LOGIN
“Dia membuka matanya!”
Suara dari dua orang perawat yang berjaga di kamar Sophie terdengar memenuhi ruangan. Sophie masih berusaha menggerakkan tangannya yang terasa berat, mencoba memahami tempatnya berada.
Tapi tidak peduli berapa lamapun dia menatap langit-langit di atasnya, ia masih merasa warna putih yang memenuhi penglihatannya terasa begitu asing.
Rasa sakit yang sebelumnya tidak terasa mulai menjalar ke seluruh tubuh Sophie. Lehernya terasa sakit seolah ia baru saja terbangun dari tidur yang panjang. Jemarinya sulit digerakkan.
“Segera hubungi keluarganya!”
Perintah lain menyusul suara derapan kaki yang bergerak mendekatinya. Seorang dokter datang beberapa saat kemudian untuk memeriksa Sophie telah dikerumuni perawat.
“Bisakah Anda menggerakkan tangan Anda? Bisakah mengikuti gerakan pena ini dengan mata Anda?” dokter itu menanyakan satu per satu sambil mencatat setiap gerakan. Sophie berusaha mengikuti, tubuhnya masih bergetar mencoba mempertahankan posisi duduknya yang terasa menyiksa.
“Apa anda mengingat sesuatu yang menyebabkan anda berakhir di sini?”
Sophie hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia sudah berusaha untuk mengingat sejak tadi, tapi yang bisa ia ingat hanya memori saat ia baru saja kembali dari merayakan ulang tahun Ryan, kekasihnya, di sebuah restoran mewah yang dipilih oleh pria itu sendiri.
Tapi selanjutnya terasa begitu kosong. Tidak ada hal lain yang bisa ingat sesudahnya.
“Anda sudah mengalami koma selama tiga tahun.” ucap sang dokter dengan tegas.
“Ti.. tiga tahun?” Suara Sophie bergetar. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Apakah ia adalah lelucon?
Tapi kalender yang berdiri di atas meja kecil yang berada di samping tempat tidurnya berkata lain. Angka 2025 tertulis dengan pasti di dalamnya.
Tunggu, bukankah sang dokter berkata bahwa ia telah mengalami koma selama tiga tahun? Ia mengingat dengan jelas tanggal kemarin, 27 April 2021, tepat di ulang tahun Ryan.
“Kecelakaan anda terjadi pada Juli 2022. Apa anda tidak mengingat apapun pada hari itu ataupun hari sebelumnya?”
Sophie mengerjap. Dadanya naik turun cepat, kepalanya berdenyut hebat seperti ada palu yang menghantam dari dalam. “Juli… 2022?” Ia berbisik pelan, suaranya nyaris hilang. “Tidak… tidak mungkin. Kemarin… aku masih bersama Ryan. Ulang tahunnya… 27 April 2021…”
Sophie melihat secara sekilas dua orang perawat tadi saling bertukar pandang di belakang dokter yang duduk di hadapannya dengan tatapan saling bertanya-tanya.
Sang dokter menghela nafas panjang dan melepaskan kacamatanya, manatap Sophie dengan tegas.
“Sepertinya anda mengalami amnesia sebagian,” ucapnya. “Hal seperti ini biasa terjadi apabila anda mengalami koma dalam waktu yang lama. Beberapa memori anda akan tetap utuh, namun sebagian lain… bisa hilang, kabur, atau terputus.”
Mata Sophie terbelalak tidak percaya, amnesia sebagian? Apa hal seperti itu bahkan masuk akal? Lalu di mana orang tuanya?
Sophie merasa gejolak di dalam dirinya, dia membutuhkan seseorang. Siapapun. Untuk menyadarkannya bahwa ini semua bukanlah mimpi.
Tapi belum sempat ia mengatakan apapun sang dokter kembali membuka mulutnya. “Kami sudah menghubungi keluarga anda, dan sepertinya suami anda juga sedang berada dalam perjalanan kemari.”
“Apa? Suami…?” Sophie berkata tidak percaya. Apa dia sudah menikah dengan Ryan di masa yang tidak mampu ia ingat itu?
Belum sempat Sophie menguasai dirinya dari keterkejutan yang timbul karena perkataan sang dokter, pintu ruangannya terbuka secara tiba-tiba.
