ADNAN Aku meminta supir mengarahkan mobil ke rumah kedua. Aku tak sudi bertemu wanita yang sudah menyerahkan dirinya pada lelaki lain. Ben terus mengirimkan foto hasil pengintaiannya. Yang paling menyakitkan adalah saat mobil yang ditumpangi Ela dan selingkuhannya masuk ke sebuah rumah mewah. Setelah itu Ben tak bisa lagi melihat apa yang terjadi sebab gerbangnya tertutup rapat. “Tuan akan tidur di sini?” tanya pelayan baru yang mengurus rumah ini. Aku tak menjawabnya, tapi langsung melangkah ke arah dalam. Meski perut keroncongan, aku tak berselera untuk menyuap makanan. Paling hanya minum susu coklat hangat yang dibuatkan pelayan. Guyuran air di atas kepala membantu untuk mendinginkan apa yang tengah membara. Perlahan hatiku menjadi tenang. Ledakan-ledakan saat menyaksikan pengkhianatan mulai hilang. Sekarang, amarah itu berganti sakit tak terlukis kata. Bukan semata karena pengkhianatan, tapi juga tentang terlukanya harga diri. Aku adalah m
ELA Kemarahan mas Adnan sempat menbuatku benar-benar takut. Apalagi saat ia mengatakan kami pisah rumah sementara.Kini, muncul sesal mengapa napsu ini tak pernah berhenti. Padahal cinta dan kekayaan telah ada di tangan. Harusnya menerima dan menjalani saja pernikahan Entahlah, mengapa aku bisa selemah ini di hadapannya. Kukira dia bodoh, nyatanya aku yang tolol telah bermain hati.Aku pernah berjanji untuk tak jatuh hati. Namun, semua itu terbantahkan saat pertama kali bertemu dengannya. Ya, aku telah jatuh hati pada seorang Adnan SaputraSepanjang aku mengenal lelaki, mas Adnanlah yang paling baik dan tulus menyayangi. Ia memperlakukanku bak ratu sesungguhnya. Pria itu menuruti semua keinginanku dan tak menuntut banyak. Dia hanya ingin aku ada saat dirinya di rumah. Untuk sekedar melepas lelah dan bercengkerama dengan istrinya. Sebenarnya itu permintaan wajar dari seorang suami. Past
ADNANAku akan nekat pergi malam ini juga untuk menyusul Ela ke Bali. Namun, kondisi tubuh nyatanya tak memungkinkan. Kalaupun memaksakan penerbangan malam, rasanya takkan sanggup. Kutahan diri hingga esok pagi. Meski emosi ini sudah meledak-ledak, sekuat mungkin ditahan hingga nanti. Akhirnya kembali ke peraduan untuk merebahkan diri di sana. Aku sangat butuh istirahat agar tak ambruk. Baru merebahkan diri, pintu kamar diketuk. Aku tahu itu pasti bi Asih. Ingin marah sebab merasa terganggu, tapi diurungkan. Kasihanlah dia yang tak tak tahu apa-apa harus kena getahnya. “Tuan, maaf saya mau istirahat. Makan malamnya sudah saya rapikan kembali.” Aku mengangguk pada wanita yang seusia mama itu. Namun, sebelum ia membalikkan badan, aku menahannya dengan pertanyaan. “Bi, apa bibi tahu sesuatu tentang Nyonya?” Wanita itu terdiam. Ia menatapku sekilas, lalu menunduk. Aku tahu bibirnya bergerak, tapi belum juga keluar kata-kata. Seperti ketakutan untuk menyampaikan sesuatu. Kasihan juga
ADNANSetelah urusan di ruang keamanan beres, aku menemui Ela. Ia ada di sebelah ruangan ini. Entah apa namanya. Ela tak berani menatap ke arahku. Ia hanya tertunduk dan bergetar. Aku pun tak ingin banyak bicara. Langsung mengajaknya pulang tanpa berpanjang kata. Amarah ini masih membuncah, tapi tak mungkin diluapkan di sini. Sekuat mungkin kutahan agar magma kemurkaan tak erupsi. Aku tak langsung pulang sebab pikiran masih kacau. Sebaiknya menenangkan diri dahulu agar kembali kewarasan. Kami duduk di atas batu karang di bibir pantai. Angin yang mulai kencang sedikit banyak membantu meredakan hawa panas yang membuncah di dada. Tak ada yang dilakukan selain menatap gulungan ombak berkejar-kejaran. Serta birunya air laut yang entah berapa kedalamannya. Jika ombak surut, la pun tenang. Apabila gelombang itu datang, maka hilanglah ketenangan. Seperti itulah kehidupanku. Tujuh tahun tanpa gelombang kujalani bersama Rida. Tenang dan menenangkan jiwa raga. Di sana hanya ada riak-riak
