แชร์

Bab 3. Marley Theodore

ผู้เขียน: Arga_Re
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-23 13:28:10

Keesokan harinya, 

Giselle duduk di meja makan. Sepotong roti dengan susu hangat telah tersedia di meja makan. Di depannya duduk Arnon yang sedang menikmati secangkir kopi yang menyeruak kan aroma khas. 

Giselle tak berani bicara, dia hanya diam sembari menundukkan kepala dalam-dalam. Tak ada juga obrolan di antara mereka. 

Ia tak cukup berani membuka topik obrolan lebih dulu. 

“Tuan.” Noel mendekat, berdiri di sisi Arnon saat menerima panggilan dari Tuannya pagi ini. Dia melirik pada Giselle sebentar, lalu kembali fokus pada Arnon. 

“Atur satu sopir untuk mengantarnya pulang.”

Noel mengangguk, mulut yang terbuka ingin bicara urung saat Giselle lebih dulu menyambar berbicara. 

“Tuan,” panggil Giselle memberanikan diri. 

Arnon mengangkat dagu, tapi mulutnya tetap terkatup rapat. 

Giselle mengusap belakang lehernya canggung, “Ehm … saya ingin mengatakan terima kasih karena Anda telah menolong saya.”

Sudut alis Arnon yang hitam tebal tertarik ke atas. 

“Terima kasih?” ulang Arnon. 

Sebuah kata yang di ulang telah disalah artikan oleh Giselle, ia merasa jika pria tersebut tak juga cukup puas untuk menerima kata terima kasih saja. 

“Bagaimana jika berikan nomor rekening Anda.”

Arnon semakin menatap Giselle dengan raut tak mengerti. 

“Saya akan membayar karena Anda sudah menyelamatkan saya semalam.”

Noel yang masih berada di samping Arnon nyaris tergelak namun, dia menahan saat mendapatkan lirikan mematikan dari Arnon. 

Membayar?

Apa gadis itu meremehkan seorang Arnon Theodore?! 

Baru kali ini dalam hidup Arnon ada seorang gadis yang berani menawarkan uang padanya.  

Oh ayolah, dari segi wajah serta penampilannya— hidup Arnon sudah terlihat Visioner. Apa pria itu terlihat seperti seseorang yang membutuhkan uang. 

“Simpan saja uang recehmu itu.” Arnon menolak mentah-mentah, dari raut wajahnya terlihat terusik. 

Giselle semakin serba-salah, ia tidak ingin memiliki hutang budi apa lagi pada sosok pria yang baru dikenal olehnya semalam. 

Bukan! Lebih tepatnya sebuah perkenalan yang tak disengaja. 

Tetapi bingung harus menawarkan apa pada Arnon. Suasana bahkan berubah hening beberapa saat seolah ingin memberikan waktu luang pada Giselle untuk berpikir. 

Tapi jawaban itu tak kunjung ditemukan. 

“Berapa usiamu?” tanya Arnon tiba-tiba. 

“Maaf?”

“Aku sedang bertanya mengenai usiamu.” ulangnya datar. 

“Untuk apa? Kenapa saya harus memberitahukan usia saya?” tanya balik Giselle menganggap tak seberapa penting menyebutkan angka pada Arnon. 

“Kau hanya perlu menjawabku.”

“22 tahun minggu ini.”

Arnon angguk-angguk kepala, ekspresinya sulit di tebak. Wajah datar itu masih tak terbantahkan. 

“Kau tidak cukup dewasa untuk bekerja di klub.” komentar Arnon kemudian. 

Giselle terhenyak, dia benar-benar tidak mengerti kenapa Arnon harus mengangkat topik mengenai pekerjaanya. 

“Tidak cukup nyali untuk bekerja disana.” lanjut Arnon mempertegas. 

“Anda salah paham, sebenarnya saya semalam ….” Giselle ingin menjelaskan jika ia semalam bekerja sebagai pengantar minum di klub hanya untuk menggantikan sahabatnya. Tetapi Giselle mengurungkan menjelaskan sebab, alasan itu tak cukup penting dikatakan pada Arnon. 

Sementara Arnon sendiri masih menatap Giselle dalam diam. Tetapi pria itu seperti bisa membaca jika Giselle tak berniat melanjutkan ujarannya.

“Saya telah selesai.” ucap Giselle setelah memakan setengah roti serta minum sedikit susu yang disediakan. 

 “Hmm,” Arnon hanya mengangguk. 

Raut wajahnya datar, ia menjentikkan jari meminta Noel segera mengantar Giselle keluar. 

Tak mau membuang waktu, Giselle segera mengikuti langkah kaki Noel. 

