“Bu Aline, saya tidak melihat anda masuk tadi. Apa anda lupa mengetuk pintu?”
Ada nada tak suka dari intonasi suara dokter Ridwan saat menyapa wanita itu.
“Ooh, maaf dok, tadi pintu ruangan dokter terbuka jadi saya masuk saja.”
Ujar wanita itu dengan gaya yang elegan.
“Saya juga mendengar apa yang dokter dan gadis ini bicarakan dan saya siap memberikan jalan keluar.”
Ujarnya seraya berjalan ke arah Alya dan dokter Ridwan.
“Jalan keluar?” Dokter Ridwan bertanya.
“Ya, saya yang akan membayar semua biaya rumah sakit adik gadis ini.”
“Maksud ibu Aline apa?” Dokter Ridwan bersuara.
Masih dengan posisi berdiri, wanita itu menjawab pertanyaan dokter Ridwan.
“Saya akan membiayai seluruh pengobatan adik gadis manis ini bila ia mau berbisnis dengan saya.”
Alya terdiam, dipandanginya wanita dihadapannya itu. Wanita yang berumur sekitar lima puluhan yang masih terlihat cantik dan modis. Mengenakan dress berwarna merah maroon dengan sepatu hak tinggi dan tas warna senada. Apa yang barusan tadi ia katakan? Mau membiayai seluruh biaya operasi Nadine? Benarkah?’ Seketika harapan Alya kembali. Ada harapan untuk Nadine bisa sembuh.
“Ibu siapa?”
Akhirnya hanya kata itu yang terucap dari mulut Alya.
Wanita itu tak menjawab, ia menoleh ke arah dokter Ridwan seraya berkata.
“Boleh saya bicara empat mata dengan gadis ini dok?“
Ucapan lembut bernada memerintah keluar dari mulut wanita itu.
Dokter Ridwan hanya mengangguk lalu meninggalkan Alya dan wanita itu.
Sepeninggalan dokter Ridwan, Alya dan wanita itu terdiam beberapa saat
“Sebelumnya perkenalkan nama saya Aline Sastra Wijaya. Dokter Ridwan adalah dokter pribadi keluarga saya. Intinya saya orang baik jadi kamu tak usah takut.”
Ujarnya memperkenalkan diri tanpa berjabat tangan dengan Alya.
“Siapapun saya sebenarnya tak terlalu penting buat kamu tahu tapi yang pasti saya adalah orang yang akan menyelamatkan nyawa adik kamu. Asal kamu mau mengikuti perintah saya.”
Alya terdiam. Dipandanginya wajah wanita cantik itu. Senyum culas terpahat di bibir merahnya. Entah kenapa Alya ngeri melihat senyumnya. Tapi ia menawarkan tawaran menarik. Membiayai pengobatan Nadine? Setakut apapun Alya pada wanita di hadapannya ini, ia tak akan melewatkan tawaran itu. Kesembuhan Nadine adalah segalanya. Apapun akan Alya lakukan untuk mendapatkannya.
“Apa yang ibu mau dari saya?”
Wanita itu berjalan mendekat ke Alya yang duduk di kursi ruangan dokter Ridwan. Lalu wanita itu menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah Alya hingga mereka bisa saling menatap.
“Saya ingin kamu menikah dengan anak saya.”
Alya terkejut bukan kepalang. Permintaannya sungguh diluar dugaan. Bagaimana mungkin Alya bisa memenuhi keinginannya.
“Maksud anda saya harus menikah dengan anak anda?”
Alya mengulangi lagi kata-katanya wanita itu.
“Ya, saya akan membiayai pengobatan adik kamu yang penyakitan itu sampai sembuh tapi sebagai gantinya kamu harus menikah dengan anak saya.”
Alya terdiam, dia masih berusaha mencerna maksud dari kata - kata wanita di hadapannya itu.
“Kamu tak usah khawatir, pernikahan kamu dengan anak saya hanya sebatas perjanjian selama satu tahun. Setelah itu kalian akan bercerai. Saya akan memberikan sejumlah uang dan setelah itu kamu bisa bebas kembali ke kehidupan kamu.”
Alya terhenyak. Menikah dengan orang yang tidak dia kenal saja membuat ia berfikir berulang kali, apalagi kalau harus menikah dan merencanakan bercerai setelahnya. Sungguh di luar nalar!”
“Maksud ibu apa? Meminta saya menikah dengan anak ibu dan bercerai setelahnya? Apa ibu fikir pernikahan itu permainan?”
Alya berusaha menekan suaranya.
