Memerlukan waktu sekitar satu jam menempuh perjalan menuju tempat yang dipinta Risyad. Hujan yang terlalu lebat sedikit mengambat perjalanan. Untung saja kesabaran Andara seluas jalanan. Jika tidak, mungkin sudah lebih dulu Andara mengumpat habis-habisan ditengah guyuran air hujan. Sesekali Andara melirik keadaan Risyad yang kini terkapar. Matanya sesekali terbuka dan tertutup. Di luar hujan, tapi Risyad justru ikut basah oleh keringatnya sendiri. Melihat laki-laki itu tak berdaya seperti saat ini, entah kenapa membuat Andara mendadak kesal tiba-tiba. Ada perasaan tidak tega muncul. Andara berpikir itu adalah efek naluriah seorang manusia. Hanya Shama saja yang tidak bisa berempati pada manusia lain bahkan tega memperlakukan mereka persis binatang. Andara tentu tidak tega berbuat seperti itu. "Ini tempatnya?" tanya Andara saat peta di navigasi mobil sudah berhenti. Dia melirik ke luar jendela, dan menemukan rumah minimalis berwana cokelat kering. Suara klik pintu mobil menginterupsi
Andara hanya bisa membisu. Dia menatap kosong isi cangkir yang menipis, larut akan kisah Risyad yang saat ini sedang diulas oleh Sasa. "Risyad itu tipe laki-laki yang ambisius. Dia tidak pernah mundur jika sudah menginginkan suatu hal. Ada fase di mana dia lebih memilih berontak saat ketidakadilan sedang dia terima. Dan ada fase di mana dia tidak segan-segan meminta maaf saat dia berbuat salah. Begitulah Risyad dulu." Mata Andara berpindah kini menatap Sasa. "Dulu?" "Eum... Dulu. Itu sifatnya sebelum ibunya meninggal dan ayahnya gila kekuasaan." "Terus, gimana ceritanya Risyad sama Shama bisa menikah? Sejauh yang gue liat, Shama sama sekali nggak tertarik sama Risyad. Tapi kenapa tetap mau mempertahankan pernikahannya? Kan Shama nggak cinta.""Shama itu anak dari keluarga ternama yang sempat bergandengan dengan nama keluarga Risyad Al Maktoum. Ayahnya sudah mengincar Shama jauh sebelum kebangkrutan perusahaan orangtua Shama terjadi. Seolah melempar satu mangga tapi yang jatuh justr
Mimpi tadi malam akhirnya menguap. Kesadaran mulai didapati Risyad. Matanya perlahan terjaga, berhasil memindai langit-langit kamar yang serasa tidak asing. Perlahan pandangannya mulai menyeluruh. Dan sadar, kalau kini dia berada di dalam kamar yang biasa dia singgahi jika penyakitnya kambuh.Sembari mengingat lagi saat-saat dia bisa datang ke rumah Sasa ini, Risyad membangunkan tubuhnya kini duduk dengan kedua kakinya menyentuh lantai. Laki-laki berbusana ala pasien Rumah sakit itu memijat pelipisnya, tidak bisa lupa akan kebaikan Andara yang sudah berulang kali membantunya. Tadinya Andara ada dalam bayangan Risyad, tapi hitungan detik pria itu kini bisa melihat sosok jelita itu yang baru saja masuk tanpa mengetuk pintu. Kebiasaan Andara yang itu cukup buruk! "Oi, udah sadar lu? Kirain lu masih mimpi," seru Andara begitu masuk. Risyad hanya bergeming memandangi pahatan wajah Andara yang baginya terlalu santai. Seperti Andara itu tidak punya masalah yang harus membuat mimik wajahnya
Dia menatap Risyad yang masih terkapar dengan wajah yang memerah padam, sepertinya marah. Sementara Risyad, dia hanya bisa menahan napas dengan emosi yang bergejolak hebat. "Kalau begitu cepat bangun. Kenapa masih memeluk saya!" Kontan tubuh itu menegak, bangun. Andara kembali duduk. Disusul Risyad yang membangunkan diri dengan gaya sit up. Begitu ringan cara Risyad mengangkat tubuh yang kenyataannya isi tubuhnya sepadat itu. "Puas kamu? Ada apa denganmu? Kenapa suka sekali rasanya kamu menggoda saya? Kamu tertarik sama saya?" serang Risyad kini tak peduli bagaimana tanggapan Andara. "Wah... Mulai nggak enak tuh bibir kalau ngomong." "Tidak perlu basa-basi! Katakan yang sejujurnya. Kamu menyukai saya?" Risyad tak mau mengalah kali ini. Matanya menatap kukuh, serius. Sial! Tatapan Risyad begitu tajam. Setelah suara bariton itu, juga tatapan Risyad menjadi hal yang membuat Andara mendadak kicep. Dia diam seribu bahasa, tak punya keberanian. "Kan gue udah bila–”Tanpa sadar Andara
