Jangan lupa tap love yan readers.
Mirwan langsung memboyong Andira ke rumah miliknya yang ada di kota. Tak banyak yang tahu bila pak guru ini punya rumah di salah satu perumahan yang ada di kota ini. Di kompleks Villa Mutiara Mas. Perumahan tipe 45 dengan satu kamar di atas dan dua kamar dibawah. Rumah ini tak besar bahkan jauh dari kata mewah seperti yang ditempati Andira dulu saat bersama Sakha. Ini pun hanya rumah bekas yang dibeli Mirwan secara cash, lalu merenovasi sedikit. Namun, meski demikian, rasa bahagia tetap disyukuri oleh pasangan ini. Sebesar atau semwah apapun rumah, bila tidak ada kebahagiaan didalamnnya, tetaplah rasa sukar di hati.Disinilah tempat mereka bermulan madu. Bukan di rumah mewah, bukan pula di luar kota atau di hotel berbintang. Cukup di rumah sendiri, menciptakan kebahagiaan dan hal romantis lainnya.Tadinya Mirwan hendak mengajak anak – anak mereka. Irina dan Zafian. Namun ibunya melarang. Bu Juriah dan bu Norma yang menemani Irina dan Zafian. Kedua orang tua itu mengerti dengan kondisi
Angin pagi berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan di setiap tangkai pohon ketapang yang tumbuh di pinggir perumahan itu. Dingin menyusup kedalam kulit, menandakan musim kemarau sudah akan datang. Sebab pagi akan terasa sangat dingin, namun ketikan siang, maka dinginnya angin akan berganti dengan teriknya mentari. Panas yang membawa angin, menerbangkan dedaunan yang gugur semalam. Suasana romantis dan intim selama tiga hari ini dinikmati dengan rasa puas oleh pasangan pengantin baru. Andira dan Mirwan. Meski rasa canggung masih ada, namun Mirwan yang selalu berinisiatif untuk mendekati, menyentuh ataupun memeluk Andira. Berusaha menghilangkan rasa canggung diantara mereka. “Sayang, mau sarapan apa?” Mirwan yang menanyai Andira, sebab istrinya itu belum tahu tempat – tempat makan yang ada disini. Tiga hari ini nyaris tak pernah keluar rumah. Hanya dua kali, Mirwan membawa Andira ke minimarket di depan kompleks perumahan itu untuk membeli beberapa keperluan mandi mereka. Selebihnya mer
Gerimis turun di pagi ini, membawa angin yang sesekali bertiup, menyebabkan rinai hujan kadang meliuk mengenai jendela kaca, meninggalkan titik air yang enggan beranjak. Dengan daster sebatas paha tanpa lengan, Andira sibuk berkegiatan di dapur, walau hanya masak nasi dan membuat dua gelas teh hangat untuk sarapan mereka,sebab masih ada ayam semalam yang mereka beli untuk lauknya. Ayam yang rencananya akan dibawa ke desa untuk anak-anak mereka. Namun rencana yang telah dijalani separuh, harus putar haluan kembali. Sebab hujan yang mendera bumu dengan derasnya, cukup menghalangi pandangan magrib kemarin. Sesampai di masjid An-Nur batas kota, Mirwan menepikan mobil untuk menunaikan sembahyang magrib dan istirahat sejenak menunggu hujan agak mereda. Namun setelah selesai sembahyang pun, hujan hanya memelan sebentar, kemudian turun lebih deras dari sebelumnya. Jalanan yang cukup curam, tentu membuat khawatir jika melanjutkan perjalanan di malam hari. Lalu saat menunggu hujan mereda sejen
Bu Marwiah terus menangis di pelukan Andira. Tubuhnya terlihat jauh lebih kurus dari terakhir yang Andira lihat.“Maafkan mama Ra, maafkan Sakha sudah menyakiti kamu nak!” Ucap bu Marwiah terbata – bata.Netra Andira ikut berembun melihat kondisi mantan mertuanya itu. Sementara Sakha yang berdiri di seberang ranjang pasien hanya tertunduk sedih dengan hati yang dipenuhi penyesalan. Di seberang ada mantan istrinya yang tetap sudi datang menjenguk mamanya, mantan istri yang menjadi menantu kesayangan mamanya meski lama baru bisa memberi cucu. Mantan istri yang akan telaten merawat mamanya bila sakit ataupun lelah menjaga kios sembako milik mereka. Andiralah yang akan sigap menangani semua. Semua disadari Sakha setelah terlambat. Bahan sangat terlambat, seban Andira sekarang ada yang memiliki.Sekarang Andira tak datang sendiri. Hari ini Andira berdiri di depan Sakha bersama seorang pria yang tampak begitu menyayanginya, pria yang mampu meredam rasa cemburu pada mantan suami, istrinya. P
