ADNAN Tak ada salahnya juga aku mengikuti Ela. Bukan untuk memata-matai, tapi hanya ingin tahu apa yang dikerjakan di luar setiap hari. Sebagai suami aku jelas punya tanggung jawab akan perilaku istri. Baik buruknya istri akan menjadi pahala atau siksa seorang lelaki kelak di akherat. Setidaknya itulah yang dikatakan dosen mata kuliah agama dulu. Untunglah aku masih mendengarnya, meski kala itu terkesan tak penting.. Awalnya aku merasa kegiatan Ela di luar memang sebagai pengusir kesepian. Maklumlah suaminya pergi pagi pulang malam untuk mencari nafkah. Namun, makin ke sini sepertinya makin kebablasan. Aku khawatir dia terjerumus dalam pergaulan yang salah. Tak bergaul sama sekali juga tak baik. Terlalu liar pun salah. Jadi, ambil sewajarnya. Carilah teman yang dapat mengarahkan ke jalan yang benar. Bukan malah bersahabat dengan yang rusak dan merusak. Sebelum terlambat, tentu aku harus mencegah dati sekarang. Aku menelpon Ben, orang yang kutugasi menca
ELA (Mas Kevin beneran sayang sama aku?) Kukirim pesan pada pria yang sebulan ini rajin sekali menghubungi. Tak siang, tak malam terus saja membombardir dengan chat gombal. Pria ini benar-benar agresif. Padahal baru beberapa kali bertemu, di balkon tempat diselenggarakannya pesta, lalu di tempat-tempat yang disepakati setelahnya. (Masa bohong?) Balasnya diiringi emoticon mengedip sebelah mata. . (Bohong pasti) Ledekku. Sebenarnya aku sudah melayang-layang membaca chat demi chat yang dia kirim. Jago banget meluluhlantakkan hati wanita. Sudah tampan, romantis, anak sultan pula. Pewaris tahta! (Ya sudah, besok bawa pisau, belah deh dadaku) (Mati dong, entar kucingnya sedih, loh) Mas Kevin mengirim stiker ngakak sambil keluar airmata. Kubalas dengan stiker meleletkan lidah. Selanjutnya terjadilah perang stiker di antara kami. Mirip abege jatuh cinta memang. ( Telpon, ya?) Pinta mas Kevin. Aduh gimana ini. Ada mas Adna
ELAAku menolak tidur bersamanya malam ini dengan alasan belum ada kejelasan soal perceraian. Kukatakan dengan tekanan lakukanlah segera proses gugat cerai.Aku memberi batas satu bulan urusan itu harus beres. Jika sampai tak ada perkembangan maka sudahi hubungan ini.Untunglah seorang Ela tak seperti si cengeng Rida. Dalam prinsip hidupku tak boleh ada kegagalan. Harus sukses dan tergapai semua ambisi demi ambisi.Aku berhasil lolos dari Kevin dengan satu ancaman. Kalau dia menjamah tubuh ini sekarang maka aku akan benci selamanya. Dan, jangan harap bakal bertemu lagi.Kevin kalah oleh ketegasanku. Pria itu hanya bisa menahan hasrat yang sudah meledak-ledak. Lalu, dengan terpaksa mengizinkanku pulang.Hmmm, rupanya pria itu memang telah takluk padaku!*Aku menelpon bi Asih untuk menanyakan apa tuan Adnan ada di rumah? Aku harus merancang strategi supaya aman terkendali.Saat ini tak boleh angkat senjata pada mas Adnan sebab belum ada tanda-
ADNAN Aku meminta supir mengarahkan mobil ke rumah kedua. Aku tak sudi bertemu wanita yang sudah menyerahkan dirinya pada lelaki lain. Ben terus mengirimkan foto hasil pengintaiannya. Yang paling menyakitkan adalah saat mobil yang ditumpangi Ela dan selingkuhannya masuk ke sebuah rumah mewah. Setelah itu Ben tak bisa lagi melihat apa yang terjadi sebab gerbangnya tertutup rapat. “Tuan akan tidur di sini?” tanya pelayan baru yang mengurus rumah ini. Aku tak menjawabnya, tapi langsung melangkah ke arah dalam. Meski perut keroncongan, aku tak berselera untuk menyuap makanan. Paling hanya minum susu coklat hangat yang dibuatkan pelayan. Guyuran air di atas kepala membantu untuk mendinginkan apa yang tengah membara. Perlahan hatiku menjadi tenang. Ledakan-ledakan saat menyaksikan pengkhianatan mulai hilang. Sekarang, amarah itu berganti sakit tak terlukis kata. Bukan semata karena pengkhianatan, tapi juga tentang terlukanya harga diri. Aku adalah m
