LOGINSore itu, awan menggantung kelabu di atas atap-atap rumah kontrakan. Rintik hujan turun perlahan, menetes di genting dan membasahi halaman tanah yang becek. Aroma tanah basah menusuk hidung, menambah kesan muram yang menyelimuti udara. Langit seakan ikut merasakan kerapuhan hati seorang wanita yang baru saja kembali ke tempat di mana segalanya bermula.
Kontrakan kecil itu berdiri sunyi, seolah menyambutnya dengan luka yang belum kering. Beberapa hari yang lalu, Jifanya sempat berniat meninggalkan tempat ini—berharap bisa menata hidup di tempat baru. Namun semua berubah dalam sekejap. Pengkhianatan orang yang paling ia percaya menghancurkan rencana, menyisakan kehampaan yang menusuk.
Dengan langkah gontai, Jifanya membuka pintu kayu yang sudah mulai lapuk. Engselnya berdecit pelan, seperti ikut mengeluh. Pandangannya menyapu seluruh ruangan: dingin, kosong, sepi. Sama seperti hatinya. Semua terasa bagai mimpi buruk yang tak kunjung usai. Ia berharap bisa bangun, lalu mendapati hidupnya kembali seperti dulu—sederhana tapi tenang. Namun nyatanya, luka itu nyata. Hidup tidak pernah memberi jeda untuk sembuh.
Ia mengunci pintu, meletakkan tas lusuh di kursi, lalu meraih ponsel yang sudah beberapa hari tak ia sentuh. Layar menyala, menampakkan ratusan notifikasi. Pesan dari keluarga, kerabat, bahkan orang-orang asing yang hanya ingin tahu. Namun satu pesan membuat tubuhnya membeku.
[Selamat atas pernikahan kamu. Menikah karena dinodai itu hal yang memalukan.]
Tangan Jifanya bergetar. Nafasnya tercekat. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau. Air mata langsung memenuhi pelupuk mata. Dengan emosi yang meledak, ia menekan nomor yang masih ada di memorinya—Fahar.
“Assalamualaikum,” suara pria itu terdengar di seberang. Masih dengan nada sopan, seolah tak bersalah.
Tapi Jifanya tak sudi membalas salam itu. Suaranya pecah oleh amarah, “Aku tidak akan mengalami semua ini kalau bukan karena pengkhianatanmu! Kamu tidur dengan ATina, lalu menuduh aku? Kalian berdua… makhluk hina yang sok suci. Aku harap kalian masuk neraka!”
Sejenak hening. Lalu suara Fahar terdengar gugup, “Jifanya… apa yang kamu bicarakan?”
Jifanya terisak. Selama ini, ia dikenal lembut. Tapi luka telah mengubahnya. Luka itu membuatnya keras, membuatnya berani melawan.
“Aku melihatmu dengan mata kepalaku sendiri! Hari itu, di kontrakan ATina. Kalian berdua!” suaranya meninggi, nyaris pecah. Dengan tangan gemetar, ia membuka galeri ponsel, mengirimkan rekaman video yang sempat ia ambil diam-diam malam itu.
Sunyi. Hanya terdengar napas tertahan di seberang telepon.
“Ka-kamu—” suara Fahar terbata.
“Manusia munafik!” potong Jifanya, lalu menutup sambungan.
Air matanya jatuh satu demi satu, membasahi pipinya yang kini terasa dingin. Nafasnya pendek, dadanya sakit. Tak kuasa menahan, Jifanya berjalan gontai ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya. Ia duduk di bawah pancuran, membiarkan tangis membaur dengan guyuran air.
“Kenapa… kenapa semuanya harus begini? Apa dosaku?” lirihnya, sambil mencakar lengan sendiri. Rasa sakit fisik yang timbul tidak sebanding dengan luka di hatinya. Ia memeluk lutut, berusaha menenangkan diri meski sia-sia.
Beberapa jam berlalu. Malam mulai turun, hujan masih rintik-rintik.
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuatnya tersentak. Ia terdiam, menahan napas. Pikirnya, mungkin hanya pemilik kontrakan yang menagih uang sewa.
Tok! Tok!
“Jifanya!”
Suara itu membuat jantungnya berdegup kencang. Itu… suara Kenan?
