"Saya terima nikah dan kawinnya Alula ....” Kalimat Yongki terhenti. Pria itu menunduk dalam setelah melepaskan tangannya dari penghulu. Air matanya menitik.
Nurani pria itu menolak pernikahan konyol ini. Alula, hanya Alula yang diinginkan. Akan tetapi, sang pujaan hati entah ada di mana sekarang, ia tidak tahu. Sementara keluarganya terus mendesak, ia terkubang dalam ketidakberdayaan.
Sang papa yang duduk di sebelahnya, mengusap pelan bahu Yongki. “Tenangkan dirimu dulu, Ki. Tenang.”
Yongki terpejam dalam menunduknya. Pria itu benar-benar tidak bisa berpikir jernih sekarang. Semua orang seolah-olah mengatur hidupnya, masa depannya. Terutama memikirkan Alula yang membuat kepalanya terasa berat.
“Aku nggak bisa, Pa.” Yongki mengambil napas panjang dan mengeluarkan pelan.
“Jangan diteruskan kalau kamu nggak bisa.” Hanya sang papa yang mengerti kebimbangan putranya itu dan yang dulu paling setuju Yongki mempersunting Alula. Hanya saja, kalah dan tidak bisa menentang istrinya.
“Kamu sudah menyetujui menikahi Aruni, Bro. Jadi kamu harus tuntaskan semua ini. Lihat mamamu, dia tampak tersenyum, bahagia, beda dengan saat kita baru tiba tadi.” Adi mengompori.
Yongki menoleh, melihat sang mama. Perkataan Adi ada benarnya. Saat baru tiba di KUA tadi, Rohima, mamanya menangis dan sempat syok, juga mengeluh kepalanya pusing karena darah tingginya kambuh sebab kabar kaburnya Alula. Beruntung ada Aruni yang mendatanginya.
“Tante, saya rela berkorban, ikhlas menggantikan Alula meski saya dan Bang Yongki tidak saling cinta, tidak saling kenal sebelumnya. Ini semua demi nama baik keluarga kita. Saya janji akan jadi istri dan menantu yang baik,” ujar Aruni tadi saat mendatangi Rohima.
“Benarkah, Nak?”
Aruni mengangguk.
“Terima kasih, Sayang. Kamu baik sekali. Kalau begitu, setidaknya berdandanlah dulu. Saya yang akan bicara ke pihak KUA agar pernikahan ditunda sebentar lagi. Kamu tidak mungkin menikah dengan baju biasa seperti ini,” ujar Rohima.
“Tidak, Ma! Aku bisa tetap menikahi Alula tanpa kehadirannya di sini. Toh, semua sudah ada. Wali, saksi, mahar.” Yongki yang ada di samping Rohima, tetap bersikukuh.
“Enggak, Ki. Dunia akhirat Mama nggak ridho kalau kamu menikah dengan menyebut namanya. Dia sudah meninggalkanmu, jangan lagi mengemis cinta padanya. Dia itu–“
“Tante.” Aruni menggeleng, memutus ucapan sambil mengelus lengan Rohima.
“Tapi, Ma, apa aku bisa hidup dengan Aruni? Ini semua sulit bagiku?”
“Pasti bisa. Aruni gadis baik-baik yang rela berkorban untuk saudaranya yang kabur entah ke mana itu. Sementara Alula, Mama tidak bisa lagi menyebutnya wanita apa. Kekecewaan Mama sudah mencapai puncak.”
Yongki diam. Ia masih belum bisa berpikir jernih. Pria itu terus saja berusaha menghubungi Alula yang selalu tidak ada jawaban. Di pikirannya, hanya ada pertanyaan kenapa dan di mana Alula. Ia tidak peduli dengan Aruni dan keluarganya.
Saat Aruni sudah siap didandani ala kadarnya dan Alula tetap tidak datang, Yongki pasrah saat dipaksa menikahi gadis yang tidak pernah diinginkannya itu.
“Kita coba sekali lagi, ya, Mas,” ujar penghulu, membuyarkan lamunan Yongki.
Yongki mengangguk.
