Home / Rumah Tangga / Usai Bangun dari Koma / Pengakuan Terbesar

Share

Pengakuan Terbesar

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-02-15 14:04:33

Ayunda melangkah dengan sisa tenaga yang ia miliki. Tubuhnya lemah, tapi tekadnya lebih kuat dari sebelumnya. Orang-orang yang berada di sekitar rumah Mahesa menatapnya dengan ekspresi terkejut, seolah melihat hantu yang kembali dari kematian.

Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, dan tatapannya kosong. Namun, di balik kelemahan itu, ada kobaran amarah yang mulai menyala.

Mahesa yang sedang berdiri di depan pintu, tampak membeku di tempatnya. Matanya membelalak saat melihat sosok Ayunda yang berjalan ke arahnya dengan langkah sempoyongan.

"Kamu masih hidup?"

Suara Mahesa terdengar kaget, lebih banyak keterkejutan daripada kebahagiaan. Tidak ada kehangatan, tidak ada rasa rindu—hanya keterkejutan dan mungkin sedikit ketakutan.

Ayunda tersenyum getir, matanya menyapu penampilan Mahesa yang tampak semakin menawan, semakin berwibawa. Sedangkan dirinya? Ia benar-benar seperti mayat hidup.

“Aku pikir, setidaknya kamu akan menanyakan kabarku. Tapi ternyata … satu-satunya yang bisa keluar dari mulutmu hanyalah ‘kamu masih hidup’,” suaranya lemah, tapi ada luka mendalam di dalamnya.

Mahesa menelan ludah, lalu dengan cepat memasang wajah dingin. “Kenapa kamu ke sini?”

Ayunda tertawa kecil, tapi suaranya terdengar getir. “Kenapa aku ke sini? Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Mahesa .…” Tatapannya berubah tajam. “Apakah selama aku koma, kau pernah menyentuhku?”

Raut wajah Mahesa berubah seketika. Matanya melebar, tapi ia segera menguasai dirinya. “Apa maksudmu? Jangan bicara yang tidak-tidak, Ayunda.”

Ayunda semakin mempersempit jarak di antara mereka. Napasnya bergetar, bukan karena lelah, tapi karena emosinya yang mulai menggelegak.

"Aku hamil, Mahesa."

Suasana langsung membeku. Beberapa orang yang berada di sekitar mereka tampak saling berbisik, mencoba memahami situasi yang baru saja terungkap.

Mahesa menegang, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Lalu, tiba-tiba terdengar suara lain dari dalam rumah.

"Sayang, kenapa ribut-ribut di depan?"

Seorang wanita dengan perut buncit keluar dari dalam rumah. Wanita itu tampak anggun, mengenakan gaun mewah, dan wajahnya memancarkan kebahagiaan.

Ayunda mengenal wanita itu. Dia adalah istri Mahesa—wanita yang dinikahinya sehari setelah ia menikahi Ayunda.

Saat mata mereka bertemu, Ayunda merasa dunianya runtuh sekali lagi. Tapi kali ini, ia sudah siap. Ia sudah tidak bisa lagi mundur.

Sekarang, ia harus mendapatkan jawaban. Apa pun yang terjadi.

"Aku, hamil Mahesa!"

Mahesa tertawa terlebar. "Jangan gila kamu aku tidak pernah datang menjengukmu bagaimana kamu bisa hamil dasar wanita murahan!"

"Kamu adalah wanita paling naif yang pernah aku tahu. Kamu bangun dari koma lalu hamil dan memintaku untuk bertanggung jawab?"

Ayunda merasa seakan seluruh dunia runtuh mendengar kata-kata Mahesa. Tawa lelaki itu terdengar begitu sinis, begitu kejam.

"Apa?" Ayunda berusaha menahan amarah yang mulai membakar di dadanya. "Kamu bilang aku wanita murahan? Kau yang menghinaku, Mahesa! Kau yang menghancurkan hidupku!"

Mahesa menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. "Jangan coba-coba membuat drama, Ayunda. Aku tidak pernah menjengukmu, bahkan tidak pernah memikirkanmu sejak aku menikah dengan wanita yang lebih pantas untukku. Kau hanya beban, dan kini kau datang dengan membawa kebohongan besar tentang kehamilan ini?"

