“Maaf Mbak, itu bukan tugasku. Lagi pula di rumah ini, kan ada sanyo ngapain Mbak nyuruh-nyurah aku. Kalau dulu aku masih tinggal di sini tidak apa-apa itu sebagai baktiku pada Ibu, tapi kalau sekarang jangan harap lagi aku mau,” tegasku. Mbak Lili melongo mendengar penuturanku. Dia hendak marah lagi, tapi aku buru-buru masuk rumah dan menutup pintu dapurku sedikit kuat biar mereka tahu aku pun bisa marah sama seperti mereka.“Kenapa, Dik?”“Itu Mas, Mbak-Mbak kamu seenak sendiri seperti ratu memerintahkan tugas pada dayangnya aku disuruh mereka menuhin semua bak dan ember di kamar mandi Ibu, memang dikira mereka enggak capek," aduku pada Mas Danu.“Syukurlah kalau kamu tegas pada mereka, Dik. Mas pun tidak mau mereka semena-mena padamu, karena saat ini Mas tidak bisa membelamu lebih dengan kondisi Mas yang begini,” ucap Mas Danu. Ah, kenapa aku jadi melow begini aku paling tidak bisa melihat suamiku bersedih.“Ssstt ... Mas jangan bilang begitu lagi ya, aku sebenarnya mau-mau saja me
🌸🌸🌸“Maaf juragan, kangkungnya belum ada, kata yang punya sawah tiga hari baru numbuh lagi tunasnya,” jawabku.“Memang itu kangkung bukan milik kamu?”“Bukan juragan, kami dapat dari ngambil di sawah tetangga,” jawabku tanpa melihat ke wajah juragan ikan. Entah kenapa aku merasa tidak enak hati.“Oh, ya, sudah tidak apa-apa, besok kalau sudah ada biar anak buah saya yang ke sini. Ini kamu mau ke mana?”“Oh, ini mau ke warung Wak Haji mau belanja bahan kue untuk jualan besok."“Jadi, selain jualan kangkung kamu juga jualan kue?” tanyanya.“Iya, benar juragan.”“Kue apa yang kamu jual?”“Donat dan bolu sarang semut.”“Hem, sepertinya enak. Kalau begitu saya mau pesan donatnya 100 biji sama bolu sarang semut ya 5 loyang, besok pagi jam 10 anak buah saya yang ambil ke sini.” Aku kaget mendengar pesanan Juragan Ikan. Aku sangat bahagia dan terharu.“Apa juragan? Sebanyak itu?” tanyaku tak percaya.“Iya, besok di rumahku akan ada pengajian anak-anak yatim-piatu jadi perlu kue banyak, ka
“Kenapa, Nak Ita, kok malah nangis? Kalau belum punya uang cukup enggak apa-apa kalau belum nyicil hutangnya. Wak, percaya sama kamu pasti kamu amanah orangnya,” tuturnya lagi.Kumenghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya perlahan. Aku mencoba membuang rasa sesak di dada.“Bukan itu, Wak. Aku sedang sedih aja, kenapa orang-orang terdekatku sangat membenciku padahal meskipun aku miskin aku tidak merepotkan mereka apa lagi meminta-minta pada mereka.”“Sabar, Nak. Namanya kembang hidup. Kalau tidak ada cobaan nanti kita tidak dewasa dan bijak menyikapi permasalahan kita ataupun menyikapi orang lain.”“Tapi, sampai kapan, Wak. Rasanya aku benar-benar hilang kesabaran ingin sekali aku menyantet mereka aja,” kataku frustasi.“Astagfirullah, nyebut, Nak. Enggak baik ah, ngomong begitu . Wak, percaya kalau kamu wanita kuat dan Sabar makanya hanya kamu yang dikasih ujian begini. Sabar, ya Nak.” Wak Haji mengelus-elus bahuku. Mentransfer kekutan.“Cerita ke Wak, ada apa sebenarny
Aku cukup lama berdiri di jalan depan rumah Mbak Desi. Anak remaja yang kutanya tadi sudah pergi begitu saja padahal aku belum selesai bertanya. Seorang ibu keluar lagi membawa besek ini kesempatanku untuk bertanya.“Ibu, permisi apa acara di dalam sudah selesai?" tanyaku sedikit keki.“Alhamdulillah, sudah Mbak. Acaranya kan, memang dari tadi pagi dan Alhamdulillah berjalan lancar. Ada apa ya, Mbak?”“Em ... a—ku. Maksudnya acara apa ya, Bu?” kataku enggak jelas. Duh, jadi salah tingkah gini. Ibu itu melihatku curiga kemudian tersenyum lebar.“Jadi, ini acara aqiqah anak Mbak Desi dan sekaligus nikahan dia.”“Memang Mbak Desi kapan melahirkannya kemarin kami bertemu masih hamil.”“Kemarin sore lahirannya di Bidan Tuti. Gangsar gitu bayinya pinter. Eh, dia itu kan, enggk punya suami alias hamil di luar nikah. Terus pagi tadi langsung aqiqahan anaknya nah, siang tadi sehabis Zuhur sekaligus nikahan,” terang ibu ini. Duh, sepertinya aku salah orang untuk bertanya sepertinya ibu ini suka
