Sesampainya di dalam rumah ....
Mereka duduk berhadap-hadapan di meja kopi, Pras melonggarkan ikatan dasinya lalu menghela napas.
"Kak?!"
"Apa?!"
"Apa maksud Kakak mengatakan kalau Rengga itu terpaksa dan dipaksa?"
"Kakak akan cerita tapi janji Kamu harus tetap tenang dan jangan bermimpi untuk balikan lagi dengan Dia."
" ... "
"Ingat Mirela, Dia telah meninggalkan Kamu. Apapun alasannya yang pergi biarkan pergi dan jangan mengharapkannya untuk kembali!"
"Baik."
Pras kemudian menceritakan semua yang dia dengar dari Rengga, termasuk persoalan perjodohan antara Rengga dengan adiknya Dean.
Akhirnya Mirela mengerti mengapa Rengga memutuskan pertunangan mereka, walau kecewa Mirela bisa memaklumi keputusan Rengga, bagaimana pun kalau diukur dengan timbangan di dalam hati Rengga, jelas kedudukan perusahaan dan karyawannya itu jauh lebih berat dibandingkan dengan dirinya.
'Ya iya lah, memangnya siapa Aku bisa membuat Dia melepaskan semua yang ada dalam genggamannya asalkan bisa tetap selalu bersamaku?' batin Mirela sinis.
Pras mengamati ekspresi di wajah adik perempuannya itu lalu tersenyum, dia yakin Mirela bisa melupakan Rengga tanpa adanya kesulitan.
'Ayo bangkit Mirela! tidak sepantasnya Kamu menangisi laki-laki yang lebih memilih uang daripada Kamu,' kata Pras di dalam hati.
"Terimakasih kak, sudah memberitahukan yang sebenarnya."
" ... " Pras hanya mengangguk. "Tetap semangat! Jangan biarkan kejadian buruk kemarin menghalangi langkahmu. Malah kalau bisa gunakan itu sebagai motivasi dan tunjukan kepada dunia bahwa tanpa Dia, Kamu juga tetap bisa sukses dan bahagia."
" ... " Mirela hanya mengangguk.
Sementara itu Dean merasa sangat bahagia mengetahui dari bawahannya yang melaporkan melalui ponsel bahwa hubungan Mirela dan Rengga telah bubar.
"Hahaha ... Mirela hanya bisa menjadi milikku," kata Dean tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya.
Dean membuka laci meja kantornya dan mengeluarkan setumpuk foto-foto Mirela sejak zaman dia masih di sekolah menengah, kuliah, hingga bekerja.
Yah ... Dean memang terus menguntit Mirela sejak gadis itu masih remaja belia tanpa berani mendekatinya.
Dean takut gadis itu akan pergi dan menjauh jika dirinya terlalu memperlihatkan perasaan tertariknya.
"Sebentar lagi bukan hanya fotonya, tapi orangnya pun akan Aku miliki ... hahahaha."
Tiba-tiba terdengar suara dering telepon di mejanya. Dean langsung mengangkat telepon tersebut, Ternyata itu dari sekretarisnya yang mengabarkan bahwa adiknya Dina sedang menunggu di ruang tunggu kantornya.
Dean memang tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam kantornya tanpa izin. Sekalipun orang itu adalah Dina, adik perempuannya sendiri.
Setelah memberikan persetujuannya untuk dikunjungi Dina, Dean pun segera bergegas membereskan meja kerjanya dari foto-foto Mirela.
"Kak," sapa Dina.
"Hmm?"
"Bagaimana Rengga? Apakah Rengga sudah menerima lamaran kakak untuk Aku?" tanya Dina sambil duduk di kursi depan meja kantor Dean.
"Belum, Dia belum memberikan jawaban, hanya baru memutuskan pertunangannya."
"Ha! Baguslah, lagian apa sih bagusnya perempuan itu?" kata Dina sambil melipat tangannya di dada dan bersandar santai.
"Tutup mulutmu, jangan berbicara buruk tentang Mirela!" kata Dean sambil memajukan badannya ke meja, tanpa menyembunyikan wajah kesalnya kepada adiknya itu.
