“Baiklah, Pak Danu setelah kami amati tanah dan bangunan ini kami hanya bisa mengeluarkan pinjaman 30 juta rupiah dengan ansuran 980 ribu rupiah per bulan dan bunga 2%,” terang pihak Bank.Aku dan Mas Danu melongo. Tanah selebar ini hampir satu hektar cuma dihargai segitu dan aku yakin Mbak Asih tidak akan mampu membayarnya.“Nah, silakan Bapak tanda tangan di sini, kami juga minta foto kopi KK dan KTP Bapak dan juga istri untuk melengkapi berkas,” ucap yang satunya.“Maaf Bapak-Bapak saya tidak akan tanda tangan karena saya tidak mau menggadaikan tanah ini,” jawab Mas Danu pada akhirnya. Aku sangat lega Mas Danu bisa tegas begitu.Ke dua orang pihak Bank lalu melihat ke Mbak Asih. Senyuman merekah yang sedari tadi terukir di bibir bergincu Mbak Asih tiba-tiba sirna berganti mengerucut dan siap meledak.“Kalau enggak pakai tanda tangan Danu apa tidak bisa, Pak?” tanya Mbak Asih dia terlihat sangat memaksa untuk dapat pinjaman itu.“Maaf Bu, kami tidak bisa memberi karena di sertifikat
“Maksudmu apa, Dan! Kok, makin enggak jelas ucapanmu itu!” tanya Mbak Asih matanya mulai berkaca-kaca.“Tidak perlu aku jelaskan harusnya Mbak paham,” jawab Mas Danu santai.“Dasar tidak punya otak orang ngomong apa nyambungnya apa! Ingat ya, Dan selama ini kamu hidup dengan siapa? Harusnya kamu balas budi!” teriak Mbak Asih mulai emosi.“Tidak cukupkah baktiku selama ini? Aku rela kerja banting tulang siang malam demi Ibu, Mbak Lili, dan Mbak Asih. Kalian tidak pernah menganggap aku ada dan tidak pernah mengucapkan terima kasih yang ada semena-mena padaku juga pada istriku.” Mas Danu tidak kalah emosi. Aku memegang dada Mas Danu dan mengelus-elusnya agar emosinya mereda.“Oh, jadi kamu sekarang hitung-hitungan gitu!” Mbak Asih makin emosi.“Mbak duluan yang main hitung-hitungan padaku. Sudahlah Mbak aku tidak mau memperpanjang urusan ini, silakan Mbak ke luar dari rumahku ini. Urusan kita selesai.”“Berani sekali kamu mengusirku! Rumah jelek begini saja kamu sombong! Benar-benar kete
“Maaf Pak, ini uangnya kebanyakan itu kangkungnya hanya 100 ikat saja,” kataku mengembalikan dua lembar padanya.“Enggak apa-apa, Mbak, ini amanah dari juragan ikan. Tolong diterima saja.”“Tapi, Pak, ini terlalu banyak,” kataku lagi.“Tidak apa-apa ini pemberian juragan ikan kalau tidak diterima malahan saya yang dimarah. Kata juragan ikan kalau kangkung sudah siap lagi kabari saja."“Alhamdulillah.” Aku dan Mas Danu bersamaan mengucap syukur.“Sampaikan ucapan terima kasih kami pada juragan ikan, ya, Pak,” ucap Mas Danu sebelum anak buah juragan ikan pergi meninggalkan rumah kami.Malamnya terjadi keributan di rumah ibu aku yang baru pulang dari warung dicegat Mas Roni lalu diseret ke rumah ibu.“Heh, Ita cepetan ngaku, kamu kan, yang ngambil duit Lili!” teriak Mas Roni.Aku tentu saja mengelak karena memang bukan aku yang ambil.“Kami tadi lihat sendiri kamu pas mau antar kue pagi-pagi,” sahut Mbak Asih.“Demi apa pun bukan aku yang ambil uang Mbak Lili. Langit dan bumi yang jadi s
🌸🌸🌸Aku pulang dengan terburu-buru karena suara Kia terdengar sampai kebun samping rumah ibu.Aku kaget karena Mas Danu terjatuh dan tidak bisa bangun dia sedang merangkak mencari pegangan untuk berdiri sedang Kia sudah menangis sampai suaranya serak untungnya Kia tidur di bawah. Kalau tidur di ranjang dia bisa jatuh.“Ya Allah, Mas!” Aku kesulitan menopang berat badan Mas Danu. Susah payah aku mengangkatnya untuk berdiri.“Kenapa Mas, bisa sampai jatuh begini? Lihat makin sakit kan, kakinya?” tanyaku.“Tadi waktu kamu ke warung, Mas Roni mencarimu katanya kamu mau dibawa untuk disidang karena sudah mengambil uang Mbak Lili. Kamu tidak ada di rumah makanya dia giniin Mas,” jawab Mas Danu dia sesekali meringis kesakitan.“Astaghfirullah, Kia! Bentar ya, Mas, aku angkat Kia dulu.” Kia anakku yang unik dia akan berhenti menangis hanya dengan mendengar suaraku makanya tadi fokus menolong Mas Danu dulu."Jahat sekali Mas Roni, sampai tega menyakitimu begitu, Mas," ucapku sedih."Besok
