"Bang, jangan suka sok pahlawan!" teriak Niar.
Aku mendekatinya, berusaha menenangkannya. Tapi dia berontak, tak mau ku sentuh.
"Dek, Sayang, istighfar. Kamu kalau ada masalah, ceritakan padaku. Aku siap menampungnya, Dek!"
Niar terus saja menangis. Tak lama dia bangkit, berusaha menghindar dariku.
"Dek, kamu bicara sama aku sekarang juga!"
Tiba-tiba Ibu datang mengatakan kalau Icha terjatuh dari tangga.
"Deni, tolong. Icha jatuh, Den!"
Aku berhambur ke luar. Kepala Icha berdarah, sepertinya lukanya dalam. Aku harus membawa Icha ke klinik terdekat.
"Siapa yang mau ikut?"
"Ibu saja!"
Tanpa pikir panjang, aku dan Ibu menuju ke klinik terdekat. Icha terus menangis.
"Sabar ya, Cha. Insya Allah sebentar lagi sehat lagi kok!" hiburku pada Icha yang baru berusia tiga tahun.
Tibalah kami di klinik. Dokter segera mengambil tindakan.
"Harus kami jahit, Pak. Lukanya lumayan dalam," katanya seperti yang diperkirakan. "Bapak atau Ibu pegangi ya, mungkin akan sakit buat anak Bapak!" kata Dokter memberi tahukan.
"Baik, Pak."
Kami memegangi Icha. Icha kesakitan saat dilakukan tindakan Dokter. Aku hanya bisa berdoa dalam hati, semoga Icha segera sehat dan bisa tersenyum kembali.
"Sudah, Pak."
"Alhamdulillah."
Aku membereskan administrasi dulu, sementara Icha dengan Ibu. Setelah selesai, kami dibolehkan pulang dengan beberapa resep obat.
Ketika di jalan, aku bertanya pada Ibu tentang kejadian jatuhnya Icha. Sementara Icha sudah tidur.
"Bu, bagaimana kejadiannya sampai bisa Icha jatuh di tangga gitu?"
Ibu terdiam sejenak untuk berpikir. Lalu ia pun menjawab pertanyaanku.
"Iya, Deni. Ceritanya tadi Ibu sedang bersama Icha, tiba-tiba aja dia jatuh di tangga."
"Ibu nggak perhatiin Icha sih?" bentakku.
"Deni! Kamu jangan bentak Ibu, dosa! Ibu nggak salah, yang salah Istrimu, tak mau mengasuh Icha. Mentang-mentang punya Farhan, jadi Icha dilupakan?" cecar Ibu.
"Ibu, selalu saja nyalahin Niar. Ibu harusnya paham kalau Istriku harus dibantu Ibu," kataku.
"Maksud kamu? Ibu jadi babunya Niar gitu?"
"Bukan gitu Bu, bantuin, bukan pembantu! Aku selama ini udah kasih Ibu tiga juta sebulan. Seenggaknya Ibu bantuin istriku, Bu!" Aku memohon dan mengiba pada Ibu.
"Kamu bahas uang yang kamu kasih. Memangnya kamu nggak ikhlas ngasih uang tiap bulan ke Ibu?" Ibu membulatkan matanya.
"Bukan begitu, Bu. Aku ikhlas kok. Aku cuma minta pengertian Ibu aja untuk membantu Istriku. Lagipula Niar juga mengerjakan pekerjaan di rumah kita seorang diri. Apa benar Ibu sering membantunya?" cecarku.
"Kamu tuh kenapa, Deni! Tega-teganya menghakimi Ibumu sendiri. Huhuhu." Ibu menangis tersedu.
Aku jadi iba. Aku tak bermaksud membuatnya terluka, tapi, ah, sudahlah. Mungkin besok lagi aku bicara dengannya.
Kami tiba di rumah, aku menggendong putriku dengan kedua tangan ini menuju kamarnya. Di rumah ini ada banyak kamar. Jadi, Icha menempati kamar sendiri. Kalau kedua anak kakakku menempati satu kamar saja.
Setelah membaringkan Icha, aku kembali ke kamar. Badan ini rasanya remuk, capek tak tertahankan.
Niar sudah tidur, Farhan pun tidur di dalam box bayi. Walau sudah setahun, Farhan masih bisa ditidurkan dalam box.
