Home / Romansa / Under His Darkness / 4. Nathaniel Wyatt Sinclair

Share

4. Nathaniel Wyatt Sinclair

Author: Hanana
last update Last Updated: 2025-06-03 17:23:35

Nayla terbangun dengan penuh rasa malu.

Bukan karena sinar matahari yang menampar wajahnya, bukan juga karena tubuhnya yang dingin karena lupa menarik selimut. Namun, karena ingatan semalam menelanjangi dirinya habis-habisan.

Kepalanya terus berdenyut. Pahit alkohol masih tertinggal di lidah. Perih juga mengitari perut yang sejak kemarin kosong. Namun, bukan itu yang paling menyakitkan. Yang paling menyakitkan adalah fakta kalau Damian sudah dia biarkan melihat kelemahan yang dia tunjukkan semalam.

Terlalu banyak yang Nayla ingin tarik kembali. Namun, semuanya sudah telanjur tumpah. Ratapannya, cerita pahitnya, dan rasa sakit yang selama ini dia sembunyikan di balik senyum buatan.

"You're awake," ucap Damian datar.

Nayla tidak menjawab. Dia lantas menarik napas, lalu duduk perlahan sambil merapikan rambutnya seadanya. Bahunya berat, sekujur tubuhnya linu, dan kedua kakinya seolah tak bertenaga.

Ponsel dengan daya yang hampir habis diraih dari atas nakas. Nayla sempat melirik kalau ini adalah hari Sabtu. Tanggal yang tertera di layar ponsel menunjukkan catatan pekerjaan yang harus dia hadiri malam nanti.

Fashion bukan sekadar pekerjaan bagi Nayla. Itu merupakan bahasa, pelarian, dan sekaligus tameng. Sebagai stylist, dia membaca tubuh dan karakter, lalu memadukan potongan dan warna. Kliennya beragam. Ada sederet selebriti ternama, model, bahkan politisi yang ingin tampak lebih manusiawi. Di balik layar, dia bukan sekadar penata gaya. Dia adalah arsitek ilusi yang menciptakan versi terbaik dari seseorang— termasuk dirinya sendiri, saat dunia luar terlalu bising untuk dihadapi tanpa lapisan kain yang dipilih dengan hati-hati.

“Ini benar hari Sabtu?” lirih Nayla, lebih kepada berbicara pada dirinya sendiri.

“Selain membuatmu mabuk, apakah alkohol juga membuatmu hilang ingatan?” Damian menimpali.

Nayla melirik sekilas, lalu memutar bola matanya malas. Sambil menahan lemas, dia mulai berkemas. Tak ada banyak barang yang dia bawa. Nayla hanya menyambar clutch hitam yang tergeletak di atas sofa.

“Acaramu malam ini?” Damian bertanya tanpa basa-basi.

Nayla menoleh sekilas. Dia tidak kaget. Tentu saja Damian tahu tentang jadwal kerjanya. Entah mengapa, Damian memang seolah maha tahu.

“Jam 7 malam?” Damian menebak lagi.

Nayla tersenyum sinis. “Kamu sudah tahu jawabannya.”

Damian menatapnya lama. Ada sorot yang menyiratkan rasa tak rela jika Nayla pergi begitu saja. Keterdiamannya seolah menimbang sesuatu yang tak benar-benar bisa dia ucapkan.

Nayla sudah mengenakan heels berwarna perak yang tergeletak di sudut ruang. Geraknya pasti, percaya diri, meski Damian bisa menangkap kalau tubuhnya sedikit limbung. Kondisi fisik Nayla tidak benar-benar baik-baik saja.

“Aku bisa membantumu menghilang kalau kamu mau. Dunia akan terus berputar tanpamu.”

“Tapi aku tidak mau,” Nayla menatap lurus ke matanya. “Aku bukan seperti yang kamu pikir, Damian.”

Ada jeda selama beberapa saat. Aromanya sunyi dan pekat.

Kedua mata Damian menyipit, seperti sedang berpikir cepat. Tak lama kemudian, dia berkata pelan, “Aku akan mengantarmu.”

“Kamu? Mengantarku?” Tawa Nayla nyaris meledak. “Ini bukan klub malam, tempat biasanya kamu hidup. Ini fashion week. Media. Kamera. Dan aku tahu kalau kamu bukan seseorang yang suka berbaur dengan itu.”

