Bangsal rumah sakit telah sepi karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hanya satu dua orang lalu lalang di putaran bangsal. Di sudut lorong rumah sakit seorang gadis muda duduk di lantai sambil menangis tersedu. Suaranya terdengar serak, matanya bengkak pertanda terlalu banyak menangis. Gadis itu terlihat memegang tas lusuh di pangkuannya. Tas lusuh yang sebenarnya tak layak pakai lagi karena sudah terlihat sobek di beberapa sisi dan tali tas yang sudah tersambung dengan peniti. Gadis itu terus menangis, menangisi nasib yang selalu mempermainkan hidupnya. Masih kurangkah penderitaannya selama ini?
Alya Purnama, nama gadis itu, Ayahnya meninggal saat Alya berumur delapan tahun dan si bungsu Nadine belum genap setahun. Sang ayah yang meninggal akibat penyakit paru-paru basah yang ia derita. Penyakit yang sebenarnya sudah lama bercokol di tubuhnya tapi tak dirasakan karena sibuk mencari nafkah untuk istri dan kedua anaknya. Kepergian ayah yang meninggalkan banyak hutang berobatnya selama sakit membuat ibu Alya yang hanya seorang tukang cuci harus bekerja tiga kali lebih keras dari saat ayah masih hidup. Jika dulunya ibu hanya menjadi buruh cuci sekarang beliau juga berjualan gorengan di siang hari untuk menambah penghasilan.
Kesusahan hidup yang sudah jadi makanan sehari hari Alya membuatnya menjadi perempuan yang tegar. Dari kecil Alya sudah terbiasa bekerja keras. Bangun pagi lalu berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengambil cucian kotor langganan ibunya. Sampai di rumah ia masih sempat membuat aneka gorengan yang ia jual di terminal. Pulang sekolah ia mengantarkan cucian bersih ke pelanggan lalu bergegas ke warung makan ujung jalan untuk bekerja sebagai tukang cuci piring sampai jam tujuh malam. Sepulang dari warung makan ia kembali mempersiapkan bahan bahan gorengan untuk di masak besok harinya.
Selelah apapun gadis itu bekerja ia tak pernah lupa belajar. Gadis berusia sembilan belas tahun itu sangat ingin melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Tapi apa daya, Jangankan untuk biaya kuliah, bisa makan tiga kali sehari saja ia sudah sangat bersyukur. Ia tahu tak ada yang ia bisa andalkan kecuali dirinya sendiri. Ia yang kelak akan menjadi penopang hidup ibu dan adik kecilnya Nadine. Alya bertekad ia harus sukses oleh karena itu ia harus bekerja keras dari sekarang.
Lagi, petaka kembali meyapa keluarga Alya. Saat ia berumur lima belas tahun. Sang ibu menjadi korban tabrak lari saat pulang dari menjajakan gorengannya di terminal. Tabrak lari? Iya, setelah menabrak sang pelaku menghilang begitu saja tanpa bertanggung jawab. Karena tak punya biaya ibu tak dibawa ke rumah sakit. Kaki ibu hanya diurut di dukun patah tulang yg yang ada di gang sebelah dan diberi obat kampung seadanya. Pengobatan yang tak optimal mengakibatan kaki ibu tak bisa normal kembali. Jadila ibu pincang sejak empat tahun yang lalu. Kaki ibu yang tak sempurna membuat pekerjaannya menjadi terbatas. Ibu tak bisa lagi mencuci pakaian terlalu banyak karena tak bisa duduk terlalu lama. Jadilah Alya menggantikan ibu untuk memikul beban yang memang sudah berat. Tapi Alya anak yang kuat. Ia tetap semangat menghadapi hidupnya demi membahagiakan ibu dan adik semata wayangnya yang mulai tumbuh menjadi gadis remaja.
Sekali lagi takdir seolah olah masih ingin bermain main dengannya. Satu minggu yang lalu ibu dan Alya dikejutkan dengan kedatangan guru Nadine ke rumah. Ibu guru mengabarkan kalau Nadine tiba - tiba pingsan di kelas dan dibawa ke puskesmas dekat sekolah. Ibu dan Alya segera menyusul kesana. Pihak puskesmas memberikan rujukan ke rumah sakit karena pada pemeriksaan awal mengarah ke arah penyakit serius yang perlu pemeriksaan lebuh lanjut di rumah sakit. Alya bersyukur karena ibu terdaftar sebagai masyarakat miskin sehingga kamar di rumah sakit di tanggung pemerintah. Tapi pemeriksaan Nadine tidak ter cover oleh kartu askin yang dimiliki ibu. Sehingga mereka mebutuhkan biaya sendiri untuk pemeriksaannya.
