Ayunda melangkah dengan sisa tenaga yang ia miliki. Tubuhnya lemah, tapi tekadnya lebih kuat dari sebelumnya. Orang-orang yang berada di sekitar rumah Mahesa menatapnya dengan ekspresi terkejut, seolah melihat hantu yang kembali dari kematian.
Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, dan tatapannya kosong. Namun, di balik kelemahan itu, ada kobaran amarah yang mulai menyala. Mahesa yang sedang berdiri di depan pintu, tampak membeku di tempatnya. Matanya membelalak saat melihat sosok Ayunda yang berjalan ke arahnya dengan langkah sempoyongan. "Kamu masih hidup?" Suara Mahesa terdengar kaget, lebih banyak keterkejutan daripada kebahagiaan. Tidak ada kehangatan, tidak ada rasa rindu—hanya keterkejutan dan mungkin sedikit ketakutan. Ayunda tersenyum getir, matanya menyapu penampilan Mahesa yang tampak semakin menawan, semakin berwibawa. Sedangkan dirinya? Ia benar-benar seperti mayat hidup. “Aku pikir, setidaknya kamu akan menanyakan kabarku. Tapi ternyata … satu-satunya yang bisa keluar dari mulutmu hanyalah ‘kamu masih hidup’,” suaranya lemah, tapi ada luka mendalam di dalamnya. Mahesa menelan ludah, lalu dengan cepat memasang wajah dingin. “Kenapa kamu ke sini?” Ayunda tertawa kecil, tapi suaranya terdengar getir. “Kenapa aku ke sini? Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Mahesa .…” Tatapannya berubah tajam. “Apakah selama aku koma, kau pernah menyentuhku?” Raut wajah Mahesa berubah seketika. Matanya melebar, tapi ia segera menguasai dirinya. “Apa maksudmu? Jangan bicara yang tidak-tidak, Ayunda.” Ayunda semakin mempersempit jarak di antara mereka. Napasnya bergetar, bukan karena lelah, tapi karena emosinya yang mulai menggelegak. "Aku hamil, Mahesa." Suasana langsung membeku. Beberapa orang yang berada di sekitar mereka tampak saling berbisik, mencoba memahami situasi yang baru saja terungkap. Mahesa menegang, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Lalu, tiba-tiba terdengar suara lain dari dalam rumah. "Sayang, kenapa ribut-ribut di depan?" Seorang wanita dengan perut buncit keluar dari dalam rumah. Wanita itu tampak anggun, mengenakan gaun mewah, dan wajahnya memancarkan kebahagiaan. Ayunda mengenal wanita itu. Dia adalah istri Mahesa—wanita yang dinikahinya sehari setelah ia menikahi Ayunda. Saat mata mereka bertemu, Ayunda merasa dunianya runtuh sekali lagi. Tapi kali ini, ia sudah siap. Ia sudah tidak bisa lagi mundur. Sekarang, ia harus mendapatkan jawaban. Apa pun yang terjadi. "Aku, hamil Mahesa!" Mahesa tertawa terlebar. "Jangan gila kamu aku tidak pernah datang menjengukmu bagaimana kamu bisa hamil dasar wanita murahan!" "Kamu adalah wanita paling naif yang pernah aku tahu. Kamu bangun dari koma lalu hamil dan memintaku untuk bertanggung jawab?" Ayunda merasa seakan seluruh dunia runtuh mendengar kata-kata Mahesa. Tawa lelaki itu terdengar begitu sinis, begitu kejam. "Apa?" Ayunda berusaha menahan amarah yang mulai membakar di dadanya. "Kamu bilang aku wanita murahan? Kau yang menghinaku, Mahesa! Kau yang menghancurkan hidupku!" Mahesa menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. "Jangan coba-coba membuat drama, Ayunda. Aku tidak pernah menjengukmu, bahkan tidak pernah memikirkanmu sejak aku menikah dengan wanita yang lebih pantas untukku. Kau hanya beban, dan kini kau datang dengan