แชร์

Bab 2. Jejak Itu Adalah Ulahku

ผู้เขียน: Arga_Re
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-23 13:26:53

Dunia malam yang penuh dengan aksi l!ar. Mungkin, bagi manusia yang tak pernah bersinggungan dengan gemerlapnya hiburan malam, mereka akan mengatakan tempat itu kotor, kejam dan tak berperasaan. 

Tetapi para orang kaya, mereka mengatakan tempat itu merupakan kebebasan dalam mendeskripsikan kesenangan. 

“Imbalan apa yang bisa kudapatkan dari menyelamatkanmu. Hm?”

“Apa pun.”

Ya! Mungkin Giselle sudah tidak waras hingga berani memberikan janji walau tak diucapkan secara gamblang. 

Gadis itu hanya ketakutan, minuman alkohol yang memabukkan juga membuatnya tak bisa berpikir jernih. Giselle hanya ingin lolos dari mereka semua yang menargetkannya. 

***

Brugh! 

Secara singkat Giselle telah di bopong oleh Arnon ke kediaman Theodore. 

Pria itu melempar tubuh Giselle ke atas ranjang. Menatap Giselle yang seolah tak nyaman dengan tubuhnya sendiri. 

Giselle menggeliat, kemeja yang dipakai oleh gadis itu basah sisa air alkohol yang tumpah, hingga mencetak bongkahan padat dadanya yang terlihat matang. 

“Kenapa kamu membawaku kesini?” tanya Giselle sedikit meracau lirih. 

Ia berusaha duduk kembali, matanya terpejam sesaat. Ketika ada rasa aneh yang mengalir pada aliran darahnya. 

Tangan Giselle mengudara memukul pelan kepala yang terasa pusing dengan pandangan yang mulai kabur. 

Minuman alkohol yang sedikit menyebar ke tubuhnya, membuat Giselle setengah tidak sadarkan diri. Belum lagi, rasa tidak nyaman yang belum pernah Giselle rasakan. 

“Aku mau pulang,” lagi Giselle terus meracau, ia berusaha turun dari ranjang. 

Saat kakinya menapaki marmer yang dingin, tubuhnya limbung sebab kepalanya terasa berat. 

Grep!

Beruntung sekali Arnon dengan sigap menangkap pinggang ramping Giselle. Hingga tak sampai membuat tubuh gadis tersebut jatuh telungkup ke marmer. 

“Apa kau tidak bisa sedikit tenang.” tegur Arnon dingin, dia kembali melempar pelan tubuh Giselle hingga setengah duduk di atas ranjang. 

Sementara mata Giselle menyipit, ia menatap ke sekelilingnya. Kamar membentang luas ini bukan miliknya. Interior di dalamnya terlalu memukau untuk Giselle. 

Semua terlihat asing. 

Tetapi satu hal yang semakin membuat Giselle merasa keheranan. Sentuhan kulit yang tak sengaja terjadi di antara mereka, membuat Giselle merasakan desiran yang tak biasa. 

Sejenak, Giselle seperti menginginkan hal lain. 

“Aku telah menanyakan alamat rumahmu saat di mobil. Tapi kau tidak mengatakan dengan jelas,” dengus Arnon, dia melepas jas kemudian melempar ke sisi ranjang sebelah Giselle. 

“Tubuhku, kenapa dengan tubuhku?” Giselle bertanya pada dirinya sendiri dengan suara lirih. 

Ia justru tak fokus mendengar penjelasan dari Arnon, alasan kenapa pria itu harus membawa ke kediamannya. Giselle sibuk mengusap leher saat rasa gerah menggerogotinya. 

“Tinggallah disini malam ini.” tandas Arnon, sebab malam terlalu larut untuk sekedar keluar lagi. 

Pria itu bahkan belum menyadari gelagat Giselle yang sedang tersiksa. 

Giselle bahkan tak menanggapi sama sekali. Entah dengar atau tidak, gadis itu kembali sibuk dengan kemejanya yang basah. 

Berulang kali Giselle menarik-narik kemeja bagian atas hingga membuat kancing bagian atasnya terlepas. 

Srak! 

Tiba-tiba saja, Giselle beranjak dari tepi ranjang. Mengejutkan lagi, Giselle mendadak mengalungkan kedua tangannya pada leher Arnon. 