Aku pun tertidur di sofa kamar kami karena itu lebih nyaman untuk saat ini.
***
Pagi ini semua sudah rapi, ku lihat Ibu yang sedang melakukan tugasnya hari ini. Ternyata aku salah. Benar kata ibu, mereka membuat jadwal bergantian setiap hari.
Ibu memberikan sebuah kertas padaku.
"Coba kamu perhatian2 jadwalnya? Apa ada nama Istrimu mengerjakan tugas-tugas ini semua setiap hari?"
Aku mengamati kertas ini. Kertasnya lusuh dan ada bekas tempelan juga. Terlihat kertas yang sudah lama. Tapi, aku tak pernah melihatnya di tempel di rumah ini.
"Ibu tempel dimana kertas ini? Istriku tak punya ini, kok!" kataku pada wanita yang telah melahirkanku dua puluh sembilan tahun yang lalu itu.
"Ya wajar. Nggak Ibu kasih. Ibu menempelnya di kamar," jawab Ibu.
"Baiklah, Bu. Terima kasih penjelasannya."
Aku kembali ke kamar, Istriku kembali tidur setelah shalat subuh. Aku penasaran membangunkannya.
"Dek, bangun. Jangan tidur lagi habis subuh!" kataku. "Kamu nggak langsung ke dapur hari ini?"
Niar menatapku dalam. Aku jadi grogi kalau ditatap seperti ini.
"Kenapa Sayang?"
"Aku libur kerjaan hari ini," katanya singkat.
"Berarti kamu bisa ikut jalan-jalan sama aku, Niar?" tanyaku.
Niar tak menjawab, ia kembali merebahkan dirinya di samping Farhan.
"Bagaimana, Dek?"
"Iya." Ia menjawab juga.
Aku sangat senang. Berarti Ibu benar. Sekarang aku percaya sama Ibu kalau ada jadwal tersendiri. Aku tak usah curiga lagi dengannya sekarang kalau Niar diperlakukan tak baik oleh mereka.
Bersambung
Dengan refleks aku menarik tangan ini, lalu aku mengucapkan terima kasih padanya."Terima kasih, ya atas bantuanmu. Aku mau pulang duluan, ya!" ucapku."Jangan! Aku akan mengantarmu. Nanti motormu akan dibawakan oleh satpam sekolah, ya!" sahutnya.Aku tak bisa menolak, saat akan menjauhi Ardi, dengan sigap ia membawa kami ke mobilnya. Anak-anak senang karena Ardi langsung membawanya."Di, aku nggak enak ngerepotin kamu terus.""Ya Allah, Niar. Aku hanya bantu sekedarnya ini. Kamu nggak usah gitu. Lagian kamu kayak ke siapa aja sih," jawabnya yang justru membuat hatiku tidak tenang.Kami memasuki mobil. Di mobil, anak-anak malah tidur, mungkin karena kecapean udah nangis-nangis tadi di dokter."Kamu udah punya anak berapa, Di?" tanyaku penasaran."Aku? Kelihatannya gimana?" tanyanya."Paling masih satu," jawabku asal."Udah dua. Kalah sih sama kamu, Niar. Tapi istri dan anakku di kampung. Mereka nggak mau ikut sama
Hari ini, usia Icha putri kami sudah tujuh tahun. Ia sudah mulai masuk sekolah. Aku dituntut harus bisa antar jemput Icha. Biasanya menggunakan motor untuk antar jemput.Sedangkan suamiku--Deni, sudah mulai bekerja kembali. Alhamdulillah masih ada perusahaan yang menerimanya bekerja. Jadi, warung di rumah, aku yang mengurusnya.Sekarang, Alhamdulilah aku sudah sehat lahir batin. Kami dikaruniai tiga orang anak yang manis, yaitu Icha, Farhan dan anak ketiga kami Khaira.Mengurusi satu anak sekolah dan dua orang balita bukan hal yang mudah. Sampai saat ini, aku belum lagi menggunakan ART, karena masih trauma dengan pencurian di masa lalu yang dilakukan ART kami.Hubungan kami dengan keluarga Kak Ayu baik-baik saja. Anak-anak Kak Ayu, satu sekolah dengan anakku Icha, sehingga kadang-kadang aku sering menitipkan Icha pada Kak Ayu.Hari ini hari dimana aku harus menjemput Icha seperti biasa. Aku membawa kedua anakku yang lain saat menjemput Icha.
