LOGIN“Tunggu, Ayah, Ibu!”
Kedua orang tuanya sudah beranjak pergi dan meninggalkan Sophie di ruangannya dengan segudang pertanyaan yang belum terjawab.
Sophie bangun dari kasur, berusaha mengejar. Tapi kakinya yang masih lemah tidak kuasa menopang tubuhnya, sehingga dia jatuh berdebam ke lantai. Sophie meringis ketika rasa nyeri menjalari tubuhnya.
Dengan terseok-seok, Sophie keluar dari ruangannya. Suasana koridor begitu sunyi. Jejak kepergian orang tuanya tidak ada di sana.
Sophie menopang tubuhnya ke tembok sambil berjalan pelan-pelan, sampai ia mendengar suara tawa riang yang asing baginya menyelinap keluar dari salah satu kamar dengan pintu yang terbuka tipis.
Sekuat tenaga, Sophie bergerak untuk mendekati sumber suara itu. Dari celah pintu yang terbuka, ia bisa melihat beberapa orang yang sangat ia kenal berada di kamar itu.
Keluarganya.
Ayah, ibu, bahkan beberapa kerabat dekat, semua berada di sana. Senyuman mereka begitu cerah.
“Selamat, Matthew, berkat kerja kerasmu, akhirnya kamu telah resmi menjadi CEO Elman Corp.”
Kata-kata itu terasa seperti sebuah tamparan keras di wajah Sophie. Nafasnya yang sudah berat karena usahanya untuk berjalan semakin tersengal.
CEO Elman Corp. Posisi itu seharusnya miliknya! Bagaimanapun juga ia adalah putri tunggal orang tuanya. Dan sejak kecil ia telah dipersiapkan untuk mengambil posisi itu.
Seolah seluruh dunia runtuh di depan matanya, Sophie berdiri terpaku.
Jadi, Sophie tidak salah dengar tadi, saat orang tuanya mengabarkannya hal itu.
Tidak ada satu pun dari keluarganya yang menyadari keberadaannya di koridor. Tidak ada yang menoleh, tidak ada yang peduli. Semua mata, semua senyum, semua ucapan hangat hanya ada untuk untuk Matthew.
=
Beberapa hari berlalu begitu saja, tapi tidak ada satupun yang kembali datang untuk menjenguknya. Tidak orang tuanya, bahkan tidak juga pria yang telah mengaku sebagai suaminya, Lucas.
Hari-hari Sophie hanya diisi dengan dokter dan perawat yang membantunya kembali beradaptasi dengan tubuhnya. Melakukan terapi ringan agar ia bisa kembali melakukan gerakan lebih leluasa.
Nampan besi makan malamnya diletakkan dengan suara hentakan keras di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Sendok dan garpu yang beradu menghasilkan suara berdentang yang nyaring.
Sophie tersentak, matanya melebar menatap perawat yang bahkan tidak sedikit pun berusaha menyembunyikan ekspresi sebal di wajahnya.
“Kamu…”
Sophie ingin menyentaknya, tidak terima dengan perlakuan yang ia terima. Bagaimanapun juga ia adalah pasien yang rela membayar lebih untuk tinggal di kamar VIP, tapi orang-orang ini justru memperlakukannya seenaknya.
Tapi rasa sakit pada kepalanya muncul secara mendadak. Tubuhnya masih belum mampu beradaptasi dengan semua gerakan dan pikiran yang datang secara tiba-tiba.
Bahkan perawat yang sedang membereskan beberapa alat medis itu tidak memperdulikannya dan melangkah keluar dengan pintu ditutup lebih keras dari seharusnya.
Sophie menunduk menatap nampan makanannya. Nafsu makannya hilang begitu saja. Rasa asing dan ketakutan merayap perlahan ke dalam dadanya.
Sebenarnya apa yang terjadi dalam waktu satu tahun yang terhapus dalam ingatannya? Kenapa semua orang bersikap seolah dirinya adalah sampah yang berusaha disingkirkan?
=
Satu bulan berlalu sejak Sophie bangun dari komanya. Saat mendengar bahwa dirinya sudah diperkenankan untuk pulang, Sophie tidak tahu apakah ia harus merasa senang atau tidak.
Kedua orang tuanya belum mengunjunginya kembali. Tapi di hari-hari ketika ia tidak mampu menekan rasa penasarannya dan kembali berjalan di koridor, ia kembali menemukan keluarganya mengunjungi Matthew, lagi dan lagi.
Tidak ada satu haripun yang mereka lalui tanpa menjenguk pria itu, hingga hari terakhirnya di rumah sakit. Tapi tidak ada satu orangpun yang rela meluangkan waktu untuk melihat dirinya.
