Share

Chapter 103

Penulis: Sya Reefah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-31 19:45:57

Eva menelan ludahnya, menahan rasa menggelitik di hatinya. “Apa dia manusia sejenis chameleon?” gumamnya dalam hati.

Chameleon adalah makhluk yang ahli berbaur dengan lingkungannya, mengubah warna sesuai kebutuhannya. Atau biasa disebut dengan bunglon.

Segala bentuk perhatian Henry terasa aneh bagi Eva. Karena seumur-umur dia tidak pernah merasakan perhatian itu.

Pria yang berada di ruangannya seperti topeng yang berganti-ganti wajah. Terkadang terlihat seperti tidak membutuhkan orang lain, di lain waktu dia akan berubah selayaknya pria lainnya yang memiliki rasa cemburu.

Dan di saat ini, dia terlihat peduli. Sama persis seperti chameleon yang disebutnya.

Berbagai pertanyaan membanjiri pikirannya. Apa yang membuat suaminya berubah seperti itu?

“Cepat buka mulutmu lagi,” pintahnya lagi.

Eva bahkan tak menyadari betapa patuhnya dia saat itu. Tanpa banyak berpikir, dia membuka mulut untuk menerima suapan berikutnya, meskipun pikirannya sibuk memutar berbagai kemungkinan.

Apa yang m
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 104 Peduli tapi Gengsi

    Eva menghela napas panjang. “Terserah kau saja, ‘lah. Aku tidak ada tenaga untuk berdebat,” jawabnya, tak berminat memperpanjang pembicaraan. “Sekarang kau bisa keluar, ‘kan? Keluarlah,” sambungnya dengan nada mengusir. Henry masih mematung, seperti enggan untuk keluar. Eva yang ada di sana tidak mendengar pergerakan Henry. Keningnya sedikit berkerut, pria itu pasti masih berada di dalam kamar mandi. “Kau masih belum keluar?” Henry menggaruk leher bagian belakang. “Bagaimana kalau … kau kesulitan?”“Memangnya sejak kapan kau peduli?” sengalnya. “Cepatlah keluar!”Henry menyandarkan tubuhnya di pintu, tangannya bersilang di depan dada. “Tidak. Bagaimana jika nanti kau tergelincir atau pingsan di dalam sini? Siapa yang susah? Pasti aku.”Eva mendengus, mencoba menenangkan dirinya agar emosinya tidak meluap. “Aku tidak akan tergelincir ataupun pingsan! Sekarang, keluarlah!”“Aku tidak akan pergi,” jawab Henry santai. “Aku ingin berada di sini. Aku hanya tidak mau menanggung masalah

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-02
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 105

    “Apa ada yang mengganggu Anda, Tuan?” tanya Dave, ketika menyadari atasannya itu tengah melamun. Samuel menoleh ke arahnya. “Antarkan aku ke ruangan Eva.” “Ta-tapi, Tuan … Anda masih perlu banyak istirahat. Dokter menyarankan agar Anda tidak banyak bergerak lebih dulu.” “Aku tidak apa-apa, Dave, ini hanya luka kecil. Jangan menganggapnya serius.” Dave tampak gelisah, berdiri di samping Samuel yang sudah bersiap untuk bangkit dari tempat duduknya. "Tuan, mohon pertimbangkan lagi. Kondisi Anda masih belum pulih," desaknya, nada suaranya penuh kekhawatiran.Samuel menatapnya tajam. "Dave, aku tidak akan terbaring di sini seperti pasien tak berdaya. Antarkan aku ke ruangan Eva sekarang.""Tapi, Tuan-"Samuel mengangkat tangan, memotong ucapan Dave. "Pikiranku sudah bulat. Kalau kau terus membantah, aku akan pergi sendiri. Dan aku yakin kau tahu itu bukan ide yang baik."Dave menghela napas panjang, menyerah pada keras kepala atasannya. Dia tahu betul bahwa tidak ada yang bisa mengubah