Kabar buruk karena ibu dan Alya tak punya uang sepeserpun untuk membiayai pemeriksaan Nadine. Nasib baik dokter Ridwan, dokter yang menangani penyakit Nadine mau membantu mereka. Ia membayarkan uang pemeriksaan Nadine dengan uang pribadinya. Sungguh dokter yang berhati mulia. Alya sebenarnya ingin menolak tapi tak ada jalan lain selain menerima bantuan sang dokter yang kelihatannya sangat tulus pada ia dan keluarganya. Ibu dan Alya tak bisa berbuat apa-apa selain menerima bantuan dokter berhati malaikat itu. Kesehatan Nadine harus menjadi hal yang utama, masalah bagaimana membayar hutang bisa di fikirkan lagi nanti setelah Nadine pulih. Hampir seminggu di rumah sakitdan f inal resultnya keluar tiga jam yang lalu.
Alya hanya mengangguk saat dokter yang menangani Nadine mempersilahkannya duduk. Barusan seorang suster masuk ke kamar perawatan Nadine dan memberitahukan kalau wali Nadine diminta untuk menghadap dokter. Melihat keadaan ibu yang sulit berjalan Alya berinisiatif untuk menggantikan ibu menghadap dokter. Untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Betapa terkejutnya Alya mendengar penjelasan dokter yang menangani Nadine. Jantung bocor bawaan lahir! Kata kata itu yang keluar dari mulut laki laki berpakaian serba putih di hadapan Alya. Tak hanya itu ternyata Nadine juga mengidap kanker darah stadium tiga yang juga membahayakan jiwanya. Pantas dari kecil Nadine gampang sakit. Bila ia demam tubuhnya terlihat pucat. Mungkin itu pengaruh dari jantung bocor yang diidapnya.
Dokter menjelaskan betapa bahayanya dua penyakit yang di idap Nadine. Satu kanker darah saja bisa mengancam jiwa anak berumur dua belas tahun itu apalagi ditambah jantung bocor bawaaan yang menurut diagnosa sementara dokter bawaan dari lahir. Dokter menjelaskan panjang lebar apa itu Kanker darah dan jantung bocor bawaan. Apa penyebabnya dan bagaimana cara mengobatinya. Laki-laki yang rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban itu menekankan bahwa Nadine harus segera mendapatkan penanganan serius. Pertama Nadine harus menjalani kateterisasi jantung secepatnya karena bocor jantung yang diidap Nadine termasuk golongan berat. Jika tidak segera ditangani kemungkinan terburuknya Nadine tak akan sanggup bertahan lebih dari tiga bulan. Setelah pulih baru Nadine bisa mengobati kanker darahnya. Alya mendengarkan tapi tak sepenuhnya mengerti apa yang laki - laki setengah baya itu jelaskan. Alya hanya tahu kalau jiwa Nadine dalam bahaya dan butuh banyak biaya untuk menyelamatkannya.
“ Berapa biaya untuk tranplantasi jantung dok” Alya bertanya setelah dokter mengakhiri penjelasannya. Laki-laki setengah baya itu terdiam beberapa saat. Dipandanginya wajah Gadis yang terlihat seumuran anak sulungnya itu. Berpuluh tahun menjalani tugasnya sebagai dokter spesialis dan berinteraksi dengan pasien dari berbagai tingkat ekonomi membuat ia sudah bisa menerka dari tingkat ekonomi mana gadis muda di hadapannnya itu dan ia menyadari betul jawabannya akan membuat sedih gadis ini. “Dok??” Suara Alya membuyarkan lamunan dokter. “ biayanya... sekitar 200 juta...itu belum termasuk pemeriksaan lainnya.. Begh! Suara pelan dokter spesialis itu bagai guntur di telinga Alya. Dua ratus juta Bagaimana Alya bisa mendapatkan uang sebanyak itu?
Biaya pemeriksaan lanjutan saja ia meminjam uang dokter Ridwan, Bagaimana dua ratus juta?
“Dua ratus juta dok?”
Dokter mengangguk.
