Share

Unpredictable Husband
Unpredictable Husband
Penulis: Jesselyn E.

1

-Ada kalanya, seorang anak manusia ingin dicinta dengan mengabaikan realita yang ada.-

Kata orang, cinta itu buta. Tidak memandang harta, rupa, maupun kasta. Faktanya? Kebanyakan mereka masih memandang ketiga hal tersebut. Bagi para wanita, lelaki yang tampan dan mapan tetaplah menjadi idaman. Begitu pula bagi seorang lelaki, wanita yang rupawan dan menawan adalah sosok yang selalu diimpikan. Lantas bagaimana dengan seorang gadis yang bahkan tak berani bermimpi mendapatkan pasangan yang terlalu tinggi. Terlalu sadar diri akan keadaan yang ia miliki.

Sebagai cucu tertua dari sebuah keluarga besar, Ziya memikul beban yang cukup berat di pundaknya. Ia harus bisa menjadi teladan bagi adik-adik dan sepupu-sepupunya. Pertanyaan “Kapan menikah?” “Coba pacarnya dikenalin sini.” “Adik-adikmu itu lho sudah punya pasangan” sudah seperti makanan sehari-hari baginya. Statusnya sebagai seorang yang tidak memiliki kekasih bukanlah hal yang diharapkannya. Setiap malam, ia juga berpikir, mengapa tidak ada orang yang suka dengannya. Apakah teman-temannya tidak menganggapnya sebagai seorang wanita?

Kalau ditanya, apakah Ziya pernah menyukai seseorang selama hidupnya, jawabannya pernah. Dahulu waktu SMA, Ziya menyukai sahabatnya, bahkan mungkin hal itu masih dirasakannya sampai saat ini.

***

Masa-masa SMA adalah masa-masa yang paling indah, begitulah kebanyakan orang mengatakannya. Adzan Subuh berkumandang dari masjid dekat rumah Ziya, sementara Ziya sudah bersiap berangkat sekolah. Hari ini bertepatan dengan hari pertamanya mengikuti Masa Orientasi Siswa di sekolah barunya. Jarak antara rumah dan sekolahnya hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit, akan tetapi, karena pukul 05.10 semua siswa baru harus sudah sampai di sekolah, mau tidak mau kini ia sudah bersiap mengenakan seragam dan menunaikan Shalat Subuh terlebih dahulu.

Ziya berangkat sekolah diantarkan oleh ayahnya, dengan membawa perlengkapan orientasi yang sangat banyak. Akan tetapi, belum sampai gerbang sekolah, masih di gang masuk ke sekolah barunya, Ziya sudah dihadang oleh kakak-kakak panitia orientasi. Mereka menyuruh ayahnya berhenti dan mengucapkan terimakasih karena sudah mengantarkan Ziya dengan tutur kata yang lembut. Setelah ayah Ziya kembali pulang, kakak-kakak kelasnya itu berubah menjadi galak dang menyuruh Ziya berlari untuk sampai di sekolah.

Sepanjang larinya, Ziya menggerutu mengutuk kelakuan kakak-kakak kelasnya. Pasalnya tadi ia belum sempat sarapan dari rumah. Masih terlalu pagi dan terlalu buru-buru untuk menikmati sarapan yang dibuat oleh ibunya. Ia hanya membawa bekal seperti yang telah ditentukan oleh panitia orientasi. Ziya susah payah berangkat dari rumah jam lima kurang, tetap saja sampai sekolah ia terlambat. Ia tersadar bahwa rumor yang pernah didengar dari tetangganya yang alumni sekolah ini benar. Setiap orientasi pasti jam dinding di gerbang sekolah dicepatkan 10 bahkan 30 menit lebih awal.

Tiba di halaman sekolah, Ziya harus berjalan jongkok mengelilingi lapangan ketika yang lain tengah melaksanakan baris berbaris. Lapar dan lelah seolah bersaing di tubuhnya. Ia pun berhenti sejenak sambil mengamati teman-teman barunya yang kini mengenakan atribut tak jauh berbeda dengannya.

Mata Ziya terpana mengamati suatu objek tak jauh di depannya. Seorang laki-laki seangkatannya, yang dengan tegas memimpin barisan. Ziya terkesima untuk beberapa saat, sampai suara salah satu panitia orientasi menginterupsinya untuk melanjutkan hukumannya.