membawa kebohongan besar tentang kehamilan ini?" Ayunda merasa hatinya seperti disayat, tetapi ia tetap berdiri tegak, menatap Mahesa dengan mata yang penuh keteguhan. “Aku mungkin telah diperlakukan seperti sampah olehmu, tapi tidak dengan anak ini. Anak ini tidak ada hubungannya dengan kebohongan yang kau katakan.” Wanita itu memandang Ayunda dengan pandangan heran. "Siapa dia?" Mahesa menyeringai, mencoba meredakan ketegangan. "Ini hanya masalah lama, sayang. Wanita ini hanya datang untuk mencari perhatian. Biarkan saja, dia akan pergi sebentar lagi." Ayunda menatap Mahesa dengan mata yang penuh luka. "Tidak, Mahesa. Aku datang ke sini untuk mencari jawaban. Aku tidak akan pergi sebelum aku tahu siapa yang benar-benar bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku selama ini." Wanita itu mengerutkan kening, lalu berpaling ke Mahesa dengan cemas. "Tunggu, Mahesa, apa yang sedang kamu bicarakan?" Ayunda tidak bisa lagi menahan air mata yang menggenang di matanya. Semua kata-kata yang keluar dari mulut Mahesa terasa begitu pedih, tetapi ia tahu bahwa ini adalah momen terakhirnya untuk mencari keadilan. Tidak ada lagi yang bisa ia harapkan dari Mahesa—ia hanya ingin tahu kebenarannya. "Apa kau juga yang melakukan ini padaku, Mahesa? Apa kau yang membuatku hamil, bahkan saat aku tidak bisa melawan?" Ayunda bertanya dengan suara penuh kepedihan. Sebuah tamparan keras menghantam pipi Ayunda, membuat tubuhnya tergoyah, namun ia tetap berdiri. Rasa sakit di pipinya seolah tidak sebanding dengan luka yang ada di dalam hatinya. Mahesa menatapnya dengan penuh kebencian, seolah semua yang terjadi adalah salahnya, meski kenyataannya adalah dia yang tak tahu diri. "Jangan pernah biarkan wanita ini memasuki rumah!" perintah Mahesa dengan nada dingin, menunjuk ke arah Ayunda. Ayunda merasa tubuhnya semakin lemah, namun keteguhan hatinya tidak goyah. Ia tidak takut lagi pada Mahesa, tidak peduli apa yang dia katakan. Namun, saat Mahesa memanggil keamanan, Ayunda tahu saatnya untuk pergi—atau setidaknya bertahan. Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah. Seorang pria dengan langkah cepat keluar dari dalam mobil dan berlari menuju Ayunda. Tanpa ragu, ia merangkul tubuh Ayunda dengan penuh kekuatan dan kehangatan, seolah memberikan perlindungan yang sangat Ayunda butuhkan. "Tidak ada seorangpun yang boleh mengusirnya!" suara Ardan terdengar lantang dan tegas, seakan menantang siapapun yang mencoba menghalangi. "Apa maksudmu, Kak? Ayunda itu bukan siapa-siapa bagiku. Ayunda sudah mati lima tahun yang lalu," ungkap Mahesa dengan nada tinggi, terlihat marah. "Selain anggota keluarga, tidak ada yang boleh tinggal di rumah ini!" lanjut Mahesa dengan suara penuh perintah, seakan meremehkan keberadaan Ayunda. Ardan hanya tersenyum kecil, namun senyum itu penuh dengan keyakinan dan ketegasan. "Jika Ayunda memang bukan siapa-siapa di sini," ujarnya dengan suara tegas, "maka dia adalah calon istriku!" Ucapan Ardan bagaikan petir di siang bolong, membuat semua orang di sekitar mereka terdiam seketika, tercengang mendengar pernyataan yang sangat mengejutkan itu. "Dia wanita murahan! Bangun dari koma, dan dia justru memintaku bertanggung jawab atas kehamilannya!" kata Mahesa dengan nada penuh kemarahan. Ardan tak tinggal diam. Dengan suara lantang dan tegas, dia