"Aku sudah membiarkan kalian menginap tapi seperti ini balasan kalian!?"Sasa menggertak kedua orang di depannya yang sudah duduk di tepi ranjang menghadap padanya. Sasa sendiri duduk di kursi dengan wajah garang menatap tajam. "Jangan salahkan aku. Dia yang melakukan semua ini," sanggah Risyad, membela diri. Andara segera menoleh cepat, tidak terima. "Pinter banget lu ngeles!""Kamu yang narik tangan saya tadi!""Ya salah lu sendiri, kenapa lemah banget jadi lakik. Nggak guna banget!" sungut Andara. "Diam!" Begitu Sasa memekik, keduanya kompak terkejut langsung menatap si empunya suara. Diam seribu bahasa lebih berguna saat ini bagi dia orang itu. Benar apa kata Sasa, dia sudah memberikan tempat namun kamarnya di rusak begitu saja. "Aku tidak akan membiarkan kalian pergi sebelum kalian membersihkan tempat ini seperti semula!" Sasa melanjutkan. "Sasa jangan berlebihan. Aku akan panggil orang—”"Dengan tangan sendiri! Aku tidak mengizinkan orang asing masuk ke dalam rumahku! Kuin
"Kapan kau kembali?"Pertanyaan Risyad itu buru-buru menguapkan lamunan Sasa yang mengantar kepalanya menoleh dari roti ditangannya. Seonggok daging utuh itu berjalan mendekat dengan tampilan yang sudah rapi. Sasa memang menyiapkan beberapa pakaian ganti, mengingat Risyad selalu datang tanpa kabar. "Baru saja. Kamarku sudah rapi lagi?" jawab Sasa sambil meletakkan satu roti di piring. "Lebih rapi dari pertama aku datang." Sasa mengangguk-angguk kecil. Risyad sudah duduk di kursi di depannya. Tak mendapati kehadiran Andara, Sasa lantas bertanya pada sosok jangkung yang saat ini mulai menyantap roti buatannya."Mana Andara? Kau tidak berbuat hal aneh padanya, kan? Kau....""Dia sedang mandi. Kenapa kau ini? Kepalamu kenapa suka sekali berpikiran aneh akhir-akhir ini?" cela Risyad secepatnya saat Sasa akan mulai melontarkan pikiran buruknya. Sayang, jawaban Risyad tadi justru membuat senyum kecil dibibir Sasa terbit. Tingkah usil itu tak bisa tertutupi sebab rasa bahagia yang muncul
Menyadari hening yang datang mendadak, membuat Andara melirik Sasa dan Risyad bergantian. Dua orang itu membisu dengan tatap yang terpancar rasa ... kasihan. Salah satu alasan kenapa Andara lebih suka memendam luka masa lalunya. Dia tidak ingin orang-orang mendadak merasa kalau dirinya adalah manusia paling menyedihkan hingga tidak bisa 'bertarung' di jalan yang sama. "Biasa aja, dong! Kayak gue orang paling tersakiti banget di dunia ini!" ujarnya membuyarkan tatap dua orang itu. "Maaf, Dar. Aku tidak tahu kalau—”"Kalau hidup gue penuh derita dan menyedihkan?" Andara melanjutkan. Tahu maksud Sasa. "Tidak! Jangan salah paham dulu. Aku hanya tidak tahu kalau kau sehebat itu. Dari caramu menikmati hidup, seolah kamu adalah orang yang tidak punya masalah. Kamu terlihat baik-baik saja dari yang seharusnya. Aku jadi malu. Aku terus berupaya besar-besaran menegaskan kalau aku adalah orang paling bahagia tapi tetap saja aku mengeluh. Aku tetap meratapi kenyataan bahwa aku adalah manusia
Dua tahun sudah waktu yang dihabiskan Risyad untuk mengejar Shama dan membuat istrinya itu bisa mendapatkan apa yang dia mau. Sejak Shama menjadi bagian dari hidupnya, Risyad seolah takut kehilangan hingga berakhir tidak protes bagaimana pun perlakuan yang dia dapatkan. Dan kabar yang baru saja diterima, memaksanya mengatakan pada diri kalau kebahagiaan sudah tiba didepan mata. Jika Shama sudah mendapatkan apa yang dia mau, maka Risyad pun berpikir kalau istrinya itu akan mulai membuka hati. Bukankah posisi itu yang terus Shama pinta pada Risyad hingga berakhir terus menghujaninya dengan tatap tajam dan peringatan?Ayahnya juga sudah setuju tanpa persyaratan yang kemarin. Hal mana lagi yang harus memaksa Risyad untuk terus berpikir? Sekitar lima belas menit Risyad menunggu di dalam mobil. Dia sudah tidak sabar, tapi Andara tak kunjung datang. Kesabaran yang setipis benang lima ribu tiga itu pun habis hingga memaksanya menekan klakson dua kali. Dalam hitungan detik muncullah profi