"Bagaimana kalau kita memperluas Mextech Grup dengan mengambil salah satu proyek yang sedang banyak ditawarkan? Mungkin saya rasa tidak akan merugikan kita dalam aspek mana pun."
"Tapi bukankah ada pihak ketiga yang akan ikut ambil alih dalam pengambilan proyek ini? Saya banyak membaca laporan dari beberapa dewan direksi, bahwa dana yang mereka tawarkan itu juga cukup fantastis. Apa sebaiknya kita tidak perlu gegabah? Juga proyek ini tidak terlalu dibutuhkan oleh Mextech G, hanya akan membuang-buang waktu menurut saya pribadi.""Itu benar. Pihak ketiga itu berasal dari pasar-pasar yang sudah luas. Saya sedang tidak berniat menjangkau seberapa luas dan berpengaruhnya Mextech saat ini, hanya saja, grup-grup dari pihak ketiga itu bukan tanding untuk kita. Saya rasa, abaikan saja untuk yang ini. Bagaimana kalau kita fokus untuk membesarkan pasar dalam lokal saja? Seperti memperbanyak toko dan juga merekrut beberapa desainer terkenal untuk membentuk lagi brand-brand yang berkualitas."Shama menatap lamat layar monitor didepannya sambil mengangguk-angguk samar menyimak pembicaraan rekan bisnisnya. Dalam kepalanya ada banyak ide untuk hal-hal baru, hanya saja mungkin sudah cukup sampai di sini untuk hari ini. Menurutnya membahas masalah yang berat seperti ini, lebih baik mendapati kepala-kepala yang segar."Baiklah, kali ini aku akan menurutimu," kata Shama pada rekannya yang baru saja mengungkapkan pendapat. "Kita sudahi rapat ini sampai di sini saja. Saya akan mengabari untuk pertemuan selanjutnya. Rapat boleh dibubarkan."Ruangan pertemuan orang-orang penting itu akhirnya berangsur kosong. Kursi-kursi clinton mewah itu akhirnya kehilangan beban. Namun, Shama yang baru saja membubarkan rapat justru dia yang belum beranjak dari tempat. Masih ada yang mengganjal dalam kepalanya tentang pembicaraan yang mereka bahas tadi.Bagi Shama, melebar dan meroketnya perusahaan yang dia pimpin adalah impian dan juga tujuannya. Akan sangat terbebani bagi kepalanya, jika dia menemukan satu pesaing saja yang bisa melebihi perusahaanya yang diberi nama Mextech Grup tersebut.Saat banyak hal-hal yang sedang membakar kepala Shama, tiba-tiba saja getaran dari telepon genggamnya mengajak sepasang bola matanya untuk beralih. Benda pipih itu bergetar seolah bisa berjalan sendiri diatas meja. Shama segera meraih benda persegi tersebut, guna melihat siapa yang sedang menghubunginya.'Ada pertemuan di Intext pukul delapan malam. Ajak Risyad, dan jangan lupa bahwa pertemuan ini penting untuk Mextech. Jadi pastikan kalian terlihat baik.'Panggilan itu langsung saja terputus setelah ucapan dari sosok di seberang sana terlontar. Shama yakin, ini bukan tentang Mextech. Tujuan pertemuan ini pasti hanya untuk mendikte pernikahannya yang belum juga dikarunia anak dan ini sudah menjadi kebiasaan yang tak sudah-sudah. Dan Shama yakin, yang menyinggung soal ini masih saja ayah mertuanya, pemimpin Intext.Intext properties adalah salah satu perusahaan pengembang properti yang berbasis di Dubai. Dan Intext juga sudah merupakan salah satu perusahaan real estate terbesar di dunia. Juga jangan lupa, kalau pemimpin Intext itu adalah mertuanya, alias ayah Risyad.Shama segera melempar pelan ponsel ke atas meja. Suasana hatinya tiba-tiba saja menurun drastis. Baru saja dia akan menyibukkan diri dengan mencari siapa pihak ketiga yang hendak bersaing dengannya, justru kepalanya langsung dipecahkan oleh kabar pertemuan-pertemuan tidak penting yang baru saja diterimanya.**Dubai 27 AprilSepasang bola mata yang legam terlihat berbinar usai menyisir pemandangan kota yang baru saja bertemu tatapnya. Binar kekaguman begitu terpancar hingga membuat mulutnya ikut melebar. Bangunan pencakar langit yang tidak lagi asing di setiap jalan yang dilewati, menjadi salah satu wujud dari takjubnya."Gila, ini negara, Cok? Keren banget, anjai! Wuiii... gedung-gedungnya tinggi-tinggi bat, udah kayak harapan orangtua," gumam Andara mengekspresikan kekagumannya.Risyad hanya bisa mendengar decak kagum Andara. Sepasang iris mata dengan goresan keemasan itu difokuskan pada layar ponsel yang sedari tadi bergetar. Ada panggilan masuk sudah lebih dari empat kali. Dilayar ponsel terpatri nama ayahnya yang Risyad simpan dengan nama 'Pimpinan'."Halo," ucap