Dengan cepat, Jifanya meraih handuk, menutupi tubuhnya yang basah. Ia berjalan ke pintu kamar mandi, membuka sedikit celah.
“Ada apa, Pak Kenan?” tanyanya dengan suara bergetar.
Mata pria itu menatapnya tajam. Wajah pucat Jifanya, rambut basah yang menempel di pipi, hingga bekas cakaran di lehernya membuat hatinya bergetar. Meski wajahnya tetap dingin, ada sesuatu dalam sorot matanya—kekhawatiran yang enggan diucapkan.
“Boleh aku masuk?” suaranya datar.
Belum sempat Jifanya menjawab, Kenan sudah menerobos masuk. Sikapnya tetap sama: tegas, tanpa kompromi.
“Kamu ngapain duduk di kamar mandi selama itu? Mau mati kedinginan?” nadanya tajam, tapi ada nada khawatir di baliknya.
“Aku… hanya ingin sendiri,” jawab Jifanya lirih.
Kenan mendekat, menatapnya dalam. “Mulai sekarang kamu nggak sendirian lagi. Kita akan tinggal di rumahku.”
Jifanya menggeleng cepat, matanya memohon. “Tidak, saya tidak bisa.”
Namun Kenan tak peduli. Ia mengeluarkan ponsel, menekan nomor, dan langsung memerintahkan seseorang untuk memindahkan barang-barang Jifanya. Tatapannya tajam, seakan perintah itu mutlak.
Beberapa jam sebelumnya, pagi itu, Kenan memang datang lebih awal ke kantor polisi. Dengan sikap serius, ia melaporkan status pernikahannya pada atasan.
Rekan-rekannya terkejut bukan main.
“Lo beneran nikah sama Jifanya?” tanya Theo, sahabat dekatnya, sambil menepuk bahu Kenan.
“Gilaaa, diam-diam lo main cepat juga, Nan. Nggak nyangka si kutub utara ini bisa jatuh cinta juga,” celetuk seorang rekan lain, disambut tawa ramai.
“Traktir, bro! Harus dirayakan!”
Kenan hanya tersenyum tipis, lalu berkata singkat, “Nanti malam. Resepsinya sekalian kedinasan.”
Sore itu, mobil hitam Kenan melaju pelan di jalanan kota yang masih basah sisa hujan. Lampu-lampu jalan mulai menyala, memantulkan cahaya di aspal licin. Di kursi penumpang, Jifanya duduk diam, menunduk. Hanya suara AC dan deru mesin yang menemani.
Mereka bagaikan dua kutub yang dipaksa berdampingan—hangat dan dingin, ceria dan beku.
“Kita akan mengadakan resepsi kedinasan,” ucap Kenan, suaranya datar.
Jifanya menggenggam jemarinya sendiri, gelisah. “Pak Kenan… saya minta maaf.”
Kenan menoleh sekilas. “Untuk apa?”
“Untuk pernikahan ini. Saya tidak pernah ingin menyusahkan Bapak.”
Hening. Kenan tidak menjawab. Diamnya membuat Jifanya makin gelisah.
“Ibumu tidak menyukaiku,” bisiknya lirih.
“Kita sudah menikah. Apa lagi yang bisa kamu lakukan?” jawab Kenan singkat, seperti menutup ruang diskusi.
Jifanya menunduk. “Saya bisa pergi. Agar keluargamu tidak malu.”
Kalimat itu bagai darah yang menetes dari bibirnya sendiri. Ia tahu dirinya korban, namun tetap merasa harus mengalah. Begitulah nasib orang kecil—sering kali harus meminta maaf atas luka yang bukan mereka sebabkan.
“TIDAK perlu,” suara Kenan lebih tegas kali ini. “Kamu hanya perlu melanjutkan apa yang sudah kita mulai. Belajarlah untuk menerima keadaan.”
Mata Jifanya berkaca-kaca. Ia memalingkan wajah, menatap jendela mobil. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Menerima keadaan? Apa kamu pikir semudah itu… mencintai takdir yang tidak kita pilih?”
Hening. Hanya detik jam digital di dashboard yang terdengar.
Lalu suara Kenan, pelan tapi penuh penekanan, memecah keheningan.
