau jadi apa Gadis itu jika dibiarkan lari keluar dengan keadaan kacau seperti ini. “A-pa yang kau lakukan?” tanya Giselle penuh protes saat tubuhnya telah diseret di bawah shower. “Membuatmu sadar.” pungkas Arnon datar. Seketika itu juga, tubuh Giselle tersiram oleh air dingin. “Akh, dingin.” Giselle memekik, ia berusaha menghindar, tapi Arnon lebih cekatan menekan posisi Giselle agar tetap terguyur oleh air dingin. “Berhenti!” Arnon abai, raut wajahnya tetap tak berekspresi. “Kau pria tak berperasaan!” maki Giselle tanpa sadar. Arnon nyaris tertawa ironi, raut wajahnya berubah tertekan saat dituding sebagai pria tak berperasaan oleh Giselle. Jika Arnon sungguh tak berperasaan, dia sudah pasti membiarkan Giselle habis oleh para pria hidung belang di klub tadi. “P-perutku,” meringis, Giselle menekan perutnya yang terasa tak nyaman. Alis Arnon tertarik saat menatap gadis tersebut. Tubuh itu meringkuk menyentuh sisi perutnya sendiri. Arnon berhenti dengan air dinginnya. “Kenapa?” tanya Arnon. “S-sakit,” “Apa kau memerlukan dokter?” Giselle diam, ia menggeleng saat mendongak menatap Arnon yang masih setia berdiri pada posisinya. Arnon menghela nafasnya panjang. Lalu duduk berjongkok di dekat Giselle. “Apa yang tidak nyaman?” tanya Arnon. Giselle tak lagi menanggapi, bibirnya mendesis, ia terdiam saat merasakan ada yang aneh dari perutnya. Entah kenapa melihat gelagat aneh Giselle, membuat Arnon jadi merasakan firasat buruk. Benar saja, detik berikutnya …. “Huek!” Giselle memuntahkan isi perutnya hingga mengenai lengan Arnon. Pria itu terdiam, nafasnya tertahan, raut wajahnya berubah tak bersahabat. “G-Giselle, beraninya ka—” Arnon ingin sekali marah saat ini namun, dia memilih diam memupuk gejolak yang ingin meledak di atas kepalanya. Tidak hanya lengan Arnon yang menjadi korban, kemeja milik Giselle juga terkena muntahan gadis itu sendiri. Sementara Giselle terduduk dengan tubuh yang lemas, wajah mungil itu terlihat tak merasa bersalah sama sekali. Tetapi gadis itu, dia jadi jauh lebih tenang dari sebelumnya. Sejenak Arnon membiarkan Giselle, saat dia sendiri sedang mencuci tangannya yang kotor. “Buka kemejamu.” suruh Arnon sebab Giselle hanya diam saja. Giselle menggelengkan kepala, mata itu menyipit saat menatap Arnon yang berdiri dengan tubuh tegak membelakanginya. “Susah,” keluh Giselle yang justru menarik-narik kemejanya. Arnon menoleh sekilas, melihat apa yang dilakukan Giselle. “Buka kancingnya, bukan ditarik.” “Tidak bisa,” Wajah datar Arnon berubah tertekan. Dia terlihat berpikir sebentar, kemudian berjongkok kembali di hadapan Giselle. Arnon berniat membantu mengganti kemeja Giselle. Seharusnya bukan hal tabu, Arnon acap kali melihat beberapa wanita tak mengenakan busana saat berusaha menggodanya. “K-kau … kau mau apa?” Giselle menyeret pantatnya mundur ke belakang, menatap Arnon dengan tatapan waspada. “Membantumu berganti pakaian.” “T-tidak, seharusnya tidak boleh 'kan.” Arnon mendecakkan lidahnya, mengusap kasar wajahnya, frustasi. “Kalau begitu ganti pakaianmu sendiri.” sentak Arnon yang cukup lelah. Giselle semakin meringkuk, memeluk kedua kakinya yang menekuk saat mendapatkan intonasi kasar dari Arnon. Tingkahnya berubah-ubah, kali ini Giselle seperti ketakutan. Gadis itu sangat menyedihkan. Mata teduh serta polosnya membuat Arnon kembali tak tega. “Astaga,” keluh Arnon bergumam lirih. Dia diam sejenak hanya untuk memijat pelipis matanya. Disusul dengan helaan nafas panjangnya. Baru kali ini Arnon mau menekan ego untuk menghadapi Giselle. Arnon melembutkan suara, “Patuh. Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu,” ucap Arnon merendahkan wajah hanya untuk melihat wajah Giselle, “Kemarilah! Akan ku bantu bersihkan tubuhmu.” lanjutnya membujuk Giselle sambil mengulurkan sebelah telapak tangan yang terbuka. Suara lembut Arnon mampu melumpuhkan ketakutan Giselle. Wajah yang semula terbenam kini terangkat kembali menatap Arnon. Perlahan-lahan Giselle memberanikan diri mengulurkan tangan. Dia hanya merasa Arnon bukan pria jahat seperti pria yang ditemuinya di klub beberapa jam yang lalu. “Bagus.” puji Arnon, saat Giselle tak lagi memberontak.Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Marley, ketika Marley baru saja membuka pintu apartemen setelah mendengar bel yang berbunyi. Mata Marley terbelalak melihat siapa yang saat ini berdiri dihadapannya. Terlebih lagi terkejut siapa sosok yang berani melayangkan tamparan padanya. “Apa-apaan ini, Marley. Apa kau sepakat untuk mempermainkanku dengan Arnon.” Bella, wanita itu datang tanpa diundang membawa gema kemarahan. Bella mendorong tubuh Marley yang berdiri di tengah pintu, kemudian dia masuk tanpa menunggu persetujuan dari Marley. Bahkan tindakan tersebut lebih cepat dari respon Marley yang terkejut dengan kedatangan Bella yang tiba-tiba. “Bukankah kau mengatakan jika hari ini akan menjadi hari pernikahanmu bersama gadis yang kau cinta. Tapi apa yang kulihat hari ini?!” Bella menekan setiap protes sambil menghempaskan pantat ke sofa. Bella tidak berhenti bicara sampai disitu saja. “Aku justru harus menyaksikan pernikahan pria yang selama ini aku cinta, pria yang ku harap
Langkah Giselle menggema pelan di sebuah lorong dengan karpet merah. Di depan sana pastor sudah menunggu kedatangan pengantin untuk mengucapkan sumpah pernikahan.Setiap derap heals beradu dengan bunyi sepatu Arnon seolah menghitung detik yang tersisa sebelum hidup Giselle benar-benar berubah. Gaun itu bergerak anggun, berbeda dengan bahu Giselle yang tegang menahan ribuan pasang mata yang kini menatap penuh tanda tanya terhadapnya.Giselle sadar arti tatapan semua tamu yang memenuhi kursi sisi kanan dan kiri. Bukan hanya pada kebiasaan yang akan dilaksanakan saat sumpah pernikahan. Biasanya pengantin pria akan menanti di depan sana, tapi kini Arnon sendiri yang menggandeng tangan Giselle untuk menguatkan Giselle melangkah. Dan ya! Keheranan itu juga datang karena pengantin pria tak sama seperti bayangan mereka. Bisik-bisik mulai berhembus tanpa bisa dicegah.“Itu Giselle, kan?”“Kita tidak sedang salah masuk ke dalam gedung pernikahan orang lain, kan?“Iya, benar, kau tidak salah
Pagi datang tanpa benar-benar membawa sinar cahaya bagi Giselle.Ia berdiri di depan cermin tinggi masih di dalam kamar dengan nuansa yang sama. Tubuh ramping miliknya sudah terbalut gaun pengantin berwarna gading. Kainnya jatuh sempurna mengikuti lekuk badan Giselle yang ramping. Belum lagi ditambah renda halus menghiasi bahu hingga sebatas dada, seolah gaun itu diciptakan khusus hanya untuk menjadikan ratu bagi Giselle. Namun … pantulan di cermin nampak terasa asing.Perempuan di dalam kaca itu terlihat cantik dan anggun secara bersama. Terlalu cantik untuk seseorang yang semalam hancur berkeping-keping karena sebuah pengkhianatan. Sisa malam bahkan tidak membuat Giselle merasakan ketenangan sama sekali. Ia benar-benar tidak bisa terlelap dalam tidur di sisa malam. ‘Apa keputusan ini sungguh benar?’ ia sedang bertanya pada hatinya sendiri. Mungkin lebih tepatnya, bisa disebut bertarung pada keputusan yang telah diambil dengan terburu-buru. Jari lentik dengan nail art itu naik
