Beberapa hari berlalu setelah badai itu datang, tubuh Jifanya perlahan membaik. Luka fisik memang bisa disembuhkan oleh waktu dan obat, namun luka hati? Itu jauh lebih rumit. Pagi itu, sinar mentari masuk melalui jendela kamarnya, membiaskan cahaya lembut ke wajahnya yang pucat. Ia duduk sendirian di ranjang, tatapannya kosong menembus kaca jendela, seolah mencari jawaban di balik langit biru yang dingin.
Letih menyelimuti tubuhnya, tapi bukan karena sakit. Ada beban lain, jauh lebih berat dari sekadar demam atau pusing—beban yang mencabik jiwanya. Hidup yang dulu sederhana kini berubah menjadi belenggu. Dalam diamnya, Jifanya bertanya pada dirinya sendiri, apa arti pernikahan yang tanpa cinta, tanpa restu, dan tanpa kejujuran?
Setelah pergulatan batin panjang, ia tahu: hidupnya tidak bisa terus dipenjara oleh nama sebuah pernikahan yang dipaksakan. Dengan langkah pelan, seolah setiap pijakan adalah pertarungan, ia turun dari kamar menuju lantai bawah. Nafasnya berat, tapi tekadnya sudah bulat.
Hari itu, ia ingin bicara langsung dengan keluarga Kenan. Meski sah menjadi istri dari anak bosnya, ia tetap merasa asing. Rumah megah itu hanya sebuah bangunan dingin tanpa kehangatan.
Di dapur, dua asisten rumah tangga terlihat sibuk menyiapkan sarapan. Aroma roti panggang dan bubur ayam memenuhi udara.
“Eh, Mbak Jifanya sudah bangun? Mau saya buatkan sarapan?” tanya salah seorang gadis mungil dengan suara ramah.
Jifanya menggeleng pelan. “Tidak usah. Rumah sepi sekali, semua orang ke mana?”
“Sudah pada pergi, Mbak. Kakek Ali titip pesan suruh saya bikinkan bubur untuk Mbak.”
Hanya senyum tipis yang terlukis di wajahnya. Ia tidak lapar. Yang ia butuhkan bukan makanan, melainkan kejelasan. Maka ia melangkah ke taman samping rumah, tempat Nyonya besar biasa merawat tanaman.
Di sana, aroma tanah basah bercampur wangi bunga mawar. Burung-burung kecil berkicau di kejauhan, seolah menghibur. Namun suasana hati Jifanya tetap kelabu.
“Bu, saya boleh bicara sebentar?” suaranya pelan, hampir bergetar.
Nyonya besar menoleh, tatapannya tajam, dingin, penuh penilaian. “Ada apa, Jifanya? Duduklah.”
Jifanya duduk dengan gugup. Udara pagi yang sejuk terasa menekan dada.
“Saya… ingin menyampaikan sesuatu, Bu. Tapi… kalau Ibu ingin bicara lebih dulu, silakan.”
Wanita paruh baya itu menegakkan punggungnya. “Sebenarnya saya juga ingin bicara. Tapi silakan kamu dulu.”
Degup jantung Jifanya semakin kencang. Dengan menarik napas panjang, ia akhirnya berucap:
“Bu, saya pikir Pak Kenan tidak perlu bertanggung jawab atas kesalahan yang bukan miliknya. Saya… akan mengurus surat cerai. Biar beliau bisa menikah dengan kekasihnya.”
Sesaat, mata sang Nyonya berbinar terang. Namun buru-buru ia menutupi kegembiraannya dengan ekspresi pura-pura iba.
“Sebenarnya saya juga khawatir soal itu. Kenan dan Naya sudah lama merencanakan pernikahan. Kalau kalian bercerai sekarang, itu akan jauh lebih baik. Kami bisa lanjutkan rencana mereka.”
Kata-kata itu bagai pisau menembus hati Jifanya. Ia hanya mengangguk lemah. Tidak perlu diusir secara terang-terangan—ucapan itu sudah cukup jadi aba-aba.
Dengan senyum pahit, ia pamit. Tak lagi menoleh, ia kembali ke kamar. Satu per satu barang-barang miliknya ia masukkan ke dalam tas. Tidak banyak, sebab sejak awal ia datang hanya membawa diri. Ia masuk ke rumah itu sebagai seorang gadis baik-baik, dan kini keluar sebagai janda muda.
