Mata Marvin terbeliak. Pertanyaan itu mengejutkannya karena terbilang tak sopan juga. Itu sebabnya ia mendelik kaget.
"Maaf ... saya tahu pertanyaan ini mungkin nggak sopan. Saya hanya penasaran saja," kata ibu katering dengan senyum kecut.
Marvin mencoba tersenyum. Ia berusaha mengusir rasa tak nyaman yang timbul.
"Dia punya sakit maag akut. Ini lagi kambuh," terang Marvin.
"Oohh ... syukurlah. Soalnya ciri-ciri mbaknya tadi mirip keponakan saya sih."
Marvin mengerutkan keningnya. Ia menatap ibu itu dengan sorot mata tajam.
"Oh ya?" sahut Marvin heran.
"Iya. Ngeluh pusing, mual. Terus, enggak bisa mencium aroma masakan. Tiap kali ibunya masak, dia muntah-muntah di kamarnya. Ngaku ke ortunya sih lagi kambuh maagnya. Trus dibawa deh sama ortunya ke dokter. Eh, nggak tahunya hamil."
Mata Marvin membesar kaget. Ekspresi mukanya mengisyaratkan rasa tak percaya. Ia terkejut mendengar ibu itu begitu terbuka menceritakan tentang keponakannya.
"Yaaahh ... gitulah Mas. Anak zaman sekarang. Pacarannya suka kebablasan. Masih SMA padahal. Beberapa bulan lagi ujian kelulusan. Kan sayang banget."
Marvin meresponnya dengan manggut-manggut. Mendadak pikiran buruk berkelebat di otaknya. Apa Ibel hamil juga ya?
"Ah, tidak ... Ibel anak baik-baik," katanya dalam hati untuk menyingkirkan pikiran buruk yang timbul tiba-tiba itu.
"Nggak semua orang yang mual dan muntah itu hamil. Bisa aja karena sakit. Orang hamil malah ada yang nggak mual, muntah, bahkan ngidam," kata Marvin dalam hati lagi, berusaha meyakinkan diri.
Baginya, tak ada gunanya ia berburuk sangka. Toh, Ibel sejauh ini menunjukan sikap tak macam-macam.
Marvin menghirup nafas panjang dan membuangnya pelan-pelan. Ia mencoba menghalau perasaan curiga yang beberapa saat menggelayuti pikirannya tersebut.
"Ibel cewek baik-baik. Dia sedang sakit maag," gumamnya dalam hati. Lagi.
****
Marvin terbatuk-batuk di kamarnya. Tenggorokannya terasa kering. Ia bangkit dari kasurnya dan berjalan keluar kamar. Ia menuju ruang makan.
Marvin meraih gelas untuk mengambil air minum. Terlihat ia begitu terburu-buru meneguk air itu guna meredakan batuknya.
Marvin menghembuskan nafas panjang usai meneguk minum. Batuknya juga sudah berhenti. Tenggorokannya yang kering sudah terbasahi oleh air. Batuk pun menghilang.
Marvin melirik jam dinding. Pukul 02.10 WIB. Sudah dini hari rupanya.
Ia kemudian berjalan lagi ke kamarnya. Begitu pintu kamar ditutup, ia langsung menuju kasurnya. Ia ingin kembali melanjutkan tidurnya yang terganggu akibat batuk tadi.
Marvin sudah memeluk gulingnya. Matanya juga sudah menutup. Beberapa menit lagi, mungkin sudah tak sadarkan diri tertidur. Tapi mendadak ia ingat sesuatu.
Ia bangkit dari tidurnya dan menuju tas kerjanya. Ia ingat ponselnya mati karena kehabisan isi batereinya. Tadi, ia lupa menchargernya.
Hari ini tubuhnya terasa lelah sekali. Makanya, ia segera tidur usai salat Isya. Ia bahkan belum makan malam karena saking mengantuknya.
Terlihat Marvin memasang charger ke kontak listrik dan menghubungkan kabel itu ke ponselnya. Terdengar bunyi dari ponselnya yang menyala. Marvin mencoba mengaktifkan ponselnya. Sekalian, dia ingin mengecek adakah pesan atau panggilan yang masuk untuknya.
Bertubi-tubi, terdengar bunyi dari ponsel. Ternyata selama ponsel mati ada banyak pesan yang masuk. Marvin membuka pesan-pesan yang masuk dan membalas beberapa pesan yang sudah dia baca.
Dahi Marvin terlihat mengkerut. Ada pemberitahuan masuk juga di instagramnya. Saat ia membuka instagramnya itu, Marvin mendengus kesal.
"Aahh ... dia lagi!" gerutunya lirih.
Marvin mencoba menghalau perasaan kesal yang mendadak timbul. Ia menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan.