Prosesi kembali diulang dari awal. Yongki benar-benar tidak fokus. Pikirannya bercabang dan tidak tenang. Ia grogi bukan karena ijab kabulnya, tetapi sebab memikirkan Alula. Rasa penasaran dan kekhawatiran akan keberadaan Alula, perlahan menjelma menjadi rasa kesal dan benci kenapa sampai wanitanya itu pergi.
“Saya terima nikahnya Alu–“ Ucapan Yongki terputus untuk kedua kali. Sejak kemarin, nama Alula yang selalu dihafalkannya. Hanya Alula Hasna yang menguasai pikirannya.
Yongki kembali melepas tangannya. Ia menatap sang papa, lalu menggeleng. “Pa, aku benar-benar nggak bisa.”
"Nggak usah diteruskan kalau kamu nggak bisa, Ki," ujar Abdu, sang papa.
"Nggak bisa gitu! Pernikahan harus tetap terlaksana!" pekik Rohima.
“Silakan berwudhu dulu, Mas. Tenangkan pikiran.” Sang penghulu memberi saran.
“Ki, ini menyangkut keluargaku dan keluargamu. Jangan membuat semuanya rumit. Aruni, bukan Alula. Lihatlah adikku. Wajahnya sedih karena merasa dipermalukan padahal dia rela berkorban untuk Alula si*alan itu.” Adi kembali berbisik.
“Kalau Alula bisa kabur sesuka hati, tunjukkan kalau kamu juga bisa tetap menikah meski tanpa dia. Tunjukkan kalau kepergiannya tidak membuatmu tumbang apalagi terluka. Justru ini cara memberinya pelajaran paling menyakitkan. Tunjukkan kalau kamu tidak masalah kalau ditinggal olehnya,” lanjut Adi.
Yongki terpejam, lalu mengangguk. Adi benar. Terlepas ke mana, mengapa, dan di mana Alula berada, tindakannya kabur sangatlah tidak benar. Harusnya, kalau ada apa-apa bisa dibicarakan baik-baik.
“Tapi belum tentu dia kabur. Bagaimana kalau diculik?” Yongki memicing.
“Nggak mungkin diculik. Nggak ada gunanya menculik wanita tak guna sepertinya.”
“Saya ingin berwudhu dulu saja.” Yongki bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah berwudu, ia tidak langsung menuju tempat ijab kabul.
“Bismillah. Ini yang terakhir. Kalau sampai ponselmu tetap tidak bisa dihubungi, aku terpaksa menikahi Aruni.” Yongki kembali menghubungi pujaan hatinya. Lagi-lagi kekecewaan yang diterima.
Yongki putus asa. Ia menenangkan diri sejenak. Sebuah ide konyol melintas, pria itu ingin kabur dari tempat itu untuk mencari Alula. Namun, wajah papa dan mamanya membuatnya urung. Pria itu tidak ingin menambah beban pikiran orang tuanya setelah apa yang terjadi. Ia lalu kembali ke tempat semula.
“Saya sudah siap, Pak. Insyaallah kali ini saya tidak salah sebut nama lagi,” ujar Yongki.
“Baiklah, kita lanjutkan.”
Untuk kali ketiga, semua proses ijab kabul dilakukan lagi. Tidak seperti yang pertama dan kedua, kali ini Yongki terlihat lebih tenang. Pandangannya tajam, seolah-olah ada bara balas dendam dan kekesalan di sana.
“Saya terima nikah dan kawinnya Aruni Mustika dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”
Saat bersamaan, kejang yang dialami Alula di rumah sakit kian menjadi. Tubuhnya menggigil. Sesekali air mata lolos membasahi pipi wanita itu.
Para tenaga medis terus berusaha menangani hingga akhirnya sebuah suntikan diberikan. Tubuh Alula yang awalnya sangat kaku, perlahan melemas. Kejangnya pun akhirnya reda.
“Alhamdulillah,” ujar dokter yang menangani.
“Kita pantau perkembangannya terus. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Ambil sampel darahnya. Lakukan lab lengkap,” ucapnya lagi.
Para perawat mengangguk.
