Niar
Bang Deni terus mendesakku untuk mengatakan yang sebenarnya. Tapi ... tak mungkin aku mengatakan hal ini.
Aku sangat tersiksa dengan keadaan ini. Dimana aku juga merasa kosong pada diriku. Tak ada yang peduli dengan semua kesusahanku.
Kadang aku merasa ingin mencek*k Farhan saat dia rewel. Aku diantara banyak orang, tapi mereka selalu menyalahkanku.
Termasuk suamiku, yang tak pernah mau mendengar pendapatku. Ia malah seenaknya tinggal di luar kota, sementara aku ditinggal dengan Ibu dan Kakaknya.
Rasanya setiap hari seperti berada di n*raka. Aku harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, belum lagi mengurus kedua anakku, tak pernah diajak kemanapun, termasuk oleh suamiku, Kakak Ipar laki-lakiku - Bang Aldo yang genit serta Ibu yang merampas semua uang belanjaku. Ia hanya menyisakan 500 ribu untukku.
Belum lagi berbagai ancaman jika aku mengatakannya pada Bang Deni. Ibu mengintervensi akan menjelekkan aku pada orang tuaku dan para tetangganya, sehingga orang-orang akan percaya kalau aku menantu dzolim.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menangis dan menyalahkan diri sendiri.
"Ya Tuhan, tolong aku!"
***
"Dek, aku mau dipindah ke cabang pusat. Kamu tetap tinggal sama Ibu ya! Aku nanti pulang sepekan sekali." Bang Deni mengatakan maksudnya.
"Mas, aku nggak mau di sini. Aku mau ikut saja denganmu!" Aku merangkul suamiku dari samping, aku memohon padanya agar kami tak hidup terpisah.
"Tidak bisa, Dek. Di sana semua serba tak enak. Enakan di sini, nyaman. Sama ibu kamu bisa dibuatkan segala macam nanti setelah lahiran."
Perkataan Bang Doni memang benar. Saat anak pertama kami lahir, Ibu begitu baik padaku karena Bang Deni masih bersama kami.
Walaupun memang sejak itu aku sudah dibebani berbagai pekerjaan rumah. Tapi aku masih bisa mengelola keuanganku.
Sejak Bang Deni di mutasi ke kantor pusat, Ibu semakin berani padaku. Gaji Bang Deni yang tadinya 10 juta, naik menjadi 13 juta rupiah. Aku tak boleh memegang uang suamiku, Ibu hanya memberiku jatah 500 ribu saja.
Sejak saat itu, aku sudah tak punya harapan akan diriku sendiri. Aku merasa tak pantas menjadi seorang istri. Dan aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Tanpa bisa mengatakan semua pada Bang Deni.
Semua terkatup karena hati ini sudah terlalu sakit. Dan juga berbagai ancaman yang Ibu lontarkan.
Kakak Ipar perempuanku juga tau mengenai ini, dia berkomplot dengan Ibu untuk menguasai uangku.
***
"Niar, mana ATM kamu? Ibu mau mengambil uang yang Deni beri padamu, biar dipegang oleh Ibu. Kamu nggak bakal bisa mengelolanya. Nanti Ibu sisakan buatmu."
Aku bergeming, tak menjawab keinginan Ibu.
"Niar, mana ATM kamu? Cepat berikan pada Ibu!" Ibu melebarkan kedua matanya, tatapan mata Ibu membuatku sakit.
Dengan berat hati, aku memberikan ATM itu. Ibu tersenyum puas.
"Berapa Pin-nya?"
Aku menyebutkan Pin ATM-ku pada Ibu. Ia langsung meninggalkan kamarku. Tak lama ku dengar Ibu pergi dengan Kak Ayu.
"Niar, kamu jaga rumah baik-baik, ya! Ibu mau pergi dulu sama Kak Ayu! Jangan lupa tugasmu selesaikan sebelum kami datang!"
"Baik, Bu!" jawabku datar.
Setelah Ibu pergi, aku menyelesaikan pekerjaan rumah. Semua ku kerjakan satu per satu hingga selesai.