Seorang pria dengan tubuh tinggi yang tegap berdiri di depan pintu. Pakaiannya rapi dengan jas yang terlihat mahal. Matanya yang tajam menatap Sophie seolah menghakimi.
Tapi tidak peduli sekuat apapun Sophie mencoba mengingat, ia tidak bisa meraih ingatan tentang pria itu. Apakah ia adalah rekanan bisnis orang tuanya? Atau seseorang yang ia temui di masa-masa yang tidak bisa Sophie ingat?
Tapi kenapa dia menatap Sophie dengan begitu jijik seolah ia telah melakukan kesalahan pada pria itu?
“Hm, tidak terduga.” Suara berat pria itu akhirnya terdengar, kedua lengannya menyilang di depan dada, menunjukkan dengan utuh ketidaksukaannya. “Akan lebih baik kalau kau tidak pernah membuka matamu lagi.”
Sophie yang mendengarkannya merasakan darahnya berdesir, matanya melirik ke arah dokter dan perawat yang masih di sana. Tapi tidak ada seorangpun yang menunjukkan keterkejutan atas apa yang baru saja dikatakan oleh pria itu.
“Nona Sophie, Tuan Lucas, suami anda sudah tiba.”
Sophie terpaku sejenak, kenapa seorang wanita menghubungi Lucas tengah malam seperti ini? dan kenapa ia begitu gencar menelpon hingga puluhan panggilan tak terjawab?Dan kenapa… wanita itu terdengar begitu terkejut saat ia mendengar suara Sophie?“Halo?” suara itu terdengar kembali, sejujurnya Sophie tidak bermaksud, tapi karena ia begitu terkejut, tangan Sophie tidak sengaja menekan tombol merah yang berada di layar. Membuat panggilan itu terputus begitu saja.Tapi hanya dalam beberapa detik, layar ponsel Lucas kembali menyala. Lagi-lagi nomor itu kembali menghubungi.Sophie ingin kembali menjawab telepon itu, tapi tiba-tiba saja Lucas sudah keluar dari Walk in Closet dan berjalan ke tempat tidur.“Kenapa kamu belum tidur?” tanyanya. “Bukannya tadi kamu bilang kamu lelah?”Sophie tidak menjawab, tapi ia mengarahkan ponsel yang berada di tangannya ke arah Lucas. Lucas yang akhirnya menyadari bahwa yang berada di tangan Sophie adalah ponselnya mengerutkan kening. Mencoba melihat siapa
“Ayo bicara.”Sophie tertegun saat mendengar perkataan Lucas. Tidak, sebenarnya yang membuatnya tertegun adalah fakta bahwa Lucas benar-benar masih menunggu dirinya. Padahal Sophie sudah sangat sengaja berlama-lama di kamar mandi.“Tidak mau.” ucapnya cepat saat Sophie berhasil mengendalikan emosi di wajahnya. Sophie berniat berjalan menjauh dan melewati Lucas.Tapi sebelum Sophie berhasil, tangan Lucas sudah mendarat di pinggangnya. Pria itu menariknya ke belakang, hingga membuat punggung Sophie beradu dengan dadanya.“Lucas!” Sophie protes tidak terima dan mencoba melepaskan tangan pria itu dari pinggangnya. Tapi Lucas sama sekali tidak membiarkannya dan justru semakin memegangnya dengan erat.Pria itu tersenyum saat melihat wajah kesal Sophie. “Kamu kan marah aku tidak menyentuhmu. Kenapa sekarang kamu masih marah?”“Bukan itu poinnya!”“Kalau begitu jelaskan poinnya padaku. Kita punya banyak waktu. Aku sudah menghitungnya, harusnya hari ini kita bisa melakukan yang kita mau.” bisi
Lucas menjauhkah wajahnya dari Sophie, tangannya masih memegang bahu istrinya itu. Tapi wajahnya yang menatap Sophie terlihat begitu kebingungan.“Apa?” tanyanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tapi tangan Sophie yang masih berada tidak jauh dari wajahnya seolah menegaskan bahwa itu bukan hanya pikirannya saja.“Tidak mau.” ucap Sophie lagi, menegaskan kembali apa yang baru saja ia katakan.Mulut Lucas terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, hanya untuk dia tutup lagi. Pria itu benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi.Tapi Sophie tidak ingin memberikan kesempatan bagi Lucas untuk berpikir, ia membuka pintu kamar mandi dan…BLAM!Ia membanting pintu tepat di hadapan wah Lucas yang masih terperangah.Lucas berdiri mematung di depan pintu kayu yang kini tertutup rapat. Hidungnya nyaris bersentuhan dengan permukaan pintu itu saking cepatnya Sophie membantingnya.Ditolak?Dia? Lucas Campbell? Ditolak oleh istrinya sendiri, tepat saat suasana sedang sedang menduku