**
Alula mendengar suara bising di sekitarnya. Namun, matanya masih sangat sulit untuk dibuka. Kepala dan tubuhnya terasa sakit semua. Wanita itu mulai menggerakkan jari kaki dan tangan. Setelah mencoba beberapa kali, ia bisa sedikit menyipit. Sebuah lampu menyambut, membuatnya silau dan kembali terpejam.
Alula menggerakkan tangan untuk menuju kepala. Perlahan, ia mengelus keningnya sambil mendesis.
“Allah.” Alula bergumam.
Lumayan lama Alula berusaha sadar dan membuka mata tanpa ada orang di sampingnya. Hingga akhirnya, matanya benar-benar terbuka sempurna. Ruangan dengan plafon putih dan kelambu warna senada menjadi fokusnya.
“Apa aku sudah ada di alam baka?” Alula bergumam. Namun, saat ia melihat punggung tangan yang terpasang infus, ia kembali terpejam.
“Astagfirullah. Ternyata aku masih hidup.”
Alula mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir yang menimpanya. Air matanya menetes.
“Mas Yongki,” gumam Alula.
Tidak lama kemudian, seorang perawat menghampiri Alula. Perawat itu tersenyum saat melihat Alula sudah sadar.
“Alhamdulillah. Apa yang dirasakan sekarang?” tanya perawat tersebut.
“Pusing, haus, tubuh sakit semua, Sus,” jawab Alula.
Perawat lalu mengecek suhu tubuh dan melakukan tensi darah.
“Suhu tubuh masih tinggi, tensi sangat rendah. Oh, ya, siapa nama Mbak?” tanya perawat sambil mengecek infus.
“Alula.”
Perawat itu tersenyum. “Punya keluarga yang bisa dihubungi agar ada yang menemani Mbak di sini atau ada yang bertanggung jawab?”
Alula terdiam sambil menatap atap dengan pandangan kosong, lalu menggeleng.
“Tidak ada, Sus. Saya sebatang kara.” Alula menitikkan air mata lagi. Ia teringat ayah dan saudara tirinya yang tidak mungkin diminta datang. Jika meminta tolong orang terdekat, ia tidak mau merepotkan dan tidak hafal nomor ponsel mereka.
Alula juga teringat kejadian nahas sebelum ia ada di rumah sakit. Dengan tega, Adi mendorongnya ke sawah dalam posisi tangan dan mulut terikat. Wanita berparas ayu itu berjuang antara hidup dan mati sebelum akhirnya menyerah kepada takdir. Siapa sangka, masih ada keajaiban untuk hidup.
“Sus, siapa yang membawa saya ke sini? Siapa yang mengganti pakaian saya?” tanya Alula.
“Mbak dibawa ke sini entah oleh siapa. Orangnya langsung pergi. Setelah itu, tidak ada yang datang lagi. Tidak ada kartu identitas juga hingga kami lumayan kesulitan menangani Mbak. Yang ganti pakaian, perawat. Mau minum?”
Alula mengangguk.
Perawat tersebut lalu membuka tutup botol minum dan memberikannya. “Bisa sendiri? Apa perlu dibantu?”
“Biar saya sendiri, Sus,” pinta Alula.
“Nggak apa-apa, saya bantu dulu saja. Mbaknya juga baru sadar, masih lemas. Nanti saya laporan ke dokter kalau mbaknya sudah siuman. Biar nanti diputuskan apa tindakan selanjutnya.”
Alula mengangguk, lalu tersenyum. Matanya berkaca-kaca menatap sang perawat yang membantunya minum lewat sedotan. Ia berpikir, ternyata masih ada orang yang baik kepadanya meskipun keluarga memben*ci.
“Saya lapor ke dokter dulu kalau mbaknya sudah sadar. Kalau butuh perawat, tekan bel nanti saya atau perawat lain akan datang,” ujar perawat setelah Alula menyudahi minum.
Alula mengangguk. “Terima kasih.”
Sepeninggal perawat, Alula melamun. Pikirannya kembali tertuju kepada Yongki.
“Mas, apa kamu sudah resmi menikahi Aruni? Maaf karena aku tidak berdaya melawan mereka.” Alula kemudian terisak.