" ... " Dina terdiam, dia lupa kalau kakaknya sudah lama naksir Mirela.
"Kamu tunggu saja, Rengga akan menjadi milikmu dan Mirela akan menjadi milikku."
"Oke, Aku akan menunggu kapan waktunya Rengga menjadi milikku ... O iya, Kak, tolong transfer sejumlah uang ke rekeningku, Aku mau hangout bareng teman-temanku."
"Oke."
"thank you kakakku yang tampan ... muuach," kata Dina melemparkan kissbay sambil beranjak dari duduknya dan berlalu dengan langkah riang.
Dean hanya menggelengkan kepalanya merasa lucu dan tidak habis pikir melihat kelakuan centil adik semata wayangnya tersebut.
Dia memang memberikan semua hal yang diinginkan oleh adiknya, selain Dean menyayanginya, pemuda itu juga merasa bertanggung jawab atas adik yang telah dititipkan oleh almarhum kedua orangtuanya.
Tidak masalah membesarkannya dengan kelimpahan materi karena bagi Dean itu hanyalah masalah kecil dengan banyaknya usaha yang dia pegang dan aliran uang yang terus mengalir ke rekeningnya dari berbagai arah.
Keinginan Dina untuk menikah dengan Rengga juga sebisa mungkin akan dikabulkannya, bukan hanya sekadar untuk adiknya tapi itu juga untuk dirinya sendiri.
Walaupun hubungan Rengga dan Mirela telah berakhir namun, Dean tetap masih merasa cemas keduanya akan kembali bersama. Untuk itu dia memutuskan secepatnya menikahkan adik perempuannya tersebut dengan Rengga.
Kebetulan keduanya merupakan teman satu kampus dan Dina sudah lama bilang kepada Dean kalau dia sangat mencintai Rengga sejak mereka masih kuliah hingga saat ini tidak berubah.
"Aku harus secepatnya menikahkan Rengga dengan Dina, hanya dengan begitu Aku bisa merasa tenang dan tidak cemas lagi kalau Rengga dan Mirela akan kembali bersama," gumam Dean sambil bertopang dagu di meja dan mengetuk meja dengan jarinya.
Dean menegakkan badannya, kemudian mengambil ponselnya dan mulai menghubungi Rengga.
Rengga yang sedang santai bermain game di ponselnya karena tidak ada lagi pertemuan penting dan dokumen-dokumen yang harus dia tanda tangani, langsung terhenyak ketika melihat nomor yang menghubunginya di layar ponsel.
"Sial! Ngapain lagi sih orang gila ini menghubungiku?!" gerutu Rengga kesal.
Bukannya cepat mengangkat telepon dari Dean, Rengga malah bersikap acuh tak acuh dan meneruskan permainan gamenya.
Dean geram, ini sudah ketiga kalinya dia menelepon Rengga namun tidak juga diangkat.
Dean mengutuk dan memaki Rengga karena dia tahu saat ini Rengga sedang santai dan tidak sibuk. Ini bisa dia lihat pada alat pengintai yang telah ditempatkan secara rahasia olehnya di kantor Rengga.
Ketika Dean sudah mulai hilang kesabaran, akhirnya telponnya di angkat juga oleh rengga namun, hal itu tidak meredakan perasaan marahnya.
"Dasar sialan! Aku kira Kamu sudah mati hingga tidak dapat mengangkat telpon!"
"Maaf, Aku sibuk," jawab Rengga berbohong.
"Sibuk? Ha! Omong kosong!"
" ... " Rengga terdiam mendengar makian dan Omelan Dean yang membuat kupingnya panas dan harga dirinya terinjak-injak.
Namun, dia tidak kuasa untuk melawan Dean yang lebih berpengaruh dan berkuasa dibanding dirinya.
"Lalu bagaimana jawabanmu untuk menikah dengan adikku?"
"Aku sedang memikirkannya."
"Apakah Kamu idiot! Masalah seperti itu saja butuh waktu berhari-hari untuk bisa memutuskan?"
"Baiklah ... baiklah, Aku bersedia menikah dengan Dina."