“Aku tahu ini berat untukmu—”“Kalau kamu tahu ini berat untukku…” Jifanya memotong cepat, suaranya bergetar.
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan lirih, “…maka biarkan aku jalani sendiri.”
Namun tiba-tiba Kenan menoleh penuh. Tatapannya menusuk, tapi kali ini ada cahaya lain di balik dingin itu.
“Kalau kamu tahu ini berat untukmu… maka mari kita jalani bersama.”
Kata-kata itu membuat dada Jifanya bergetar hebat. Ia menoleh, menatap Kenan dengan mata terbelalak. Untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu dalam tatapan dingin pria itu: ketulusan. Mungkin cinta yang tersembunyi. Atau mungkin hanya harapan.
Entah mana yang benar, tapi kalimat itu membuat hatinya luluh sejenak.
Dan malam itu, di bawah lampu jalan yang redup, dua hati yang saling asing mulai dipaksa mendekat oleh takdir.
Namun jauh di sudut lain kota, seseorang tengah menatap foto Jifanya di layar ponselnya. Senyumnya tipis, penuh rahasia. “Jifanya… tapi jangan lupa. Aku belum selesai denganmu.”Bersambung
Sore itu, di sebuah aula besar hotel tempat digelarnya ajang desain muda nasional, ketegangan antara Jifanya dan Bayu kembali memuncak. Di sela-sela riuh peserta yang menanti pengumuman, Jifanya berdiri dengan mata sembab, riasan wajahnya sudah luntur."Aku melakukan semua itu agar desainmu diterima!" Jifanya membela diri dengan nada yang sarat emosi."Dengan cara melakukan sesuatu yang berbahaya, Jifanya?" tanya Bayu, nadanya terdengar tajam meski matanya mengisyaratkan kekhawatiran."Aku tidak melakukan hal yang berbahaya!" bantah Jifanya cepat. Ia menjelaskan bahwa ia tidak memakai korset untuk mengecilkan perut, hanya memilih model pakaian yang menyamarkan bentuk tubuhnya. Bayu terdiam, hatinya mencelos melihat air mata Jifanya jatuh satu per satu.“Baiklah, aku minta maaf.” Dengan pelan, ia menyodorkan sapu tangan dari saku celananya, mengusap sisa riasan yang mulai luntur.“Kamu harusnya memujiku, bukan menekanku. Kamu tidak tahu bagaimana perjuanganku untuk tampil di sana. Liha
Mega Hotel sore itu dipenuhi oleh orang-orang penting bersetelan rapi. Aroma kopi dan karpet mewah menyambut setiap langkah. Di ruang presentasi, nama Jifanya sudah masuk dalam daftar giliran kelima, giliran terakhir, namun juga yang paling menegangkan.Namun, justru bukan Jifanya yang terlihat paling gugup hari itu.Bayu duduk di barisan kursi paling belakang, menggenggam tangan sendiri hingga buku-bukunya memutih. Ia sudah mencoba segalanya agar Jifanya tidak perlu naik ke panggung. Tapi panitia bersikeras: yang mengirim desain harus yang mempresentasikannya.Seandainya bisa, Bayu ingin sekali mengganTinan Jifanya. Ia sudah membujuk, memohon, bahkan menyodorkan surat kuasa. Tapi semuanya ditolak mentah-mentah. Kini ia hanya bisa menatap ke arah pintu, berharap Jifanya segera muncul.Ponselnya bergetar.[Bagaimana?] pesan dari Kenan.[Dia belum tampil. Tunggu satu nomor lagi.][Bagaimana dengan Jifanya? Masih gugup?]Bayu mengetik cepat. [Iya. Tapi jangan khawatir, dia sudah pernah p
Udara pagi hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang bersinar terang, tetapi hati Jifanya diliputi kecemasan yang membuat segala sesuatunya terasa suram. Siapa sangka, desain modifikasi yang ia kirim hanya karena keisengan dan balas dendam kecil terhadap Bayu justru dipilih menjadi juara? Bahkan kini, gambar milik Bayu dituduh sebagai penjiplakan.Ia tidak pernah berniat sejauh itu. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia juga bisa. Tapi kini, semua ini menjadi bumerang. Dengan kepala tertunduk dan suara bergetar, Jifanya akhirnya mengakui pada Kenan.“Aku salah. Tadinya aku pikir dia belum mengirim, makanya aku kirim desain yang aku ubah sedikit,” bisiknya lirih, malu bukan main.Kenan menatap Jifanya tanpa berkata-kata sejenak. Hatinya perih, tetapi juga iba. “Kamu harus bertanggung jawab sekarang. Kamu harus menjelaskannya. Jangan kabur, Jifanya.”Di seberang telepon, suara Bayu terdengar sabar meski jelas menyimpan nada kecewa. “Tidak apa-apa, nanti kita bicarakan. Se