“Untuk biaya operasinya saja. Belum ditambah biaya pemeriksaan dan lain - lain”
Tubuh Alya lemas seketika. Dua ratus juta! Bagaimana bisa tukang cuci piring warteg seperti dia harus menyediakan uang sebesar itu dalam waktu singkat! Pada siapa Alya memohon bantuan. Ayah dan ibu perantau di kota Jakarta ini. Alya tak pernah dengar baik ayah maupun ibu punya saudara di kota ini. Keluarga mereka benar - benar hidup sendiri tak pernah meminta bantuan keluarga yang bahkan mungkin tak pernah Alya ketahui keberadaannya. Tuhaaaan, cobaan apa lagi ini? Jerit Alya dalam hati.
“Kapan Nadine harus di operasi dok?”
Alya kembali bertanya setelah beberapa saat berusaha menahan gejolak hatinya mendengar penjelasan dari dokter Ridwan.
“Kalau bisa secepatnya. Semakin cepat kita melakukan tindakan maka persentase kesembuhan akan semakin besar. Karena kita tidak hanya memikirkan bocor jantungya Nadine tapi juga Kanker darah stadium tiga yang juga butuh penanganan secepatnya. Kita harus bergerak cepat nak, agar adikmu bisa segera disembuhkan.”
Alya kembali terdiam beberapa saat. Sibuk dengan fikirannya sendiri.
“Saya gak punya uang sepeserpun dok, bagaimana bisa mendapatkan uang dua ratus juta dalam waktu singkat.”
Kata - kata itu yang akhirnya keluar dari mulut gadis itu.
Dokter yang berumur sekitar lima puluh tahunan itu memandang Alya dengan tatapan iba. Tentu saja gadis di hadapannnya ini tidak punya uang sebanyak itu. Dilihat dari kartu berobatnya saja bisa dipastikan dia berasal dari masyarakat bawah. Dokter Ridwan sudah praktek lebih dari tiga puluh tahun. Sudah sering melihat wajah - wajah sedih dan putus asa dari pasien - pasiennya. Tapi entah kenapa hatinya begitu terenyuh melihat gadis muda di hadapannya ini. Hatinya perih melihat air mata yang menetes membasahi kedua pipinya. Gadis itu mengingatkannya pada Nala, putri sulungnya yang sedang kuliah di luar negeri. Sudah tahun ke dua ia tak pulang karena kesibukan kuliah.
Dari lubuk hatinya yang terdalam dokter Ridwan ingin sekali menolong Alya, tapi apa daya tiga puluh tahun lebih bergulat mengobati pasien, tak mampu membuatnya mengumpulkan pundi - pundi rupiah. Sumpah dokter yang ia ucapkan dulu benar benar ia terapkan di pekerjaannya. Saat menangani pasien kurang mampu ia tak pernah mematok harga. Pasien membayar seikhlasnya bahkan kadang ia memberikan obat secara gratis apabila melihat pasiennya dari keluarga yang tidak mampu. Bahkan untuk menyekolahkan Nala ia harus menjual beberapa aset berharga yang susah payah ia kumpulkan dari gaji rumah sakit dan menjadi dokter pribadi di salah satu keluarga konglomerat di kota ini.
“Berdoalah nak, bila ikhtiar sudah kau lakukan maka percayalah pada kekuatan doa.” Akhirnya hanya itu yang bisa ia katakan pada Alya.
Alya mengangguk lemah. Memang hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Saat semua usaha sudah ia lakukan maka doa lah jalan terakhir yang dilakukan.
“Mungkin akan sulit bagi kamu mendapatkan uang sebanyak itu. Tapi saya yakin. Dengan usaha dan tentu saja doa, Allah akan membukakan jalan yang tidak disangka-sangka oleh hambanya. Percayalah.”
Sekali lagi Alya mengangguk, lebih kuat. Bukan hanya mengiyakan apa yang dikatakan dokter Ridwan tapi juga untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau ia akan menemukan jalan keluar dari masalah yang tengah ia hadapi.
“Sabar nak, semua ada jalannya teruslah berdoa.” Ujar Dokter Ridwan sekali lagi.
“Iya dok, saya akan terus berdoa sampai Allah mengirimkan bantuannya.”
“Tak perlu banyak berdoa lagi. Karena Tuhan telah mengirimkan saya untuk membantu kamu.”