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 106

    “Bukankah kau harus memulihkan tubuhmu? Untuk apa kau datang ke sini?” Henry tetap berdiri di tengah pintu, tidak memberikan celah sedikitpun untuk Samuel masuk. “Aku ingin lihat keadaan Eva. Apa itu salah?” Nada suaranya terdengar menantang. “Pasien tidak bisa diganggu, sebaiknya kau kembali.” Henry berniat menutup pintu kembali, tidak membiarkan Samuel masuk. Akan tetapi suara Eva membuatnya berhenti. “Siapa yang datang?” tanyanya penasaran. “Kenapa kau tidak membiarkannya masuk?” “Ini aku, Samuel,” jawabnya dengan ramah. Perlahan, ekspresi kesal Eva berangsur memudar, digantikan dengan senyum merekah saat mendengar suara Samuel dari ambang pintu. Hatinya begitu lega bisa mendengar suara bariton itu lagi. Sedari tadi dia mengkhawatirkan pria baik hati itu, berharap dia baik-baik saja. “Kenapa kau tidak membiarkannya masuk?” nada suaranya terdengar ketus. “Dia lagi sakit. Nanti kau tertular,” jawab Henry tak masuk akal. Yang mereka alami adalah kecelakaan, apa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-05
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 107

    Eva melipat tangannya di depan dada, ekspresinya datar tanpa sedikit pun emosi. “Cemburu?” ujarnya dengan nada skeptis. “Dia ‘kan tidak punya hati untuk merasa cemburu. Walaupun dia cemburu, itu pasti karena sesuatu yang konyol, seperti kehilangan kendali atau egonya yang terganggu. Lagipula, untuk apa juga dia cemburu?”Kalimat itu menusuk Henry lebih dalam daripada yang dia duga. Rahangnya mengencang, tangan kanannya mengepal di sisi tubuhnya. Dia ingin membantah, tetapi suara Eva yang dingin membuatnya kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin dia berkata seperti itu? pikir Henry, tatapannya membara dengan amarah yang ia coba sembunyikan.Eva menunjukkan sikapnya yang tidak peduli itu justru membuatnya semakin jengkel. Dia menatap Samuel dan Eva secara bergantian. Pandangannya semakin menajam ke arah Samuel. Sementara Samuel, di sisi lain, hanya tersenyum tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi rodanya. Tatapan nakalnya penuh arti, menikmati setiap detik ketegangan di antara pa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 108 Saat Kata tak Lagi Terucap

    Big Sur, California.Villa itu berdiri megah di atas bukit, menghadap laut lepas Samudra Pasifik, jauh dari keramaian California. Suasana ini menandakan jika dunia hanya miliknya. Bagi Martin, villa itu adalah tempat sempurna untuk berdiam diri. Tak ada seorangpun yang tahu mengenai villa megah yang dia datangi, bahkan istrinya sendiri tidak mengetahui villa pribadi yang dia bangun di kawasan itu. Siang itu, dia duduk di ruang tamu villa yang megah dengan nuansa elegan, dengan pemandangan laut yang memukau. Udara segar dari laut yang beraroma asin dan aroma kopi yang menyeruak menjadi teman untuknya bersantai. Di hadapannya, duduk seorang pria dengan setelan jas rapi, dia adalah Logan, orang kepercayaannya. Martin meneguk kopi miliknya, lalu kembali meletakkan di atas meja. “Kau sudah mengumpulkan semua informasi yang aku minta, ‘kan?” tanyanya, meski dia sudah berumur, suaranya tetap penuh otoritas tinggi. Logan mengangguk, dan akhirnya menjawab, “Ya, Tuan. Saya membawa semua yan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 109 Pengakuan Julia

    Logan diam, memandang ke arah Martin. Wajah pria paruh baya itu tampak tenang, tetapi sorot matanya tidak bisa berbohong. Meski Logan tak menunjukkan banyak emosi, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang mengatakan bahwa dia bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Martin. Suasana di sekitar mereka kembali hening, seolah waktu berhenti sejenak, membiarkan setiap orang tenggelam dalam perasaan masing-masing. Di sisi lain kota, Julia dan Elise duduk di meja kecil elegan, ditemani hiruk-pikuk percakapan dari meja-meja lain di Restoran mewah di tengah kota. Aroma truffle dan masakan mewah lainnya menguar di udara, menciptakan suasana yang menyatu dengan kota yang tidak pernah tidur itu. Julia menyentuh gelas campagne-nya, menatapnya sejenak kemudian meneguknya perlahan. Sementara Elise, yang duduk di seberang, memotong daging steak dengan gerakan elegan. Julia kembali meletakkan gelasnya, dengan suara tenang dia berkata, “Apa Aunty tahu kabar terbaru?” Elise menatapnya, wajahnya ta