Tak lama Bang Aldo -- Kakak Ipar laki-lakiku datang. Ia baru pulang kompetisi burung. Pekerjaannya hanya sebagai makelar tanah dan banyak bermain dengan burung.
Aku masuk setelah membukakan pintu. Tapi Bang Aldo sengaja mengejarku. Dia merayuku, aku menghindarinya dan masuk ke kamarku.
Untungnya Farhan dan Icha sudah di kamar, jadi aku bisa menguncinya.
Setelah kejadian itu, aku jadi harus lebih berhati-hati dengan Bang Aldo.
***
"Bang, aku ingin pindah. Bang Aldo menggangguku. Dia mencoba merayuku, Bang." ucapku kala itu pada Bang Deni.
"Bang Aldo. Ah, tak mungkin. Dia laki-laki baik dan religius, Niar. Kamu jangan sekali-kali memfitnahnya."
Bagai sengatan listrik, perkataan Bang Deni menancap di hatiku. Dia tak mempercayaiku. Aku merasa disia-siakan saat itu.
'Baiklah, Bang. Sejak ini, aku tak mau lagi bicara denganmu!' gumamku.
Bersambung
Dengan refleks aku menarik tangan ini, lalu aku mengucapkan terima kasih padanya."Terima kasih, ya atas bantuanmu. Aku mau pulang duluan, ya!" ucapku."Jangan! Aku akan mengantarmu. Nanti motormu akan dibawakan oleh satpam sekolah, ya!" sahutnya.Aku tak bisa menolak, saat akan menjauhi Ardi, dengan sigap ia membawa kami ke mobilnya. Anak-anak senang karena Ardi langsung membawanya."Di, aku nggak enak ngerepotin kamu terus.""Ya Allah, Niar. Aku hanya bantu sekedarnya ini. Kamu nggak usah gitu. Lagian kamu kayak ke siapa aja sih," jawabnya yang justru membuat hatiku tidak tenang.Kami memasuki mobil. Di mobil, anak-anak malah tidur, mungkin karena kecapean udah nangis-nangis tadi di dokter."Kamu udah punya anak berapa, Di?" tanyaku penasaran."Aku? Kelihatannya gimana?" tanyanya."Paling masih satu," jawabku asal."Udah dua. Kalah sih sama kamu, Niar. Tapi istri dan anakku di kampung. Mereka nggak mau ikut sama
Hari ini, usia Icha putri kami sudah tujuh tahun. Ia sudah mulai masuk sekolah. Aku dituntut harus bisa antar jemput Icha. Biasanya menggunakan motor untuk antar jemput.Sedangkan suamiku--Deni, sudah mulai bekerja kembali. Alhamdulillah masih ada perusahaan yang menerimanya bekerja. Jadi, warung di rumah, aku yang mengurusnya.Sekarang, Alhamdulilah aku sudah sehat lahir batin. Kami dikaruniai tiga orang anak yang manis, yaitu Icha, Farhan dan anak ketiga kami Khaira.Mengurusi satu anak sekolah dan dua orang balita bukan hal yang mudah. Sampai saat ini, aku belum lagi menggunakan ART, karena masih trauma dengan pencurian di masa lalu yang dilakukan ART kami.Hubungan kami dengan keluarga Kak Ayu baik-baik saja. Anak-anak Kak Ayu, satu sekolah dengan anakku Icha, sehingga kadang-kadang aku sering menitipkan Icha pada Kak Ayu.Hari ini hari dimana aku harus menjemput Icha seperti biasa. Aku membawa kedua anakku yang lain saat menjemput Icha.
