Share

Bab 4

Entah sejak kapan aku terlelap tidur dari lelahnya hatiku semalam berdebat, dari beratnya kepala yang banyak berpikir. Yang jelas saat ini aku terjaga karena tangisan Nisa disampingku. Aku melirik sekilas jam yang ada di dinding kamarku, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Aku menguap dan, menggeliat, karena rasa kantuk yang masih menyerang di mata. Entah ngantuk yang benar masih menyerang, atau hati yang tengah lelah. 

Aku duduk sembari mengumpulkan nyawaku agar tersadar penuh. Ku periksa popok Nisa, benar saja, Nisa ternyata pup, dan popoknya juga sudah penuh. "Anak, Mama ternyata nggak nyaman ya, Nak? Adek lagi pup ya?" tanyaku pada Nisa. 

Nisa hanya merengek mengeluarkan suaranya. 

Segera ku bersihkankan kotorannya dan mengganti popoknya dengan celana. Kalau pagi setelah bangun tidur, Nisa tidak lagi ku Pakaikan popok, sekaligus ku belajari dia training toilet jika siang hari. 

"Yey, sudah siap, Nak…  sekarang adek mau mimik ya…?" tanyaku lagi dengan senyuman dan kepala ikut mengekspresikan pertanyaanku. 

Nisa menjawab dengan senyumnya juga yang sangat menggemaskan itu. 

Tak menunggu lama, langsung ku berikan haknya,  kuberikan Nisa Asi. Aku mengusap-ngusap pelan punggungnya agar Nisa kembali terlelap. Jika tidak, aku tidak bisa nanti mengerjakan pekerjaan rumahku saat Nisa bangun. 

Syukurlah, ternyata Nisa benar-benar terlelap kembali. 

Aku segera beranjak dari tempat tidurku untuk keluar kamar menuju dapur. 

Saat pintu kamar kubuka, terlihat Mas Topan masih terlelap dengan dengkuran kecilnya di depan ruang TV. Ada rasa kasihan menyelimuti hatiku saat melihatnya terlelap begitu, wajahnya terlihat sangat lelah. 

Ya Allah, dosa apa yang aku perbuat sehingga mencurigai suamiku. Seketika rasa bersalah mencuap di hati. Merasa sangat berdosa mengingat kejadian tadi malam  sehingga Mas Topan tidur di luar. Selama menikah, baru kali ini Mas Topan tidur di luar dan tidak satu kamar denganku. 

Aku menarik nafas dalam, lalu kubuang pelan agar hati ini sedikit tenang. Kudekati Mas Topan dan membangunnya untuk menunaikan sholat subuh. 

"Mas! Mas, bangun… sudah subuh, Mas. Bangun sholat dulu," Ku tepuk-tepuk pelan pundaknya. 

Perlahan mata itu terbuka, dia langsung mantap ku dan bertanya, "Kamu nggak marah lagi sama, Mas?" Dalam keadaan belum sepenuhnya sadar pertanyaan pertama kalinya yang dilontarkan untukku. 

Aku hanya menggelengkan kepala seraya tersenyum tulus padanya. 

Aku tidak seharusnya curiga menuruti nafsuku. Apa yang aku pikirkan belum tentu benar. Bisa jadi saat ini setan tengah menggodaku untuk suudzon terhadap suamiku sendiri sehingga menimbulkan pertengkaran dalam rumah tangga ku. 

Ayah dan Mamaku benar, menjadi seorang istri itu harus banyak bersabar, karena pernikahan itu adalah ibadah yang paling panjang dan lama. Jika mampu hadiah surga untuk seorang istri. 

Pesan Mama, "Selagi suami itu tidak KDRT, tidak main perempuan dan mendua, masih bisa diperbaiki dan dipertahankan." 

Mungkin Allah memang tengah mengujiku dengan ujian ini, di mana Ibu mertua yang ingin menguasai gaji Mas Topan. Insya Allah masih bisa aku bicarakan baik-baik dengan suamiku. 

"Terima kasih ya, Dek, kamu  sudah nggak marah lagi. Berarti kamu setuju kan kalau, Ibu yang mengatur  keuangan kita mulai bulan depan?" 

Degh! baru saja hal itu terlintas di pikiranku, sekarang justru Mas Topan menanyakannyakan langsung. Mas Topan benar-benar ingin Ibu yang mengatur gajinya. Sebegitu tidak berartinya aku lagi sampai-sampai harus Ibu. 

Dada ini kembali bergemuruh, rasa yang tadi sudah mulai tenang kembali berpikir yang tidak baik. 

"Maaf, Mas, untuk itu aku belum bisa memberi izin dan mungkin tidak akan pernah aku izinkan! " jawabku tegas. 

Aku segera berdiri dan berjalan ke dapur. Tak kuhiraukan Mas Topan memanggilku, biarlah dia tahu bahwa hati ini tidak ikhlas dan tidak akan terima untuk hal itu. Bagaimanapun juga, aku dan Nisa jauh lebih berhak atas itu semuanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status