Sophie masuk ke ruang sidang itu dengan nafas yang terasa begitu berat. Tangannya menggenggam lengan Lucas dengan begitu erat, Sophie bahkan yakin ia bisa saja meninggalkan tanda di lengan suaminya itu.“Ingat perkataanku Sophie.” Lucas berkata, memahami apa yang dirasakan oleh Sophie saat ini. “Katakan kalau kamu tidak nyaman dan kita akan pergi saat itu juga.”Sophie mengangguk. Tapi bahkan walau ia tahu Lucas akan selalu berada di sampingnya, Sophie tidak bisa menghilangkan rasa takut dan memori buruk yang tetap menghantuinya.Sophie melihat sekeliling, menyapu sekeliling ruangan. Sebuah keputusan yang buruk, karena detik berikutnya tatapannya justru jatuh pada Ryan yang juga sedang melihat ke arahnya.“Sophie!” panggilnya, suara Ryan sedikit parau. Sophie berniat untuk mengabaikan panggilan dari pria itu, tapi Ryan berdiri dengan cepat dari tempat duduknya.Ingatan pada hari terakhir pertemuan mereka di tempat parkir apartemen milik Maya menghantam Sophie. Bagaimana pria itu menco
Sophie meremas tangannya sendiri dengan kuat. Sekarang saja mereka sibuk ingin bertemu dengannya?Kemana mereka saat ia masih terbaring di ranjang rumah sakit? Atau saat Sophie direndahkan di pesta keluarga mereka sendiri.“Katakan kalau aku tidak ingin bertemu dengan mereka.” ucap Sophie. Ia berusaha untuk terdengar tegas, walau sebenarnya dadanya berdetak kencang karena informasi yang diberikan oleh pelayan itu.“Apa anda yakin, Nyonya?” tanya pelayan itu lagi.“Ya.” Sophie akhirnya bangkit dari tempat duduknya, berniat menjauh dari pelayan itu sebelum ia mendengar satu pertanyaan lagi yang bisa membuatnya goyah. “Minta mereka mengingat apa yang mereka janjikan pada Lucas.”Sophie berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya kembali membaikkan tubuhnya. “Katakan juga pada mereka jika mereka datang kemari lagi, aku akan mengatakannya pada Lucas. Dan Lucas akan membuat mereka membayar karena melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.”Pelayan itu akhirnya membungkuk dan terburu-
Jari-jari Sophie gemetar saat meraih ponsel itu dari tangan Lucas. Tulisan Ayah yang muncul di layarnya membuat dada Sophie berdenyut, antara kerinduan yang coba ditahan wanita itu sembunyukan dan kemarahan yang terus mencoba meledak.Lucas mengamati reaksi Sophie tanpa berkata apa pun, memberi ruang bagi istrinya untuk berpikir sejenak.“Sudah ada puluhan panggilan tak terjawab, dan beberapa pesan singkat,” ujar Lucas akhirnya setelah menunggu beberapa lama. “Sejak semalam, setelah Kevin memberikan laporan itu pada mereka.”Sophie menelan ludah, ragu untuk bertanya. “Apa isi pesannya?” Sophie bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar ingin tahu atau tidak.“Aku belum membukanya. Itu hakmu, bukan aku,” jawab Lucas. Ia mengangkat bahunya pelan. “Tapi aku bisa membayangkan isinya. Penyesalan, permintaan maaf, dan mungkin… pengakuan bahwa mereka salah mempercayai rumor tentangmu selama bertahun-tahun.”Air mata Sophie mulai menggenang, tapi bukan karena perasaan haru. Tapi karena bayangan