Bu Marwiah tadi sempat membuka matanya saat Andira dan Mirwan datang menjenguk bersama Zafian dan Irina. Sakha yang meminta Andira datang membawa Zafian, sebab kondisi bu Marwiah yang semakin menurun. Setelah didiagonasa oleh dokter, ternyata bu Marwiah mengalami komplikasi Hipertensi, jantung dan HB yang rendah. Bahkan Semalam sempat di transfusi darah satu kantong.Mirwan yang kebetulan bergolongan darah A sama dengan bu Marwiah, tadi ikut juga menyumbangkan darahnya juga satu kantong. Tak lupa Sakha mengucap terima kasih atas bantuan sukarelanya tadi.“Nenek kenapa ma?” tanya Zafian polos, saat melihat kondisi bu Marwiah, sang nenek yang terlihat makin kurus dengan selang infus menancap di tangan sebelah kanannya. Meski tak tinggal serumah, namun ingatan Zafian akan neneknya ini sangat jelas. Sebab beberapa kali, Andira dan Mirwan mengantarkan bocah ini untuk menginap bersama papa dan neneknya bila hari libur. Tentu saja, perlakuan Bu Marwiah yang begitu menyayangi cucunya ini,
Andira hanya tertunduk menahan sebak yang membuncah di dada. Berusaha menahan embun yang mengaca di netra coklatnya.berapa kebohongan lagi yang harus di dengarnya. Meski cukup lega namun luka jelas terjejas. Ingin marah pun sekarang tak ada guna, sebab dirinya sudah menjadi istri dari pria lain. Bukan lagi pria yang menyakiti dan mengkhianatinya sepanjang pernikahan pertama yang dijalani. Mata bening wanita berwajah teduh itu telah berkaca namun genggaman sang suami yang semakin erat memberikan kekuatan dan perasaan yang berusaha ikhlas.“Mengapa tak jujur dari dulu, Mas?” Andira menahan nyeri yang tiba-tiba menyerang. Bukan sebab ingin mengenang, namun yang namanya kenangan tetap akan tersisa. Apalagi kenangan yang meninggalkan luka.“Maafkan saya, Andira.” Sakha merapal nama mantan istrinya, dengan bibir yang berusaha menahan getar.Hening sejenak. Menjeda waktu. Berharapa kejujuran yang baru sekarang terungkap, dapat membalut luka yang mungkin hampir sembuh. Sebab tak ada luka peng
Apa yang diharapkan dari hubungan yang tidak di ridhohi Allah, hanya akan ada kesakitan di akhirnya. Apalagi hubungan yang sampai menyakiti manusia yang lain. Hubungan yang mencerai beraikan rumah tangga orang lain. Hubungan yang memisahkan anak dan orang tua. Namun begitu tetap saja ada manusia yang dengan tega melakukan semua itu, tanpa memikirkan rasa sakit yang ditimbulkan dari perbuatannya. Tak memikirkan bila apa yang dilakukannya akan berdampak dikemudian hari, bahkan orang – orang akan mengingat meski masa sudah lalu, taubat sudah terwujud, namun semesta tetap mengenang.__Semilir angin bertiup pelan, mengarak awan yang nampak kelabu di langit jingga sore ini. Musim penghujan yang belum usai sempurna, buat sore terkadang dilanda gerimis.Andira baru saja selesai menyimpan mukena di rak khusus mukena setelah selesai sholat azhar. Berjalan ke arah jendela, perbaiki tirai yang tertiup angin tadi saat sepasang tangan kekar memeluknya dari belakang.“Mas, ngagetin!” Ucap Andira sa
Lima tahun kemudian...Waktu berjalan begitu pantas bagi Andira dan orang-orang di sekitar hidupnya.Andira yang dulu diabaikan, menahan tangis karna lena panjang suaminya dengan masa lalu yang masih berserak, kini senyum terukir indah di wajah teduhnya tanpa rasa jumawa, disyukurinya hidupnya kini, suami yang baik dan penyayang, seorang putri yang cantik dan pintar. Meski hanya putri sambungnya namun Irina sangat sayang dan hormat pada dirinya bahkan terkadang manjanya melebihi adiknya. Malah Zafian justru semakin hari terlihat semakin cuek dan pendiam, mungkin karna anak laki – laki.Andira sudah tak mengajar di TK lagi, jarak yang lumayan jauh membuat Mirwan memintanya untuk resign, dan fokus untuk mengajar mengaji saja dan Andira patuh. Jumlah anak didik mengajinya yang semakin banyak cukup menyita perhatian dan tenaganya juga. Bahkan sekarang bukan hanya anak – anak usia sekolah saja yang diajar mengaji, ada juga ibu – ibu yang ikut les mengaji padanya. Andira yang sudah dibantu