Kutarik nafas panjang menghirup udara sebanyak-banyaknya. Aku seperti habis lari kiloan meter nafasku tersengal-sengal, capek sekali dari tadi berontak, tapi tidak dihiraukan.“Duh, kan bayinya nangis. Kalian si, bar-bar.”“Eh, iya. Maaf ya, Mbak.” Aku kewalahan menenangkan Kia.“Sini Mbak, duduk dulu.” Aku dibawa ke teras rumah tetangga Mbak Desi. Rumahnya tepat di samping rumah Mbak Desi hanya berjarak lima langkah.Kususui Kia, dia lahap sekali minumnya. Aku duduk dikelilingi ibu-ibu kepo ini kuhitung jumlahnya ada lima orang pantas saja aku tidak bisa mengalahkan tenaga mereka.Kuperhatikan rumah Mbak Desi masih ramai orang, tapi di dalam. Terdengar riuh suasana bahagia tampak terlihat. Mereka memutar musik dengan suara keras pantas saja tidak mendengar keributan di luar. Kalau dengar sudah pasti Mas Eko menghampiriku.“Mbak, enggak usah tengok-tengok begitu. Mending langsung masuk aja, yuk! Kami temani,” ucap ibu yang tadi aku tanyai.Aku diam saja masih bingung haruskah aku masu
🌸🌸🌸“Suamimu itu ke mana, Li. Jarang sekali pulang ini sudah dua hari malah enggak pulang, gimana kamu mau punya anak kalau ditinggal-tinggal terus begitu?” ucap ibu mertuaku. Aku sedang mandi sore jadi dengar obrolan mereka.“Kerjalah, Bu. Tadi pagi aku sudah ditransfer sama Mas Eko banyak nanti aku mau beli perhiasan,” jawab Mbak Lili terdengar sangat senang.Aku jadi kasihan padanya apa aku jujur saja perihal pernikahan Mas Eko, tapi apa mereka akan percaya padaku.“Ibu, kalau anak menantu lagi kerja itu enggak usah ditanyain terus. Beruntung loh, Lili dapat suami pekerja keras dari pada anak Ibu itu si Danu udah pengangguran sekarang cacat pula,” sahut Mbak Asih.“Ibu punya firasat yang tidak enak.”“Itu Cuma perasaan Ibu aja lagi pula nih, si Lili itu cantik Bu sedang Eko jelek mana mungkin dia mau macam-macam,” kata Mbak Asih lagi.“Duh, Ibu, aku juga jadi merasa tidak enak ini,” sahut Mbak Lili.“Nah, kan, udahlah kalian ini enggak usah neting mulu, mending besok kita shoppi
“Semoga, ya, Dik. Allah beri kita rezeki banyak biar bisa pasang listrik jadi kamu dan juga Kia enggak kegelapan gini.”“Aamiin, Mas, semoga Allah SWT kabulkan do’a kita.”“Gimana kakinya apa sudah banyak perubahan, Mas?”“Alhamdulillah, Dik. Sudah semakin enteng untuk digerakkan. Lihatlah Mas, jalannya sudah semakin lancar, kan?” jawab Mas Danu bahagia dia mempraktikkan jalannya di depanku.Aku tak kuasa menahan haru, kupeluk dan kucium suamiku semoga saja Mas Danu cepat sembuh dengan begitu semoga kehidupan kami berubah jadi lebih baik.“Oh, iya, Mas, duduk sini ada yang ingin aku sampaikan,” kataku sedikit berbisik takut ada yang dengar.“Kamu lucu sekali, kenapa harus bisik-bisik begitu?” Mas Danu menjawil hidungku kemudian duduk di dekatku.“Aku bingung musti dari mana ngomongnya.”“Lah, tinggal ngomong aja, Mas siap jadi pendengar setia.”“Itu em ... Mas Eko tadi— itu, anu ... Mas Eko tadi sudah melangsungkan pernikahan sirinya dengan wanita yang aku ceritakan kemarin, Mas,” kat
🌸🌸🌸“Mas, kamu mau apa? Sudah tidak perlu diladeni orang miskin ini ayo, lebih baik kita cepat berangkat nanti keburu siang!” ajak Mbak Asih saat Mas Roni mau menghampiriku dengan kepalan tangan seperti hendak meninjuku.Aku pun gegas meninggalkan mereka berdua aku takut mereka khilaf dan mencelakaiku.Aku bergidik ngeri membayangkan mereka berbuat nekat ini masih pagi tidak akan ada yang menolongku apa lagi lewat kebun sawit begini.Meskipun aku besar dan dilahirkan dari keluarga miskin, tidak lantas kami mencelakai dan merugikan saudara kandung sendiri. Ibu dan bapak justru mengajarkan kami untuk saling welas asih.Ini berbeda sekali dengan keluarga suamiku walaupun bukan saudara kandung, tapi mereka dibesarkan bersama dalam satu asuhan apa lagi Mas Danu itu sangat sayang pada ke dua kakaknya dan juga pekerja keras.Sibuk dengan pikiranku sendiri tidak terasa sudah sampai warung Wak Haji. Alhamdulillah Wak Haji membayar kueku dulu padahal aku tidak memintanya dan takut tidak hab