“Saya tahu pernikahan bukan permainan, sama halnya dengan adik kamu, nyawanya juga bukan permainan. Yang bisa hilang lalu kembali lagi.”
Aline menekankan kata nyawa pada kalimatnya. Secara implisit ingin menekan Alya secara psikis.
Alya terhenyak, ingatannya kembali dipenuhi oleh raga Nadine yang tergolek lemah di ruangan icu dengan beberapa selang menempel di tubuhnya. Sementara ia hanya diam tak bisa berbuat apa-apa. Alya sangat ingin Nadine sembuh tapi kalau dengan cara yang dikatakan wanita dihadapannya ini rasanya begitu berat bagi Alya.
“Bagaimana nona Alya? Mau menerima tawaran saya.”
Wanita dihadapan Alya bersuara.
Sekali lagi Alya memandang wanita dihadapannya itu. Senyum palsu terpahat di bibirnya.
“Saya memang sangat membutuhkan uang untuk pengobatan adik saya tapi saya percaya saya akan mendapatkannya dengan jalan yang benar bukan dengan merendahkan harga diri saya.”
“Saya tidak bermaksud merendahkan harga diri anda nona Alya. Saya hanya ingin mengajak anda berbisnis.”
“Mempermainkan makna pernikahan, apakah itu pantas disebut berbisnis bu Aline?”
Aline terdiam beberapa saat. Mata yang dihiasi maskara coklat tua itu memandang lurus ke arah Alya yang juga sedang menatapnya. Mata mereka saling menatap beberapa detik lalu Widia mengalihkan pandangannya ke luar jendela ruang dokter Ridwan, juga hanya beberapa detik lalu kembali menatap Alya.
“Kalau kamu tidak suka istilah bisnis yang saya gunakan, bagaimana kalau kita pakai istilah lain yang bisa membuat telinga kamu nyaman? Misalnyaa... Simbiosis mutualisme?”
Matanya membulat memandang Alya yang hanya diam tak bersuara.
“Ya, simbiosis mutualisme? Pernah mendengar istilah itu? Kamu sma nya tamat kan? Tau artinya kan? Artinya kita bekerja sama dan saling menguntungkan satu sama lain.” Wanita itu mengakhiri kalimatnya dengan senyum culas yang tersungging di bibirnya.
“Maaf bu, apapun istilahnya saya tak akan mengobati adik saya dengan menggadaikan harga diri saya pada ibu. Saya yakin tuhan akan memberikan jalan yang baik untuk menyembuhkan Nadine, tinggal saya yang berikhitiar untuk mencari jalannya.”
Wanita di hadapan Alya itu menghela nafas dengan gayanya yang begitu anggun dan senyum sinis tetap terpahat di bibir merahnya.
“Berfikirlah sekali lagi nona Alya, Jangan bermain - main dengan nyawa adik anda.” Aline kembali menjawab tanpa melihat ke arah Alya seolah - olah Alya tak pantas untuk di lihat.
“Ini jawabannya final saya bu Aline. Kalau tak ada lagi yang mau di bicarakan saya permisi.”
Setelah menyelesaikan kalimatnya Alya beranjak dari kursi, mengambil tasnya di atas meja dokter Ridwan dan berjalan menuju pintu. Sebelum tangan Alya menyentuh gagang pintu, suara Aline terdengar lagi.
“Fikirkan sekali lagi Nona, Tawaran saya hanya berlaku satu kali. Saat anda membuka pintu dan keluar dari ruangan ini maka berakhirlah pula penawaran saya.”
Tangan Alya yang telah menggenggam gagang pintu kembali melepaskannya. Ia berbalik dan mendekat ke arah Aline yang ternyata telah berdiri dari tempat duduknya. Sekarang mereka sudah ada pada posisi eye to eye. Tatapan mata Aline yang seolah mengintimidasi Alya dibalas dengan tatapan mata yang sama oleh perempuan berumur sembilan belas tahun itu.
“Terima kasih atas tawarannya Ibu Aline yang terhormat, sekarang saya memang butuh banyak uang untuk pengobatan adik saya tapi otak saya masih bisa berfikir waras untuk tidak melakukan hal di luar nalar seperti apa yang anda tawarkan kepada saya. Janji pernikahan itu tak hanya janji kita kepada pasangan tapi lebih dari itu, itu janji kita kepada tuhan. Kalau tuhan saja bisa kita permainkan apa yakin hidup kita akan baik - baik saja? Saya yakin anda jauh lebih berpengalaman dari saya yang belum pernah merasakan kehidupan berumah tangga. Atau anda melakukan hal yang sama pada pernikahan anda? Menganggap pernikahan tak lebih dari simbiosis mutualisme?”
