Hening mengendap selama beberapa saat. Meski sudah mencoba memejamkan mata, Nayla masih terjaga sepenuhnya. Dia pun tahu kalau Damian masih belum memejam, dan masih mengamati sisi wajahnya.
“Amore.” Suara Damian terdengar lirih.“Hm?”“Aku tahu kamu masih berpikir kalau aku bersikap terlalu jauh kepada Nathan.”Nayla tidak menjawab.Damian melanjutkan, “Tapi seandainya kamu melihat wajahmu waktu itu.”Napas Nayla sedikit tertahan.“Waktu kamu berdiri di depan hakim, dengan semua luka yang kamu tahan sendiri,” ucap Damian pelan, nyaris seperti gumaman. “You know what, Amore? Aku ingin melempar semua orang ke luar ruangan, dan membakar tempat itu, lalu menyelesaikan sisanya dengan caraku.”Nayla terpaku. Matanya menatap ke satu titik di dinding, tapi penglihatannya mulai buram. Dia mengingat ruangan itu. Ruangan yang dingin dan kaku.Nayla menelan napas berat. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyangkalHening mengendap selama beberapa saat. Meski sudah mencoba memejamkan mata, Nayla masih terjaga sepenuhnya. Dia pun tahu kalau Damian masih belum memejam, dan masih mengamati sisi wajahnya.“Amore.” Suara Damian terdengar lirih.“Hm?”“Aku tahu kamu masih berpikir kalau aku bersikap terlalu jauh kepada Nathan.”Nayla tidak menjawab.Damian melanjutkan, “Tapi seandainya kamu melihat wajahmu waktu itu.”Napas Nayla sedikit tertahan.“Waktu kamu berdiri di depan hakim, dengan semua luka yang kamu tahan sendiri,” ucap Damian pelan, nyaris seperti gumaman. “You know what, Amore? Aku ingin melempar semua orang ke luar ruangan, dan membakar tempat itu, lalu menyelesaikan sisanya dengan caraku.”Nayla terpaku. Matanya menatap ke satu titik di dinding, tapi penglihatannya mulai buram. Dia mengingat ruangan itu. Ruangan yang dingin dan kaku.Nayla menelan napas berat. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyangkal
Tubuh Nayla terpaku. Semua rasa marah, semua dendam, bertemu dalam sebuah kebingungannya yang tidak bisa dia cerna.“Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku, Damian?” tanyanya akhirnya.Damian tertawa pelan, senyumannya semakin menggoda. “Aku hanya ingin kamu mengerti. Tidak lebih, tidak kurang.”Satu detik. Dua detik.Nayla tahu dia harus mundur. Harus menyingkir, membuang wajah, atau setidaknya bersuara. Namun, Damian sudah menatapnya dengan cara yang lain. Tatapan yang tidak seperti milik predator yang ingin memangsa, melainkan milik seseorang yang memelihara rasa dalam diam yang terlalu lama.“Jangan,” bisik Nayla, hampir tak terdengar.Damian tidak menjawab. Hanya tangannya yang terangkat, menyentuh sisi wajah Nayla. Tidak kasar. Tidak tergesa. Hanya menyentuh, lalu menunduk, lalu semakin mendekat.Nayla masih belum bergerak.Bibir Damian akhirnya kembali menyentuhnya. Tetap secara paksa. Namun, ada sesuat
Udara di tenggorokan Nayla sempat tersendat. Detik berikutnya, napas Nayla mengalir pendek, tapi langsung tersedak oleh aroma tubuh Damian yang membingungkan. Asing, tapi juga terlalu dikenal. Saat napas Damian menyapu belakang telinga Nayla, permukaan kulitnya langsung bereaksi. Merinding di sepanjang lengan, seolah syarafnya membangunkan ingatan yang sempat dia kubur. Jantungnya berdetak di tempat yang salah. Di dasar perut, di pangkal tenggorokan, di ujung jemarinya yang mengepal diam-diam. “Satu teriakanku sudah cukup untuk membangunkan Adrian,” ucap Nayla. “Lalu kenapa kamu tidak melakukannya?” Genggaman Damian lantas berpindah, menelusuri sisi lengan Nayla perlahan. Gerak tangannya seperti sedang menyusun ritme sebelum petaka. Dalam sekali tarikan, tubuh Nayla diputar meninggalkan jendela. Jantung Nayla refleks memukul tulang dada saat Damian mencengkeram dagunya. Dia mengangkat sedikit