Namun Arhan buka suara. “Soal semalam—” 

Giselle berhenti, ia menoleh kembali menatap Arnon dengan panik

“Aku tidak ingat apa pun!” Ia sungguh tidak mau jika Arnon kembali menyinggung mengenai hal memalukan semalam. 

Pipi Giselle bahkan berubah bersemu merah, bukan tersipu namun sekali lagi karena malu. 

Pagi tadi sekelebatan bayangan mengenai kejadian semalam hadir dalam ingatan Giselle. Ia ingat samar-samar, persis saat Arnon membantu melepaskan kemeja lalu mengganti dengan yang kemeja baru. 

Sungguh! Giselle ingin melupakannya. Apa lagi saat ia berusaha memaksa Arnon. 

Oh, betapa tidak ada harga dirinya Giselle semalam. 

“Hmm,” dehem Arnon singkat.

Arnon diam sebentar, kemudian dia beranjak dari kursi, berdiri sambil menyimpan kedua tangan pada kantong celana. 

“Baiklah. Lupakan saja,” tandas Arnon lalu melipir pergi.

Kepergian yang membuat Giselle lega. 

***

“Silahkan, Nona!” Noel membuka pintu bagian belakang mobil setelah sampai di pekarangan depan. Mempersilahkan Giselle untuk masuk ke dalam mobil yang telah disediakan. 

Sejenak, Giselle terdiam. Pandangan itu menelusuri bangunan dengan pilar-pilar megah di depannya. 

Kediaman ini adalah tempat yang membuatnya meninggalkan kenangan yang memalukan. 

Apalagi, semalam Arnon juga harus melihat tubuh polos bagian atasnya. Tidak terlalu polos sebab, masih ada penghalang yang menutupi aset berharganya. 

“Huft!” Giselle menghela nafas dengan panjang. 

Ia gusar, bagaimana dia bisa menjelaskan kepada Marley— kekasihnya mengenai kejadian semalam. Jika di tutup rapat mengenai rahasia semalam, Giselle yakin ia takkan bisa tenang dan selalu dihantui rasa bersalah. 

Giselle merasa telah mengkhianati Marley, walau ia sendiri sebenarnya tak menginginkan peristiwa itu terjadi dalam hidupnya.

“Nona!” panggil Noel sedikit naik satu oktaf sebab Giselle yang dipanggil tak kunjung merespon. 

Tubuh Giselle tersentak, ia tertarik dari lamunan kemudian menatap Noel yang masih setia berdiri di sisinya. 

“Silahkan masuk, atau masih ada hal yang ingin Anda sampaikan pada Tuan saya?”

Giselle menggeleng pelan, “Tidak, terima kasih.” ucap Giselle, kemudian masuk ke dalam mobil. 

Persis saat Giselle masuk ke dalam mobil, saat itu ada satu mobil yang masuk ke pekarangan kediaman Theodore. 

“Noel.”

Noel menoleh ke sumber suara. Sementara mobil yang mengantar Giselle telah bergerak pergi. 

“Ah, Tuan Muda Marley.” sapa Noel, menyambut kedatangan putra angkat Arnon dengan senyumannya. 

“Aku seperti melihat seorang perempuan masuk ke dalam mobil pribadi milik keluarga Theodore. Siapa wanita itu? Apa ayah sudah memiliki kekasih?” tanya Marley sembari mendekat, dia merangkul bahu Noel untuk menaiki tangga tak seberapa itu menuju pintu utama. 

“Ayahmu itu mana mungkin mau memiliki kekasih.”

“Ah sayang sekali, ku pikir aku akan memiliki ibu.” canda Marley sambil tergelak. 

Noel ikut tertawa pendek. 

Mereka memang saling akrab satu sama lain, mengingat hubungan Marley dengan Arnon juga sangat baik. Karena hal itu juga Noel sangat menghargai putra angkat dari Arnon. 

“Apa yang membuatmu pulang?” tanya Noel penasaran. Karena sejak Marley berusia 20 tahun,  Marley lebih senang menghabiskan waktu untuk tinggal di Apartemen. 

“Ada hal penting yang ingin ku bicarakan dengan ayah.”

“Soal pacarmu itu?”

“Benar.” 

Noel hanya menganggukkan kepala. 

Sebenarnya, Noel sudah mendengar cerita tentang Marley yang telah menjalin hubungan asmara dengan gadis di luar sana. 

Noel pikir Marley memiliki kekasih hanya untuk bermain-main. Ternyata anak angkat Tuannya itu cukup gentlemen hingga ingin segera meresmikan hubungan ke jenjang yang lebih serius. 

Selama ini, Arnon juga tak pernah mengekang Marley. Pergaulan Marley, kisah cinta Marley itu adalah rana pribadi Marley sendiri. 