Tiba - tiba terdengar suara dari arah pintu ruangan. Serempak Alya dan dokter Ridwan menoleh ke arah suara. Tampak seorang wanita cantik berdiri di depan pintu.
‘Siapa dia?’
tanya Alya dalam hati.
Alya melihat ke arah dokter Ridwan seolah meminta penjelasan sementara doter Ridwan hanya diam tak berkata.
“Bu Aline, saya tidak melihat anda masuk tadi. Apa anda lupa mengetuk pintu?”Ada nada tak suka dari intonasi suara dokter Ridwan saat menyapa wanita itu.“Ooh, maaf dok, tadi pintu ruangan dokter terbuka jadi saya masuk saja.”Ujar wanita itu dengan gaya yang elegan.“Saya juga mendengar apa yang dokter dan gadis ini bicarakan dan saya siap memberikan jalan keluar.”Ujarnya seraya berjalan ke arah Alya dan dokter Ridwan.“Jalan keluar?” Dokter Ridwan bertanya.“Ya, saya yang akan membayar semua biaya rumah sakit adik gadis ini.”“Maksud ibu Aline apa?” Dokter Ridwan bersuara.Masih dengan posisi berdiri, wanita itu menjawab pertanyaan dokter Ridwan.“Saya akan membiayai seluruh pengobatan adik gadis manis ini bila ia mau berbisnis dengan sa
Alya bergegas keluar dari ruangan dokter Ridwan. Dia berjalan setengah berlari menuju sebuah ruangan di ujung bangsal rumah sakit. Sesampainya di ujung lorong rumah sakit matanya menoleh ke kiri, semakin mendekat ke sebuah ruangan bercat hijau muda. Kakinya melepas sendal yang ia kenakan dan masuk ke ruangan itu. Ruangan inilah yang bisa membuatnya tenang. Disinilah ia bisa menangis sejadi - jadinya tanpa malu dilihat orang. Di ruangan inilah tempat ia bersimpuh memohon petunjuk sang Khalik akan semua masalah yang tengah ia hadapi. Sejak Nadine dirawat di rumah sakit ini, Alya menjadi akrab dengan ruangan ini. Ya, hanya mushola rumah sakit ini tempat Alya menangis dan bedoa untuk jalan keluar dari masalah yang sedang ia hadapi.Alya terduduk di lantai mushola. Bulir bening itu mulai luruh dengan deras ke pipi gadis berusia sembilan belas tahun itu. Hatinya perih mendengar penawaran yang keluar dari mulut wanita itu. Sebegitu rendahnya kah dirinya sampai ia harus
Ojek yang membawanya Alya berhenti di sebuah perumahan mewah di pusat kota Jakarta. Alya turun dan membayar ongkos ojek seraya mengucapkan terima kasih pada abang ojeknya. Perlahan gadis berambut panjang itu berjalan mendekati pagar, ooh bukan pagar...tepatnya pintu gerbang rumah mewah ini.Jalan Kenari Nomor delapan belas, gadis itu mengeja alamat yang tertera di selembar kertas yang diberikan dokter Ridwan. Lalu mencocokkannya dengan alamat yang terpahat rapi di depan gerbang berwarna keemasan itu. Benar ini rumahnya. Bathin Alya. Lalu gadis itu memencet bel yang ada di depannya. Aah, untungnya satpam perumahan mewah ini mengajarkan Alya bagaiman menggunakan bel rumah di komplek mewah ini. Ini bukan bel sembarang bel. Bel praktis yang bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan satpam di dalam sana.“Asalamuallaikum pak” Sapa Alya di depan bel.“Waalaikumsalam. Mbak siapa ya?”“Saya Alya pak. Saya
With the Imperious manLangit berjalan menuju ke parkiran mobil diikuti oleh Alya. Tampak mobil Fortuner berwarna merah maroon. Langit membuka pintu mobil dan masuk ke dalam mobilnya sedangkan Alya hanya berdiri diam di samping pintu mobil. Langit menoleh ke arah Alya dengan wajah kesal.“Heii kamu, mau berdiri di situ sampai sore?”Alya kaget tapi tak urung ia membuka pintu mobil lalu berusaha masuk ke dalamnya. Karena mobil Fortuner lumayan tinggi jadi Alya agak berjinjit saat hendak menaiki mobil dan ‘Braaak” Alya kehilangan keseimbangan dan jatuh terjengkang ke luar mobil. Langit yang melihat kejadian itu hanya diam saja seperti tak ada keinginan untuk menolong, malah ia asyik dengan handphonenya. Alya yang kesakitan berusaha bangkit. Sepertinya kakinya terkilir. Saat ia sudah berdiri sempurna. Suara Langit kembali terdengar dari dalam mobil.“