“Tolong, bawa aku pergi.” pinta Giselle menghiba. Permintaan tersebut membuat Arnon menatap Giselle cukup lama. Sorot mata Arnon juga tak berubah, tetap dingin, tetap tegas namun ada sesuatu yang mengeras di rahangnya.Bukan ragu melainkan keputusan yang diambil dalam benaknya.“Baik,” ucap Arnon singkat.Satu kata yang terlontar dari Arnon sudah cukup membuat Marley kehilangan kendali.“Ayah!” seru Marley tak sadar membentak, “Ayah tidak bisa—” dia ingin mengajukan protes namun, Arnon lebih cepat memotong. “Kau sudah terlalu banyak bicara malam ini,” potong Arnon tanpa menoleh. “Dan sudah terlalu banyak menyakiti.”Arnon meraih bahu Giselle saat mengatakan hal tersebut, bukan dengan rangkulan kasar, bukan pula dengan kelembutan yang berlebihan. Pegangan Arnon stabil, meyakinkan seolah berkata ‘Giselle aman sekarang.“Aku akan membawamu pergi,” kata Arnon lagi pada Giselle sambil melirik sekilas pada Marley.Mendengar hal tersebut, Marley yang tidak terima lantas melangkah untuk m
"Nona Sofia memang sedang hamil saat ini. Tapi kami sangat menyayangkan bahwa bayi dalam kandungan Nona Sofia tidak bisa diselamatkan. Saya menemukan bahwa Nona Sofia sering mengkonsumsi minuman keras ditambah lagi dengan tekanan yang baru saja beliau alami, membuat kandungannya lemah dan tak mampu dipertahankan." Penjelasan dokter tersebut terasa mendengungkan telinga Giselle. Keterangan tersebut bukan membuat Giselle iba namun, justru membuat Giselle semakin terhantam oleh fakta mengenai Sofia yang memang sedang hamil saat ini. Tubuh Giselle lemas tak bertenaga, matanya memanas karena telah berkaca-kaca oleh genangan air mata. Kenapa mereka harus begitu tega. Apa salahnya selama ini? Giselle bertanya-tanya mengenai kekurangan pada dirinya sendiri hingga harus mendapatkan penghianatan dari orang terdekat. "Giselle, ini bukan salahmu." Septia— dia yang selalu setia mendampingi Giselle kini mengusap punggung Giselle untuk menenangkan
"Aku sungguh tidak tahu apa salah Sofia. Kenapa Sofia harus diincar oleh mereka. Apa motif mereka melakukan hal kejam seperti ini." Giselle mengeluh, dia meremas kedua tangan yang telah dingin saat berdiri di lorong panjang rumah sakit.Giselle yang ditemani oleh Septia, kini masih menunggu Sofia yang diperiksa oleh dokter saat sahabatnya itu tidak sadarkan diri beberapa menit yang lalu.Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Malam semakin merangkak naik hingga menyentuh waktu tengah malam, sementara pernikahan Giselle tetap menanti esok hari. Namun masih tidak ada tanda-tanda kapan ia bisa kembali ke hotel. "Giselle, tenangkan dirimu. Dari pada kau berjalan kesana kemari tak tentu. Lebih baik duduk saja dengan tenang dan tunggu dokter yang memeriksa Sofia keluar." kata Septia, saat tak tahan melihat Giselle yang tak berhenti berjalan kesana kemari dengan gelisah. "A-aku tidak bisa tenang, Septia.""Ingat, besok kamu juga harus menikah. Malam ini, kamu justru berakhir di