Kedua manik matanya memperlihatkan tatapan teduh penuh kabut gairah. 

“Panas, tubuhku terasa panas.” adu Giselle, ia nyaris menangis karena rasa tidak nyaman itu amat menyiksa dirinya. 

“Shit!” Arnon mengumpat tertahan saat menyadari ada yang tidak beres dari gadis yang ditolongnya, “Kau?”

Arnon membuang pandangan sedikit ke atas. Dia baru sadar, minuman yang disuguhkan malam itu untuk Giselle sudah tercampur oleh zat stimulan dosis ringan. Terlihat jelas dari efeknya yang tergolong lambat. 

Arnon juga tak lupa berusaha menjauhkan kedua tangan Giselle yang melingkar di lehernya. 

Tetapi, Giselle tetap tak menyerah, dia tetap kembali mendekat pada Arnon. 

“Tolong aku!” pinta Giselle memelas, “A-aku sudah tidak bisa menahannya.” sambungnya berkaca-kaca. 

Giselle berjinjit, tiba-tiba mengecup kulit leher Arnon dengan serempangan. Kecupan itu terlalu amatir, menunjukkan jika gadis itu tak pernah melakukan hal ini sebelumnya. 

“Tahan dirimu.” peringatkan Arnon. 

Dikuasai oleh obat, Giselle tak mendengarkan ucapan Arnon sama sekali. Ia semakin menarik kemeja Arnon, menempelkan bibir di antara mereka. 

Ketika Giselle ingin melumat bibir Arnon, pria itu lebih dulu menolehkan kepala ke samping. 

“Ku bilang tahan dirimu, Giselle.”

Giselle tak menggubris, kewarasannya sirna digantikan dengan efek obat di dalam tubuhnya. Ia tetap mencium serampangan leher Arnon. 

Bahkan menyesapnya hingga meninggalkan jejak kissmark. 

Arnon semakin mengumpat dalam-dalam. Dia menekan bahu Giselle, menjauhkan tubuh gadis yang telah menggila. 

“Kau akan menyesal melakukan ini.”

Tatapan Giselle berubah menghiba, “Tidak, aku tidak akan menyesal.” bantah Giselle, walau tubuhnya tertahan tetapi, tangan mungil itu masih bisa bergerak liar meraba otot tubuh Arnon yang terbentuk sempurna. 

“Aku menginginkannya, biarkan aku menyentuh itu.” Giselle semakin tak terkontrol, dia  menunjuk otot perut Arnon yang terlihat menggoda tanpa malu. 

Sesekali Giselle terlihat menelan salivanya, ia mendambakan dapat menjamah seluruh tubuh Arnon. 

Giselle seperti kehilangan jati dirinya. Dan Arnon semakin menjauhkan jarak di antara  mereka. 

Sepertinya Giselle tetap tak gentar. Ia kembali mendekat walau Arnon sudah menolak berulang kali. 

“Jahat!” maki Giselle. 

Arnon mengernyit. 

“Kenapa kau jahat sekali,” isak tangis kecil Giselle terdengar, tangan mungilnya mengudara turut memukul dada bidang Arnon berulang kali. 

Badan Arnon masih berdiri kokoh sebab, pukulan Giselle tak berarti sama sekali. 

“Tubuhku terasa tersiksa, panas sekali.” keluh Giselle yang sudah menangis. Ia mencengkram kembali kemeja Arnon, menarik mendekat dan …. 

“Sst,” Arnon mendesis tertahan, matanya terpejam saat Giselle menggigit rahang tegasnya. 

Brug! 

Arnon segera mendorong pelan badan Giselle hingga mundur ke belakang. 

Giselle geram, ia menatap benci pada Arnon. 

“Kalau kau tidak mau, aku akan keluar dan mencari pria lain!” sentak Giselle melenggang pergi. 

Tetapi baru tiga langkah, tangan Giselle telah lebih dulu ditangkap oleh Arnon. Rahangnya mengeras, kulit wajahnya berubah merah padam. 

“Jangan bodoh.”

“Lepaskan! Kau tidak mau ‘kan.” berontak Giselle memukul-mukul tangan Arnon minta dilepaskan. 