Bik Surti mengatakan kalau ia belum bisa melunasi hutangnya. Kalau dihitung-hitung, total uang dari perhiasan itu sebesar 30 juta.Sebenarnya aku masih memiliki investasi lain. Uang warisan dari Ibu, aku belikan rumah ya g sekarang disewakan.Lumayan hasilnya, aku bisa mendapatkan 20 juta pertahun, tapi sampai saat ini belum ada yang mau ngontrak. Sedangkan uang simpananku, sebagian sudah dipakai buat warung dan modal usaha."Pak, maaf rumah saya belum ada yang mau beli. Nanti rencananya saya mau jual rumah saya, lalu kami pindah ke kampung halaman kami, biar dapat harga rumah yang lebih murah nanti.""Iya, Bik. Saya ikut saja, asal perhiasan istri saya diganti secepatnya, ya!""Iya, Pak. Nanti kalau sudah ada, saya ganti ya!""Bagaimana kalau saya kasih batas waktu?""Iya, Pak. Saya ikut.""Sampai pekan depan, ya!""Baik, Pak."Bik Surti meninggalkan rumahku. Dia berjalan dengan langkah gontai.Sedangkan u
Den, aku dapat kabar dari adik kandung Bik Surti. Setelah dia keluar dari tempatmu, seperti yang pernah kukatakan dia bisa merehab rumahnya, lalu melunasi tunggakan anaknya, selain itu dia juga membeli barang-barang untuk rumahnya seperti kulkas dan juga hape baru, Den!""Astaghfirullah. Sampai segitunya?""Iya, Den. Saat adiknya nanya, katanya uang itu diberi olehmu sebagai pesangon. Makanya mereka heran dengan perubahan Bik Surti.""Menurutmu bagaimana, Bram? Apa aku pantas mencurigainya? Sedangkan dia memang terbiasa masuk ke kamar kami. Dan ada salah satu bukti di CCTV saat dia masuk dan keluar dari kamarku, tapi tak membawa apapun. Biasanya dia ke dalam hanya untuk menyapu dan mengepel, Bram.""Kalau aku jadi kamu, langsung deh didatangi. Tapi nanti bicara baik-baik. Buat Bik Surti mengakui kesalahannya.""Iya, Bram, terima kasih. Dikira aku Bik Surti benar-benar jujur, tapi ternyata ... Ah, begitulah.""Baik, Den. Semoga masalahmu cepa
Pak, Alhamdulillah saturasi oksigen Pak Karso naik. Jadi mudah-mudahan pemulihannya tidak lama. Mohon dukungan dari orang-orang terdekat aja ya," ucap seorang yang berada di ujung telepon."Baik, Pak. Terima kasih, ya!""Sama-sama, Pak."Setelah aku menutup telepon, rasanya lebih bersemangat untuk sehat.Aku menelepon Niar dari balik kamar."Dek, Alhamdulillah saturasi oksigen Ayah naik dan kembali normal. Kita doakan semoga Ayah kembali sehat ya, Dek!""Iya, Bang. Abang juga cepat Isomanya. Oya Bang, aku tadi ngobrol-ngobrol dengan Kak Ayu. Dia bilang sudah ada calon suami, tapi calon Kak Ayu sudah memaksa memberikan perhiasan padanya. Ia juga memberikan bukti chat dengan calon suaminya," kata Niar."Alhamdulillah kalau gitu. Tinggal cari tau tentang Bik Surti. Sampai sekarang, aku belum menghubungi Bram. Malah jadi lupa dengan masalah ini.""Ya udah, Bang. Sesempatnya saja. Atau kalau nanti kondisi Abang sudah baikan,"
Kami tak bisa menuduh langsung karena semua pasti memiliki alibi.Perhiasan juga masih ada saat Bik Surti masih bekerja dengan kami karena di CCTV terlihat Niar yang mengenakan perhiasan, sehari sebelum Bik Surti berhenti bekerja.Itu berarti Bang Aldo tak bisa disalahkan atas hilangnya perhiasan ini. Karena dia di sini sebelum Bik Surti kami berhentikan.Tersangka mengerucut menjadi dua orang. Di CCTV, kelakuan Bik Surti setelah Niar memakai perhiasan ini, lumayan mencurigakan.Terlihat Bik Surti masuk ke kamar kami, tapi keluar nggak bawa apa-apa.Dia masuk kamar biasanya hanya untuk sekedar menyapu atau mengepel.Di CCTV terlihat dia sekali masuk kamar yang mencurigakan.Lalu, kami mengamati Kak Ayu kemarin saat menemani anak-anak. Kak Ayu terlihat uring-uringan di ruang tamu. Sepertinya ada yang dipikirkan oleh Kak Ayu.Dek, aku curiga banget dengan kak Ayu. Coba kamu lihat? Beberapa kali Kak Ayu jalan di ruang tamu.