Dan begitulah ia berdiri sendirian, di depan rumah sakit, menunggu taksi dengan sebuah tas yang berisi barang-barangnya. Angin sore menusuk kulitnya, membuat tubuhnya terasa semakin ringkih.
Kata pulang yang sejak tadi muncul di dalam pikirannya terasa asing. Untuk apa dia pulang ketika keluarganya tidak menginginkannya?
Sophie menarik napas panjang, menatap jalan yang ramai di depannya. Saat itulah, sebuah bayangan tiba-tiba melintas cepat di hadapannya.
“Ah!”
Dalam sekejap, seseorang menyambar tas yang ada di tangannya. Tarikannya begitu kuat hingga tubuh Sophie terdorong ke belakang dan jatuh ke aspal. Rasa sakit menjalar di siku dan lututnya.
“Berhenti!” teriaknya parau, tapi suara Sophie tenggelam dalam hiruk pikuk jalanan yang begtu sibuk.
Sophie menatap putus asa ke arah pria yang kini berlari membawa tasnya. Copet? Preman? Pikirannya berkecamuk sementara tubuhnya susah payah berdiri.
Bagaimana caranya pulang sekarang? Seluruh uang dan ponselnya ada di tas itu. Sophie hampir menangis karena rasa frustasi, tapi suara teriakan nyaring mengagetkannya.
“AARGHH!!!!”
Pencopet yang merampas tas Sophie terhuyung, wajahnya meringis kesakitan. Lengannya dipelintir begitu kuat oleh seseorang yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana.
Sophie membeku. Pandangannya naik perlahan, dan matanya membesar ketika akhirnya mengenali sosok itu. Pria yang baru ia temui sekali.
“Lucas…”
Pria itu menatapnya dengan sorot mata dingin yang sama seperti pertama kali Sophie lihat di kamar rawatnya. Namun tangannya tidak ragu sedikitpun saat semakin memelintir lengan pencopet itu sampai berteriak nyaring, seolah tulangnya akan patah.
“Sebodoh apa kamu sampai tidak bisa menjaga diri sendiri, Sophie?”
Sophie terpaku sejenak, kenapa seorang wanita menghubungi Lucas tengah malam seperti ini? dan kenapa ia begitu gencar menelpon hingga puluhan panggilan tak terjawab?Dan kenapa… wanita itu terdengar begitu terkejut saat ia mendengar suara Sophie?“Halo?” suara itu terdengar kembali, sejujurnya Sophie tidak bermaksud, tapi karena ia begitu terkejut, tangan Sophie tidak sengaja menekan tombol merah yang berada di layar. Membuat panggilan itu terputus begitu saja.Tapi hanya dalam beberapa detik, layar ponsel Lucas kembali menyala. Lagi-lagi nomor itu kembali menghubungi.Sophie ingin kembali menjawab telepon itu, tapi tiba-tiba saja Lucas sudah keluar dari Walk in Closet dan berjalan ke tempat tidur.“Kenapa kamu belum tidur?” tanyanya. “Bukannya tadi kamu bilang kamu lelah?”Sophie tidak menjawab, tapi ia mengarahkan ponsel yang berada di tangannya ke arah Lucas. Lucas yang akhirnya menyadari bahwa yang berada di tangan Sophie adalah ponselnya mengerutkan kening. Mencoba melihat siapa
“Ayo bicara.”Sophie tertegun saat mendengar perkataan Lucas. Tidak, sebenarnya yang membuatnya tertegun adalah fakta bahwa Lucas benar-benar masih menunggu dirinya. Padahal Sophie sudah sangat sengaja berlama-lama di kamar mandi.“Tidak mau.” ucapnya cepat saat Sophie berhasil mengendalikan emosi di wajahnya. Sophie berniat berjalan menjauh dan melewati Lucas.Tapi sebelum Sophie berhasil, tangan Lucas sudah mendarat di pinggangnya. Pria itu menariknya ke belakang, hingga membuat punggung Sophie beradu dengan dadanya.“Lucas!” Sophie protes tidak terima dan mencoba melepaskan tangan pria itu dari pinggangnya. Tapi Lucas sama sekali tidak membiarkannya dan justru semakin memegangnya dengan erat.Pria itu tersenyum saat melihat wajah kesal Sophie. “Kamu kan marah aku tidak menyentuhmu. Kenapa sekarang kamu masih marah?”“Bukan itu poinnya!”“Kalau begitu jelaskan poinnya padaku. Kita punya banyak waktu. Aku sudah menghitungnya, harusnya hari ini kita bisa melakukan yang kita mau.” bisi