"Apa maunya orang ini?" gumamnya.
Tangan Marvin bergerak menekan fitur untuk membuka DM yang masuk. Seketika, itu juga mata Marvin terbeliak kaget. Mulutnya juga melongo.
Pesan masuk yang dibuka Marvin berasal dari Lily_Yang_Tersakiti. Dan ternyata Lily_Yang_Tersakiti mengiriminya foto. Dua buah foto terpampang di layar DM. Marvin menekan foto yang pertama agar lebih jelas.
"Ibel?" kembali ia bergumam.
Foto yang dikirim oleh Lily_Yang_Tersakiti itu memperlihatkan Ibel sedang duduk bersama banyak orang. Ia sedang memainkan ponselnya. Sepertinya, Ibel berada di ruang tunggu sebuah rumah sakit. Wajah Ibel terlihat jelas. Kemeja kerja warna biru telur asin itu adalah baju yang dikenakan Ibel beberapa waktu yang lalu. Saat Metha ultah.
Kedua mata Marvin bergerak ke sana kemari. Mencari sosok seorang pria.
"Ayahnya Ibel mana?" kembali ia bergumam lirih.
Tak ada sosok ayahnya Ibel di antara orang-orang yang duduk itu. Di sebelah Ibel, ada seorang pria bertopi warna merah marun dengan bordir tulisan LA warna putih.
"Mana nih? Kok nggak ada?!" imbuhnya bergumam.
Marvin menghembuskan nafas panjang. Ia mencoba berpikir positif. Dia menghalau pikiran-pikiran buruk yang menghinggapinya.
"Mungkin, ayahnya Ibel sedang ke toilet atau nggak ikut duduk. Tapi, berdiri tak jauh dari situ."
"Atau bisa juga, ayahnya Ibel lebih senang menunggu di parkiran," gumam Marvin dalam hati. Mencoba menghibur diri.
Terlihat Marvin menghembuskan nafas panjang sekali lagi. Ia menggerakan tangannya untuk menekan foto kedua. Kembali matanya terbeliak kaget melihat tulisan yang tertera di foto tersebut.
"Apa ini? Dokter kandungan?" pekik Marvin tak percaya.
Marvin kembali berteduh di masjid tempat ia bertemu dengan Pak Arif Wicaksono dulu. Tadi ia berniat segera pulang karena mau mampir ke tempat Ricky untuk mengembalikan STNK motornya. Kemarin waktu ke pemancingan, Ricky menitipkan STNKnya ke tas selempang Marvin. Pulangnya, ia lupa untuk mengambilnya. Pagi tadi sebelum Marvin berangkat kerja, Ricky menelepon. Ia meminta Marvin mampir ke studionya sepulang kerja untuk mengantarkan STNK tersebut. Marvin menyanggupinya.Di tengah jalan, mendung berubah menjadi hujan. Tak ingin basah kuyup dan meminimalisir resiko kecelakaan, Marvin akhirnya memilih berhenti di masjid untuk berteduh sambil menunggu Maghrib tiba. Marvin usai mengerjakan salat tahiyatul masjid saat Pak Arif datang menyapanya. Di luar sana hujan semakin deras mengguyur bumi disertai angin. Sesekali kilat menyambar. "Terjebak hujan lagi nih rupanya mas Marvin," sapa Pak Arif ramah.Marvin tersenyum lebar seraya mengangguk mendengar sapaan itu. "Iya nih, Pak. Sepertinya hu
Marvin dan Ricky sedang ada di tempat pemancingan. Ini hari libur. Karena tak ada orderan foto hari ini, Ricky mengajak Marvin memancing untuk melepaskan penat. Pagi tadi usai sarapan, ia menjemput Marvin di rumahnya. Marvin malas membawa kendaraan sendiri, akhirnya ia dibonceng Ricky dengan motornya ke tempat pemancingan ikan."Punya nyali juga tuh anak si konglomerat menemuimu," kata Ricky saat keduanya sudah duduk santai sambil menunggu kail mereka digigit ikan. "Lagi butuh. Makanya berani," sahut Marvin singkat."Ah, iya juga, dia kan menemuimu di kantor ya? Makanya berani. Aman. Nggak mungkin kamu akan mengamuk di kantor. Kalau ngajak ketemuan di luar belum tentu dia berani,""Siapa juga yang sudi menemuinya. Mendengar namanya aja darahku langsung naik ke ubun-ubun,"Ricky terkekeh mendengar perkataan Marvin. "Aku pengen ngakak waktu kamu cerita, si Kienan bilang, demi masa lalu yang kamu pernah mencintai Ibel dengan tulus, tolong terima dia. Cuiiihhh! Apaan tuh?" ujar Ricky
Marvin baru saja meletakan tas kerjanya saat office boy memberitahu jika ia ada tamu. Tamu tersebut sedang menunggunya di ruang tim marketing yang biasanya dipakai untuk menerima klien. "Baru jam 08.05 WIB. Pagi amat ini tamu datangnya," kata Marvin dalam hati sembari melirik jam dinding yang ada di ruangannya. Marvin menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya berjalan ke ruang tim marketing untuk menemui klien tersebut. Mata Marvin langsung terbeliak saat melihat tamu yang menunggunya di ruang marketing. "Selamat pagi Pak Marvin," kata sang tamu sambil mengulas senyum dan mengulurkan tangannya. "Selamat pagi juga Pak Kienan," sahut Marvin sambil menerima uluran jabat tangan itu. Marvin memaksakan diri untuk tetap bisa tersenyum ramah meski hatinya panas. Tak bisa dipungkiri, kemunculannya menimbulkan kemarahan yang sudah susah payah berhasil ia redakan beberapa hari ini. Marvin menghembuskan napas panjang sembari bertanya-tanya dalam hati apa maksud kedatangan Kienan.