menjawab, "Ya, anak yang sedang dia kandung dari wanita yang kau sebut murahan itu adalah anakku, Mahesa!" Bukan hanya Mahesa yang terkejut, Ayunda pun sangat terkejut. Tubuhnya yang semula berada dalam pelukan Ardan, tiba-tiba menjauh, seolah tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia dengar. Mahesa tertawa sinis. "Kamu memang sejak dulu seleranya selalu rendah. Sekarang, kamu justru menginginkan bekas istriku?" katanya dengan nada merendahkan. "Bekas istri yang tidak pernah kamu sentuh, karena aku yang sudah merenggut keperawanannya!" ujar Ardan dengan suara penuh amarah, menatap Mahesa dengan tajam.Beberapa hari setelah liburan itu, tibalah waktunya Aluna dan Elvano mulai sekolah di tempat baru: sekolah internasional dengan program khusus bahasa Arab yang sudah didaftarkan oleh Dipta.Pagi itu, Aluna menyiapkan seragam barunya dengan tangan sedikit gemetar. Semua terasa asing: warna seragam, lambang sekolah, bahkan bau buku tulis barunya pun berbeda. Ia menatap bayangan dirinya di cermin, menarik napas panjang sambil berbisik, “Nuna pasti bisa.”Dipta dan Ayunda ikut mengantar sampai gerbang sekolah. Elvano berusaha tampak santai, meski dari sorot matanya, Aluna tahu kakaknya juga gugup. “Jangan takut, Nuna. Kita sama-sama kok,” katanya, mencoba menguatkan.Begitu masuk ke lingkungan sekolah, suasana benar-benar berbeda. Anak-anak dari berbagai negara berjalan tergesa sambil berbicara dengan campuran bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ada yang berkulit putih, sawo matang, hingga hitam legam—semua bercampur di satu tempat yang penuh warna.Guru-guru menyambut mereka dengan ramah, me
Keesokan paginya, mereka berangkat lebih awal menuju bandara. Matahari baru saja terbit, cahayanya masih lembut menyinari jalanan. Koper-koper besar sudah dimasukkan ke dalam mobil, dan semua anggota keluarga tampak sedikit canggung, menyembunyikan rasa haru di balik senyum.Aluna duduk di kursi mobil sambil memeluk boneka beruang kecil pemberian Adam. Tatapannya kosong memandang keluar jendela, berusaha merekam setiap sudut jalan yang sudah begitu akrab di matanya. Sementara itu, Ayunda sesekali menoleh ke belakang memastikan anak-anaknya baik-baik saja. Elea duduk di pangkuan William, tampak masih mengantuk.Sesampainya di bandara, suasana menjadi semakin emosional. Beberapa kerabat yang ikut mengantar menahan air mata. Pelukan, doa, dan ucapan hati-hati terdengar silih berganti. Dipta mengusap bahu Aluna dan Elvano sambil berbisik, “Kita mulai perjalanan baru, Nak. Jangan takut.”Tak lama kemudian, mereka pun naik pesawat. Aluna memandangi jendela, melihat Indonesia perlahan mengec
Mereka semua sudah sibuk mempacking barang-barang. Di sana, Dikta pun sudah mendapatkan tempat tinggal yang pas, nyaman, dan strategis untuk keluarganya. Ia tak mau jika sesampainya di Australia nanti keluarganya justru kesulitan. Dikta benar-benar memprioritaskan kenyamanan; menurutnya, itu adalah hal yang paling penting. Ia tak ingin anak-anak dan istrinya merasa tidak betah di tempat baru.“Anak-anak juga sudah aku daftarkan di sekolah internasional yang mengajarkan bahasa Arab. Semoga saja mereka bisa cepat beradaptasi dan belajar dengan baik,” ucap Dikta sambil menata dokumen penting di koper.Ayunda mempercayakan semua urusan itu kepada suaminya. Ia sendiri sibuk mengemas pakaian anak-anak, yang ternyata jumlahnya cukup banyak.Sementara itu, rumah mereka di Indonesia diserahkan kepada William untuk diurus. Bahkan, kalau William mau tinggal di sana pun tidak masalah, karena masih ada beberapa pembantu yang bertugas merawat rumah. Ayunda juga berpikir, mungkin suatu hari nanti si