"Bagus! Cepat sebarkan undangannya, jangan lupa, undang juga mantan tunanganmu itu agar Dia tahu kalau Kamu akan menikah!"
"Kita belum mengkompromikan soal waktu acara dan sebagainya," bantah Rengga merasa terkejut diperintah menyebarkan undangan pernikahannya dengan Dina padahal belum ada pembicaraan spesifik tentang acara tersebut.
"Tidak perlu! Kamu bisa memilih tanggal, waktu dan tempat yang Kamu inginkan."
"Itukan kata Kamu, bagaimana dengan Dina?"
"Dia tidak peduli dengan semua itu, karena yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana Dia bisa menikah denganmu. Jadi jangan coba-coba untuk mengecewakannya!"
" ... " Rengga terdiam tidak menyangka kalau Dina sedemikian terobsesinya untuk menikah dengannya hingga tidak lagi memperdulikan hal-hal lain yang terkait dengan pesta pernikahan.
Ini adalah sebuah kesengajaan! Sinta sengaja melukai anaknya agar Dean datang ke rumah ini menemui dirinya dan anaknya. Sejak Dean pindah dari rumah ini, dia tidak pernah datang atau menemuinya. Jika anak ini kangen pada papanya, Dean akan menyuruh kepala pelayan untuk membawa anaknya ke tempat yang dia tunjuk.Bagaimana dengan Sinta? Dia sama sekali tidak diizinkan untuk ikut dalam pertemuan antara Dean dan anaknya.Sinta ingin bertemu, tapi Dean tidak mau. Apapun cara yang Sinta lakukan sepertinya Dean tetap tidak bergeming! Pria itu benar-benar tidak mau lagi menemui Sinta.Sementara Sinta resah dengan kondisi anaknya yang dia buat sendiri, Dean masih memanjakan Mirela yang sakit akibat perbuatannya."Sepertinya aku sudah agak baikan," kata Mirela sambil duduk di tempat tidur. "Kamu sebaiknya menengok anak itu, bagaimanapun dia anak kandungmu!" kata Mirela sambil menghela napas panjang."Apakah kamu benar-benar tidak sakit lagi?""Setelah dioleskan obat oleh dokter aku sudah tidak
Mirela terdiam mendengar perkataan narsis suaminya. Memang benar suaminya itu memiliki tubuh yang bagus, tapi apakah harus menyanjung diri sendiri seperti itu?"Mengapa kamu diam? Apakah kamu tidak setuju dengan perkataan aku?" tanya Dean saat melihat istrinya itu hanya berdiam diri tidak merespon kata-katanya."Apakah kamu harus memuji diri sendiri?" tanya Mirela sambil tersenyum tidak berdaya."Tentu, bukankah air laut memang asin sendiri?" kata Dean balik bertanya.Mirela langsung terkekeh geli sambil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya. Dulu dia berpikir Dean adalah orang yang dingin dan tidak banyak omong. Bukankah itu yang selalu dikatakan oleh sahabat dan kakaknya? Tapi ternyata setelah menikah dengannya, Mirela mendapati Dean tidak sedingin yang dipikirkan kebanyakan orang. Kadang dia juga bisa lucu dan polos seperti anak kecil yang menantikan pujian."Baiklah, suamiku memang memiliki tubuh yang bagus dan ideal," puji Mirela pada akhirnya.D
Perkiraan Mirela memang tepat, setelah melakukan hubungan intim dengan Dean, dia benar-benar tidak bisa bangun hingga Dean bergegas mencari dokter wanita untuk mengobati Mirela yang mengeluh sangat sakit di bagian intinya.Dokter itu hanya berdecak saat melihat apa yang terjadi pada daerah intim Mirela yang bengkak. Dia melirik Dean, ada semacam rasa kesal terlintas di wajah dokter itu. Laki-laki ini benar-benar buas, pikir dokter wanita itu sambil mengolesi salep pada bagian intim Mirela.Mirela merasakan sejuk dan nyaman di bagian intimnya saat sang dokter mengoleskan sesuatu di sana. Sedangkan Dean hanya diam menerima pandangan kesal sang dokter yang bolak balik ditujukan padanya. Apakah itu sangat parah? Tanya Dean dalan hati. Dia benar-benar tidak dapat mengendalikan diri saat berhubungan intim dengan Mirela. Itu benar-benar sangat enak hingga Dean merasa enggan untuk berhenti. "Bagaimana?" tanya Dean kepada dokter wanita itu tanpa dapat menyembunyikan rasa ingin tahunya."Ini b