“Dunia memang kadang membalikkan nasib dalam hitungan hari,” gumamnya lirih.
Tubuhnya terasa kosong, jiwanya hampa. Namun ia tahu, ia harus tetap melangkah. Dengan air mata yang terus jatuh, ia berkata pada dirinya sendiri:
“Aku masih kuat… meski rasanya lelah.”
Dan langkah berat itu membawanya kembali menuju kontrakan lamanya.
Sementara itu, di sisi lain kota, roda kehidupan terus berputar. Kantor dan toko milik keluarga Kenan kembali ramai. Para karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing, namun lidah manusia tak pernah bisa diam. Dalam dua hari saja, kabar tentang pernikahan Jifanya dan Kenan sudah menyebar ke seluruh toko, gudang, bahkan pabrik.
“Eh, kamu tahu nggak, Jifanya nikah sama anak bos!” bisik seorang karyawan.
“Apa? Kapan?” sahut Tina dengan wajah pura-pura kaget.
“Kemarin. Katanya karena diperkosa sama putra Pak Wilson.”
“Apa? Nggak mungkin! Jifanya itu wanita kuat, mana bisa kayak gitu?” timpal Ines, rekan kerja Jifanya yang selalu kritis. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Tina, wanita yang duduk di sebelahnya, justru adalah dalang di balik semua tragedi ini.
Gosip itu menyebar lebih cepat dari angin. Dari mulut ke mulut, dari meja kasir ke ruang gudang, dari gudang ke pabrik. Semua orang membicarakan Jifanya dengan nada heran, kasihan, bahkan ada yang menyindir.
Berita itu akhirnya sampai juga ke telinga Fahar, lelaki yang dulu begitu dicintai Jifanya.
Teleponnya berdering. Nama Tina muncul di layar. Dengan malas ia mengangkat.
“Kita nggak perlu repot-repot singkirin Jifanya, Fah. Dia udah tersingkir sendiri!” tawa Tina meledak seperti petasan, penuh kebanggaan di atas penderitaan orang lain.
Fahar terdiam. Dadanya sesak mendengar kalimat itu. Ada sesuatu yang aneh—entah kenapa, ia justru merasa bersalah.
“Sahabat sejati tidak akan pernah tertawa di atas luka sahabatnya,” pikirnya. Tapi Tina jelas bukan sahabat sejati bagi Jifanya.
“Iya,” jawabnya pendek, suaranya berat.
“Sayang, kita juga akan menikah, kan?” tanya Tina dengan nada manja.
Fahar tidak menjawab. Dalam hatinya, bayangan wajah Jifanya muncul. Jifanya yang sederhana, tulus, dan jauh lebih berharga. Tapi dirinya kini terjebak dalam hubungan dengan Tina, wanita yang telah memberinya segalanya, sekaligus mengikatnya dengan cara yang ia benci.
“Sayang!” suara Tina meninggi.
“Iya… nanti kita bicarakan.”
“Kamu masih mikirin dia? Denger ya, katanya Jifanya dinikahi karena diperkosa. Tapi aku yakin dia sendiri yang nyodorin tubuhnya!”
Fahar mengepalkan tangan. Ia muak.
“Nanti aku hubungi lagi. Aku lagi kerja.”
“Tunggu! Jangan tutup dulu! Kamu ke mana semalam? Nggak ke kontrakan aku!”
“Aku sibuk di gudang. Lembur.”
“Gudang? Bukannya libur? Ivan bilang kamu nggak ada!”
Fahar menggertakkan gigi. Perempuan ini makin cerewet.
“Aku disuruh bersihin gudang. Sudah ya, aku kerja.”
“Denger ya, kamu udah janji nikahin aku! Aku udah bilang ke orang tua, bulan depan kita pulang kampung!”
Tanpa pikir panjang, Fahar menutup telepon. Nafasnya berat, kepalanya pening. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia mencari nama Jifanya di kontak. Ia tekan tombol panggil, namun nomor itu sudah tidak aktif.
Seakan dihantui rasa bersalah, ia pulang dari kerja dengan langkah terburu. Malam itu ia nekat datang ke kontrakan Jifanya. Tapi yang ia dapati hanyalah pintu kosong, tanpa penghuni.