Ayunda merasa hatinya seperti disayat, tetapi ia tetap berdiri tegak, menatap Mahesa dengan mata yang penuh keteguhan. “Aku mungkin telah diperlakukan seperti sampah olehmu, tapi tidak dengan anak ini. Anak ini tidak ada hubungannya dengan kebohongan yang kau katakan.”

Wanita itu memandang Ayunda dengan pandangan heran. "Siapa dia?"

Mahesa menyeringai, mencoba meredakan ketegangan. "Ini hanya masalah lama, sayang. Wanita ini hanya datang untuk mencari perhatian. Biarkan saja, dia akan pergi sebentar lagi."

Ayunda menatap Mahesa dengan mata yang penuh luka. "Tidak, Mahesa. Aku datang ke sini untuk mencari jawaban. Aku tidak akan pergi sebelum aku tahu siapa yang benar-benar bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku selama ini."

Wanita itu mengerutkan kening, lalu berpaling ke Mahesa dengan cemas. "Tunggu, Mahesa, apa yang sedang kamu bicarakan?"

Ayunda tidak bisa lagi menahan air mata yang menggenang di matanya. Semua kata-kata yang keluar dari mulut Mahesa terasa begitu pedih, tetapi ia tahu bahwa ini adalah momen terakhirnya untuk mencari keadilan. Tidak ada lagi yang bisa ia harapkan dari Mahesa—ia hanya ingin tahu kebenarannya.

"Apa kau juga yang melakukan ini padaku, Mahesa? Apa kau yang membuatku hamil, bahkan saat aku tidak bisa melawan?" Ayunda bertanya dengan suara penuh kepedihan.

Sebuah tamparan keras menghantam pipi Ayunda, membuat tubuhnya tergoyah, namun ia tetap berdiri. Rasa sakit di pipinya seolah tidak sebanding dengan luka yang ada di dalam hatinya. Mahesa menatapnya dengan penuh kebencian, seolah semua yang terjadi adalah salahnya, meski kenyataannya adalah dia yang tak tahu diri.

"Jangan pernah biarkan wanita ini memasuki rumah!" perintah Mahesa dengan nada dingin, menunjuk ke arah Ayunda.

Ayunda merasa tubuhnya semakin lemah, namun keteguhan hatinya tidak goyah. Ia tidak takut lagi pada Mahesa, tidak peduli apa yang dia katakan. Namun, saat Mahesa memanggil keamanan, Ayunda tahu saatnya untuk pergi—atau setidaknya bertahan.

Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah. Seorang pria dengan langkah cepat keluar dari dalam mobil dan berlari menuju Ayunda. Tanpa ragu, ia merangkul tubuh Ayunda dengan penuh kekuatan dan kehangatan, seolah memberikan perlindungan yang sangat Ayunda butuhkan.

"Tidak ada seorangpun yang boleh mengusirnya!" suara Ardan terdengar lantang dan tegas, seakan menantang siapapun yang mencoba menghalangi.

"Apa maksudmu, Kak? Ayunda itu bukan siapa-siapa bagiku. Ayunda sudah mati lima tahun yang lalu," ungkap Mahesa dengan nada tinggi, terlihat marah.

"Selain anggota keluarga, tidak ada yang boleh tinggal di rumah ini!" lanjut Mahesa dengan suara penuh perintah, seakan meremehkan keberadaan Ayunda.

Ardan hanya tersenyum kecil, namun senyum itu penuh dengan keyakinan dan ketegasan. "Jika Ayunda memang bukan siapa-siapa di sini," ujarnya dengan suara tegas, "maka dia adalah calon istriku!"

Ucapan Ardan bagaikan petir di siang bolong, membuat semua orang di sekitar mereka terdiam seketika, tercengang mendengar pernyataan yang sangat mengejutkan itu.

"Dia wanita murahan! Bangun dari koma, dan dia justru memintaku bertanggung jawab atas kehamilannya!" kata Mahesa dengan nada penuh kemarahan.

Ardan tak tinggal diam. Dengan suara lantang dan tegas, dia menjawab, "Ya, anak yang sedang dia kandung dari wanita yang kau sebut murahan itu adalah anakku, Mahesa!"