Pelan suara Alya tapi mampu membuat senyum culas yang sejak awal terpahat di bibir Aline hilang seketika berganti gemeletuk gigi menahan marah.
“Saya permisi bu Aline, senang bejumpa dengan anda. Doakan agar saya menemukan cara halal untuk membiayai pengobatan adik saya. “
Alya menekankan kata halal pada kalimatnya.
Alya berbalik berjalan tegap menuju pintu, meraih gagang, mendorong daun pintu dan berjalan keluar meninggalkan Aline yang menatapnya dengan tatapan yg sulit diartikan.
‘Anak itu, berani sekali berlagak di depanku. Lihat saja, aku akan buat ia menyesal’.
Bibirnya kembali memahat senyum sinis dan culas. Senyum yang lebih mirip seringai yang siap mengeluarkan taring untuk mencabik mangsanya.
Alya bergegas keluar dari ruangan dokter Ridwan. Dia berjalan setengah berlari menuju sebuah ruangan di ujung bangsal rumah sakit. Sesampainya di ujung lorong rumah sakit matanya menoleh ke kiri, semakin mendekat ke sebuah ruangan bercat hijau muda. Kakinya melepas sendal yang ia kenakan dan masuk ke ruangan itu. Ruangan inilah yang bisa membuatnya tenang. Disinilah ia bisa menangis sejadi - jadinya tanpa malu dilihat orang. Di ruangan inilah tempat ia bersimpuh memohon petunjuk sang Khalik akan semua masalah yang tengah ia hadapi. Sejak Nadine dirawat di rumah sakit ini, Alya menjadi akrab dengan ruangan ini. Ya, hanya mushola rumah sakit ini tempat Alya menangis dan bedoa untuk jalan keluar dari masalah yang sedang ia hadapi.Alya terduduk di lantai mushola. Bulir bening itu mulai luruh dengan deras ke pipi gadis berusia sembilan belas tahun itu. Hatinya perih mendengar penawaran yang keluar dari mulut wanita itu. Sebegitu rendahnya kah dirinya sampai ia harus
Ojek yang membawanya Alya berhenti di sebuah perumahan mewah di pusat kota Jakarta. Alya turun dan membayar ongkos ojek seraya mengucapkan terima kasih pada abang ojeknya. Perlahan gadis berambut panjang itu berjalan mendekati pagar, ooh bukan pagar...tepatnya pintu gerbang rumah mewah ini.Jalan Kenari Nomor delapan belas, gadis itu mengeja alamat yang tertera di selembar kertas yang diberikan dokter Ridwan. Lalu mencocokkannya dengan alamat yang terpahat rapi di depan gerbang berwarna keemasan itu. Benar ini rumahnya. Bathin Alya. Lalu gadis itu memencet bel yang ada di depannya. Aah, untungnya satpam perumahan mewah ini mengajarkan Alya bagaiman menggunakan bel rumah di komplek mewah ini. Ini bukan bel sembarang bel. Bel praktis yang bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan satpam di dalam sana.“Asalamuallaikum pak” Sapa Alya di depan bel.“Waalaikumsalam. Mbak siapa ya?”“Saya Alya pak. Saya
With the Imperious manLangit berjalan menuju ke parkiran mobil diikuti oleh Alya. Tampak mobil Fortuner berwarna merah maroon. Langit membuka pintu mobil dan masuk ke dalam mobilnya sedangkan Alya hanya berdiri diam di samping pintu mobil. Langit menoleh ke arah Alya dengan wajah kesal.“Heii kamu, mau berdiri di situ sampai sore?”Alya kaget tapi tak urung ia membuka pintu mobil lalu berusaha masuk ke dalamnya. Karena mobil Fortuner lumayan tinggi jadi Alya agak berjinjit saat hendak menaiki mobil dan ‘Braaak” Alya kehilangan keseimbangan dan jatuh terjengkang ke luar mobil. Langit yang melihat kejadian itu hanya diam saja seperti tak ada keinginan untuk menolong, malah ia asyik dengan handphonenya. Alya yang kesakitan berusaha bangkit. Sepertinya kakinya terkilir. Saat ia sudah berdiri sempurna. Suara Langit kembali terdengar dari dalam mobil.“