Langit dan kemarahannya“Oooh, shit...shiiit!!!”Berulang kali makian keluar dari mulut Langit sambil sesekali tangannya memukul stir mobil.“Sial, kok bisa-bisanya gue dipermalukan sama perempuan miskin seperti dia! Dasar perempuan sialan! Loe lihat nanti, gue bakalan balas loe lebih kejam dari apa yang loe lakukan hari ini.”Makinya tak berhenti.Langit melirik jam yang ada di pergelangan tangannya.“Tuh, telatkan gueee... Aaaah, shiiit!!!”Lalu laki laki berhidung mancung sempurna itu menambah kecepatan laju mobilnya menuju kantor.Jam menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit saat mobil langit berhenti di depan lobi kantor. Segera langit turun dari mobil dan melemparkan kunci mobil ke satpam yang berjaga. Ia berjalan tergesa memasuki kantor. Beberapa pegawa
7. Shocking NewsAngkot berhenti tepat di seberang lorong tempat tinggal Alya. Gadis berambut panjang itu turun dan segera menyeberang menuju lorong rumahnya. Ditelusurinya lorong itu sekitar lima belas menit lalu sampailah ia di sebuah rumah sedehana, kalau tak mau dikatakan jelek. Rumah usang yang seperti sudah lama tak di perbaiki. Bagian depan terlihat pintu rumah yang sudah soak disana sini. Dan ada sebuah kursi yang tak kalah usangnya dengan daun pintu rumahnya.Gadis itu menggapai gagang pintu dan mendorongnya. Terkunci, Apa ibu belum pulang kerja ya? Alya melirik benda di pergellangan tangannya. Sudah jam satu. Biasanya jam sebelas ibu sudha di rumah. Karena hanya ibu hanya mengantarkan cucian yang dekat-dekat sini. Kalau yang agak jauh Alya lah yang mengantarkannya. Lalu Nadine kemana? Biasanya jam setengah satu ia sudah sampai di rumah. Alya risau. Ia mindar mandir di depan pintu rumah. “Al...”Suar
Menghadapi kenyataan yang menyakitkanSepeninggalan kedua guru Nadine, Alya mengajak bu Kartika untuk kembali duduk di sebelah ranjang Nadine. Ada raut khawatir di wajah keduanya. Kekhawatiran yang sama yaitu tentang hasil pemeriksaan Nadine.“Semoga Nadine cepat sembuh ya Al. Ibu gak tega lihat Nadine seperti ini. Ibu takut Nadine kenapa kenapa.”Ujar bu Kartika dengan suara serak.“Alya yakin Nadine bisa segera sembuh buk Tenang saja.. Yang penting sekarang kita berdoa. Memohon pada Allah untuk kesehatan Nadine.”Jawab Alya. Gadis itu berushaa menenangkan sang ibu.Bu Kartika menggenggam tangan Alya yang diikuti oleh Alya yang juga menggenggam tangan sang ibu. Keduanya saling berpandangan namun tak sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Mereka hanya saling memandang dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Lalu keduanya larut dalam
Alya, You are not aloneAlya berjalan pelan menelusuri bangsal rumah sakit dengan langkah gotai. Fikirannya masih tertuju pada kata-kata dokter Ridwan.‘Delapan juta! Nominal yang tidak sedikit untuk orang seperti Alya. Bagaimana ia bisa mendapatkannya dalam waktu yang singkat?’Di depan Alya tampak kursi tunggu pasien. Gadis itu berjalan mendekati kursi dan duduk di salah satu kursinya. Mungkin ada baiknya ia menenangkan diri dulu. Fikirannya yang kalut tentu akan memberikan efek yang tidak baik pada ibunya nanti. Sebaiknya ia menenangkan diri dulu sebelum menyampaikan kondisi kesehatan Nadine pada ibu agar ibu tidak ikut-ikutan panik.‘Pletaak’Bunyi benda jatuh di belakang Alya. Gadis sembilan belas tahun itu menoleh. Tampak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya berusaha meraba-raba tongkat yang jatuh tapi tak berhasil