“Kau akan menyesal saat esok hari.”

“Bukan urusanmu, kita tidak saling kenal dan kau tidak berhak untuk melarangmu.” bantah Giselle keras kepala. 

Arnon semakin menggeram rendah. Tanpa banyak bicara, pria itu menyeret tubuh Giselle untuk dibawah ke kamar mandi. 

Kediaman Theodore saat malam hari, para pelayan wanita akan dikosongkan untuk kembali pulang ke rumah mereka masing-masing. Hanya menyisakan pelayan lelaki dan juga para penjaga. 

Tak hanya satu kali, bahkan beberapa kali ada pelayan wanita yang nekat menggoda Arnon, menyelinap ke kamarnya saat malam hari. Itu sebabnya kenapa Arnon enggan menyediakan pelayan wanita saat malam hari. 

Dia benci ada seseorang yang memanfaatkan pekerjaan hanya untuk naik ke ranjangnya.

Dan saat ini, dia harus direpotkan karena memutuskan membawa Giselle. Mau jadi apa Gadis itu jika dibiarkan lari keluar dengan keadaan kacau seperti ini. 

“A-pa yang kau lakukan?” tanya Giselle penuh protes saat tubuhnya telah diseret di bawah shower. 

“Membuatmu sadar.” pungkas Arnon datar. 

Seketika itu juga, tubuh Giselle tersiram oleh air dingin.

“Akh, dingin.” Giselle memekik, ia berusaha menghindar, tapi Arnon lebih cekatan menekan posisi Giselle agar tetap terguyur oleh air dingin. 

“Berhenti!”

Arnon abai, raut wajahnya tetap tak berekspresi. 

“Kau pria tak berperasaan!” maki Giselle tanpa sadar. 

Arnon nyaris tertawa ironi, raut wajahnya berubah tertekan saat dituding sebagai pria tak berperasaan oleh Giselle. 

Jika Arnon sungguh tak berperasaan, dia sudah pasti membiarkan Giselle habis oleh para pria hidung belang di klub tadi. 

“P-perutku,” meringis, Giselle menekan perutnya yang terasa tak nyaman.

Alis Arnon tertarik saat menatap gadis tersebut. Tubuh itu meringkuk menyentuh sambil perutnya sendiri. 

Arnon berhenti dengan air dinginnya. 

“Kenapa?” tanya Arnon. 

“S-sakit,”

 “Apa kau memerlukan dokter?”

Giselle diam, ia menggeleng saat mendongak menatap Arnon yang masih setia berdiri pada posisinya. 

Arnon menghela nafasnya panjang. Lalu duduk berjongkok di dekat Giselle. 

“Apa yang tidak nyaman?” tanya Arnon. 

Alice tak lagi menanggapi, bibirnya mendesis, ia terdiam saat merasakan ada yang aneh dari perutnya. 

Entah kenapa melihat gelagat aneh Giselle, membuat Arnon jadi merasakan firasat buruk. 

Benar saja, detik berikutnya …. 

“Huek!”

Giselle memuntahkan isi perutnya hingga mengenai lengan Arnon. 

Pria itu terdiam, nafasnya tertahan, raut wajahnya berubah tak bersahabat. 

“G-Giselle, beraninya ka—” 

Arnon ingin sekali marah saat ini namun, dia memilih diam memupuk  gejolak yang ingin meledak di atas kepalanya.

Tidak hanya lengan Arnon yang menjadi korban, kemeja milik Giselle juga terkena muntahan gadis itu sendiri.

Sementara Giselle terduduk dengan tubuh yang lemas, wajah mungil itu terlihat tak merasa bersalah sama sekali. Tetapi gadis itu, dia jadi jauh lebih tenang dari sebelumnya. 

Sejenak Arnon membiarkan Giselle, saat dia sendiri sedang mencuci tangannya yang kotor. 

“Buka kemejamu.” suruh Arnon sebab Giselle hanya diam saja. 

Giselle menggelengkan kepala, mata itu menyipit kembali saat menatap Arnon yang berdiri dengan tubuh tegak membelakanginya. 

“Susah,” keluh Giselle yang justru menarik-naik kemejanya. 

Arnon menoleh sekilas, melihat apa yang dilakukan Giselle. 