Arnon tak pernah membatasi mau pun ikut campur dengan urusan Marley asal satu— semua yang dilakukan Marley tak menghambat bisnis Theodore. 

“Ayah.” sapa Marley ketika telah tiba di ruangan baca. 

“Hmm, kau kembali.” Arnon menjawab sekedarnya. Dia duduk di kursi single sambil melipat kaki. Wibawanya tak pernah pudar, ketampanan wajahnya pun sangat sempurna. 

Terkadang, Marley sendiri merasa tak percaya diri jika harus berdiri di sandingkan dengan Arnon. 

“Ayah, apa kabar?” tanya Marley basa-basi, dia tersenyum ringan saat duduk di depan Arnon. 

“Baik,” jawabnya singkat dan lugas, “Kali ini, apa yang membawamu menemui Ayah?” tanya Arnon yang seolah hafal tabiat putranya. 

Marley meringis di bungkus senyuman. Arnon memang selalu mengetahui kedatangan Marley selalu membawa maksud dan tujuan. 

“I-tu, ehm, aku memutuskan untuk bertunangan dan menikah tahun ini. Aku ingin membawa Ayah menemui kekasihku.”

Alis Arnon tertarik ke atas, ia tak langsung menjawab. Tangan itu bergerak mengambil kotak rokok, lalu membiarkan batang rokok itu menjepit dalam bibirnya. 

“Apa kau yakin?” tanya Arnon setelah menyalakan rokok, lalu meniup asap itu melalui hembusan nafasnya. Wajah itu selalu serius seperti biasa. 

“Aku tidak pernah seyakin ini, Ayah.”

 

“Usiamu baru menginjak 25 tahun. Apa kau tidak ingin menikmati masa mudamu lebih dulu. Pernikahan bukan suatu hal yang bisa kau anggap remeh, Boy. Pikirkan secara matang lebih dulu.”

Marley tahu jika Arnon tak akan setuju begitu saja. Menikah di usia muda memang terlalu beresiko. 

“Lalu, bagaimana dengan Ayah sendiri?”

“Kita sedang membahas tentangmu, Marley!” sergah Arnon menekankan. 

Pria itu seolah tahu jika Marley juga menginginkan ia  agar segera menikah dan menemukan wanita diluar sana untuk mendampinginya kelak. 

Itu menunjukkan betapa Marley sangat menyayangi Arnon sebagai ayah angkatnya. 

“Aku tahu,” jawab Marley sembari meringis, “Bagaimana jika berkenalan dengan pacarku lebih dulu. Ayah, dia gadis yang baik, periang dan pastinya tidak pernah mengenal dunia malam. Aku yakin Ayah akan suka melihatnya sebagai menantu Ayah.” imbuh Marley membujuk. 

Namun Arnon masih diam, dari raut wajahnya seolah sedang berpikir. 

“Ayolah, Ayah. Besok malam kosongkan jadwal kerja Ayah. Aku akan membawa pacarku untuk makan malam dengan Ayah. Boleh ‘kan?!” mohon Marley penuh harap. 

“Hm, baiklah.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 5. Pria itu... Ayahnya?!

    Malam telah datang. Di luar sana, bulir-bulir hujan membasahi jalanan, angin bertiup cukup kencang sementara kilatan petir sesekali menyambar, menorehkan cahaya di langit yang menghitam. Udara malam itu terasa semakin dingin dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar tercium dari balik kaca jendela.Dan disanalah Giselle berada saat ini, duduk di sebuah restoran ternama dengan papan nama berlogo elegan di depan pintunya. Ia duduk di samping Marley, menanti kedatangan ayah kekasihnya.“Gugup, hmm?” goda Marley sambil mencubit gemas pipi Giselle yang padat. “Wajahmu sangat pucat, sayang.” Ia mengedipkan sebelah mata dengan jahil. Persis saat menatap Giselle yang tak berhenti duduk gelisah sambil menggenggam kedua tangannya sendiri sejak datang. “Jangan menggodaku terus-menerus, Marley. Perkenalan keluarga membuatku gugup, itu hal yang lumrah,” gumamnya pelan membela diriMarley terkekeh pelan, lalu semakin bersuara ketika melihat bibir Giselle yang mengerucut, ditambah pipi