Hari ini Yanti melangsungkan pernikahan dengan mas Radit. Aku diminta menjadi salah satu bagian dari keluarga wanita. Katanya jadi adik atau kakak tak masalah. Aku tidak boleh mengurus apapun. Hanya tampil di depan dengan dandanan cetar membahana. Pakaian, clutch dan sepatu senada warnanya sudah disiapkan. Begitu juga dengan Azka dan Azkia, mereka pun didandani bak pangeran dan putri kecil. Sejak bercerai, aku tak pernah merias wajah. Rasanya tak berselera saja. Yanti kadang protes melihat tampilan kusamku. Katanya meski tak berhias, rawatlah kecantikan yang dianugerahkan Allah. Aku sih mengiyakan tanpa melaksanakan. Karena kesal, akhirnya Yanti membelikan skincare untuk perawatan. Dengan terpaksa kupakai juga seperlunya. “Seenggaknya dandanlah buat Mr Ganteng, Afgan, papi Azka dan Azkia “ goda Yanti kala itu. Aku membalas candaannya dengan cubitan kecil. Dasar Yanti, kalau sudah kumat jailnya selalu saja menghubungkanku dengan mas Afgan. Saat ini, hatiku masih beku. Rasanya kep
RIDAMas Afgan langsung menyambut uluran tangan Azkia. Ia kemudian mengecup pipi cubby putriku. “Putri Azkia cantik, deh!” pujinya. Sementara Azka tak mau lepas dari genggaman tangan satunya milik mas Afgan. Dipikir jadi seperti papa mereka saja. “Temani ke sana, boleh?” pintanya padaku. Ia mengarahkan pandangannya ke pelaminan. Aku mengiringi langkah mas Afgan. Saat mau meraih tangan Azka, anak itu menolak. Ya, ampun segitu nempelnya sama om baru dikenal. Mas afgan mengucapkan selamat dan melantunkan doa untuk pengantin. Ia bilang telah menyiapkan hadiah paket bulan madu untuk mereka. Tentu saja mata Yanti berbinar-binar. “Terima kasih, pak Afgan atas kedatangam, doa dan hadiahnya. Semoga cepat menyusul kami. Ditunggu undangannya, mba Rida!!” Sepertinya wajahku memerah kini. Kalau suhunya sih naik memang saat mendengar ungkapan mas Radit. Kenapa harua menyelipkan namaku coba. Suami istri ini memang sepertinya punya misi menyatukan kami. Harus lebih hati-hatilah pada sepak ter
AFGAN“Jadi gimana hubungan kakak sama mba Rida?” tanya Adela yang tak pernah bosan menginterogasi. Terlihat sekali rasa penasaran ibu muda ini. “His, ini gara-gara keseringan nonton gosip artis, bawaannya penasaran terus,” ledekku pada wanita yang sejak hamil dilarang terjun di perusahaan oleh suaminya. Katanya jadi ibu rumah tangga saja. Biar urusan bisnis ditangani kami. “Ini bukan gosiplah, tapi fakta, Akak!” rajuknya sambil menghalangi tanganku dari laptop. Sepertinya kalau tirak dijelaskan akan terus menganggu. Mungkin dia datang ke rumah memang niat mencari gosip ini. “Belum ada perkembangan. Rida menutup diri. Mungkin masih trauma dengan kegagalan pernikahan sebelumnya,” Adela manggut-manggut. Ia lalu mengetuk telunjuk pada bibirnya. Boal mata bergerak ke kanan dan kiri. “Wajarlah, Rida baru pisah beberapa bulan lalu. Kata temannya dia diceraikan tanpa ada kesalahan, lantas suaminya menikah lagi seminggu setelah perceraian. Nasibnya tak jauh beda denganku, dikhianati.” W
Aku terhenyak sejenak mendengar permohonan mas Afgan. Rasanya seperti sedang diserang bertubi-tubi dari arah depan. Lalu, tak sanggup melawan. Kepalaku tertunduk sebab tak sanggup bertemu pandang dengan tatapan penuh hasrat di depan sana. Jelas sekali binar cinta yang menguar dari dua bola matanya. Hati ini bahkan mampu merasakan getaran hatinya. Tak kupungkiri permohonan itu sempat melambungkan hati. Aku terbang hingga melayang. Namun, kembali menapak saat logika datang. Tak boleh, aku tak boleh semudah ini terbawa angan-angan. Ingatlah, lelaki tak bisa dipegang janjinya. Bukankah mas Adnan dulunya baik, sangat baik. Bagaimana sekarang? Nyatanya seorang pendusta. Tapi, alangkah tak elok jika langsung menolak permohonan seorang yang amat berharap. Baiknya kutunda hingga beberapa hari ke depan. Tapi lagi, bukankah mengulur-ulur juga akan membuat lebih sakit. Jika pada akhirnya tetap ditolak. Ya, Allah, hamba harus bagaimana? Keringat di telapak tanganku sudah membuat tak nyaman.