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 110 Amarah Elise

    Ibu dan anak ternyata sama saja!” Elise berujar dengan nada sedikit meninggi, tampak kesal.Julia menatap dengan bingung, alisnya berkerut. “Ibu dan anak … sama saja?” ulangnya dengan nada penasaran. “Maksudnya bagaimana, Aunty?” Elise mendadak diam, sadar jika dia salah berucap. Wajahnya seketika berubah, ekspresi kesalnya itu berganti canggung. Dia menatap Julia yang penuh kebingungan, mencoba mencerna apa yang baru saja dia ucapkan.“Ah, haha … tidak … kau hanya salah dengar tadi,” ucapnya, diikuti dengan nada penuh candaan. “Sudah, ayo habiskan makananmu.” Elise kembali menikmati makanan miliknya, berusaha menghindari pertanyaan dari Julia.Julia bertanya-tanya dalam hati, merasa penasaran. Matanya bergerak mengikuti pergerakan Elise, seolah mencari jawaban yang tersembunyi. “Aku yakin tidak salah dengar. Sepertinya ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Jika aku tidak diberitahu, maka aku akan mencari tahu sendiri,” katanya dalam hati. Langit siang mulai beranjak senja, dengan s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 111 Pembelaan Henry

    Elise tercengang. “Apa katamu?” Dia memastikan jika indera pendengarannya tidak salah dengar, jika putranya itu membela menantu miskinnya. “Apa perkataan Henry kurang jelas?” tegasnya, di dalam matanya menunjukkan amarah. Gigi Elise gemertak. Dia tidak percaya jika putranya yang selalu menuruti ucapannya kini berani melawannya. Tak ada yang istimewa dan bisa dibanggakan dari menantunya, untuk apa putranya itu membelanya? Apa yang sudah wanita itu berikan pada putranya hingga berani melawan dan berbicara nada tinggi. “Untuk apa kau membelanya, Henry?” Suaranya meninggi, hingga urat di lehernya terlihat. “Wanita itu hanya mendatangkan kesialan di keluarga kita! Untuk apa masih dibiarkan saja?”Henry ingin meledakkan emosinya, tetapi dia harus bisa menahan di depan orang tuanya agar tidak meledak. Entah bagaimana dalam hatinya itu seperti tidak terima mendengar setiap perkataan mamanya.Akhirnya dia pun bersuara dengan tegas, “Sudah cukup, Ma! Jangan sampai Henry melaporkan ini pada

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12

Bab terbaru

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 192

    Malam harinya, Henry melangkah keluar, menuju ruang tamu, masih menggunakan handuk kimononya yang melilit tubuhnya. Rambutnya masih sedikit basah, tetesan air sesekali jatuh ke lantai saat dia berjalan pelan.Di ruang tamu itu, Elise sudah duduk menunggunya. Wajahnya terlihat masam, dan kedua tangannya terlipat di depan dadanya. “Untuk apa Mama datang ke sini?”“Kenapa kau tidak pernah menjawab telepon dari Mama?” Henry diam, memilih tidak menanggapinya. Dengan sikap acuh tak acuhnya dia menghempaskan tubuhnya di atas sofa, membiarkan tubuhnya bersandar malas tanpa memerdulikan ekspresi kesal Elise yang menatapnya tajam. Dia tahu bahwa saat ini, mamanya tengah marah padanya.Namun, apa pedulinya? “Bagaimana bisa sampai kau keracunan makanan saat di Swiss?” Elise mengomel tanpa jeda. Henry menghela napas panjang. Satu tangannya menjadi tumpuhan kepalanya, malas menanggapi Elise yang terus mengomel tanpa henti. Dengan tangan lainnya memegang gelas berisi air putih. “Ini pasti karen

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 191

    Perlahan, Eva mengerjap. Dia tak tahu sudah berapa lama tertidur. Cahaya senja masuk melalui celah tirai, menandakan waktu sore. Sudah sore?Seketika, mata Eva terbuka lebar. Ternyata, dia tertidur dalam waktu yang lama. Dia berniat untuk bangun, tapi gerakannya terhenti saat menyadari ada tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Dia menoleh perlahan dan melihat sosok di sampingnya. Sudah pulang? Sunyi beberapa saat.Dia memerhatikan wajah Henry yang masih tidur dengan napas teratur dan wajah tenang. Pria itu masih mengenakan baju kantornya, dengan kancing kemeja atasnya terbuka. Saat tidur, pria ini begitu pulas seperti bayi, tapi saat terbangun, sikapnya begitu menyebalkan. Entah mengapa, pria ini membingungkan, terkadang tak masuk akal bahwa ada orang sepertinya di dunia ini. Masih dengan mata terpejam, Henry bergumam, suaranya serak khas seseorang yang baru bangun tidur. “Apa kau selalu menatapku diam-diam seperti itu?”Eva terkejut, tidak menyangka jika pria itu sudah ban