Malam di rumah besar keluarga Mustofa tak lagi hangat. Udara di ruang tamu yang biasa menjadi tempat berkumpul kini terasa dingin dan menyesakkan. Dila berdiri membeku di balik tangga, matanya berkaca-kaca. Niat awalnya hanya ingin mengambil beberapa lembar pakaian, tetapi langkahnya terhenti ketika suara pertengkaran di ruang utama menggema."Kamu menceraikanku gara-gara gadis kampung itu!" teriak Bu Neha, matanya merah, wajahnya basah oleh air mata dan kemarahan.Pak Mustofa berdiri tegak. Pria berwibawa itu biasanya tenang, tapi kali ini suaranya bergetar penuh amarah yang tertahan selama bertahun-tahun. "Dia menantumu, dan juga menantuku. Tapi kamu, Neha, kamu kehilangan kendali. Kamu berkata dia pantas mati. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan dengan wanita yang sekejam itu?""Lalu aku ini apa? Istrimu? Boneka? Pengganti wanita yang kamu cintai dari dulu itu? Kamu selalu dingin padaku. Aku melakukan segalanya untuk mendapatkan perhatianmu. Tapi kamu hanya memikirkan wanita itu
Sore itu, di ruang tamu rumah keluarga Mustofa, suasana terasa begitu sepi meskipun tak benar-benar sunyi. Hanya terdengar detik jam dinding yang berdetak lambat, seakan ikut merasakan beratnya isi hati dua pria yang tengah duduk berseberangan di sofa cokelat tua. Sinar jingga matahari menembus kaca jendela, menyapu lembut wajah Bayu yang menunduk dalam diam.Pak Mustofa menatap anak bungsunya dengan sorot mata sayu. Ada sesuatu yang telah lama ia pendam, kini perlahan menyembul ke permukaan."Bayu," ucapnya pelan. "Sudah saatnya kamu mencari pasangan hidup. Kamu butuh teman, untuk bicara, untuk pulang."Bayu tersenyum tipis, tidak menatap langsung ke ayahnya. "Tidak usah pikirkan soal jodohku, Yah. Aku baik-baik saja."Pak Mustofa menarik napas dalam. "Teman Ayah punya anak perempuan. Cantik, dokter, pintar. Aku rasa dia akan tertarik padamu saat pertama melihatmu."Bayu akhirnya menoleh, ekspresi datarnya sedikit terangkat. "Kenapa dia bisa tertarik padaku?"Dengan bangga dan senyum
Siang itu, langit kota mendung, tapi tidak hujan. Udara terasa lembab, seolah menggantungkan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban. Di sebuah rumah makan sederhana di seberang kampus, Jifanya dan Bayu duduk berseberangan. Jendela terbuka lebar, membiarkan angin masuk menyibak rambut Jifanya yang ia biarkan terurai.Bayu sengaja memilih meja dekat jendela agar Jifanya bisa menghirup udara segar. Wajah perempuan itu masih terkesan murung, menatap jalanan dengan pandangan kosong.“Apa kamu pakai nasi?” tanya Bayu, mencoba membuka percakapan.Jifanya mengangguk pelan tanpa menoleh.“Mau minum apa?” tanyanya lagi.“Apa saja,” jawab Jifanya cepat, masih menatap keluar.Tak ingin memperpanjang keheningan yang kaku, Bayu memesan rawon dengan nasi serta jeruk dingin untuk Jifanya. Untuk dirinya, ia memesan teh tawar panas.Setelahnya, mereka diam. Bukan karena tak ingin bicara, tapi karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, hingga tak ada kata yang cukup pantas diucapkan.Bayu, merasa