“Lebih baik kita tanyakan langsung, Mas. Aku khawatir kejadian ini akan berulang lagi,” kataku memberi solusi.“Kamu benar, nanti kita tanyakan pada Ibu, ya. Sekalian Mas mau tanya sertifikat kebun karet milik Kakek.”“Loh, memang punya?” tanyaku terkejut.“Iya, punya dulu sewaktu Kakek masih hidup memberikannya pada Mas, lalu Mas titipkan pada Ibu.”“Sudah berapa lama, Mas?”“Sudah dari Mas umur 17 tahun, Dik. Waktu itu Mas ikut merantau tetangga ke pulau seberang karena rumah ini dijadikan kandang sapi maka semua berkas-berkas penting dipindahkan ke rumah Ibu.”“MasyaAllah, Mas, itu sudah lama sekali. Sekarang aja umur Mas sudah 28 tahun. Semoga saja masih, ya, Mas.”“Semoga, Dik. Rencananya mau Mas jual separo. Untuk modal kita dagang dan dandan gubuk kita ini, Mas sudah tidak tahan dan juga kasihan padamu selalu saja dihina di mana-mana.”“Terima kasih, Mas. Semoga masih rezeki kita, ya?” jawabku meski aku ragu sertifikat itu masih ada atau tidak.Aku sedang membereskan tanaman-ta
“Aamiin ...” sahut Mas Danu.“Kamu rupanya sudah misah, Ta?” tanya Mbak Nur, kakakku nomor dua.“Alhamdulillah sudah, Mbak. Belajar ceker sendiri ini,” jawabku.“Kok, Mbak Nur tahu sih, kalau Ita sudah misah?” tanya Mbak Susi penasaran.“Tahulah, Sus. Lihat saja itu background rumah Ita geribik sama papan kalau dia masih di rumah mertuanya kan, bagus temboknya warna hijau,” jawab Mbak Nur sambil tergelak disambut Mbak Susi dan Mbak Ning yang juga ikut tertawa. Entah mengapa aku tersentil dengan ucapan Mbak Nur. Kulihat senyum ibu juga langsung pudar.“Eh, iya, Ibu masak apa?” tanya Mbak Ning.“Ibu enggak masak, Nak, tadi dapat punjungan dua rantang,” jawab ibu sambil membenarkan posisi duduknya.“Banyak amat, Bu. Lempar sini satu,” pinta Mbak Nur.“Mau untuk apa, Mbak? Ujung-ujungnya juga enggak kamu makan mubazir aja, mending kasih ke Ita aja dia pasti hari ini masak daun singkong,” timpal Mbak Susi.“He, iya sudah macam kambing saja, ya? Subur nanti kamu Ta,” timpal Mbak Susi. Kem
“Mas, maaf ya, tadi saudara-saudaraku kelewatan,” ucapku pada Mas Danu dan aku berusaha untuk tersenyum semanis mungkin, aku tahu rasanya dikucilkan karena aku pun merasakannya.“Sudah biasa, Dik. Kamu enggak usah merasa tidak enak begitu ini kan, bukan salahmu? Sini peluk Mas dulu.” Aku tahu meski bibir Mas Danu berucap demikian, tapi tidak dengan hatinya.Dipeluk kekasih halalku rasanya nyaman sekali, tidak mengapa aku miskin harta asalkan kami saling sayang dan melengkapi semoga suatu hari nanti aku bisa seperti mereka kaya harta.“Woi, asyik sekali siang-siang sayang-sayangan. Kerja Dan, usaha tuh, gimana caranya biar kakimu sembuh terus kerja dapat duit banyak. Ingat hutangmu sama kami masih ada,” ucap Wak Toni tiba-tiba dia sudah di ambang pintu depan.Aku dan Mas Danu saling berpandangan tak mengerti kapan kami berhutang.“Maaf Wak, kalau masuk rumah apa lagi rumah orang lain sebaiknya salam terlebih dahulu biar setannya enggak ikut masuk,” kataku kesal sekali.“Beh, sudah bera
“Dik ... bangun sudah azan asar,” panggilan Mas Danu samar kudengar, tapi entah kenapa badanku susah sekali untuk bangun.Mataku susah terbuka padahal aku sudah berusaha untuk melek, tangisan Kia juga terdengar. Perasaanku ada yang memegangi tangan dan kakiku dadaku juga sesak berasa ditindih beban berat puluhan kilo sampai sesak nafasku.Sekelebat bayangan hitam terbang dari pintu tengah ke pintu depan kemudian terbang lagi ke arahku. Lalu hilang. Kakiku seketika seperti ada yang menyayat sakit sekali.Sekali lagi mendengar panggilan Mas Danu, tapi aku tidak bisa terbangun aku sudah berusaha minta tolong sama Mas Danu, tapi tenggorokanku tercekat.Aku pasrah jika harus pergi, tapi tangisan Kia menyadarkanku. Allah ... Allah. Perlahan rasa sesak di dada berkurang.Allah ... Allah. Aku tidak bisa mengucapkan kata-kata lain selain Allah lalu kubaca ayat kursi dalam hati, sampai kalimat ... wasi’akurshiyuhussamawati walarldi ... sakit di sekujur tubuhmu makin terasa. Aku ulangi sampai t