“Buka kancingnya, bukan ditarik.”

“Tidak bisa,”

Wajah datar Arnon berubah tertekan. Dia terlihat berpikir sebentar, kemudian berjongkok kembali di hadapan Giselle. 

Arnon berniat membantu mengganti kemeja Giselle. Seharusnya bukan hal tabu, Arnon acap kali melihat beberapa wanita tak mengenakan busana saat berusaha menggodanya. 

“K-kau … kau mau apa?” Giselle menyeret pantatnya mundur ke belakang, menatap Arnon dengan tatapan waspada.

“Membantumu berganti pakaian.”

“T-tidak, seharusnya tidak boleh.”

Arnon mendecakkan lidahnya, mengusap kasar wajahnya, frustasi. 

“Kalau begitu ganti pakaianmu sendiri.” sentak Arnon yang cukup lelah. 

Giselle semakin meringkuk, memeluk kedua kakinya yang menekuk saat mendapatkan intonasi kasar dari Arnon. Tingkahnya berubah-ubah, kali ini Giselle seperti ketakutan. 

Gadis itu sangat menyedihkan. Mata teduh serta polosnya membuat Arnon kembali tak tega. 

“Astaga,” keluh Arnon bergumam lirih. Dia diam sejenak hanya untuk memijat pelipis matanya. Disusul dengan helaan nafas panjangnya. Baru kali ini Arnon mau menekan ego untuk menghadapi Giselle. 

Arnon melembutkan suara, “Patuh. Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu,” ucap Arnon merendahkan wajah hanya untuk melihat wajah Giselle, “Kemarilah! Akan ku bantu bersihkan tubuhmu.” lanjutnya membujuk Giselle sambil mengulurkan sebelah telapak tangannya yang terbuka. 

Suara lembut Arnon mampu melumpuhkan ketakutan Giselle. Wajah yang semula terbenam kini terangkat kembali menatap Arnon. 

Perlahan-lahan Giselle memberanikan diri mengulurkan tangan. Dia hanya merasa Arnon bukan pria jahat seperti pria yang ditemuinya di klub beberapa jam yang lalu. 

“Bagus.” puji Arnon, saat Giselle tak lagi memberontak. 

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 5. Pria itu... Ayahnya?!

    Malam telah datang. Di luar sana, bulir-bulir hujan membasahi jalanan, angin bertiup cukup kencang sementara kilatan petir sesekali menyambar, menorehkan cahaya di langit yang menghitam. Udara malam itu terasa semakin dingin dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar tercium dari balik kaca jendela.Dan disanalah Giselle berada saat ini, duduk di sebuah restoran ternama dengan papan nama berlogo elegan di depan pintunya. Ia duduk di samping Marley, menanti kedatangan ayah kekasihnya.“Gugup, hmm?” goda Marley sambil mencubit gemas pipi Giselle yang padat. “Wajahmu sangat pucat, sayang.” Ia mengedipkan sebelah mata dengan jahil. Persis saat menatap Giselle yang tak berhenti duduk gelisah sambil menggenggam kedua tangannya sendiri sejak datang. “Jangan menggodaku terus-menerus, Marley. Perkenalan keluarga membuatku gugup, itu hal yang lumrah,” gumamnya pelan membela diriMarley terkekeh pelan, lalu semakin bersuara ketika melihat bibir Giselle yang mengerucut, ditambah pipi

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 4. Mengatur Pertemuan

    “Giselle.” panggil Sofia. Sofia memang sengaja menunggu kedatangan Giselle di depan teras rumah sahabatnya. Semalam, setelah dari rumah sakit, Sofia menyempatkan diri untuk menengok Giselle di rumah sahabatnya. Tetapi sahabatnya itu tak kunjung pulang. Pagi ini, Sofia dikejutkan dengan kepulangan Giselle yang diantar oleh sebuah mobil mewah. “Semalam aku sengaja ke rumahmu. Tetapi ku lihat kau tidak pulang sama sekali, lampu di rumahmu masih tidak menyala. Giselle, ada apa denganmu? Apa ada suatu hal yang buruk terjadi padamu?” tanya Sofia sambil melirik mobil mewah yang mulai pergi menjauh. Giselle tersenyum kecil. Ia menggeleng sambil membuka pintu rumahnya.“Tidak terjadi hal buruk padaku, Sofia. Aku baik-baik saja, semalam memang ada kendala, untungnya ada orang baik yang menolongku.” Jawab Giselle, ia menjelaskan sambil masuk ke dalam rumah minimalisnya. “Memang kejadian apa yang menimpa padamu?” tanya Sofia penasaran. “Aku mengantarkan minuman sesuai dengan ruangan yang ka

