Share

Bab 6

"Dek, HP, Mas, keting… gal… an," Mas Topan terdengar berkata dengan nada syok. Sebab dia yang datang tiba-tiba di daun pintu kamar melihat aku sedang menatap HP itu dan membaca pesan dari tukang las tersebut. 

Entah sejak kapan Mas topan berada di pintu itu, dan sudah sejak kapan juga Mas Topan kembali ke rumah, aku benar-benar tidak, menyadarinya. Bahkan aku tidak mendengar bunyi sepeda motornya sampai di depan kontrakan. Aku masih fokus menatap layar HP itu dan membaca pesan itu. 

Tak kuhiraukan panggilan Mas Topan dari daun pintu. 

Mas Topan mendekatiku pelan, lalu mengulurkan tangannya meminta hpnya yang ada di tanganku saat ini. 

Dadaku masih naik turun menahan sesak yang datang tiba-tiba. 

Bersusah payah aku mengatur hatiku agar tidak emosi terhadap Mas Topan. 

"Siapa tukang, Las? kenapa Mas mengirimi dia uang? apa,  Mas sudah mulai membohongi aku di belakangku, Mas? Mas bilang nggak dapat gaji, tapi ini apa?" tanyaku beruntun. 

Ku tatap wajahnya dengan tatapanku yang penuh tanya dan tajam. 

Sementara Mas topan tidak berani menatapku balik. Dia hanya melihat ke samping dengan satu tangannya berdecak pinggang dan satu tangannya lagi mengusap kasar wajahnya. 

"Dek, siapa yang bohongin kamu? Itu tukang las bengkel. Kemarin itu… mobil ngampas waktu itu rusak, tiba-tiba as mobil ngampas itu patah, bersyukur Mas sama sopir itu nggak kenapa-kenapa, karena waktu kejadian pas mobil pelan dan jalanan sepi. Kalo seandainya, kemarin itu mobil ngebut terus jalanan rame, Mas nggak tau apa Mas masih bisa pulang ke sini apa tidak,"  Mas topan berkata dengan wajahnya selalu dan terus menatap ke arah Nisa. 

Hatiku seketika merasa bersalah. Lagi dan lagi aku berburuk sangka pada suamiku. 

Aku paham, pasti dia khawatir kemarin jika terjadi apa-apa, tidak akan bisa kembali kerumah menemui anaknya. 

Aku masih menatapnya dengan tatapan yang penuh rasa bersalah. Mas Topan tidak membalas tatapanku, dia masih terus menatap Nisa, yang masih tidur nyenyak. 

"Mas, Maafin aku, aku nggak ada maks…."

"Nggak apa-apa, Dek, Ama paham. Kamu pasti curiga, Mas mencurangi kamu, kan? kamu nggak usah khawatir, Kamu dan Nisa adalah segalanya untuk, Mas. Kalian adalah harta yang paling berharga saat ini. Kemarin Mas memang habis transfer uang ke tukang las itu. Karena Mas nggak ada uang cash, dan memang nggak ada uang untuk bayar duluan, jadi Mas janji transfer kalau sudah sampai kantor." Mas Topan memotong ucapanku 

lalu Mas Topan menjelaskan itu padaku. Kali ini dia menatapku dalam, tatapan yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Tatapan yang penuh cinta untukku. 

Mas Topan tersenyum lalu membentangkan kedua tangannya agar aku berdiri dan masuk ke pelukannya itu. 

Aku masih saja diam di tempat aku duduk di sisi ranjang. HP itu sudah ada di tangan Mas Topan kembali. Mas Topan mengambilnya dari tanganku saat tadi dia menjelaskannya barusan. 

"Kenapa HP, Mas, sekarang pakai sandi yang aku nggak tau? kenapa diganti?"  aku kembali mengulik rasa penasaran tentang hpnya yang diganti kata sandinya. 

"Oh, ini, Dek, anu…." Mas Topan menghentikan ucapannya lalu melihat ke hpnya yang ada ditangannya. 

"Hallo!"

"Oh, iya! iya."

"Iya, ini saya udah di jalan.

 "Siap! siap! iya, ok, yup!" 

Mas Topan langsung masukkan hpnya ke dalam kanton celananya. 

"Dek, Mas, berangkat dulu ya. Ini Bos telpon barusan. Dia, sudah nunggu." Mas Topan mengecup keningku dan berlalu keluar kamar tanpa menjelaskan terlebih dahulu tentang sandi hpnya.

Aku hanya diam menatap punggung Mas Topan menghilang dari pandanganku.

Aku masih benar-benar penasaran sama HP Mas Topan. 

****

Hari ini aku dan Nisa ingin ke rumah ibunya Mas Topan. Jarak kontrakan ke rumah ibu sekitar lima belas hingga dua puluh menit perjalanan. 

Setelah selesai dengan aktivitasku di rumah berbenah dan juga selesai mengurus Nisa. Aku dan Nisa segera ke rumah ibu. 

Aku memang sering main ke rumah ibunya Mas Topan,  ibu Mas Topan selama ini memang sangat baik padaku. Dia juga sangat menyayangi Nisa. 

Seminggu sekali aku pasti main kesana untuk bawa Nisa ke rumah neneknya. 

Dulu saat aku hamil, Ibu  Mas Topan benar-benar memperhatikan aku untuk masalah asupan makanan dan pekerjaan. Di mana aku nggak boleh terlalu capek. Mereka sangat menanti cucu dari anak laki-lakinya. 

Ibu juga yang menyarankan aku untuk berhenti bekerja kala itu. Mas Topan pun juga sama, meminta aku untuk di rumah saja fokus mengurus rumah dan menjaga kandungan ku waktu itu. 

