Share

Bab 5

"Rikaaa! Rikaaa! Bangun! Udah siang nih! Masakin sarapan sana!" Suara menggelegar dari luar kamar. Itu suara Kak Mel.

Berisik sekali. Kulirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Jam 05.30 pagi. Jika dibanding dengan hari-hari biasanya, aku memang kesiangan, tapi tidak dengan hari ini.

Sebentar kemudian pintu kamarku terbuka. Kak Salma nyelonong masuk begitu saja. Sangat tidak sopan sama sekali.

"Rika, hari ini kami libur aja kerja ya! Gajimu juga nggak seberapa, kan? Kamu asuh Lia sama Farel aja. Aku ada perjalanan," ujarnya cepat.

Enak sekali memberi perintah. Emang aku babby sitter?

Belum sempat aku menjawab dia telah beranjak. Kupikir dia akan keluar kamar. Tapi ternyata tidak. Ia berjalan menuju lemari.

"Eh ini pintu lemari kok nggak bisa dibuka? Sengaja kamu kunci ya, Rik? Cepetan bukain ini lemarinya! Aku mau cari baju buat kupake keluar nanti! Lagian kenapa pake dikunci-kunciin segala sih? Bikin kesel aja!" Ocehnya seraya menarik-narik paksa pintu lemari.

Lho, lho, ini orang pada mengapa? Langsung masuk kamarku, memberi perintah, lalu tanpa seizinku ingin membuka lemari pakaianku juga? Kebiasaan yang tak bermoral.

"Mau pakai baju yang mana, Kak?" Tanyaku sembari menguap.

"Ya terserah aku lah mau pake baju yang mana, kamu ngapain pake nanya? Biar aku yang pilih sendiri! Mana kuncinya? Cepet bukain ini lemari! Aku harus cepet, ntar temen-temenku nunggu kelamaan!" Kak Salma berkata dengan nada jutek.

"Emangnya Kak Mel nyimpen baju di lemariku ya?"

Wow, kulihat muka Kak Salma cemberut, lebih tepatnya terlihat kesal.

"Kamu ngapain ngomong begitu? Kamu nggak ngijinin aku buat pake baju kamu? Iya?" Ia memelototiku.

"Hey, kamu itu nyadar dong, kamu nggak berhak buat ngelarang aku ngelakuin apa aja di rumah ini! Kamu nyadar nggak, kamu bisa pake barang-barang bagus, baju, sepatu atau segala macem itu berkat adik laki-lakiku! Adikku yang bisa ngebeliin kamu semuanya! Jadi kamu nggak usah ngelarang aku untuk memakai sesuatu yang dibeli dari uang adikku! Paham kamu!"

Astaga tanpa babibu mulut perempuan itu langsung nyerocos. Percaya diri sekali dia mengatakan apa yang kupakai dibeli dengan uang adiknya? Karena kenyataannya justru terbalik. Uang adiknya tidak pernah dipakai untuk membeli kebutuhan pribadiku.

"Kak, aku nggak pernah makai uang Mas Valdi buat beli baju-bajuku maupun barang-barang pribadiku yang lain! Kakak jangan sampai salah asumsi," terangku.

"Ooh, ternyata sekarang kamu udah bisa ngomong kayak gini? Kamu sok sekali bilang gitu, kayak yang nggak butuh uang adikku saja! Nggak berterima kasih kamu ya! Udah bagus kamu dapat suami yang udah kerja, terus bisa kasih kamu kehidupan yang layak. Tapi kamu nggak bersyukur!"

Panjang sekali ocehannya. Perempuan ini perlu diladeni sedikit rupanya.

"Oke oke, begini aja Kak, adik laki-laki Kakak kan uangnya banyak, gajinya gede, jadi sekarang baiknya Kak Salma minta aja uang sama adik Kak Salma itu, supaya kakak bisa beli baju. Jadi nggak usah capek-capek pake bajuku!" jawabku santai.

Aku melangkahkan kaki keluar dari kamar tanpa menyerahkan kunci lemari terlebih dahulu seperti yang diinginkan oleh kak Salma.

"Hei, Rika, tunggu dulu!"

Dia berlari cepat lalu menghadangku! Tangannya langsung melingkar di leherku. Oh ya, Rabb. Temperamen sekali. Aku berusaha tenang, tak lupa menyiapkan diri jika seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Rika! Keterlaluan kamu! Asalkan kamu tahu, hari ini Valdi akan mentransfer uang padaku! Kau tahu jumlahnya berapa? Sebelas juta rupiah, kau dengar?" Kak Salma kembali melotot.

"Ya, terus?" aku menanggapi tenang. Aku tak terkejut sama sekali. Karena aku sudah tahu tentunya.

"Rika, yang ditransfer sama adikku itu adalah uang cuma-cuma. Jadi kamu tahu bahwa kamu bukanlah orang nomor satu bagi Valdi! Dengan uang itu akan kubeliin apa aja yang aku mau. Kuharap kamu nggak usah iri ya! Jangan sekit hati! Satu hal yang harus kamu ketahui, bahwa kamu nggak bakalan bisa nguasaiin uang Valdi semuanya!"

Usai berucap demikian Kak Salma langsung meninggalkanku dengan diiringi tatapan kebencian.

Kak Salma, kuharap kamu tidak kecewa dengan uang sebelas juta itu.

Kak Salma, mengalah di awal bukanlah sesuatu yang memalukan. Tetapi kalah di akhir akan lebih menyakitkan. Sebab, mengalah dan kalah adalah dua kata yang mengandung arti yang tak sama.