Marvin usai mandi dan berganti pakaian. Sekitar setengah jam yang lalu ia repot di kebun belakang rumah. Ia membakar undangan pernikahan dan foto-foto prewednya di dalam tong sampah. Ia tak ingin melihat benda-benda itu lagi di rumahnya. Setelah membakar undangan dan foto-foto itulah ia mandi karena merasa badannya bau asap. Marvin meraih ponselnya untuk mengechek adakah telepon atau pesan yang masuk. Begitu melihat tak ada telepon dan pesan yang masuk, ia rebahan di atas kasurnya sembari menautkan kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalan. Sambil menatap langit-langit kamarnya, Marvin mencoba merenungi apa yang telah terjadi sejauh ini."Ya udahlah mah, anggap aja sedekah. Ikhlaskan aja yang udah terlanjur dibayarkan ke para vendor itu," ujar papanya Marvin. Marvin diam mendengarkan dari kamarnya. Saat masuk kamarnya usai dari kamar mandi tadi, ia memang melihat kedua orang tuanya dan Merva sedang berada di ruang tengah. Jadi percakapan mereka terdengar dari kamarnya M
"Enak aja!" tukas mamanya Marvin. Papanya Marvin segera menepuk tangan istrinya untuk menyuruhnya berhenti berkomentar. Mamanya Marvin diam tapi wajahnya cemberut kesal."Kan belum 3 bulan. Masih ada kemungkinan keguguran. Jadi tolong pikirkan ulang," imbuhnya ayahnya Ibel."Paakk...Ini bukan soal hamilnya Ibel aja. Ini soal kesetiaan. Anaknya bapak sudah tak jujur. Berani selingkuh. Untungnya masih tunangan. Coba kalau sudah menikah terus dia melakukan perselingkuhan seperti ini. Mau ditaruh mana muka kami pak?!" pekik marah mamanya Marvin.Marvin, papanya dan Merva hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Meski kesal karena mamanya Marvin terus menyela percakapan, tapi kali ini mereka bisa memaklumi kemarahannya."Ibu....Saya...Tidak bisa menolong ibu kali ini. Saya minta maaf," ujar Marvin.Terdengar tangis dari ibunya Ibel. Melihat istrinya masih menangis, ayahnya Ibel yang sementara berbicara."Kemarin hari....Sewaktu Ibel memberitahu kalau nak Marvin membatalkan pernikahan saja k
"Mas, buruan masuk rumah!" perintah Merva saat Marvin baru saja memasukan motornya."Hampir aja aku nelepon mas Marvin," imbuhnya."Ada apa sih, Mer?" tanya Marvin heran."Ada orang tuanya mbak Ibel," "Haaahhh?! Kenapa mereka ke sini?""Nyari mas Marvin. Nangis-nangis tuh. Tapi mamah malah marah-marah," "Haaahhh?!""Udah buruan masuk mas!"Tanpa melepas jaketnya Marvin bergegas memasuki ruang tamu. Merva berjalan di belakang kakaknya. Saat Marvin makin mendekati pintu masuk ruang tamu, terdengar mamanya Marvin berbicara dengan suara keras. Sedangkan papanya Marvin berusaha menenangkan istrinya tersebut."Udah dong mah! Jangan marah-marah gini! Bisa darah tinggi nanti!" ujar papanya Marvin seraya memegangi istrinya itu. "Mamah kesel pah. Apa dia pikir, mereka aja yang malu. Kita lebih malu lagi. Mamah aja sampai sekarang masih bingung mau ngomong apa ke saudara-saudara tentang pembatalan ini,""Sssstttt...Sudah. Sudah. Itu Marvin sudah datang. Biar dia yang menyelesaikan. Vin, urus