Sejak lulus pendidikan, Damian memang sudah mulai membangun kerajaannya sendiri. Tak hanya di Milan, tapi juga sebuah klub malam eksklusif di jantung kota Bali. Napasnya berembus untuk dunia gelap dan gemerlap yang berpadu jadi candu. Dia bukan hanya pemilik, tapi dia adalah legenda di balik pintu-pintu merah dan musik yang tak pernah berhenti.

“Aku tidak butuh berbaur,” jawab Damian datar. “Aku hanya akan menunggumu sampai selesai. Dan tenang saja, karena aku memang tidak berminat muncul di depan kamera.”

Tentu saja Damian tidak ingin tampil. Lelaki sepertinya tidak akan memperdulikan hal yang tidak ingin dia pedulikan. Damian hanya ingin memastikan satu hal, yaitu Nayla tetap aman dan tetap miliknya.

“Aku tidak butuh siapa pun untuk mengantarku.”

“Tapi aku butuh untuk tetap mengantarmu,” pungkas Damian.

Nayla menghela napas panjang. “Dan kalau aku menolak?”

“Maka aku tetap akan muncul di sana. Bedanya, aku akan masuk lewat pintu depan.” Nada ucapan Damian serupa ancaman lembut yang dibungkus dalam perhatian.

Nayla memejamkan mata sejenak. Dia tahu, berdebat dengan Damian adalah permainan sia-sia. Terlebih lagi, energinya hari ini sudah semakin menipis.

Setelah dipaksa duduk di balik meja makan panjang, Nayla memegang sendoknya dalam diam. Bukan karena patuh, tapi lebih kepada menuruti kebutuhan tubuh yang sebentar lagi seperti akan pingsan.

Suara denting porselen terdengar nyaring di tengah keheningan. Di seberangnya, Damian tampak membaca koran. Matanya memindai setiap huruf seperti sedang mencoba memahami Bahasa Indonesia yang belum sepenuhnya Damian kuasai.

Nayla pikir, kebisuan di antara mereka akan kekal. Ternyata, tanpa menurunkan korannya, Damian memulai pembicaraan yang sangat di luar dugaan.

“Kamu masih mencintainya?”

Tangan Nayla berhenti di udara. Sendok sudah berada di depan mulutnya yang terbuka. Namun, bibirnya dengan cepat mengatup, dan sendok kembali bersatu dengan permukaan piring.

Nayla tidak menjawab. Tidak bisa. Selain karena lidahnya yang kelu, pikirannya juga terlalu berantakan untuk memberikan jawaban.

Damian lantas melipat koran, lalu menatapnya dengan sorot mata yang nyaris tak bisa dibaca. “Aku hanya perlu tahu. Sebelum aku membawamu ke dunia tempat mereka menilaimu dari ujung rambut sampai ujung sepatu. Sebelum kamu tersenyum di depan kamera dan menyembunyikan semua luka di balik lipstik merahmu.”

Nayla masih tidak memberikan respons. Namun, Damian kiranya sudah tak lagi butuh jawaban. Tatapan Nayla sudah cukup bising dan membuatnya muak.

Beberapa saat kemudian, Damian berdiri cepat. Derit kursi terdengar kencang ulah gerak tubuh Damian yang cukup kasar. Ekspresi wajahnya sudah nyaris tak acuh.

Sebelum menghilang di balik dinding dapur, Damian berucap, “Gaunmu tergantung di ruang ganti. Sepatunya aku siapkan di bawah. Perhiasannya ada di kotak beludru biru.”

Nayla mematung, mencoba memahami situasi yang masih terlalu sulit dipahami.

Tanpa menghentikan langkah, Damian sedikit menaikkan volume suara. “Dan ya, aku sudah menyesuaikan baju seperti apa yang bisa kamu pakai. Aku tahu acaranya tentang apa. Jadi, tenang saja dan nikmati makananmu.”

Nayla berdecih lirih. Bagaimana bisa Damian mengatur pakaian seorang fashion stylist sepertinya. Namun, ya sudahlah. Nayla tahu, Damian memang selalu selangkah lebih cepat.

Ketika cahaya matahari sepenuh tergantikan oleh sorot lampu, Nayla turun dari mobil. Damian masih tak bergeming, duduk di balik kemudi. Sementara Nayla memilih segera masuk ke dalam gedung di jantung kota Denpasar.

Lensa kamera berkedip tanpa henti. Suara sepatu hak tinggi berpadu dengan bisik-bisik penuh ekspektasi. Dunia di balik panggung gemerlap itu adalah medan perang yang dibungkus kemewahan. Dan Nayla Moretti berdiri di tengahnya, tampak tak tergoyahkan dalam balutan setelan hitam berpotongan tegas dan rambut yang ditata rapi ke belakang.