Bukan hanya Mahesa yang terkejut, Ayunda pun sangat terkejut. Tubuhnya yang semula berada dalam pelukan Ardan, tiba-tiba menjauh, seolah tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia dengar.

Mahesa tertawa sinis. "Kamu memang sejak dulu seleranya selalu rendah. Sekarang, kamu justru menginginkan bekas istriku?" katanya dengan nada merendahkan.

"Bekas istri yang tidak pernah kamu sentuh, karena aku yang sudah merenggut keperawanannya!" ujar Ardan dengan suara penuh amarah, menatap Mahesa dengan tajam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Usai Bangun dari Koma   Berhasil

    Akhirnya, perjuangan selama 50 jam membuahkan hasil. Dengan tangan yang masih terpasang infus, Dipta berhasil membobol sistem milik Siren dan membekukan seluruh jaringan digital yang ia kendalikan. Siren, yang saat itu sedang berusaha mentransfer seluruh dana dari perusahaan Dipta ke rekening pribadinya, gagal total. Dana tersebut berhasil dikembalikan, dan semua jejak digitalnya diamankan.Dipta tidak berhenti sampai di situ. Ia sudah merencanakan segalanya. Setelah memastikan sistem kembali stabil, ia langsung mengirimkan tim polisi ke lokasi yang telah dilacak sebelumnya. Siren dan beberapa orang yang terlibat akhirnya berhasil dikepung.Melihat keberhasilan itu, Ayunda tak bisa menahan luapan emosinya. Dengan refleks, ia langsung memeluk Dipta yang masih duduk lemah di kursinya. Pelukan itu spontan, penuh rasa lega dan bahagia.Momen itu sempat membuat semua yang ada di ruangan terdiam. William dan beberapa staf yang melihatnya langsung salah tingkah. Mereka berpura-pura sibuk, me

  • Usai Bangun dari Koma   Lanjut Hacker Siren

    Namun Dipta tetap tak bergeming. Matanya terpaku pada deretan kode yang terus bergerak di layar. Napasnya berat, seperti menahan beban tak kasat mata yang terus menindih.William menatap Ayunda sekilas, lalu memberi isyarat mata. Ia mengerti maksudnya.“Aku panggil dokter sekarang,” bisik William. “Kalau dia tidak mau istirahat dengan sadar, kita harus paksa.”Ayunda mengangguk pelan. Beberapa menit kemudian, dokter kantor datang dengan peralatan lengkap. Melihat itu, Dipta mengerutkan kening.“Kalian serius?” protesnya pelan.“Kalau kamu terus memaksa tubuhmu begini, kamu bisa kolaps. Kami butuh kamu tetap hidup, Dipta,” jawab Ayunda tanpa basa-basi.Setelah dicek, suhu tubuh Dipta mencapai 39 derajat Celsius. Dokter menyarankan agar ia diberi infus dan obat penurun demam. Tanpa menunggu izin lebih lanjut, William dan Ayunda langsung mengarahkan dokter membawa Dipta ke ruangan istirahat khusus.Di ruangan itu, Ayunda duduk di sisi tempat tidur sementara infus dipasang ke tangan Dipta

  • Usai Bangun dari Koma   Perjuangan

    Melihat kelengahan Dipta dan Ayunda, Siren tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cepat, ia mendorong Dipta dengan sekuat tenaga hingga pria itu tersungkur keras ke lantai jembatan. Tak berhenti di situ, Siren juga mendorong Ayunda, membuat wanita itu terhuyung dan nyaris jatuh. Telapak tangannya terhempas ke permukaan jembatan yang penuh dengan serpihan kaca, membuatnya berdarah hebat."Aku akan menghancurkan perusahaanmu untuk kedua kalinya, Dipta! Dan kali ini aku pastikan, kau takkan bisa bangkit lagi selamanya!" teriak Siren dengan penuh dendam sebelum akhirnya melarikan diri ke arah hutan kecil di balik jembatan.Dipta yang sempat hendak mengejar langsung berhenti saat mendengar Ayunda menahan erangan kesakitan. Ia segera berbalik dan melihat wanita itu tengah berusaha bangkit sambil memegangi tangannya yang dipenuhi darah."Ya ampun, Ayunda maafkan aku. Semua ini karena aku. Kamu tak seharusnya terseret dalam kekacauan ini," ucap Dipta dengan panik.Ia segera membantu Ayunda ber