Sementara setelah ijab kabul, Aruni langsung diboyong ke kediaman Yongki. Euforia persiapan resepsi tidak serta-merta membuat Yongki bahagia. Berbanding terbalik dengan Aruni yang begitu antusias dan bersuka-cita.
“Bang,” panggil Aruni kepada Yongki yang melamun duduk di bibir di ranjang.
“Apa, La?”
“Aku Runi. Bukan Alula! Aku nggak suka kamu sebut nama dia!” Aruni tidak terima.
“Bagaimanapun juga, aku masih sangat mencintai Alula! Ingat, Run. Pernikahan kita hanya formalitas, jadi jangan harap aku bisa memberikan pernikahan dan hatiku secara totalitas!”
Alula mengesot menuju pintu, lalu membuka pintu itu sedikit kesusahan.“Tolong. Perutku sakit sekali,” ujarnya sambil menangis ketika tubuhnya sudah mencapai luar. Kebetulan ada orang yang lewat. Setelah itu, Alula tidak sadarkan diri.**Alula mencoba membuka mata. Ia merasa tubuhnya sakit semua. Wanita itu mendesis.“Alhamdulillah, kamu akhirnya sadar juga, Nak. Apa yang kamu rasakan? Bentar, Ibu panggil perawat.” Nur memekik.Alula meraba perut sambil menangis.“Apa anakku masih selamat, Bu?” Alula balik tanya.“Alhamdulillah masih selamat.” Sebuah suara menyahut, membuat Alula memalingkan wajah.Alula terus menangis. Wajahnya masih melengos, enggan menatap pemilik suara itu.Sementara Nur sudah pergi dari sana, mencari perawat untuk melaporkan Alula sudah sadar.Lutfan menyentuh tangan Alula yang tidak terpasang jarum infus, mengecupnya lembut. “Jangan pergi tanpa pamit kayak gini lagi, Sayang. Mas rasanya mau ma*ti.”Alula berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil. Air ma
Kehamilan yang dijalani Alula di trisemester pertama tidaklah mudah. Wanita itu mengalami morning sickness parah hingga berkali-kali masuk rumah sakit. Lutfan dengan setia dan sabar mendampingi sang istri.“Sayang, maaf sudah membuat kamu kayak gini,” ujar Lutfan sambil menyuapi Alula di rumah sakit.Ini sudah kesekian kali Alula dirawat di rumah sakit karena tubuhnya sangat lemas. Badannya pun makin mengurus.Pria itu pulang hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Ia menghabiskan waktunya di rumah sakit setelah mengajar.“Nggak apa-apa. Aku menikmati masa-masa ini. Bukankah Allah memberi seribu kebaikan dan menghapus seribu keburukan pada wanita hamil?”Lutfan tersenyum.“Udah, Mas, enek.”Lutfan pun menyudahi suapan.“Aku yang minta maaf karena selama beberapa waktu ini, aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mas.”Alula tahu betul kalau suaminya itu memiliki na*su yang menurutnya tinggi. Entah memang semua pria seperti itu atau tidak, Alula juga tidak tahu. Saat belum sakit dulu,
“Kami sudah resmi bercerai. Ini keputusan terbaik. Daripada kami saling menyakiti,” jawab Yongki sendu. “Jadi pernikahanmu benar-benar tidak bisa lagi dipertahankan?” Yongki menggeleng. “Sebenarnya bisa, Bung. Kamu saja yang tidak mau berusaha. Aruni itu wanita baik. Buktinya, dia tidak meninggalkanmu saat kamu dipenjara kemarin. Dalam pernikahan itu, yang penting ridho orang tua. Orang tuamu yang kulihat sangat menyayangi Aruni. Itu awal yang baik. Jungkir balik kamu mencintai seseorang kalau orang tua nggak ridho, nggak bakal berkah.” Lutfan sedikit mengingat ke belakang. Saat ibunya sudah rida, ia langsung bisa bertemu Alula. “Kamu bisa bilang seperti ini karena kamu menikahi Alula atas dasar suka, bukan terpaksa. Berat, Bung, rasanya berusaha mencintai. Aruni beda dengan Alula. Ibaratnya siapa pun yang dijodohkan paksa dengan Alula, pasti mudah jatuh cinta. Kalau Aruni, harus sabar menghadapi sikap buruknya. Kamu mau nyoba? Ayo tukeran istri.” Lutfan terkekeh. “Gila, enggak
