Share

Bab 2

"Sebenarnya ini ada apa ya, Pak RT? Kok rame-rame begini?" tanya Dewi pada Pak RT sembari mengedarkan pandangan ke setiap tetangga yang tengah berada di rumahnya tepatnya, rumah mertua Dewi.

"Sing tenang Mbak Dewi. Anaknya dibawa masuk saja dulu. Agar kami bisa menjelaskan semua," jawab Pak RT. Meskipun pada kenyataannya hati wanita itu tak tenang. Mana mungkin ia bisa tenang sedangkan rumah sudah ada banyak warga yang tengah menunggu sesuatu.

Apakah mereka sedang menunggu suami Dewi? Tapi kemana Mas Veri? Sedari tadi pandangannya tak ditemui sosoknya. Padahal hari ini dia bekerja shift malam.

Seharusnya jam segini dia masih ada di rumah. Tapi kenapa saat ini tak ia dapati lelaki itu.

Suami Dewi bernama Veri Irawan bekerja menjadi satpam di sebuah badan pemerintahan. Belum terlalu lama dia bekerja disana. Kurang lebih dua tahunan. Itupun karena ada salah satu tetangga yang merekomendasikan.

Sebelumnya dia hanya bekerja serabutan. Segala macam pekerjaan ia lakukan selagi menghasilkan uang. Selama ini sebagian besar kebutuhan rumah tangga, Dewi yang mencukupinya. Karena melihat penghasilan Mas Veri yang tak seberapa. Yang hanya cukup untuk membayar beberapa cicilan. Termasuk cicilan motor dan handphone terbaru.

Sedangkan Dewi bekerja di pabrik lumayan terkenal di kota. Menjadi karyawan tetap dengan penghasilan lumayan besar.

Karena kami tinggal masih bersama mertua, membuat Dewi mau tak mau harus terlibat dari segala macam kebutuhan rumah tangga yang ada.

"Wi, ayo masuk dulu. Kasihan anakmu," pinta wanita tua yang telah melahirkannya itu.

Seketika lamunannya buyar. Dewi langsung bergegas masuk ke dalam rumah.

Ketika langkahnya memasuki ruang tamu, betapa terkejutnya Dewi. Melihat Ibu mertua dan juga Anis tengah duduk dengan mata sembab.

Ada apa ini? Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Anis dan juga Ibu menangis?

"Bu, ada apa tho ini? Jangan buat Dewi tambah bingung. Ada apa tho, Nis. Jelaskan pada Mbak, sebenarnya apa yang terjadi pada Mas Veri? Lantas kemana dia sekarang?" Dewi pandangi mereka silih berganti. Ibu mertua Dewi pun hanya diam tanpa mau menjawab.

Sedangkan Anis, dia sesekali menghapus jejak air matanya.

Ibu yang sedari tadi menggendong cucunya ikut berhenti di ruang tamu. Menatap besan dan juga Anis saling bergantian.

"Mbak Dewi bawa Arum masuk kamar dulu. Nanti Anis jelaskan semuanya." Anis akhirnya berbicara. Dengan perasaan tidak tenang segera Dewi mengajak Ibunya masuk ke dalam kamar. Meminta Ibu menidurkan Arum di ranjang.

"Nduk, kamu beneran tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi pada keluargamu?" tanya ibu penasaran.

"Dewi bener-bener Ndak tau, Bu. Dewi juga bingung. Lagian Ibu ditanya juga nggak mau jawab." Dewi menjatuhkan bobot tubuhnya di tepi ranjang. Menutupi Arum dengan selimut berwarna hijau bermotif bunga matahari.

"Wi, lantas suamimu kemana? Coba kamu telepon dulu! Siapa tahu dia bisa pulang ke rumah. Apa dia Gak tau kalau rumahnya sudah banyak orang?" Ibu berjalan mendekat. Lalu menjatuhkan bobot tubuhnya tepat disamping Dewi.

Segera diambil benda pipih yang masih tersimpan dalam tas. Mencari nomor bertuliskan Mas Veri. Berkali-kali Dewi menghubungi lelaki itu namun tak sekalipun ia angkat. Jangan-jangan Veri sudah berangkat kerja?

Diedarkan pandangannya pada rak berisi sepatu dan juga seragam yang sudah disiapkan tadi pagi. Masih pada tempatnya, berarti Mas Veri belum berangkat bekerja. Lantas kemana lelaki itu?

Astagfirullahaladzim, pikiran wanita itu semakin tak karuan. Ketika pesan maupun panggilan telepon darinya tak ia jawab maupun dibalas olehnya. Jangan-jangan Mas Veri sakit?

"Nduk, kita keluar. Kita tanya sama mertua kamu, sebenarnya ada apa ini? Tadi Ibu sekilas lihat bapak mertuamu tengah duduk di pojok teras. Seperti orang yang bersedih, dia hanya menunduk ketika Ibu sama kamu datang. Seakan-akan kok Bapakmu itu malu ya sama Ibu." Tak ada jawaban dari bibir itu. Dewi masih diam. Pikirannya menerawang jauh. Ah, ada apa denganmu Mas? Kenapa hati ini sepertinya gelisah tak tenang. Ucap Dewi dalam hati.

Ya, Tuhan. Jangan kau biarkan pikiran buruk terus saja menguasai ota* wanita itu.

"Wi, jangan mikir yang aneh-aneh. Istighfar, jangan sampai kamu punya pikiran buruk sama suamimu."

"Tapi, Bu. Lihat, banyak orang di rumah. Ada Pak RT juga, Ibu dan juga Anis terlihat menangis. Pikiran Dewi tak tenang, Bu. Ditambah Mas Veri di telepon dari tadi ndak mau angkat. Sebenarnya Mas Veri ini lagi ngapain sih, Bu?"

"Astagfirullahaladzim, Dewi. Kamu jangan mikir yang tidak-tidak. Berdoa saja semoga suamimu dalam kondisi sehat tanpa kurang suatu apapun."

Dewi menghela nafas panjang lalu membuangnya perlahan.

"Mbak Dewi." Anis terdengar menyebut nama kakak iparnya dari ruang tamu.

Dewi dan juga Ibu memang berada di kamar cukup lama. Dilirik jam di atas nakas, jarumnya menunjukan angka sembilan kurang.

"Tu dipanggil Anis. Ayo, Wi. Kita keluar," pinta Ibu sembari meraih tangan putrinya. Dewi pasrah saja mengikuti langkah Ibu berjalan menuju ruang tamu.

Terlihat Ibu mertua dan juga Anis duduk berdampingan. Kini Bapak mertuanya juga sudah ikut duduk bersama Pak RT.

Jantung Dewi berdegup tak beraturan. Entah apa yang mereka ingin sampaikan. Yang pasti Dewi harus siap mendengar kabar tentang Veri, suaminya apapun itu beritanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status