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 190

    Ryan meringis, lalu menjawab, “Tuan … apakah Anda tahu berapa banyak laporan yang saya kerjakan saat Anda liburan?”Henry menatapnya datar. “Itukan memang tugasmu sebagai Asisten,” jawabnya santai dan bodo amat. “Berarti saya tidak bermalas-malasan, Tuan ….” Ryan menjawab dengan suara merendah. “Kalau tidak malas, kenapa dokumen ini masih menumpuk di mejaku?” Henry ngotot menyalahkannya.Ahirnya Ryan terdiam sejanak, meratapi nasibnya. Dalam lubuk hatinya, dia bertanya-tanya, kenapa hari ini Henry begitu menyebalkan? Biasanya, bosnya itu biasa saja mengatasi semua dokumen itu dan asik tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, kenapa hari ini berbeda sekali? Dia seperti serba salah di mata Henry. Pasti gara-gara tadi pagi aku menerornya!Tapi, itukan karena Nyonya Besar. Kenapa tidak marah saja padanya? “Baiklah, maafkan saya, Tuan,” katanya pasrah.Tak ada yang menang berdebat dengan Henry. Henry menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Matanya melirik ke arah ponselnya yang ada di s

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 189

    “Kurang ajar sekali mereka mengganggu waktuku!” gerutunya, di selah-selah memasang dasinya. Waktu paginya yang indah itu terganggu, semua orang menghubunginya dengan hal-hal yang tidak penting menurutnya. Dia merasa belum puas menghabiskan waktu bersama Eva.Benar-benar menyebalkan!Eva mendekat, mengambil alih untuk mengikat dasinya. “Mungkin ada hal yang benar-benar mendesak,” katanya dengan suara menenangkan. Pandangan matanya turun menatap Eva. Dia meletakkan tangannya di pinggang istrinya dengan nyaman. Hanya butuh satu menit dasi itu terpasang dengan rapi. Eva mendongak, matanya bertemu mata gelap Henry. “Jangan terlalu keras pada dirimu, kau baru saja sembuh,” katanya penuh perhatian. Henry menarik napas panjang. “Kau tidak mau menahanku?”Eva memandangnya malas. Pria ini mulai bersikap dramatis. “Untuk apa?”Seketika Henry memasang wajah serius. “Kau benar-benar tidak peka dengan keadaan.”Eva mengedipkan matanya cepat. “Memangnya apa yang harus kulakukan?” Wajah Henry s

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 188

    Pagi menyapa dengan cahaya lembut menyusup dari celah gorden. Henry dan Eva masih tertidur pulas. Kehangatan masih terasa di antara mereka, sisa dari kebersamaan yang baru saja terjadi semalam. Eva membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya dia benar-benar terbangun. Kedua matanya mencerna suasana kamar yang begitu asing. Di mana ini?Dia belum sepenuhnya sadar. Hingga dia merasakan tangan kekar memeluk tubuhnya. Dia menoleh. Di sampingnya, Henry masih tertidur pulas. Deru napasnya terdengar begitu teratur. Henry? Butuh tiga detik untuk mencerna hingga dia benar-benar sadar dengan kejadian semalam. Dia mengangkat selimut dan melihat ke dalamnya. Rona merah mulai terlihat di pipinya. Dia malu, dan segera menarik selimut untuk membungkus kepalanya. Pergerakannya itu membuat Henry terbangun. Mata Henry masih setengah terpejam, ekspresi khas seseorang yang baru saja terbangun. Dengan mata setengah terbuka itu, dia bisa melihat gundukan selimut di depannya.