Ia tidak tahu, bahwa semua ini adalah buah dari pengkhianatannya sendiri.
Di kamar kontrakannya yang sempit, Jifanya duduk bersandar di dinding. Matanya sembab, wajahnya pucat. Ia merasa seperti boneka yang kehilangan tali pengendali.
Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percaya—kekasih dan sahabat—itu luka yang tak mudah sembuh. Tapi ia tahu, air mata tak akan memperbaiki masa lalu. Hidup harus terus berjalan.
Dalam keheningan malam, ia berbisik pada dirinya sendiri:
“Kadang, Tuhan menjatuhkan kita ke dasar agar kita tahu siapa yang benar-benar peduli. Kadang, luka justru membuka jalan menuju kekuatan.”
Ia memejamkan mata, berharap esok masih ada secercah harapan.
Namun tak seorang pun tahu, bahwa langkahnya baru saja memasuki jalan penuh misteri. Jalan yang akan mempertemukannya kembali dengan cinta lama, dendam lama, dan rahasia yang lebih gelap dari sekadar pernikahan tanpa cinta.
Dan malam itu, di luar jendela kontrakan, seseorang berdiri dalam bayangan gelap, menatapnya dengan sorot mata penuh rahasia.
“Aku akan menemukannya… sebelum orang lain menghancurkannya,” bisik suara itu pelan, tenggelam dalam kegelapan malam.Bersambung
Pagi itu, mentari baru saja merangkak naik, menyinari jendela kamar Dila yang tirainya masih setengah tertutup. Suara burung yang bertengger di dahan mangga terdengar samar, namun hati Dila justru merasa berat begitu ia membuka mata. Ia menguap pelan, lalu meraih ponselnya di meja nakas. Jemarinya yang masih malas menekan layar, membuka aplikasi WhatsApp.Namun pandangannya langsung terhenti pada sebuah status yang tak biasa."Selamat jalan Oma, semoga khusnul khotimah. Aamiin."Status itu ditulis oleh Jifanya.Bola mata Dila membesar, napasnya tercekat. Seakan tubuhnya tersengat listrik, ia sontak duduk tegak.“Apa? Nenek Jifanya meninggal? Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” bisiknya, nyaris tak percaya.Tanpa menunda, ia segera menekan nomor Jifanya. Suara dering panjang membuat dadanya semakin sesak. Hingga akhirnya terdengar suara lirih di seberang sana.“Halo, Kak Dila,” suara itu parau, bergetar, seperti seseorang yang tengah menahan tangis.“Ji... apa benar nenek kamu meningg
Senja baru saja merayap di langit kota ketika Dila, dengan amarah yang ditahan-tahan, menelepon dua pria yang sangat dikenalnya: Kenan dan Bayu. Wajahnya pucat, matanya memerah. Ia meminta mereka segera pulang. Ada hal besar yang harus diselesaikan.Tak lama kemudian, suara langkah kaki menggema di halaman rumah keluarga besar mereka. Kenan tiba lebih dulu, duduk di kursi kayu depan rumah, matanya menatap kosong ke arah halaman, dingin seperti biasanya. Tak berselang lama, Bayu menyusul. Ia hanya menunduk, duduk tanpa kata.Dila menghampiri Kenan dengan emosi yang meledak-ledak. Di tangannya tergenggam kertas yang sudah kusut. Ia melemparkan kertas itu ke dada Kenan."Apa benar kamu menyuruh Jifanya menggugurkan kandungannya? Apa kamu sejahat itu, Mas? Lalu untuk apa kamu menikahinya?" suaranya mengguncang udara petang itu.“Aku... tidak tahu,” jawab Kenan, pelan namun tegas. Ekspresinya tetap datar, namun matanya menyimpan badai.“Pak Kenan, Pak Polisi yang terhormat!” Dila mencemooh