Setelah menyelesaikan hukumannya, Ziya diijinkan masuk barisan, ternyata barisannya di sebelah barisan laki-laki yang tadi diamatinya. Dalam papan nama yang tergantung di dada laki-laki itu, tertulis namanya. REGAR. Ziya tersenyum lalu beristighfar sejenak karena sudah berpikiran yang tidak-tidak, padahal baru hari pertama masuk sekolah.

Masa Orientasi Siswa adalah masa-masa balas dendam kakak kelas atas apa yang dialaminya ketika menjadi siswa baru. Banyak teman-teman Ziya yang jatuh sakit karena terlalu kelelahan, banyak juga yang menangis karena tidak kuat mental. Tetapi tidak dengan Ziya, ia menikmatinya meskipun kadang kesal setengah mati pada kakak kelasnya. Ia merasa bahwa didikan dengan sedikit tegas seperti ini akan membentuk karakter murid baru. Ziya yakin, bahwa setelah ini tingkah laku murid baru pada kakak kelas bisa menjadi lebih sopan. Dahulu waktu SMP, ia juga pernah menjadi panitia orientasi, akan tetapi tidak setegas masa orientasi di SMA nya ini, sehingga banyak adik kelas yang ngelunjak dan tidak menghargai kakak kelasnya.

“Afiza Ziyana Pratama, Aryanala Devandra, David Agung, Gita Subekti, Wahyu Yudi Saputra, Yanti, nama-nama yang saya sebutkan adalah nama-nama yang tadi terlambat, silakan untuk meminta tanda tangan sepuluh kakak panitia selain panitia di kelas ini sebagai hukuman kalian.” Ziya yang mendengarnyapun ternganga. Sepagi tadi ia dihukum ternyata belum cukup. Ia pernah mendengar cerita dari tetangganya yang juga pernah bersekolah disini, bahwa hukuman paling menyebalkan saat orientasi adalah meminta tanda tangan kakak kelas, karena mereka tidak akan memberikan tanda tangannya dengan mudah.

Ziya dan teman-teman barunya itu akhirnya keluar dari kelas untuk mencari tanda tangan dari kakak panitia. Temannya mengajak untuk masuk ke kelas sebelah kelas mereka. Disitu kakak panitia seolah mengompakkan teman-teman seangkatannya yang di kelas tersebut untuk menyoraki Ziya dan teman-temannya. Teman-teman Ziya ditanyai kenapa mereka terlambat, sampai tiba pada giliran Ziya.

“Kenapa kamu terlambat?” Ziya mengamati teman-temannya dan seisi ruang kelas.

“Tadi nunggu bapak pulang dari masjid kak,” jawab Ziya jujur.

“Kamu nggak bisa ke sekolah sendiri? Teknologi lho sudah canggih, ada yang dinamakan ojek online. Banyak alasan. Teman-temanmu aja bisa nggak terlambat.” Kini ada tiga kakak panitia yang mengeroyok Ziya. Ziya hampir memutar bola matanya malas kalau tidak ingat ia sedang dilihat banyak orang. Ia mengamati sekelilingnya sekali lagi, sampai tatapan matanya bertumbuk dengan seseorang. Regar.

“Maaf kak, karena dari semalam ayah saya sudah berjanji akan mengantarkan saya jadi saya tetap menunggu ayah saya. Lagian saya juga harus shalat Subuh terlebih dahulu,” kata Ziya tegas. Kakak panitia yang mengeroyoknya pun tersenyum sinis menanggapi. Ziya sih merasa bodoamat karena ia hanya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Alasan terus alasan terus, coba disini apa gara-gara orientasi ini ada yang sampai tidak shalat Subuh agar tidak terlambat?” Ziya hanya terdiam. Tetapi atas pertanyaan salah satu panitia tersebut, seseorang mengangkat tangannya, diikuti beberapa orang lainnya dan hampir satu kelas mengangkat tangan. Ziya ternganga, ternyata masih banyak orang yang lebih takut terhadap manusia daripada Tuhannya. Akhirnya Ziya disuruh keluar tanpa mendapatkan tanda tangan dari kakak panitia di dalam kelas itu satu pun.

                       

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status