Lucas menjauhkah wajahnya dari Sophie, tangannya masih memegang bahu istrinya itu. Tapi wajahnya yang menatap Sophie terlihat begitu kebingungan.“Apa?” tanyanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tapi tangan Sophie yang masih berada tidak jauh dari wajahnya seolah menegaskan bahwa itu bukan hanya pikirannya saja.“Tidak mau.” ucap Sophie lagi, menegaskan kembali apa yang baru saja ia katakan.Mulut Lucas terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, hanya untuk dia tutup lagi. Pria itu benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi.Tapi Sophie tidak ingin memberikan kesempatan bagi Lucas untuk berpikir, ia membuka pintu kamar mandi dan…BLAM!Ia membanting pintu tepat di hadapan wah Lucas yang masih terperangah.Lucas berdiri mematung di depan pintu kayu yang kini tertutup rapat. Hidungnya nyaris bersentuhan dengan permukaan pintu itu saking cepatnya Sophie membantingnya.Ditolak?Dia? Lucas Campbell? Ditolak oleh istrinya sendiri, tepat saat suasana sedang sedang menduku
Sophie masuk ke ruang sidang itu dengan nafas yang terasa begitu berat. Tangannya menggenggam lengan Lucas dengan begitu erat, Sophie bahkan yakin ia bisa saja meninggalkan tanda di lengan suaminya itu.“Ingat perkataanku Sophie.” Lucas berkata, memahami apa yang dirasakan oleh Sophie saat ini. “Katakan kalau kamu tidak nyaman dan kita akan pergi saat itu juga.”Sophie mengangguk. Tapi bahkan walau ia tahu Lucas akan selalu berada di sampingnya, Sophie tidak bisa menghilangkan rasa takut dan memori buruk yang tetap menghantuinya.Sophie melihat sekeliling, menyapu sekeliling ruangan. Sebuah keputusan yang buruk, karena detik berikutnya tatapannya justru jatuh pada Ryan yang juga sedang melihat ke arahnya.“Sophie!” panggilnya, suara Ryan sedikit parau. Sophie berniat untuk mengabaikan panggilan dari pria itu, tapi Ryan berdiri dengan cepat dari tempat duduknya.Ingatan pada hari terakhir pertemuan mereka di tempat parkir apartemen milik Maya menghantam Sophie. Bagaimana pria itu menco
Sophie meremas tangannya sendiri dengan kuat. Sekarang saja mereka sibuk ingin bertemu dengannya?Kemana mereka saat ia masih terbaring di ranjang rumah sakit? Atau saat Sophie direndahkan di pesta keluarga mereka sendiri.“Katakan kalau aku tidak ingin bertemu dengan mereka.” ucap Sophie. Ia berusaha untuk terdengar tegas, walau sebenarnya dadanya berdetak kencang karena informasi yang diberikan oleh pelayan itu.“Apa anda yakin, Nyonya?” tanya pelayan itu lagi.“Ya.” Sophie akhirnya bangkit dari tempat duduknya, berniat menjauh dari pelayan itu sebelum ia mendengar satu pertanyaan lagi yang bisa membuatnya goyah. “Minta mereka mengingat apa yang mereka janjikan pada Lucas.”Sophie berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya kembali membaikkan tubuhnya. “Katakan juga pada mereka jika mereka datang kemari lagi, aku akan mengatakannya pada Lucas. Dan Lucas akan membuat mereka membayar karena melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.”Pelayan itu akhirnya membungkuk dan terburu-
Jari-jari Sophie gemetar saat meraih ponsel itu dari tangan Lucas. Tulisan Ayah yang muncul di layarnya membuat dada Sophie berdenyut, antara kerinduan yang coba ditahan wanita itu sembunyukan dan kemarahan yang terus mencoba meledak.Lucas mengamati reaksi Sophie tanpa berkata apa pun, memberi ruang bagi istrinya untuk berpikir sejenak.“Sudah ada puluhan panggilan tak terjawab, dan beberapa pesan singkat,” ujar Lucas akhirnya setelah menunggu beberapa lama. “Sejak semalam, setelah Kevin memberikan laporan itu pada mereka.”Sophie menelan ludah, ragu untuk bertanya. “Apa isi pesannya?” Sophie bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar ingin tahu atau tidak.“Aku belum membukanya. Itu hakmu, bukan aku,” jawab Lucas. Ia mengangkat bahunya pelan. “Tapi aku bisa membayangkan isinya. Penyesalan, permintaan maaf, dan mungkin… pengakuan bahwa mereka salah mempercayai rumor tentangmu selama bertahun-tahun.”Air mata Sophie mulai menggenang, tapi bukan karena perasaan haru. Tapi karena bayangan