ELA Kemarahan mas Adnan sempat menbuatku benar-benar takut. Apalagi saat ia mengatakan kami pisah rumah sementara.Kini, muncul sesal mengapa napsu ini tak pernah berhenti. Padahal cinta dan kekayaan telah ada di tangan. Harusnya menerima dan menjalani saja pernikahan Entahlah, mengapa aku bisa selemah ini di hadapannya. Kukira dia bodoh, nyatanya aku yang tolol telah bermain hati.Aku pernah berjanji untuk tak jatuh hati. Namun, semua itu terbantahkan saat pertama kali bertemu dengannya. Ya, aku telah jatuh hati pada seorang Adnan SaputraSepanjang aku mengenal lelaki, mas Adnanlah yang paling baik dan tulus menyayangi. Ia memperlakukanku bak ratu sesungguhnya. Pria itu menuruti semua keinginanku dan tak menuntut banyak. Dia hanya ingin aku ada saat dirinya di rumah. Untuk sekedar melepas lelah dan bercengkerama dengan istrinya. Sebenarnya itu permintaan wajar dari seorang suami. Past
ADNANAku akan nekat pergi malam ini juga untuk menyusul Ela ke Bali. Namun, kondisi tubuh nyatanya tak memungkinkan. Kalaupun memaksakan penerbangan malam, rasanya takkan sanggup. Kutahan diri hingga esok pagi. Meski emosi ini sudah meledak-ledak, sekuat mungkin ditahan hingga nanti. Akhirnya kembali ke peraduan untuk merebahkan diri di sana. Aku sangat butuh istirahat agar tak ambruk. Baru merebahkan diri, pintu kamar diketuk. Aku tahu itu pasti bi Asih. Ingin marah sebab merasa terganggu, tapi diurungkan. Kasihanlah dia yang tak tak tahu apa-apa harus kena getahnya. “Tuan, maaf saya mau istirahat. Makan malamnya sudah saya rapikan kembali.” Aku mengangguk pada wanita yang seusia mama itu. Namun, sebelum ia membalikkan badan, aku menahannya dengan pertanyaan. “Bi, apa bibi tahu sesuatu tentang Nyonya?” Wanita itu terdiam. Ia menatapku sekilas, lalu menunduk. Aku tahu bibirnya bergerak, tapi belum juga keluar kata-kata. Seperti ketakutan untuk menyampaikan sesuatu. Kasihan juga
ADNANSetelah urusan di ruang keamanan beres, aku menemui Ela. Ia ada di sebelah ruangan ini. Entah apa namanya. Ela tak berani menatap ke arahku. Ia hanya tertunduk dan bergetar. Aku pun tak ingin banyak bicara. Langsung mengajaknya pulang tanpa berpanjang kata. Amarah ini masih membuncah, tapi tak mungkin diluapkan di sini. Sekuat mungkin kutahan agar magma kemurkaan tak erupsi. Aku tak langsung pulang sebab pikiran masih kacau. Sebaiknya menenangkan diri dahulu agar kembali kewarasan. Kami duduk di atas batu karang di bibir pantai. Angin yang mulai kencang sedikit banyak membantu meredakan hawa panas yang membuncah di dada. Tak ada yang dilakukan selain menatap gulungan ombak berkejar-kejaran. Serta birunya air laut yang entah berapa kedalamannya. Jika ombak surut, la pun tenang. Apabila gelombang itu datang, maka hilanglah ketenangan. Seperti itulah kehidupanku. Tujuh tahun tanpa gelombang kujalani bersama Rida. Tenang dan menenangkan jiwa raga. Di sana hanya ada riak-riak
Hari ini Yanti melangsungkan pernikahan dengan mas Radit. Aku diminta menjadi salah satu bagian dari keluarga wanita. Katanya jadi adik atau kakak tak masalah. Aku tidak boleh mengurus apapun. Hanya tampil di depan dengan dandanan cetar membahana. Pakaian, clutch dan sepatu senada warnanya sudah disiapkan. Begitu juga dengan Azka dan Azkia, mereka pun didandani bak pangeran dan putri kecil. Sejak bercerai, aku tak pernah merias wajah. Rasanya tak berselera saja. Yanti kadang protes melihat tampilan kusamku. Katanya meski tak berhias, rawatlah kecantikan yang dianugerahkan Allah. Aku sih mengiyakan tanpa melaksanakan. Karena kesal, akhirnya Yanti membelikan skincare untuk perawatan. Dengan terpaksa kupakai juga seperlunya. “Seenggaknya dandanlah buat Mr Ganteng, Afgan, papi Azka dan Azkia “ goda Yanti kala itu. Aku membalas candaannya dengan cubitan kecil. Dasar Yanti, kalau sudah kumat jailnya selalu saja menghubungkanku dengan mas Afgan. Saat ini, hatiku masih beku. Rasanya kep