Melihat bagaimana lembutnya Dean memperlakukan Mirela, petugas hotel wanita itu terpaku tidak bergerak di tempatnya. Dia membayangkan kalau saja yang mendapatkan perlakuan itu adalah dirinya sendiri, betapa bahagianya.Dia baru tersadar setelah mendengar bentakan Dean yang mempertanyakan untuk apa dia masih berada di sini."Maaf tuan, apakah ada hal lain yang tuan perlukan?" tanya petugas wanita itu sopan, tapi tidak meninggalkan kesan genit dari nada suara dan gerak geriknya.Mirela yg berada dalam gendongan suaminya mengangkat wajahnya dan heran melihat sikap genit petugas hotel yang ada di hadapannya saat ini. Mirela mengerutkan kening, biasanya petugas-petugas hotel ini baik yang pria maupun wanita, selalu menampilkan kesan ramah dan sopan, tapi tidak ada nada genit sama sekali dalam suaranya.Dia menatap wajah suaminya ingin tahu apakah suaminya sedang melihat kegenitan petugas itu. Di luar dugaan Mirela, saat ini Dean malah sedang menatap wajah Mirela penuh kelembutan. Sedikitpu
Mirela dan Dean melalui malam pertama mereka dengan penuh gairah. Dean benar-benar merasa puas bisa bersatu dengan wanita yang sudah lama dia kejar dan dambakan. Pagi harinya Dean bangun dengan enerjik sementara Mirela merasakan tubuhnya seperti habis tertabrak. Dia merasakan sakit dan pegal-pegal di seluruh tubuhnya. Itu semua dikarenakan aksi suaminya menjarah dan menggiling dirinya bolak balik. Mirela tidak menyangka kalau suaminya, Dean akan sangat antusias sekali melakukan penyatuan mereka tersebut berulang-ulang.Dean merasa kasihan melihat istrinya terkapar tidak berdaya akibat keganasannya semalam. Dia pun berinisiatif untuk membantu istrinya membersihkan diri di kamar mandi. Dean membopong tubuh Mirela ke kamar mandi dan mulai memandikan istrinya terlebih dahulu.Mirela mulai merasa nyaman dan pegal-pegal nya hilang ketika merasakan siraman air hangat dan pijatan lembut Dean di tubuhnya. Hal ini berbeda dengan Dean yang mati-matian menahan hasratnya agar tidak memakan istrin
Dean menghela napas mendengar pertanyaan Mirela, apakah istrinya ini akan marah jika dia mengatakan terus terang kalau rumah yang sebelumnya Dean tempati saat ini dihuni oleh Sinta dan anaknya."Dia menginginkan tinggal di rumahku untuk menemani anak itu," kata Dean hati-hati sambil menatap wajah istrinya ingin melihat apakah ada perubahan setelah mendengar apa yang dia katakan.Mirela mengerutkan kening mendengar Sinta ikut tinggal di rumah Dean. Apa maksudnya? Sekalipun Dean tidak berniat menikahi Sinta, Mirela akan tetap merasa tidak nyaman jika tinggal satu atap dengan wanita yang pernah melahirkan anak suaminya tersebut."Apakah kamu akan menikahinya?" tanya Mirela ingin tahu.Kalau jawabannya iya maka Mirela tidak akan ragu untuk menggugat cerai suami yang baru dinikahinya ini."Tidak.""Aku tidak bisa tinggal bersama dia ...""Jangan khawatir, kamu dan aku akan pindah dari sana dan menempati rumah kita sendiri," potong Dean semangat."Lalu bagaimana dengan anak itu?""Biarkan d