Nayla tak tidur malam itu. Isi kepalanya terus bergerak tanpa arah. Persis seperti kompas yang kehilangan utara.Ponsel masih menyala di tangannya. Dunia mungkin tengah merayakan kehancuran Nathan. Namun, di dalam dirinya justru merasakan kekosongan yang ganjil. Seolah balas dendam itu datang terlalu cepat, terlalu kejam, dan terlalu sunyi.“Nayla.”Suara lirih dari balik pintu nyaris tidak tertangkap rungu. Namun, sunyinya ruang membuat Nayla bisa mendengar dengan cukup jelas bagaimana namanya dipanggil. Meski begitu, bibirnya tetap tidak tergerak untuk menjawab.Pintu kamar tamu itu terkunci. Namun, tentu tidak berlaku untuk si pemilik rumah.Tanpa permisi, Damian memutar handle. Dan benar saja, pintu itu langsung terbuka. Tidak semua kunci bekerja padanya. Beberapa, barangkali, memang memilih menyerah.Di tangan kiri Damian, tergantung satu set pakaian tidur dan perlengkapan pribadi untuk Nayla. Semua dibungkus rapi. Tidak ada
Nathan sekarat.Napasnya memburu. Embusannya tidak teratur, seperti orang yang baru saja dikeluarkan dari air setelah hampir tenggelam. Keringat dingin menetes dari pelipis, menyusuri garis rahang, dan berhenti di leher yang menegang.Lututnya goyah. Tubuhnya limbung. Jantungnya berdebar cepat oleh rasa panik yang tak bisa dia atasi. Emosinya meledak, mengguncang setiap sudut pikirannya."Fucking hell!" bentaknya sambil menendang meja kecil di depannya.Dengan satu hentakan, dia melempar vas kristal di atas meja. Suara pecahnya memenuhi ruangan, tapi tak cukup untuk menyaingi dentuman di dadanya.Tangannya menabrak sisi meja, menjatuhkan laptop dan kertas-kertas kontrak yang baru seminggu lalu ditandatangani. Selembar foto promosi film terbang dan mendarat di lantai, tepat di atas pecahan kaca.“Sialan!”Tumpukan majalah promosi berserakan. Gelas kopi pecah, cairannya menyebar di atas marmer seperti noda malu yang tak bi
Ponsel Nathan bergetar menampilkan notifikasi baru. Matanya tertuju pada beberapa artikel lain, lengkap dengan ratusan komentar yang sudah hinggap dengan cepat. Ibu jarinya lantas terhenti pada satu headline yang paling ramai.‘Nathan Diam-Diam Memiliki Koleksi Video Seks Bersama Selingkuhan.’Dunia seperti runtuh menimpa bahunya. Kepalanya tertunduk, dan untuk sesaat, dia tidak bisa mengingat siapa dirinya. Semua nama, semua gelar, semua prestasi tenggelam di balik tumpukan skandal.Tangannya mengusap wajah. Matanya panas. Setengah menangis, setengah marah. Sebab kehancuran yang kini datang bukan hanya dari satu arah, tapi dari ribuan panah yang dilepaskan bersamaan.Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menonton dirinya sendiri jatuh. Dunia maya berubah jadi sidang terbuka. Sedangkan Nayla? Dia bahkan tidak perlu mengatakan satu kata pun untuk membuat Nathan dihabisi.“Bitch!” pekik Nathan.Matanya terpejam sejenak. Dia meneka