“A-aku alhamdulillah baik,” jawab Alula gugup.Yongki mendekat. Namun, sebelum sampai di hadapan Alula, wanita itu memilih berlalu dari sana. Alula tidak ingin suaminya salah paham jika memergokinya.Alula kembali ke ruang tamu, duduk di samping Lutfan. Yongki menyusul setelahnya.Acara di sana adalah makan bersama. Alula juga belum tahu apa maksud Jasman melakukan itu.“Aku masih bingung ini ada apa,” bisik Alula pada sang suami.“Sama. Tapi Bu Jannah kayaknya sangat bahagia,” sahut Lutfan sambil menyuapi istrinya.“Trus katanya Aruni sama Mas Yongki mau cerai, tapi kenapa masih datang berdua ke sini?”“Mungkin sudah rujuk. Kenapa memangnya? Kamu cemburu?”“Dih, sorry. Suamiku lebih menggoda dan lebih menggigit daripada mantan.”Lutfan tergelak sampai tersedak. Alula memberinya minum.“Makanya, Mas, kalo makan jangan sambil ngomong.”“Kamu yang mulai.” Lutfan kembali menyuapi istrinya.Pandangan beberapa mata bergantian menyaksikan mereka.Setelah makan-makan dan membereskan sisanya,
“Bagian ini yang harus kamu revisi, Sayang. Bolak-balik Mas ingatkan. Jangan asal tulis. Buka buku, cari referensi yang lebih segar, yang lebih bermutu. Jangan itu-itu mulu,” omel Lutfan suatu hari saat membimbing skripsi sang istri di gazebo.Setelah sekian lama skripsi mangkrak, kini Lutfan memaksa Alula menggarapnya lagi.“Udah aku revisi, Mas. Emang Mas aja yang sensi banget sama aku. Disalahin terus. Benerin sendiri, kek. Jangan marah-marah mulu.” Alula tidak mau kalah.“Benerin itu perkara mudah. Skripsi ini anggap saja sebagai senjata. Kamu harus tahu asal-usul dan seluk-beluk senjatamu sampai kamu benar-benar paham. Apa kelemahannya, apa kelebihannya, kenapa begini, kenapa begitu, kamu harus tahu. Jadi, ketika perang nanti, kamu bisa memakai senjata ini sebaik-baiknya. Ketika ada serangan tiba-tiba dalam bentuk apa pun, kamu siap karena sudah menguasainya. Kamu paham, kan, maksud Mas? Perang yang dimaksud adalah ketika sidang skripsi nanti.” Lutfan mode serius.“Bu, Mas–“Belu
Lutfan membawa Alula dalam dekapan. “Sudah, Sayang, jangan diteruskan.”“Beruntung saat itu aku nggak dibuang sama Pak Jasman, tapi dititipkan di panti Bu Jannah. Setidaknya bapak saat itu masih punya nurani. Atau mungkin sebenarnya dia sudah punya ikatan batin denganku, tapi tidak mau mengakui atau lebih tepatnya menepis perasaan itu. Mungkin beliau sudah tahu aku ini anak kandungnya, hanya saja situasinya sangat tidak tepat. Coba kalau aku dibuang, mungkin aku jadi anak jalanan.”“Sayang, sudah. Jangan dibahas hal yang sudah lalu.”“Dari Bu Jannah, baru aku mendapatkan kasih sayang. Di panti, barulah aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Temanku banyak, kadang uangku santunan juga banyak. Uang yang tidak pernah kudapat langsung dari ibu atau budhe. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap merasa hampa. Kasih sayang Bu Jannah nyata, tapi tetap saja kadang suka iri melihat teman di sekolah bahagia bersama keluarga kandung mereka.”Alula meraup banyak oksigen, lalu mengembuskan panjang.“Labe