Henry menggandeng tangan Eva, langkah mereka berdua ringan saat memasuki kafe boutique—kafe yang biasa dikunjungi kalangan elit. Aroma kopi dan kue-kue manis begitu akrab ketika mereka memasuki kafe tersebut. Dua sosok di salah satu sudut sudah menunggunya dan melambai ke arah mereka. Sophia tersenyum lebar bersama Tuan Lawson. Begitu mereka dekat, Sophia segera bangkit lalu memeluk Eva. “Selamat, Eva. Aku sangat bahagia dengan kabar bahagia ini.” “Terima kasih.” Eva membalas pelukan itu dengan hangat. Tuan Lawson ikut berdiri, menjabat tangan Henry. “Selamat atas kabar bahagia ini, Tuan Henry. Semoga sehat selalu untuk kalian dan calon buah hati Anda.” Henry tersenyum cerah, rona bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya. “Terima kasih banyak, Tuan Lawson.” Mereka berempat kemudian duduk, menghabiskan waktu siang dengan obrolan ringan diisi dengan tawa. Sophia antusias bertanya mengenai bayi, bahkan dia memberikan seikat buket bunga pada Eva sebagai ucapan selamat. Sement
Pagi itu, Henry menggeliat, mencoba meraih ponselnya di atas nakas yang terus berbunyi. Ini pukul enam pagi. Terlalu pagi untuk memulai aktivitas di hari liburnya. Semalam, Henry memutuskan untuk bekerja di rumah, tak berniat meninggalkan Eva dalam kondisi seperti saat ini. Dengan mata tak sepenuhnya terbuka, ponselnya menyala, menampilkan nama Ryan di dalamnya. Henry mendengus sebal. Ryan membangunkannya di pagi ini. Seharusnya, dirinya masih tertidur lelap. Dia menekan tombol hijaunya. “Kau tidak tahu ini jam berapa?” katanya, tanpa basa-basi, dengan suara serak khas bangun tidur. Rasanya dia ingin melempar ponselnya. Ryan sudah mengganggu waktu tidurnya. Namun, dia benar-benar lupa, bahwa semalam, dia sempat menelepon Ryan jam tiga pagi. “Maaf mengganggu pagi-pagi, Tuan,” kata Ryan di seberang sana. “Saya menelpon karena melihat riwayat panggilan dan pesan Anda semalam. Saya tidak tahu karena ponsel saya dalam keadaan senyap.”Henry memutar kedua matanya jengah. “Kalau ponsel
Malam begitu larut, kamar hanya diterangi cahaya samar-samar lampu tidur. Henry terbangun. Dia mengerjap, berusaha membiasakan diri dengan kegelapan. Di sampingnya, Eva tertidur lelap, napasnya teratur. Henry mengamati Eva dengan intens. Selimut yang semula menutupi dirinya kini merosot, memperlihatkan bahunya yang terbuka. Dengan hati-hati dia menarik selimut itu ke atas hingga menutupi Eva dengan sempurna sampai leher.Gerakannya sangat hati-hati, takut mengusik tidur istrinya. Bahkan dia menyelipkan selimut itu di bawah punggung Eva agar tidak bergeser. Setelah memastikan Eva nyaman dan hangat, dia menghela napas panjang. Kantuknya kini hilang begitu saja.Henry melirik ke arah jam dinding. Pukul 03.00 pagi. Terlalu dini untuk memulai aktivitas. Dia menyingkap selimut. Perlahan, dia menggeser tubuhnya ke tepian ranjang. Dia melakukannya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara dan membangunkan Eva. Syukurlah, istrinya begitu lelap. Henry meraih ponselnya di atas nakas.
Eva melangkah pelan menuju ruang tengah, tubuhnya lemas akibat perutnya sensitif sejak tadi. Suasana di ruang tengah begitu hening. Eva meraih remote TV lalu duduk di salah satu sofa. “Rosa,” panggilnya pelan, dan sedikit serak. Merasa terpanggil, Rosa muncul dari arah dapur, berlari kecil mendatangi Eva. “Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Melihat wajah pucat Eva, dia melangkah mendekat lagi dengan raut wajah cemas. “Ya ampun, Nyonya! Anda terlihat pucat sekali. Anda kenapa?” Tanpa menunggu jawaban Eva, Rosa segera mengangkat tangan dan dengan hati-hati memijat pelipis Eva. “Apa Anda merasa pusing, Nyonya? Bagaimana pijatan saya, apa ini bisa meredakan pusing Anda?”Eva memejamkan matanya, merasakan pijatan Rosa, tetapi kepalanya semakin pusing mendengar serentetan pertanyaan dari Rosa. Pelayan itu menjadi sedikit berlebihan saat tahu dirinya tengah mengandung. Tak jauh beda seperti Henry. Atau … ini perintah Henry?“Bagian mana lagi yang sakit, Nyonya? Katakan pada saya,” kata
Henry membenamkan dirinya di balik semua dokumen yang menumpuk di hadapannya, berusaha keras memusatkan perhatiannya pada deretan kata dan angka yang berjejer di layar komputernya. Namun, rasanya sia-sia. Pikirannya terus melayang, terbang jauh ke Millbrook. Kota kecil yang tenang, di mana papanya bertemu dengan mama mertuanya. Bukan hal aneh. Besan saling mengunjungi, itu hal wajar. Akan tetapi, entah mengapa kedatangan sang papa itu terus mengganggu pikirannya. Sejak papanya keluar dari rumah mama mertuanya, ada kegelisahan yang terus menggerogotinya, seperti bisikan yang tidak bisa dia abaikan. Sekuat apapun dia menepis pikirannya, rasanya dia terus tersedot ke dalamnya. Ini bukan kunjungan biasa, dia yakin. Tapi … bagaimana jika mereka memiliki hubungan terlarang?Apa dia harus membenci papanya?Ataukah dia harus membenci mama mertuanya?Bahkan berimbas kebencian pada istrinya sendiri? Henry menggeleng pelan. Tidak. Tidak mungkin dia membenci Eva.Dia mencoba meyakinkan diri
Pintu lift tertutup, meninggalkan Henry dan eva dalam ruangan yang terbatas. Hening. Tanpa berkata-kata, Henry menarik tubuh Eva mendekat. Dia merangkul pinggang wanita itu dengan satu tangan. Dia tak benar-benar membiarkan istrinya menjauh. Tak peduli meski di dalam lift itu terdapat CCTV yang mengawasinya. Lagipula, itu hanya CCTV. Apa pedulinya.Eva mendongak, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Matanya berbinar, menyimpan rasa terima kasih pada pria di sampingnya. “Kenapa kau tidak cerita padaku kalau kau mengunjungi Mama waktu itu?”Henry menoleh, menatap penuh kasih. “Terlalu fokus denganmu membuatku melupakan banyak hal.”Eva mencubit pelan pinggang Henry. “Kau mulai banyak membual.”Henry meringis, meski cubitan itu sebenarnya tak menyakitinya. “Harusnya kau tidak perlu repot-repot sampai mengganti semua barang di rumah.” “Semuanya sudah tidak layak digunakan. Sudah seharusnya semuanya diganti,” jawab Henry. “Biar Mama bisa