Siang itu terik luar biasa. Matahari seakan murka, membakar jalanan kota hingga aspal pun menguapkan panas menyengat. Lalu lintas ramai, klakson kendaraan bersahut-sahutan, namun di tengah hiruk pikuk itu, seorang wanita muda duduk diam di bangku taman. Wajahnya menunduk, matanya sembab, jemarinya menggenggam selembar kertas seakan nyawanya bertumpu di sana.Dia adalah Jifanya.Baru saja ia keluar dari kafe tempatnya bertemu Bayu—lelaki yang masih saja berusaha menebus kesalahan besar yang tak termaafkan. Tatapan penuh rasa bersalah itu selalu menghantuinya. Tapi Jifanya tidak butuh penyesalan, ia butuh kepastian.Selembar kertas di tangannya adalah persetujuan tertulis, ditandatangani oleh suaminya sendiri, Kenan. Persetujuan untuk sebuah tindakan pengguguran kandungan. Satu tanda tangan, tanpa banyak tanya, tanpa emosi, tanpa cinta.Jifanya menunduk, hatinya terasa diremuk. Satu tanda tangan cukup untuk menghapuskan kehidupan. Apakah aku hanya selembar kertas di mata Kenan?Angin si
Malam itu, langit tampak murung. Gerimis jatuh pelan, menimpa genting rumah yang dingin dan sunyi. Udara malam mengandung aroma tanah basah, seakan menjadi saksi bisu atas luka yang mengendap di hati seorang perempuan bernama Jifanya. Dengan langkah letih, ia akhirnya pulang. Ia merasa hidup tidak pernah adil padanya. Dari kecil sudah hidup menderita dan sekarang dia lebih menderita lagi.Tak disangkanya, Kenan—lelaki yang sah menjadi suaminya—sudah berada di rumah. Seketika degup jantungnya berpacu tak karuan. Ada harap yang bergetar di dalam dadanya, seolah malam itu bisa menjadi awal yang baru. Ia ingin menceritakan kabar kehamilannya, berharap meski sedikit, ada pengertian dari sang suami.Namun harapan itu cepat redup. Wajah Kenan tetap datar, sorot matanya dingin seperti danau beku.Di meja makan, hanya ada mereka bertiga: Jifanya, Kenan, dan sang ibu mertua. Meja makan yang seharusnya menjadi ruang kebersamaan, justru terasa lebih dingin dari kuburan. Tatapan sinis ibu mertua m
Matahari sore menggantung malas di langit kota. Hawa panas menyisakan gerah yang melekat pada kulit siapa saja yang melangkah di jalanan. Asap kendaraan bercampur dengan debu membuat udara semakin sesak. Namun di bawah rindang pohon kampus yang mulai meranggas, seorang perempuan berdiri mematung. Namanya Jifanya. Tubuhnya tegak, tapi hatinya rapuh. Matanya tajam, penuh bara amarah yang dipendam terlalu lama. Pandangannya tertuju pada seseorang yang baru saja keluar dari gedung fakultas—Bayu.Bayu, lelaki bertubuh tinggi dengan rambut undercut yang disisir ke belakang. Dengan langkah santai, ia mengibaskan jaket yang tersampir di pundaknya. Jemarinya merapikan rambut, sementara tatapannya tertuju pada Jifanya yang menunggunya. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Tak lagi ia lihat kerudung yang biasanya menutupi kepala Jifanya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai, wajahnya telanjang tanpa perlindungan. Ada luka di sorot matanya, tapi juga ada keberanian yang asing.Bayu berhenti, me
Pagi yang seharusnya hangat berubah menjadi kabut kelabu bagi Jifanya. Baru beberapa minggu tinggal sebagai menantu di rumah Kenan, tapi rasanya seperti bertahun-tahun dalam penjara dingin tanpa jendela. Setiap langkah yang ia ambil selalu salah di mata ibu mertuanya. Mulai dari cara makan yang disebut kampungan, gaya berjalan yang dianggap tak layak, hingga pilihan pakaian yang dianggap murahan.Rumah besar bercat krem yang dulu tampak megah kini terasa seperti rumah hantu. Bahkan dindingnya seakan ikut menghakimi keberadaan Jifanya. Berat badannya menyusut drastis, wajahnya pucat, dan matanya bengkak karena terlalu sering menangis diam-diam. Tapi semua itu tak membuatnya berhenti berusaha. Ia ingin diterima, diakui, dicintai… meski rasanya mustahil.Suatu pagi, keTina Jifanya membantu Bi Jum di dapur, suara tajam itu kembali mengiris telinganya.“Kamu harusnya ganti pakaian bersih dulu sebelum ke dapur,” ucap ibu mertua Jifanya dengan nada dingin dan menuduh.“Saya sudah mandi tadi