  • Usai Bangun dari Koma   Siren Dalangnya

    Dipta segera berdiri. "Kita harus ke rumah sakit sekarang. Kalau orang itu masih hidup, kita harus pastikan dia aman dan bisa bicara sebelum semuanya terlambat."Ayunda menggenggam tasnya erat-erat, menahan gemetar di ujung jarinya. "Aku ikut."Oma Ola mengangguk, memberi restu dengan sorot mata penuh keyakinan. "Pergilah. Aku akan tetap di sini, mengoordinasi tim hukum."Tanpa membuang waktu, Dipta dan Ayunda melesat keluar hotel. Di dalam mobil, udara terasa berat, seolah beban kebenaran itu sendiri menekan mereka."Kalau ini benar ulah Siren," kata Ayunda pelan, "dia sudah jauh lebih berbahaya dari yang kita kira."Dipta mengangguk sambil menatap lurus ke jalan. "Aku curiga, ini bukan hanya soal proyek atau dendam. Ini bisa melibatkan jaringan yang lebih besar. Ada sesuatu yang Siren lindungi dengan segala cara."Mereka tiba di rumah sakit. Lorong-lorongnya lengang, kecuali satu ruangan di ujung, dijaga dua orang polisi. Dipta menunjukkan tanda pengenalnya. Mereka diperbolehkan mas

  • Usai Bangun dari Koma   Nikah?

    Bahkan di tengah malam itu, Ayunda dan Dipta tetap mengadakan pertemuan terbuka dengan perwakilan warga, berusaha mencari titik temu demi meredam kekacauan yang terjadi.Namun, suasana pertemuan jauh dari kondusif. Ayunda menjadi sasaran makian dari beberapa warga. Mereka memojokkan dirinya, bahkan ada yang merendahkan, mengatakan bahwa seorang wanita tidak pantas menjadi pemimpin, apalagi setelah membuat banyak warga menderita.Dengan ketenangan luar biasa, Ayunda menjelaskan bahwa sebelum proyek ini dimulai, ia telah melakukan kerja sama resmi dengan para pihak terkait dan memberikan kompensasi yang nilainya tidak main-main. Ia menegaskan, "Siapa pun yang mengalami kerugian karena proyek ini, saya bertanggung jawab penuh. Kami siap mengganti semua kerugian dengan adil."Namun, sebagian besar warga hanya terdiam. Dari raut wajah mereka, terlihat jelas ada sesuatu yang disembunyikan. Seolah-olah mereka hanya mengikuti skenario yang diatur oleh pihak terten

  • Usai Bangun dari Koma   Kerusuhan

    Dipta, yang awalnya tampak malu-malu, akhirnya mau juga makan bersama Oma Ola dan Ayunda. Di sana, si kembar disuapi oleh sang babysitter, karena memang mereka sedang sangat sulit makan—mungkin memasuki fase GTM (Gerakan Tutup Mulut). Padahal, Ayunda sudah berusaha memberinya vitamin, tapi tetap saja tidak banyak membantu. Namun, Ayunda tidak menyerah. Ia terus saja merayu si kembar dengan penuh kesabaran, sampai akhirnya mereka mau menghabiskan makanan, dibantu oleh tangan-tangan penuh kasih yang menyuapi.Malam itu menjadi momen pertama kalinya Dipta makan bersama keluarga Ayunda. Suasana di meja makan terasa hangat dan penuh tawa ringan. Oma Ola tampak sangat tertarik dengan kehadiran Dipta, sebaliknya Ayunda justru lebih banyak diam. Pikirannya berkecamuk, mengingat kejadian siang tadi saat Siren—mantan istri Dipta—melabraknya di tempat umum.Meski begitu, Ayunda mencoba menepis semua kekhawatirannya. Ia tahu, antara dirinya dan Dipta tidak ada hubungan apa-apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status