Perjalanan menuju daerah Barat menyita cukup banyak waktu menggunakan mobil. Sementara itu, Hendra Soedarso sudah pergi terlebih dahulu menggunakan helikopter saat para istri sedang berkemas. Kali itu, Charlotte berada satu mobil dengan Megan. Sedangkan di mobil lainnya, terdapat Miriam dan Elmira—yang sudah bisa diduga akan terjadi perang syaraf di antara keduanya."Kak Charlotte," panggil Megan sambil bersandar padanya. "Semalam, Mas Hendra tidur di kamarnya Kak Charlotte, 'kan? Maaf ya, Kak. Karena semalam aku demam, jadinya Mas Hendra pergi ke kamarnya Kak Charlotte dan memintamu untuk melayaninya."Alis Charlotte menyatu, tidak menduga bahwa rupanya Hendra tak berniat datang ke kamarnya sejak awal. Lantaran sudah berlalu, dia hanya bisa mengulum senyum."Tidak apa-apa, Megan. Kesehatanmu lebih penting," ujarnya kalem.Charlotte mendesah panjang sambil memandang jalanan yang tidak terlalu ramai. Pada kursi pengemudi, terdapat pengawal pribadi Megan yang mengemudi, dan Lucas yang
"Semuanya? Pergi menemani ke Barat?" tanya Elmira sekali lagi, tetapi penuh semangat.Pagi sekali, selepas matahari menampakkan diri, Hendra meminta semua istrinya untuk berkumpul di ruang keluarga untuk memberitahukan kepergian mereka ke Barat selagi pria tambun itu mengecek gudang mebel yang nyaris mengalami pencurian.Miriam, istri pertama yang lebih banyak diam dan enggan melirik tiga istri yang lain itu mendesah panjang. "Astaga, kupikir kamu mengajakku ke Barat karena memang mau memberiku kejutan, Mas. Tidak tahunya, kamu mau membawa para gundikmu ini sekalian."Elmira yang awalnya senang, langsung menghadiahi tatapan tajam kepada Miriam. Megan menciut mendengar sindiran tersebut, sedangkan Charlotte hanya bisa menghela napas berat. Hal semacam ini sudah biasa, kala Miriam sengaja memancing perdebatan yang tetap akan dimenangkan oleh Hendra Soedarso.Hendra memijit pelipisnya pelan. Sedari dulu, Miriam memang paling tidak terima atas keputusannya untuk menikah lagi. Memang sanga
Charlotte telah memantapkan diri. Mau seberapa mendebarkannya berciuman dengan Lucas, dia tetap harus memberi jarak kalau masih menginginkan hidup yang tenang di bawah atap Soedarso. Hanya karena Lucas pandai berciuman, dia tidak boleh goyah semudah itu. Seketika, teringat jika Lucas masih memiliki pekerjaan sampingan sebagai gigolo. Anehnya, dia merasa tidak nyaman dengan kenyataan yang satu itu. Padahal semuanya terserah Lucas, mau pria itu mempunyai pekerjaan sampingan lain juga bukan urusannya. Dan entah dia harus menganggapnya sebagai bantuan atau tidak, belakangan Hendra lebih memilih untuk tidur di kamarnya. Mau hanya sekadar tidur atau meminta untuk dilayani, yang mana membuat Lucas tidak mempunyai kesempatan sedikit pun untuk menyelinap ke kamarnya. Charlotte terbangun tepat tengah malam, memandang langit-langit kamar selagi Hendra terlelap dengan nyaman di sampingnya. Wanita itu mendesah panjang sebelum beranjak secara perlahan, kemudian mengenakan kimono tidurnya. Lanta
Ketukan yang terdengar sontak membuat Charlotte mendorong tubuh Lucas agar segera menjauh. Lucas terkekeh, tetapi harus cepat-cepat menampakkan ekspresi datarnya begitu pintu ruang kerja Charlotte terbuka tidak lama setelahnya."Oh, Megan? Kamu tidak jadi ke mal?" tanya Charlotte, berupaya menyembunyikan rona merah yang masih tertinggal pada paras manisnya.Lucas menyuguhkan senyum tipisnya pada Megan untuk menghindari kecurigaan, sebelum kembali pada tampang datarnya.Megan mengangguk pelan, sepertinya tidak menyadari ada yang janggal dari eksistensi Lucas dan Charlotte beberapa menit lalu. "Aku sudah menghubungi pihak butik, tapi kata mereka barang kupesan belum datang. Ya sudah, aku kembali ke sini saja dulu daripada mondar-mandir di mal dan lelah sendiri."Megan menghampiri sofa terdekat, duduk nyaman hingga tidak sengaja memperlihatkan paha wanita muda itu lantaran bawahannya berupa rok di atas lutut. Lucas segera memalingkan pandang, yang mana tidak lepas dari penglihatan Charlo
"Wah, rasanya tiap datang ke sini aku selalu takjub, Kak Charlotte."Megan mendorong pelan pintu utama kafe yang belum terlalu ramai lantaran baru saja buka. Di belakang keduanya, tentu saja para pengawal pribadi mengekori dengan penuh kewaspadaan.Berjalan riang di sampingnya, Megan menyapa beberapa pelayan serta barista yang bertugas. Keduanya mulai menaiki anak tangga, menuju ruang kerja Charlotte yang berada di lantai dua."Wah, seandainya saja aku bisa sepintar kamu, Kak Charlotte! Pastinya aku ingin membuat kafeku sendiri, berlagak seperti bos besar." Megan tertawa di akhir kalimat seraya mendudukkan diri di sofa terdekat."Kalau kamu mau, tidak ada salahnya mencoba, Megan. Coba saja dengan bisnis yang menjual minuman untuk dibawa pulang, bukan yang biasa diminum di tempat," saran Charlotte.Megan mengerucutkan bibir. "Entahlah, rasanya aku ingin sebuah usaha yang memiliki tempat secantik punyamu ini, Kak Charlotte. Terlihat seperti bos besar, wah! Tidak salah kalau Kak Charlott
"Kamu tidak bisa berkata seperti itu! Aku ini nyonyamu! Yang seharusnya kamu jaga! Bukannya mengambil kesempatan dalam kesempitan begini!"Lucas menyeringai, tetap menatap Charlotte yang terlihat bagai kucing menggemaskan yang terperangkap di bawahnya. Ditatap begitu, Charlotte malah salah tingkah. Pipinya merona tanpa bisa dicegah."Astaga, Nyonya sayang .... Kalau Anda bersikap menggemaskan seperti ini, mana bisa saya tidak menginginkan Anda, hm?" goda Lucas."Minggir, Lucas! Kalau kamu tidak minggir, aku akan membuat kamu melakukan suatu kesalahan besar, sampai akhirnya besok kamu pergi dari sini!" ancam Charlotte, tak mau gentar begitu saja."Oh ya? Kesalahan macam apa?" Lucas merendahkan tubuhnya, menopang dengan kedua tangan yang berada pada tiap sisi tubuh Charlotte. "Mau mengatakan kepada si tua bangka itu kalau saya sudah berlaku kurang ajar seperti ini?""Ya! Karena kamu sudah seenaknya tidur di—hmph!"Sepasang mata Charlotte membelalak, tidak menyangka bahwa Lucas akan menj