Dia tahu persis ke mana harus melangkah, siapa yang harus disapa, dan bagaimana menuntun pandangan orang-orang yang menilainya. Namun, di bawah permukaan, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Damian memang tidak menampakkan diri, tapi bahkan di tengah keramaian ini, Nayla bisa merasakan bayangannya yang terasa mengintai, melindungi, dan mungkin juga menguji.

“Nayla?”

Suara itu memaku langkahnya. Pelan, tapi tegas. Ini terlalu familiar untuk diabaikan.

Nathan.

Pria berdiri tak jauh darinya. Dia tampak begitu pantas dalam jas navy-nya. Wajahnya bersih dan senyumnya nyaris persuasif. Seolah tidak ada yang berubah. Seolah malam-malam penuh debat dan air mata hanyalah potongan skenario yang tak sempat disiarkan.

Sebagai tamu undangan, Nayla tidak duduk di barisan terdepan. Namun, tetap saja, sorotan tetap menemukan jalannya ke arah wanita itu. Terlebih lagi, saat Nathan datang menghampiri dan menarik perhatiannya seolah kamera memang sedang menunggu.

“Can I sit here?” Nathan bertanya sambil mencondongkan tubuh, cukup dekat hingga aroma parfumnya menyentuh tepi kesadaran Nayla. Wajah tampannya menyuguhkan senyum terbaiknya. Senyum yang dirancang untuk konsumsi publik.

Nayla membalas dengan senyum datar. “It’s a free seat, isn’t it?”

Flash kamera kembali menyala saat Nathan meraih tangan Nayla dan menciumnya sejenak. Setiap gerak-geriknya penuh romantika palsu yang terlatih. Gumaman kecil terdengar di sekitar mereka, mengira itu manis. Mengira ini semua berlandaskan cinta.

“Aku senang kamu datang,” bisik Nathan, menyelipkan suaranya di sela keramaian yang semakin riuh.

“Aku datang bukan karena kamu,” jawab Nayla tenang, bibirnya tetap membentuk senyum saat kamera menyorot. “Aku datang karena pekerjaanku.”

Tepuk tangan pecah saat peragaan dimulai. Ada jeda yang cukup bagi mereka untuk duduk berdampingan bagai pasangan ideal. Namun, begitu pertunjukan usai dan sorotan mulai berpindah ke tempat lain, Nayla menoleh. Tatapannya dingin, kaku, dan tajam.

“Kita harus bicara.”

Nathan menoleh sambil mengangkat kedua alisnya. Dia masih menyimpan senyum kecil, seolah belum membaca nada di balik kalimat yang Nayla ucapkan.

“Aku akan mengajukan perceraian,” pungkas Nayla tegas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Under His Darkness   5. Cerai

    “Cerai?” Suara Nathan terdengar pelan, tapi tajam.Nayla tidak menunduk. Matanya tetap menantang ke arah pria yang dulu pernah dia cintai. Atau lebih tepatnya, dia pikir, pernah dia cintai.“Nayla, jangan bercanda.”“Aku serius,” pungkas Nayla. “Aku sudah memutuskan, lebih baik kita bercerai.”Nathan beranjak mendekat. Senyumnya masih bertahan. Namun, Nayla bisa melihat ekspresi penuh perhitungan di balik topeng yang menampakkan kehangatan dan keramahan.“Sayang, aku mengerti kamu sedang lelah,” katanya lembut, seolah kalimat itu bukan bentuk pengabaian, melainkan pelukan. “Pernikahan memang tidak selalu mudah. Dan pikiranmu sedang kacau, sampai-sampai kamu terpikirkan ide gila seperti itu.”Nayla tertawa hambar. “Justru ini adalah ide paling waras yang pernah aku buat dalam kehidupan rumah tangga kita yang gila.”Nathan berdiri perlahan dari kursi. Sejenak, dia merapikan kerah jasnya. Gerakannya tenang, nyaris teatrikal. Tak lupa, dia juga mengusap rambut Nayla lembut, meski yang bis