"Rika! Siapin sarapan! Apalagi yang kamu tungguin? Tuh suamimu bentar lagi bakalan berangkat ngantor! Urusin dulu bekalnya!" Ibu mertua berkoar dari depan televisi yang menyala. Sedangkan di sampingnya, Kak Mel masih ngorok bersama anak-anaknya. Semalam mereka tidur di ruang tv rupanya.

"Apa kamu mau teledor lagi kayak semalam? Udah, cepetan! Hari udah siang! Masakin kari ayam sama sama soto. Jangan lupa tumis selada juga!"

"Oh iya, kerupuk ikannya juga, Rik! Buruan ke pasar sana! Ntar kesiangan!" Perintahnya lanjut berturut-turut.

Haduh, pikirnya aku akan ke pasar di pagi buta ini demi bisa memanjakan lidah mereka seperti yang biasa kulakukan sebelumnya? Tidak, Bu! Kalian dikasih ikan malah minta frozen food, eh maksudnya dikasih hati malah minta jantung.

Aku mengabaikan ucapannya. Kalau mau bekerja sama, tentu aku tidak keberatan. Tapi ini hanya aku saja yang mereka andalkan. Mengurus makan sekeluarga besar begini tentu bukan hal mudah. Jika dituruti, mereka mau dilayani dalam segala hal, bukan hanya soal makan saja, tapi mencuci baju kotor mereka, mengurus anak mereka dan lain-lain. Sedang mereka leha-leha.

Tapi maaf ya, ini bukan Rika yang dulu, gaes!

Kubuka jendela untuk menghirup udara segar.

Eh, tapi sepertinya ada yang berbicara diluar sana. Aku menguatkan kinerja indera pendengaran.

"Ooh, tentu jadi dong aku beli kursi jatinya. Yang model kupilih kemarin delapan juta, kan?" Kak Salma berbicara dengan semangat dengan ponsel menempel di daun telinga.

"Anter ke rumahku pagi ini, ya! Agak siang dikit nggak apa, soalnya pagi ini aku mau ke mall dulu bentar. Aku tungguin ya, jangan kelamaan," Kak Salma kian sumringah.

"Valdiii!"

Aku nyaris terkaget dengan teriakan membahana Kak Salma. Mulutnya benar-benar tidak bisa di rem. Seperti biasa, jika mereka ngumpul dirumah, pasti suasana rumah berubah bising bak pasar kaget.

Yang dipanggil buru-buru datang.

"Kenapa, Kak?" kulihat Mas Valdi menghampiri Kak Salma.

Beberapa saat kemudian terdengar Kak Salma bicara.

"Cepetan transfer uangnya, Val! Aku udah pesenin barang yang mau kubeli! Paling lama ntar siang barangnya pada dianterin. Makanya cepet transfer ke rekening aku!"

Rupanya dia mau uang mas Valdi untuk membeli kursi baru? Dan Mas Valdi ingin meminta uangku untuk mentransfer kakaknya? Aku mengangkat alis.

Huuuh! Ini rupanya rencana mereka. Tenang saja, kalian punya rencana, aku pun sama.

Tak berselang lama, Mas Valdi menemuiku tergopoh-gopoh. Ah, untung aku tidak ketahuan kalau tadi menguping obrolannya sama Kak Salma.

"Dek!"

"Ya,"

"Tolong transfer uangnya pagi ini, Dek. Kita cuma ada waktu satu jam mulai dari sekang. Soalnya ntar yang empunya tanah ada perjalanan penting. Dia mau kita bayar dp tanahnya sekarang."

"Terus? Kok buru-buru amat?"

"Iya, Dek. Harus sekarang, kalau tidak kita akan kehilangan tanah tersebut. Rugi besar kita. Tolong ya,"

Mas Valdi, kamu pikir aku buta soal proses pembelian begituan? Kamu pikir aku yakin jika prosesnya akan spontan seakan sama dengan proses membeli permen? Aku tidak bodoh, Mas!

Tiba-tiba aku punya sedikit ide nakal untuk mengerjai mereka. Hi... Hi...

"Iya, Mas. Ntar aku transfer, ya! Tapi nanti, tunggu aja pokoknya! Aku mau nyiapin diri buat ke kantor dulu." Jawabku sembari tersenyum lebar.

Mas Valdi kian sumringah ria.

"Nah gitu! Kamu istri hebat! Tapi jangan kelamaan ya, Sayang." pujinya.

Yang kamu puji hebat itu uangku, Mas.

"Aku yakin kalo kamu terus baik begini, pasti ibu sama kakak dan adikku akan menyukaimu, Rika."

"Dek, biar ibu sama kakak-kakakku semakin suka sama kamu, jangan lupa siapin sarapan terbaik buat mereka. Gimana?" Lanjutnya. Suaranya agak alon, tentu karena ada maunya.

"Iya, Mas! Tapi Mas ada uang nggak buat beli lauknya?" Pancingku.

Mas Valdi terdiam.

"Gimana kalo pake uang kamu aja dulu? Sesekali. Itung-itung cari pahala. Nggak usah perhitungan,"

Fyuuuh dasar. Tapi, lagi-lagi kali ini aku punya ide menarik.

"Oke, Mas. Ntar aku pesenin nasi bungkus aja ya, Mas. Supaya kakak-kakak sama ibu nggak cape masak. Gimana?"

Mas Valdi menunjukkan ekspresi kesenangan.

"Waaah, itu baru ide bagus!"

Aku tergelak dalam hati melihatnya cengar-cengir kesenangan. Untuk mengawali permainan ini, akan kubuat kalian kian melambung.

Hei Mas Valdi, memang benar aku akan memesankan nasi bungkus buat kalian sekeluarga besar. Tapi, ketika pesanan itu datang ke rumah, siapkan uang, silakan bayar masing-masing, he... he...

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status