Di detik-detik terakhir Aluna masih berada di Indonesia, Adam semakin berani mendekatinya. Bahkan sekarang Adam sudah memiliki nomor ponsel Aluna dan mereka kadang saling bertukar pesan singkat.Hari ini, Adam memberanikan diri untuk datang main ke rumah Aluna.Aluna tak menyangka saat melihat Adam muncul di depan pintu rumahnya. “Kak Adam? Kamu kok tiba-tiba ke sini?” tanyanya sedikit terkejut, tapi senyumnya tetap merekah.Adam menggaruk tengkuknya, sedikit gugup. “Hehe aku cuma mau ketemu sebelum kamu pindah. Boleh, kan?”Di ruang tamu, Ayunda juga ikut menyambut Adam. Dengan ramah, ia mengajak Adam duduk dan berbasa-basi menanyakan kabarnya.“Gimana keadaan Anggun sekarang, Dam?” tanya Ayunda hati-hati.Wajah Adam tampak sedikit suram. “Keadaannya masih sama, Tante Sepertinya kakak memang sudah benar-benar depresi. Kadang masih sering mengamuk. Sekarang masih dirawat intensif di rumah sakit jiwa,” jawabnya lirih.Ayunda mengangguk pelan, matanya memancarkan rasa prihatin yang mend
Sudah hampir satu minggu sejak kepergian Oma Ola, namun rasa kehilangan itu masih begitu terasa. Kadang, Elea masih sering menangis setiap kali ia masuk ke kamar Oma yang kini sunyi dan kosong.Aluna dan Elvano selalu berusaha menghiburnya, meski mereka sendiri juga masih merasakan duka yang sama.Ayunda yang juga masih diselimuti kesedihan, perlahan mencoba menguatkan diri. Ia merangkul bahu anak-anaknya, berusaha menanamkan keyakinan bahwa Oma Ola sekarang sudah bahagia di tempat yang lebih baik.Malam itu, mereka memilih duduk bersama di sofa panjang di ruang keluarga. Dipta duduk di sebelah Ayunda, menggenggam tangan istrinya erat, memberi isyarat bahwa ia selalu ada untuknya.Elea duduk di sebelah Aluna, sementara Elvano duduk di ujung, menatap keluarganya dalam diam. Suasana hening, tapi penuh kehangatan.Ayunda menghela napas panjang sebelum berkata dengan lembut, “Kalian harus ingat, ya kita ini keluarga, kita ini saudara. Jangan pernah ada yang saling menyakiti. Saudara itu h
Di rumah, Aluna, Elvano, dan Elea menyambut kedatangan ayah dan bunda mereka yang datang bersama Oma Ola.Akhirnya, seluruh drama itu selesai. Ayah mereka terbukti tidak berselingkuh dengan siapa pun, dan Anggun sudah ditemukan serta kini dirawat di rumah sakit. Hal tersebut membuat kakak beradik itu merasa sangat lega. Ketenangan yang sempat hilang akhirnya kembali menyelimuti keluarga mereka.Tadi, Adam juga sudah mengabari tentang kondisi Anggun yang benar-benar memprihatinkan. Elvano pun turut prihatin dengan apa yang menimpa kakak dari Adam tersebut.Begitu Ayunda dan Dipta sampai, ternyata mereka membawa kejutan untuk Elea. Sebuah kue tart cantik sudah disiapkan, lengkap dengan lilin bertuliskan angka 12.Elea tampak sangat senang. Matanya berbinar, senyumnya merekah lebar.Mereka langsung tersenyum dan kompak mengucapkan, “Selamat ulang tahun, Elea!”Elea menangkupkan tangan di dada, hampir tak percaya dengan kejutan kecil itu. “Makasih, Ayah, Bunda, Kakak-kakak,” ucapnya pela