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 4. Mengatur Pertemuan

    “Giselle.” panggil Sofia. Sofia memang sengaja menunggu kedatangan Giselle di depan teras rumah sahabatnya. Semalam, setelah dari rumah sakit, Sofia menyempatkan diri untuk menengok Giselle di rumah sahabatnya. Tetapi sahabatnya itu tak kunjung pulang. Pagi ini, Sofia dikejutkan dengan kepulangan Giselle yang diantar oleh sebuah mobil mewah. “Semalam aku sengaja ke rumahmu. Tetapi ku lihat kau tidak pulang sama sekali, lampu di rumahmu masih tidak menyala. Giselle, ada apa denganmu? Apa ada suatu hal yang buruk terjadi padamu?” tanya Sofia sambil melirik mobil mewah yang mulai pergi menjauh. Giselle tersenyum kecil. Ia menggeleng sambil membuka pintu rumahnya.“Tidak terjadi hal buruk padaku, Sofia. Aku baik-baik saja, semalam memang ada kendala, untungnya ada orang baik yang menolongku.” Jawab Giselle, ia menjelaskan sambil masuk ke dalam rumah minimalisnya. “Memang kejadian apa yang menimpa padamu?” tanya Sofia penasaran. “Aku mengantarkan minuman sesuai dengan ruangan yang ka

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 3. Marley Theodore

    Keesokan harinya, Giselle duduk di meja makan. Sepotong roti dengan susu hangat telah tersedia di meja makan. Di depannya duduk Arnon yang sedang menikmati secangkir kopi yang menyeruak kan aroma khas. Giselle tak berani bicara, dia hanya diam sembari menundukkan kepala dalam-dalam. Tak ada juga obrolan di antara mereka. Ia tak cukup berani membuka topik obrolan lebih dulu. “Tuan.” Noel mendekat, berdiri di sisi Arnon saat menerima panggilan dari Tuannya pagi ini. Dia melirik pada Giselle sebentar, lalu kembali fokus pada Arnon. “Atur satu sopir untuk mengantarnya pulang.”Noel mengangguk, mulut yang terbuka ingin bicara urung saat Giselle lebih dulu menyambar berbicara. “Tuan,” panggil Giselle memberanikan diri. Arnon mengangkat dagu, tapi mulutnya tetap terkatup rapat. Giselle mengusap belakang lehernya canggung, “Ehm … saya ingin mengatakan terima kasih karena Anda telah menolong saya.”Sudut alis Arnon yang hitam tebal tertarik ke atas. “Terima kasih?” ulang Arnon. Sebua

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 2. Jejak Itu Adalah Ulahku

    Dunia malam yang penuh dengan aksi l!ar. Mungkin, bagi manusia yang tak pernah bersinggungan dengan gemerlapnya hiburan malam, mereka akan mengatakan tempat itu kotor, kejam dan tak berperasaan. Tetapi para orang kaya, mereka mengatakan tempat itu merupakan kebebasan dalam mendeskripsikan kesenangan. “Imbalan apa yang bisa kudapatkan dari menyelamatkanmu. Hm?”“Apa pun.”Ya! Mungkin Giselle sudah tidak waras hingga berani memberikan janji walau tak diucapkan secara gamblang. Gadis itu hanya ketakutan, minuman alkohol yang memabukkan juga membuatnya tak bisa berpikir jernih. Giselle hanya ingin lolos dari mereka semua yang menargetkannya. ***Brugh! Secara singkat Giselle telah di bopong oleh Arnon ke kediaman Theodore. Pria itu melempar tubuh Giselle ke atas ranjang. Menatap Giselle yang seolah tak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Giselle menggeliat, kemeja yang dipakai oleh gadis itu basah sisa air alkohol yang tumpah, hingga mencetak bongkahan padat dadanya yang terlihat matan

  • Tuan, Calon Menantumu Tak Tahan!   Bab 1. Awal Bertemu Denganmu

    [“Giselle, aku mohon gantikan aku untuk bekerja malam ini. Kalau tidak, aku harus membayar denda kepada mereka karena telah melanggar kontrak yang telah disepakati. Di Klub Magister, ruang A02 VIP, kau hanya perlu menemani tamu minum sebentar. Setelah itu kau bisa pulang.”] Giselle menghela nafas, suara Sofia yang diiringi nada panik dan memohon masih terngiang di atas kepalanya. Permintaan itu terus menghantui sejak sore hari. Ia sudah menolak berkali-kali, mengatakan kepada Sofia kalau ia takkan mampu menggantikan bekerja. Tempat itu tak terlalu aman baginya. Seumur hidup, Giselle belum pernah menginjakkan kaki di klub.Tempat hiburan yang penuh pria hidung belang serta aroma alkohol yang selama ini hanya di dengar dari cerita orang. [“Kau tidak akan menolak kan? Ibuku sakit parah, aku membutuhkan gaji malam ini untuk biaya pengobatan jantung ibuku. Giselle, kalau sakit ibuku tidak kumat tiba-tiba, aku tak mungkin merepotkanmu. Aku janji separuh upahku akan menjadi milikmu.”]L

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status