Karena memang jadwal kerjaku dulu pakai shift, kadang masuk malam terkadang masuk siang. 

Mas Topan nggak ingin aku dan Nisa kenapa-napa. 

Tanpa berpikir panjang aku pun mengikuti saran dari Mas Topan untuk fokus menjadi ibu rumah tangga hingga saat ini. Kadang ada rasa rindu ingin bekerja kembali, kadang rindu saat berkumpul sama teman-teman dan bebas kemana-mana tanpa beban. 

Bukan aku tidak bahagia dengan keadaan sekarang. Aku sangat bahagia dengan hidupku saat ini terlebih dengan hadirnya Nisa. Nisa, adalah duniaku saat ini. Dia hal yang paling membuatku bahagia. Hanya saja terkadang rasa rindu itu sering datang. Apalagi melihat postingan teman-temanku yang masih bebas bermain ke sana ke mari. Ah, kangen sekali rasanya. 

Aku sudah sampai di depan rumah Ibu. Tapi aku sedikit bingung, melihat keadaan rumah terlihat sangat sepi.

Aku segera turun dari motor metik, motor yang dulu aku beli hasil aku bekerja sebagai BA kosmetik. 

Ku ketuk pintu rumah Ibu, tapi tidak ada sautan dari dalam. Hening, seperti tak berpenghuni. 

"Nenek… Nisa datang." Teriakku dari luar pintu. Aku masih berusaha untuk memastikan bahwa di apakah masih ada orang atau memang rumah ini sedang kosong. 

Ku coba menghubungi dari hpku. Aktif, namun nggak diangkat. 

ku ulangi kembali menelpon ibu, tapi masih tidak diangkat. 

Ibu kemana ya? gunamku bertanya pada diri sendiri. 

"Mbak Sindy, ya? cari Ibu Itin ya, Mbak?" tanya tetangga yang melihatku  menunggu depan rumah ibu. 

Nama Ibu Mat Topan kartini. Tapi orang-orang memanggilnya dengan sebutan itin. 

"Iya, Buk, tau nggak, Buk, Ibu kemana?" tanyaku. 

"Kurang tau ya, Mba, kalo kemana nya. tapi tadi pagi-pagi mereka pergi semuanya. barengan satu mobil." Tetangga ibu menjelaskan. 

Aku mengerutkan keningku. Pergi? kemana? 

"Sama, Mbak Diah juga, Buk?" tanyaku lagi. 

"Iya, Mbak, semuanya pergi tadi pagi." Jelasnya lagi. 

"Oh, Terima kasih ya, Buk." 

Aku kembali menaiki motorku untuk menuju pulang ke rumah. 

Aku matikan kembali kontak motorku. Kau mencoba menghubungi Mbak Diah, ternyata sama tidak diangkat. 

Mereka kemana ya? kok nggak angkat telepon dariku.

Terakhir sebelum pulang kucoba menghubungi Mbak Ratih. [Hallo, Sin"]

[Hallo, Mbak, Mbak lagi di mana?] tanyaku langsung. 

[Mbak lagi di kantor, kerja. Ada apa, Sin?] tanya Mbak Ratih dari seberang sana. 

[Oh, Mbak kerja, ya. Aku kira Mbak juga ikut Ibu sama Mbak Diah pergi. Ya sudah, Mbak. Maaf aku ganggu ya, Mbak.] 

[Oh, Iya Sin. Gak kok, Mbak nggak, ikut. Ya sudah, ho oh.] kata Mbak Ratih. 

[Oya, Mbak, memangnya Ibu sama yang la8n pada kemana, Mbak? aku di rumah Ibu sekarang, tapi nggak ada orang.]

[Ibu liburan keluar kota, Sind cuma satu hari aja, Kok. Besok mereka udah di rumah lagi.] 

[Oh, gitu ya, Mbak. Baik, Mbak, Terima kasih ya, Mbak. Maaf udah ganggu, Mbak kerja.]

[Nggak kok, Sin. Kamu nggak ganggu. ya sudah kamu hati-hati kalau pulang ya.]

Aku dan Mbak Ratih mengakhiri panggilan itu. 

"Kita pulang ya, Nak. Nenek lagi nggak ada di rumah. Besok kita ke sini lagi ya." Kataku pada Nisa. 

Waktu sudah pukul 13.00 , sudah waktunya Nisa tidur siang. Setelah selesai makan siang aku tidurkan Nisa di kamar. 

Seperti biasa, aku pun ikut tertidur di sampingnya. 

Entah sudah berapa jam aku tertidur, hp disampingku berbunyi dan berhasil membangunkan aku. 

Aku tatap layar Hpku. "Nosa?" keningku mengkerut saat nama sahabatku di sana terpampang sebagai pemanggilnya. 

kok tumben dia nelpon. ada apa ya, sudah lama, banget nggak komunikasi dengannya. 

"Halo, Nos, apa kabar kamu?" tanyaku dengan suara khas bangun tidur. 

"Kabar baik, Sin. Kamu habis bangun tidur, ya?" 

"Iya, Aku ketiduran tadi. kok tumben kamu nelpon, Kangen ih!" kataku. 

"Iya aku juga, Sin. Tapi sekarang Aku nggak lagi mau kangen-kangenan sama kamu, Sin. Aku mau tanya hal penting sama kamu.  Kamu harus jawab jujur, ya."

"Kamu kenapa, Nos? kok bikin aku deg degan aja tau!" 

"Kamu bangun dulu, duduk dulu, terus minum biar lebih rileks sebelum aku nanya ini sama kamu. Ok! ikuti saran aku." 

Aku semakin dibuat bingung sama sahabatku ini, ada apa sebenarnya. Tapi meskipun begitu aku tetap mengikuti apa yang dia perintahkan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status