Bab 41 (UBIDI)Kami pergi ke dokter kandungan dengan menggunakan layanan umum, karena ingin mendapatkan USG, jadi harus umum.Setelah menunggu beberapa menit, kami dipanggil juga untuk masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu!""Sudah usia berapa kandungannya?" tanya Dokter Dian, nama yang tertera di mejanya."Sepertinya sudah 10 mingguan, Dok," jawab Niar memperkirakan."Oh, jadi selama ini belum diperiksa?" tanya Dokter."Iya, Dok. Karena keburu pandemi," jawab Niar."Baiklah, saya periksa dulu. Silahkan ke sini, kita lihat pakai USG ya, Bu!" Niar mengikuti Bu Dokter. Aku pun melihat dari kejauhan.Lalu dokter mengoleskan gel pada perut Niar sebelum sebuah alat digunakan untuk mendeteksi bakal calon bayi di dalam perut."Posisi calon bayi Ibu sudah bagus, benar usianya sekitar 10 Minggu."Lalu dokter menggerakkan-gerakkan alat itu di atas perut istriku."Mudah-mudahan sehat selalu, ya sampai melahirkan nant
"Kamu simpan parac*tamol nggak?" tanyaku pada Niar."Ada, tapi udah beberapa bulan. Setauku nggak boleh disimpan lama, Bang. Abang tolong belikan lagi saja di apotek," usulku."Iya, Dek. Aku pergi sekarang, ya! Sementara aku pergi, tolong kompres dahinya!" Aku meminta pada Niar."Ya, Bang. Aku mau ambil airnya dulu."Kami sama-sama keluar dari kamar Icha. Lalu aku langsung menyalakan mesin mobil, tak lama mobil meluncur.Aku mencari apotek yang masih buka. Karena covid, pemerintah membatasi jam operasional toko.Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam.'Ya Allah, mudahkanlah aku mencari apotek yang masih buka, obatnya pun ada,' gumamku.Sepanjang jalan, toko dan apotek tutup. Lalu aku mengingat kalau di rumah sakit ada apotek juga.Aku mendatanginya dan langsung menanyakan obat penurun panas."Mbak, ada penurun panas anak?""Ada. Yang ini, ya?""Iya, berapa Mbak?""L
"Assalamualaikum. Deni!" Bang Aldo mengetuk pintu."Waalaikumsalam." Aku mempersilahkan masuk.Saat Bang Aldo masuk, tiba-tiba dia kaget ada Kak Ayu di sana."Loh kenapa kamu di sini?" tanya Bang Aldo."Aku sedang mengunjungi adikku, memang nggak boleh?" Kak Ayu membulatkan matanya.Bang Aldo malah menyeringai."Jangan-jangan kamu mau pinjem uang sama Deni?" Bang Aldo tetap menyeringai dan menoleh pada Kak Ayu.Kak Ayu akhirnya diam, mungkin tak mau cari ribut dengan Bang Aldo."Ada apa ya, Bang?"Bang Aldo melihat ke arah Kak Ayu."Aku mau minta tolong padamu, Deni.""Ada apa, Bang?""Bujuklah perempuan di sebelahku ini untuk membolehkan aku bertemu Farrel dan Ayesa. Sejak perceraian kemarin, aku tak boleh bertemu mereka lagi," kata Bang Aldo."Kata siapa nggak boleh? Boleh kok, asal di rumahku. Kamu tak boleh membawa mereka pergi. Apalagi ke rumah perempuan itu!" Kak Ayu bicara sangat