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 3. Marley Theodore

    Keesokan harinya, Giselle duduk di meja makan. Sepotong roti dengan susu hangat telah tersedia di meja makan. Di depannya duduk Arnon yang sedang menikmati secangkir kopi yang menyeruak kan aroma khas. Giselle tak berani bicara, dia hanya diam sembari menundukkan kepala dalam-dalam. Tak ada juga obrolan di antara mereka. Ia tak cukup berani membuka topik obrolan lebih dulu. “Tuan.” Noel mendekat, berdiri di sisi Arnon saat menerima panggilan dari Tuannya pagi ini. Dia melirik pada Giselle sebentar, lalu kembali fokus pada Arnon. “Atur satu sopir untuk mengantarnya pulang.”Noel mengangguk, mulut yang terbuka ingin bicara urung saat Giselle lebih dulu menyambar berbicara. “Tuan,” panggil Giselle memberanikan diri. Arnon mengangkat dagu, tapi mulutnya tetap terkatup rapat. Giselle mengusap belakang lehernya canggung, “Ehm … saya ingin mengatakan terima kasih karena Anda telah menolong saya.”Sudut alis Arnon yang hitam tebal tertarik ke atas. “Terima kasih?” ulang Arnon. Sebua

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 2. Jejak Itu Adalah Ulahku

    Dunia malam yang penuh dengan aksi l!ar. Mungkin, bagi manusia yang tak pernah bersinggungan dengan gemerlapnya hiburan malam, mereka akan mengatakan tempat itu kotor, kejam dan tak berperasaan. Tetapi para orang kaya, mereka mengatakan tempat itu merupakan kebebasan dalam mendeskripsikan kesenangan. “Imbalan apa yang bisa kudapatkan dari menyelamatkanmu. Hm?”“Apa pun.”Ya! Mungkin Giselle sudah tidak waras hingga berani memberikan janji walau tak diucapkan secara gamblang. Gadis itu hanya ketakutan, minuman alkohol yang memabukkan juga membuatnya tak bisa berpikir jernih. Giselle hanya ingin lolos dari mereka semua yang menargetkannya. ***Brugh! Secara singkat Giselle telah di bopong oleh Arnon ke kediaman Theodore. Pria itu melempar tubuh Giselle ke atas ranjang. Menatap Giselle yang seolah tak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Giselle menggeliat, kemeja yang dipakai oleh gadis itu basah sisa air alkohol yang tumpah, hingga mencetak bongkahan padat dadanya yang terlihat matan

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 1. Awal Bertemu Denganmu

    [“Giselle, aku mohon gantikan aku untuk bekerja malam ini. Kalau tidak, aku harus membayar denda kepada mereka karena telah melanggar kontrak yang telah disepakati. Di Klub Magister, ruang A02 VIP, kau hanya perlu menemani tamu minum sebentar. Setelah itu kau bisa pulang.”] Giselle menghela nafas, suara Sofia yang diiringi nada panik dan memohon masih terngiang di atas kepalanya. Permintaan itu terus menghantui sejak sore hari. Ia sudah menolak berkali-kali, mengatakan kepada Sofia kalau ia takkan mampu menggantikan bekerja. Tempat itu tak terlalu aman baginya. Seumur hidup, Giselle belum pernah menginjakkan kaki di klub.Tempat hiburan yang penuh pria hidung belang serta aroma alkohol yang selama ini hanya di dengar dari cerita orang. [“Kau tidak akan menolak kan? Ibuku sakit parah, aku membutuhkan gaji malam ini untuk biaya pengobatan jantung ibuku. Giselle, kalau sakit ibuku tidak kumat tiba-tiba, aku tak mungkin merepotkanmu. Aku janji separuh upahku akan menjadi milikmu.”]L

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status