Bik Surti mengatakan kalau ia belum bisa melunasi hutangnya. Kalau dihitung-hitung, total uang dari perhiasan itu sebesar 30 juta.Sebenarnya aku masih memiliki investasi lain. Uang warisan dari Ibu, aku belikan rumah ya g sekarang disewakan.Lumayan hasilnya, aku bisa mendapatkan 20 juta pertahun, tapi sampai saat ini belum ada yang mau ngontrak. Sedangkan uang simpananku, sebagian sudah dipakai buat warung dan modal usaha."Pak, maaf rumah saya belum ada yang mau beli. Nanti rencananya saya mau jual rumah saya, lalu kami pindah ke kampung halaman kami, biar dapat harga rumah yang lebih murah nanti.""Iya, Bik. Saya ikut saja, asal perhiasan istri saya diganti secepatnya, ya!""Iya, Pak. Nanti kalau sudah ada, saya ganti ya!""Bagaimana kalau saya kasih batas waktu?""Iya, Pak. Saya ikut.""Sampai pekan depan, ya!""Baik, Pak."Bik Surti meninggalkan rumahku. Dia berjalan dengan langkah gontai.Sedangkan u
Den, aku dapat kabar dari adik kandung Bik Surti. Setelah dia keluar dari tempatmu, seperti yang pernah kukatakan dia bisa merehab rumahnya, lalu melunasi tunggakan anaknya, selain itu dia juga membeli barang-barang untuk rumahnya seperti kulkas dan juga hape baru, Den!""Astaghfirullah. Sampai segitunya?""Iya, Den. Saat adiknya nanya, katanya uang itu diberi olehmu sebagai pesangon. Makanya mereka heran dengan perubahan Bik Surti.""Menurutmu bagaimana, Bram? Apa aku pantas mencurigainya? Sedangkan dia memang terbiasa masuk ke kamar kami. Dan ada salah satu bukti di CCTV saat dia masuk dan keluar dari kamarku, tapi tak membawa apapun. Biasanya dia ke dalam hanya untuk menyapu dan mengepel, Bram.""Kalau aku jadi kamu, langsung deh didatangi. Tapi nanti bicara baik-baik. Buat Bik Surti mengakui kesalahannya.""Iya, Bram, terima kasih. Dikira aku Bik Surti benar-benar jujur, tapi ternyata ... Ah, begitulah.""Baik, Den. Semoga masalahmu cepa
Pak, Alhamdulillah saturasi oksigen Pak Karso naik. Jadi mudah-mudahan pemulihannya tidak lama. Mohon dukungan dari orang-orang terdekat aja ya," ucap seorang yang berada di ujung telepon."Baik, Pak. Terima kasih, ya!""Sama-sama, Pak."Setelah aku menutup telepon, rasanya lebih bersemangat untuk sehat.Aku menelepon Niar dari balik kamar."Dek, Alhamdulillah saturasi oksigen Ayah naik dan kembali normal. Kita doakan semoga Ayah kembali sehat ya, Dek!""Iya, Bang. Abang juga cepat Isomanya. Oya Bang, aku tadi ngobrol-ngobrol dengan Kak Ayu. Dia bilang sudah ada calon suami, tapi calon Kak Ayu sudah memaksa memberikan perhiasan padanya. Ia juga memberikan bukti chat dengan calon suaminya," kata Niar."Alhamdulillah kalau gitu. Tinggal cari tau tentang Bik Surti. Sampai sekarang, aku belum menghubungi Bram. Malah jadi lupa dengan masalah ini.""Ya udah, Bang. Sesempatnya saja. Atau kalau nanti kondisi Abang sudah baikan,"
Kami tak bisa menuduh langsung karena semua pasti memiliki alibi.Perhiasan juga masih ada saat Bik Surti masih bekerja dengan kami karena di CCTV terlihat Niar yang mengenakan perhiasan, sehari sebelum Bik Surti berhenti bekerja.Itu berarti Bang Aldo tak bisa disalahkan atas hilangnya perhiasan ini. Karena dia di sini sebelum Bik Surti kami berhentikan.Tersangka mengerucut menjadi dua orang. Di CCTV, kelakuan Bik Surti setelah Niar memakai perhiasan ini, lumayan mencurigakan.Terlihat Bik Surti masuk ke kamar kami, tapi keluar nggak bawa apa-apa.Dia masuk kamar biasanya hanya untuk sekedar menyapu atau mengepel.Di CCTV terlihat dia sekali masuk kamar yang mencurigakan.Lalu, kami mengamati Kak Ayu kemarin saat menemani anak-anak. Kak Ayu terlihat uring-uringan di ruang tamu. Sepertinya ada yang dipikirkan oleh Kak Ayu.Dek, aku curiga banget dengan kak Ayu. Coba kamu lihat? Beberapa kali Kak Ayu jalan di ruang tamu.