Share

Bab 2

Suara azan Subuh membangunkan tidurku, segera aku bangun dan mengingat kejadian semalam, mimpi atau nyata, entahlah.

Buru-buru aku bangunkan kedua keponakan kembarku yang masih terlelap.

"Zyan, Zyona bangun sayang," ucapku sambil mencium mereka.

"Sebentar lagi Tante," ucap Zyona.

"Tante bau iler," ucap Zyan.

Aku hanya tersenyum mendengar celoteh pagi kedua keponakanku itu.

"Ayo, cepat kita salat Subuh dulu," ucapku sambil menarik selimut si kembar.

"Iya, Tante," ucap si kembar bersamaan.

Dengan mata masih tertutup, si kembar berjalan menuju kamar mandi. Aku tersenyum melihat tingkah mereka.

Kak Sarah selalu mengajari anak-anaknya untuk disiplin waktu, oleh karena itu si kembar yang usianya baru lima tahun sudah biasa bangun subuh dan salat.

Aku segera beranjak ke kamar bang Dion untuk membangunkannya. Namun, dia sudah tidak ada di dalam kamar, mungkin salat Subuh di masjid.

Selesai salat Subuh, aku menyiapkan sarapan, sementara si kembar sibuk menyiapkan peralatan sekolah.

Aku sangat bangga dengan cara kak Sarah mendidik kedua anaknya. Mereka sangat penurut dan mandiri, padahal usianya baru lima tahun.

Hari ini ada rapat di sekolah si kembar, aku kebingungan memilih baju, karena baju yang aku punya hanya atasan dan celana panjang yang menurutku tidak sopan jika bertemu dengan kepala sekolah nanti.

Akhirnya aku kekamar Bang Dion dan mencari baju gamis milik kak Sarah.

Aku membuka lemari baju kak Sarah, terlihat sangat banyak gamis yang tergantung di dalam lemari.

Mataku tertuju pada sebuah gamis berwarna merah marun, modelnya simpel dan tak banyak payet, langsung kuambil dan pakai gamis itu berserta kerudungnya.

Sesekali aku melihat ke cermin dan berputar. Karena ukuran badanku dan badan kak Sarah sama, jadi gamis ini terasa pas dan sangat nyaman. Kupoles wajahku dengan bedak dan kupoles bibir dengan sedikit lipstik.

Aku pun siap untuk sarapan dan mengantar si kembar sekolah.

Saat aku hendak keluar dari kamar, seseorang langsung memelukku.

"Sarah, kamu kembali sayang!" ucap Bang Dion.

"Bukan Sarah bang, aku Safira," ucapku sambil mendorong tubuh Bang Dion.

Bang Dion terkejut, senyum yang baru saja terkembang seketika hilang, padahal seingatku semenjak kak Sarah meninggal dunia, Bang Dion tidak pernah tersenyum kepada siapakah kecuali kepada anak-anaknya.

"Ayo sarapan bersama Bang, anak-anak sudah menunggu!" ajakku.

Tanpa bicara bang Dion langsung pergi ke meja makan dan mulai sarapan dengan si kembar tanpa menungguku.

"Ayah, Tante mana?" tanya Zyona.

"Ada disini sayang," ucapku menghampiri mereka.

"Tante cantik banget, mirip bunda!" ucap Zyan.

"Iya, Tante mirip bunda," ucap Zyona menimpali.

Bang Dion tidak melirikku sama sekali, terkadang aku merasa tidak pernah dianggap ada olehnya. Entah kenapa? Aku pun tidak ingin seperti ini, tapi aku mencoba bertahan untuk Zyona dan Zyan.

Waktu menunjukkan pukul setengah delapan pagi, Bang Dion pamit untuk berangkat ke tempat kerjanya.

"Ayah kerja dulu ya!" ucapnya sambil mencium kepala si kembar.

Bang Dion pun berlalu meninggalkan kami.

"Ayaah!" panggil Zyona.

"Ada apa sayang?" tanya bang Dion.

"Tante belum Salim dan dicium?" ucap Zyona menunjuk ke arahku.

"Iya nih, Ayah lupa ya?" tanya Zyan.

Dengan terpaksa Bang Dion kembali untuk mencium keningku dan aku mencium punggung tangannya.

Dengan terpaksa karena di suruh si Kembar, entah kapan aku ini dianggap istrinya bukan pengasuh Zyona dan Zyan.

         ********

Di sekolah banyak mata yang memandangku, seolah aku ini seseorang yang bersalah, tatapan sinis mereka membuatku sangat tidak nyaman.

"Pake gamis, Mbak?" tanya seorang ibu.

"Cantik mbak, mirip Almh Bu Sarah," ucap ibu itu lagi.

"Iyalah Bu, saya ini 'kan adiknya," ucapku sambil tersenyum.

"Mungkin karena mirip ya mbak, jadi pak Dion tidak merasa kehilangan," ucap ibu itu yang membuatku berpikir.

Aku dan kak Sarah memang mirip dan kadang disebut sebagai anak kembar, jarak usia kamipun tidak jauh hanya berbeda sekitar empat tahun, mungkin karena kami mirip jadi Bang Dion belum bisa menerima kehadiranku sebagai istri pengganti untuknya.

Rapat sekolah akan dimulai, kami para wali murid dikumpulkan di dalam kelas yang kosong, disana aku jadi pusat perhatian ibu-ibu wali murid lainnya. Mereka membicarakan aku dengan suara keras sehingga aku mendengarnya.

"Itu ibu baru si kembar Zyona dan Zyan?" tanya seorang ibu sambil menunjuk ke arahku.

"Iya, mirip banget ya jeng, sama ibu Sarah," jawab ibu lainnya.

"Pantes saja pak Dion langsung menikahinya, biar gak merasa kehilangan," ucap ibu lainnya lagi.

"Iya, enak banget ya."

Aku hanya tersenyum mendengar obrolan mereka, dari luar memang kelihatannya begitu, tapi dalamnya tidak begitu, aku sama sekali tidak dianggap oleh Bang Dion dan aku pun tidak pernah mengharapkan dianggap sebagai seorang istri olehnya.

     ********

Malam mulai larut tapi bang Dion belum juga pulang, padahal biasanya sore hari dia sudah tiba di rumah. Bagaimanapun aku ini istrinya jadi ada perasaan sedikit cemas untuknya.

Sebuah mobil berhenti di depan rumah, aku langsung membuka pintu berharap itu Bang Dion dan benar saja saat pintu kubuka bang Dion tengah terhuyung berjalan kearah pintu.

"Bang kamu kenapa?" tanyaku sambil membantunya berjalan.

"Sarah, biasanya kamu marah jika aku mabuk," ucap Bang Dion.

Bau alkohol begitu menyengat dari mulut bang Dion, dia mabuk akibat terlalu banyak minum.

Inikah wajah asli suamiku?

Aku membantunya untuk kekamar dan membantunya melepaskan pakaiannya yang sangat bau tidak jelas, bau rokok dan alkohol serta wangi parfum wanita, sepertinya dia habis dari diskotik.

Kubaringkan perlahan tubuh Bang Dion diatas ranjang, perlahan kubuka kemejanya. Setelah selesai aku tinggalkan dia. Namun, dia menarik tanganku hingga aku jatuh menimpa tubuhnya.

Dia menatapku lama sambil tersenyum, terlihat jelas senyuman itu sangat tulus.

"Sa--Sa ... Safira," ucap bang Dion menyebut namaku.

Air mataku menetes mendengar apa yang dikatakan bang Dion, untuk pertama kalinya dia menyebutkan namaku setelah kami menikah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status