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 187

    Dengan satu gerakan cepat, Henry mengangkat tubuh Eva, merasakan betapa ringannya tubuh itu dalam dekapannya. Eva begitu terkejut ketika tubuhnya terangkat begitu saja. Matanya menatap Henry dengan penuh kebingungan. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Yang kulakukan …?” Henry tersenyum penuh makna. Tanpa menjawab lagi, dia membawanya menuju tempat tidur. Henry membaringkan tubuh Eva perlahan. Eva merasakan jantungnya mulai berdetak lebih kencang saat ini. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya Henry meraup bibir Eva. Awalnya ragu-ragu, tapi semakin lama, semakin dalam dan penuh hasrat. Tindakan itu begitu cepat. Eva yang sedikit terkejut kini memejamkan kedua matanya, merasakan gelombang hasrat yang Henry ciptakan. Kali ini, Henry seperti tidak memberikan ruang lagi untuk mereka berjarak. Kemudian, bibirnya turun perlahan menyentuh leher Eva.Eva bisa merasakan hembusan napas berat menyentuh kulitnya. Dia mencoba mendorong tubuh Henry, tetapi, Henry menarik tangannya ke atas kep

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 186

    Eva membalas dengan tatapan bingung. “Kenapa? Apa kau perlu sesuatu?”Henry hanya diam, dan tatapan mata yang masih tertuju pada Eva.Dia kenapa? Apa ada yang salah?Eva berdehem pelan. “Aku ambilkan makan malam untukmu.” Dia bersiap untuk bangkit dari duduknya.Namun, dengan gerakan cepat, Henry menariknya, membuatnya terduduk kembali. Akan tetapi, kali ini ia terduduk di pangkuan Henry. Saat itu, jantungnya berdetak lebih kencang, antara rasa terkejut dan tatapan dalam suaminya padanya. “Kenapa kau buru-buru sekali?” Suaranya pelan dan sedikit serak. “Aku hanya ingin mengambilkan makanan untukmu.” Eva sedikit gugup dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. “Jangan seperti ini. Tidak enak jika pelayan melihatnya.” Dia berusaha bangkit, tapi tangan Henry menekan pinggangnya, memaksanya untuk tetap tinggal. “Memangnya kenapa jika mereka melihat?” jawabnya dengan acuh tak acuh. “Mereka tahu kalau kau Istriku.” Eva menoleh.Pria ini memang benar-benar keras kepala dan tidak ped

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 185

    “Ayolah … tidak ada yang salah jika kita melakukannya. Kenapa wajahmu seperti itu? Kau bahkan sering menuntut lebih,” ucapnya dengan penuh percaya diri.Tatapan mata Eva menjadi tajam. Pria ini benar-benar tidak punya malu dan terlalu percaya diri!Pintar sekali membalikkan fakta!“Racun itu bersarang di perutmu, tapi kenapa jadi otakmu yang bermasalah?” Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Eva. Ekspresinya yang datar dan tanpa emosi itu membuat setiap kata yang diucapkan terdengar lebih tajam dan menusuk. Henry tidak mau kalah. Dia terus melayangkan serangannya menggoda Eva. “Aku hanya bicara sesuai fakta.” Eva membantah cepat, “Tapi fakta yang kau katakan justru sebaliknya.” “Coba katakan di mana kebohongannya? Setiap kau membalas, aku selalu kuwalahan.” Eva terdiam. Melihat wajah dan senyum nakal Henry itu membuatnya semakin jengkel. Rasanya dia ingin keluar dan mengambil sesuatu untuk memukul kepalanya yang sedang bermasalah. Dasar pria mesum!“Aku rasa, racun itu

  • Tuan Pewaris, Nyonya Memilih Pergi    Chapter 184

    Dua hari kemudian.Lawson menutup teleponnya, lalu mengambil mantel panjangnya dengan tergesa-gesa. Sophia mendekat, memasang wajah penasaran. “Papa mau ke mana? Ada kabar apa?”Gerakannya saat memakai mantel tampak terburu-buru. “Papa mau ke Dermaga. Kepala Koki menjadi tersangka dari insiden kemarin.”“Kepala Koki?” Mata Sophia terbelalak lebar. “Papa pergi dulu, ya.”“Mama ikut!” Sophia menyambar tas, kemudian berlari mengejar langkah suaminya. ****Dermaga. Di tengah suasana tegang, kepala koki itu terlihat berlutut, dengan suara gemetar. Dia menahan tangis, dan memohon ampunan di depan orang-orang yang berjejer penuh kekuasaan, memandang ke atas dengan tatapan penuh harap. “Saya berani bersumpah, saya tidak pernah melakukannya.” Salah satu tim keamanan itu menjawab dengan penuh otoriter, “Simpan semua jawabanmu itu, kita tunggu Tuan Lawson datang.” Kepala koki memegang ujung bajunya dengan tangan gemetar, dia terus memohon, tetapi tak ada seorang pun yang bergeming, maupun

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status