  • Under His Darkness   4. Nathaniel Wyatt Sinclair

    Nayla terbangun dengan penuh rasa malu. Bukan karena sinar matahari yang menampar wajahnya, bukan juga karena tubuhnya yang dingin karena lupa menarik selimut. Namun, karena ingatan semalam menelanjangi dirinya habis-habisan. Kepalanya terus berdenyut. Pahit alkohol masih tertinggal di lidah. Perih juga mengitari perut yang sejak kemarin kosong. Namun, bukan itu yang paling menyakitkan. Yang paling menyakitkan adalah fakta kalau Damian sudah dia biarkan melihat kelemahan yang dia tunjukkan semalam. Terlalu banyak yang Nayla ingin tarik kembali. Namun, semuanya sudah telanjur tumpah. Ratapannya, cerita pahitnya, dan rasa sakit yang selama ini dia sembunyikan di balik senyum buatan. "You're awake," ucap Damian datar. Nayla tidak menjawab. Dia lantas menarik napas, lalu duduk perlahan sambil merapikan rambutnya seadanya. Bahunya berat, sekujur tubuhnya linu, dan kedua kakinya seolah tak bertenaga. Ponsel dengan daya yang hampir habis diraih dari atas nakas. Nayla sempat melirik kal

  • Under His Darkness   3. Pernikahan Terbuka

    Pagi datang seperti penghukuman. Terang yang menyusup dari celah tirai terasa terlalu kejam, menyinari tubuh Nayla yang masih tergeletak di atas ranjang asing. Sepi menggema di seluruh ruangan, tapi di dalam kepalanya, suara-suara semalam masih menjerit. Suara napas mereka, suara desahan, suara meja yang bergeser kasar. Semua itu menari di benaknya, seperti kutukan yang tak bisa dihapus.Tubuhnya masih panas, tapi hatinya dingin. Dingin karena kenyataan menampar lebih keras daripada ciuman Damian semalam. Nayla perlahan bangkit, mengamati setiap sudut kamar yang baru pertama kali dia lihat, tapi dia tentu sudah tahu siapa pemiliknya.Damian masuk tanpa mengetuk. Tentu saja. Pintu terbuka dengan suara pelan, tapi cukup untuk membuat Nayla reflek menegakkan tubuh.“Aku tidak mengundangmu masuk,” ucap Nayla pelan, meski jantungnya berdetak seperti palu godam.Damian memindai kamar itu sejenak sebelum matanya mendarat padanya. “Ini kamarku.”“Kamu memberikannya padaku tadi malam.” Nayla m

  • Under His Darkness   2. Menjual Jiwa

    Musik dari lantai dansa masih berdentum samar. Ruang ini terlindung dari keramaian, tapi justru disitulah bahayanya. Udara menjadi lebih berat, seperti mencerminkan sesuatu yang belum terjadi, tapi akan segera meledak. Begitu Damian menutup pintu, napas Nayla langsung tercekat. Bunyi klik kunci terdengar seperti palu terakhir yang berhasil memakunya ke neraka. Tidak ada jalan pulang. Tidak ada ruang untuk keraguan. Hanya mereka berdua dan dosa yang menunggu untuk ditelan. “Duduk,” titah Damian singkat. Nayla tidak menjawab, hanya menatap. Damian tampak seperti sesuatu yang seharusnya ditolak, tapi terlalu indah untuk dihindari. Pria itu terlalu menggiurkan, meski sungguh, Damian juga terlalu berbahaya jika diterjang. “Nayla Moretti,” lirih Damian dengan suara sedikit serak. Pria berdarah Italia itu mendekat pelan. Ketenangan gerakannya membuat Nayla justru merasa seperti sedang dicekik secara perlahan. Semakin dekat, semakin membuat Nayla sesak. Tubuh Damian yang tegap selaras d

  • Under His Darkness   1. The Night

    “Nayla!” Adrian Moretti memekik kencang sambil melangkah menembus kerumunan. Wajahnya kaku seperti dipahat dari batu. Sorot matanya menghunus ke satu sosok wanita. Nayla Moretti, adik perempuannya.Nayla duduk di bar dengan kaki bersilang. Minuman berwarna kekuningan tersemat pada jemari tangan. Tak bisa dipungkiri, tubuhnya terlalu mengundang saat dibalut pakaian semi transparan dengan kesan setengah telanjang.Mendengar suara Adrian, Nayla sama sekali tidak menoleh. Dia memilih untuk hanya tersenyum tipis. Mata cokelat dengan bulu matanya yang lebat justru sibuk memandangi kilau gelas.Jemari yang lentik tampak pantas saat dihias dengan kuku panjang berwarna merah menantang. Wajah sinisnya tertangkap jelas di bawah kilatan lampu berwarna campuran merah dan ungu. Meski ekspresinya sama sekali tidak ramah, tapi Nayla tak bisa lagi menghitung berapa banyak tatapan lapar yang tertuju padanya.“What the hell are you doing here?” tanya Adrian yang sudah berdiri di sebelahnya.Dia lantas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status