Langit dan kemarahannya“Oooh, shit...shiiit!!!”Berulang kali makian keluar dari mulut Langit sambil sesekali tangannya memukul stir mobil.“Sial, kok bisa-bisanya gue dipermalukan sama perempuan miskin seperti dia! Dasar perempuan sialan! Loe lihat nanti, gue bakalan balas loe lebih kejam dari apa yang loe lakukan hari ini.”Makinya tak berhenti.Langit melirik jam yang ada di pergelangan tangannya.“Tuh, telatkan gueee... Aaaah, shiiit!!!”Lalu laki laki berhidung mancung sempurna itu menambah kecepatan laju mobilnya menuju kantor.Jam menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit saat mobil langit berhenti di depan lobi kantor. Segera langit turun dari mobil dan melemparkan kunci mobil ke satpam yang berjaga. Ia berjalan tergesa memasuki kantor. Beberapa pegawa
7. Shocking NewsAngkot berhenti tepat di seberang lorong tempat tinggal Alya. Gadis berambut panjang itu turun dan segera menyeberang menuju lorong rumahnya. Ditelusurinya lorong itu sekitar lima belas menit lalu sampailah ia di sebuah rumah sedehana, kalau tak mau dikatakan jelek. Rumah usang yang seperti sudah lama tak di perbaiki. Bagian depan terlihat pintu rumah yang sudah soak disana sini. Dan ada sebuah kursi yang tak kalah usangnya dengan daun pintu rumahnya.Gadis itu menggapai gagang pintu dan mendorongnya. Terkunci, Apa ibu belum pulang kerja ya? Alya melirik benda di pergellangan tangannya. Sudah jam satu. Biasanya jam sebelas ibu sudha di rumah. Karena hanya ibu hanya mengantarkan cucian yang dekat-dekat sini. Kalau yang agak jauh Alya lah yang mengantarkannya. Lalu Nadine kemana? Biasanya jam setengah satu ia sudah sampai di rumah. Alya risau. Ia mindar mandir di depan pintu rumah. “Al...”Suar
Menghadapi kenyataan yang menyakitkanSepeninggalan kedua guru Nadine, Alya mengajak bu Kartika untuk kembali duduk di sebelah ranjang Nadine. Ada raut khawatir di wajah keduanya. Kekhawatiran yang sama yaitu tentang hasil pemeriksaan Nadine.“Semoga Nadine cepat sembuh ya Al. Ibu gak tega lihat Nadine seperti ini. Ibu takut Nadine kenapa kenapa.”Ujar bu Kartika dengan suara serak.“Alya yakin Nadine bisa segera sembuh buk Tenang saja.. Yang penting sekarang kita berdoa. Memohon pada Allah untuk kesehatan Nadine.”Jawab Alya. Gadis itu berushaa menenangkan sang ibu.Bu Kartika menggenggam tangan Alya yang diikuti oleh Alya yang juga menggenggam tangan sang ibu. Keduanya saling berpandangan namun tak sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Mereka hanya saling memandang dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Lalu keduanya larut dalam
Alya, You are not aloneAlya berjalan pelan menelusuri bangsal rumah sakit dengan langkah gotai. Fikirannya masih tertuju pada kata-kata dokter Ridwan.‘Delapan juta! Nominal yang tidak sedikit untuk orang seperti Alya. Bagaimana ia bisa mendapatkannya dalam waktu yang singkat?’Di depan Alya tampak kursi tunggu pasien. Gadis itu berjalan mendekati kursi dan duduk di salah satu kursinya. Mungkin ada baiknya ia menenangkan diri dulu. Fikirannya yang kalut tentu akan memberikan efek yang tidak baik pada ibunya nanti. Sebaiknya ia menenangkan diri dulu sebelum menyampaikan kondisi kesehatan Nadine pada ibu agar ibu tidak ikut-ikutan panik.‘Pletaak’Bunyi benda jatuh di belakang Alya. Gadis sembilan belas tahun itu menoleh. Tampak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya berusaha meraba-raba tongkat yang jatuh tapi tak berhasil
Langkah kaki Alya sampai di depan pintu ruangan Nadine. Gadis manis itu sejenak menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya lalu tangannya meraih gagang pintu menuju ranjang Nadine.Disana sang ibu sedang duduk dengan raut wajah khawatir. Rasa sedih kembali menyeruak di hati Alya.‘ Bagaimana perasaan ibu kalau aku ceritakan tentang keadaan dan biaya pemeriksaan Nadine’Alya berkata dalam hati.“Nadine belum siuman buk?” Kata Alya.Bu Kartika yang tak menyadari kedatangan anak sulungnya itu menoleh ke arah Alya dan segera ia menghapus air mata di kedua pipinya agar Alya tak melihatnya.“Eh, iya Al, Nadine belum siuman. Kata susternya mungkin sebentar lagi.”Jawab ibu dengan senyum dipaksakan.Alya tersenyum untuk menutupi gundah hatinya. Ia menarik kursi yang ada di sebelah sang ibu dan menghempaska