Risyad, akhirnya menjawab panggilan. "Ada apa, Ayah?""Di mana kau? Kenapa begitu lama hanya untuk menjawab telepon? Sesibuk itu sampai tidak sempat menjawab panggilan dari Ayah?" Suara bariton khas orang tua itu lolos ke dalam telinga Risyad."Aku sedang ada perjalanan bisnis kemarin. Pagi ini aku baru pulang. Aku sedang dalam perjalanan, Ayah. Maaf tadi aku tidak langsung menjawab panggilanmu. Ponselku masih mode diam," kilahnya, tidak ingin memperpanjang."Baiklah, kalau begitu. Ayah hanya ingin memberitahukan padamu kalau nanti malam ada pertemuan. Kau dan istrimu harus benar-benar datang. Ini bukan hanya pertemuan biasa. Ada banyak rekan-rekan sejawat Ayah yang akan hadir. Jadi Ayah minta, tolong menjadi pasangan yang baik malam nanti. Apa kau paham?"Risyad memejamkan matanya sekilas, lalu mengiyakan sambil mengangguk walau sang ayah tidak akan bisa melihat itu."Baiklah, Ayah. Terimakasih sudah memberi tahuku. Aku akan datang bersama Shama," jawabnya, menyetujui."Drescode warna—”"Wuii... ganteng banget, Cok! Bang, lima puluh satu kali main!"Ucapan pimpinan Intext itu terhenti saat suara melengking Andara menginterupsi. Sama halnya dengan orang yang ada dibalik telepon, Risyad juga ikut dibuat kaget."Sedang ada di mana kau, Risyad? Siapa itu?" tanya sang Ayah."Ah ... itu suara dari ponsel, Ayah. Aku tidak sengaja mendengarkan akun-akun gosip. Maaf," kilah Ramon, memberikan alasan."Baiklah. Jangan lupa, nanti malam pakai drescode warna hitam. Ingat?""Baik, Ayah."Begitu suara panggilan terputus, Risyad segera menarik ponsel dari daun telinga. Saat suara Risyad sudah tidak terdengar, detik itu juga Andara memutar kepala untuk menatap laki-laki itu."Udah boleh ngomong belum?" tanyanya. Risyad tadi sempat mengancam Andara untuk tidak bersuara."Diam dan jangan bertingkah! Saya sebenarnya jijik melihat perempuan yang menyukai perhatian kosong laki-laki. Benar-benar tidak tahu malu," cibirnya, pedas."Gilak ya. Lu makan pake apa sih? kenapa tiap lu ngomong berasa pedes banget kaya omongan tetangga," cerosos Andara. Tubuhnya kembali diposisikan ke arah sebelum, menghadap jalan."Kita akan langsung ke rumah saya. Sampai di sana, bersikaplah seperti apa yang sudah kita sepakati. Apa kau mengerti?" ingatkan Risyad lagi."Udah deh, lu diam aja. Udah kayak guru TK, ngingetin mulu. Gue yang engap dengernya, sumpah dah!" sahutnya malah sewot.Risyad pun hanya bisa memutar bola matanya merasa jengah. Jika saja tidak ingin membuat sang istri menjadi miliknya, mungkin gadis dengan lidah liar itu sudah dihempas jauh olehnya. Tapi mau bagaimana? Risyad butuh Andara. Dan entah kenapa, Risyad sangat yakin kalau Andara mampu membuat Shama cemburu hingga jatuh cinta padanya. Walau pun saat ini Risyad sudah mulai terpengaruh kalau kehadiran Andara hanya akan menjadi petaka untuknya.Pertemuan yang sudah diagendakan oleh pimpinan Intext akhirnya berlangsung. Sesuai apa katanya, pertemuan ini akan mengundang beberapa rekan bisnis yang sudah tidak asing lagi diranahnya. Juga tentang anak dan menantunya yang harus turut ikut menghadiri. Entah apa sebenarnya maksud dan tujuan pertemuan ini, yang pastinya, laki-laki berusia lanjut itu ingin memberikan sesuatu yang dianggap ancaman lebih pada orang yang hendak dia inginkan kejelasannya. "Bagaimana, apa bisa kita mulai acara pertemuan ini?" tanya salah satu rekan yang hadir. Salah satu owner grup yang beken diranahnya."Tentu saja. Semuanya sudah hadir, silakan berikan beberapa statment kalian," jawab Lukas Enembe, pimpinan Intext. Sementara orang-orang sedang fokus pada acara pertemuan yang terasa sangat intim dan lekat akan pembahasan yang serius, di sisi lain ada dua orang yang sedang menebak-nebak begitu keras, apa sebenarnya yang hendak direncakan oleh Lukas lagi. Risyad dan Shama sama-sama terlihat sedang berusa
"Hal pertama yang harus lu lakuin! Jangan bujuk istri lu apa pun yang terjadi!" "Kamu sudah gila? Bagaimana mungkin saya tidak membujuk istri saya. Dia itu perempuan yang baik dan ada banyak orang yang hendak menjatuhkannya. Mana bisa saya hanya diam saja," protes Risyad, tidak suka statment Andara. Andara lagi-lagi membuang napas frustrasi. Di dalam kamar yang cukup luas ini, dia dan si pria kaya sedang membahas rencana yang akan mereka lakukan. Namun, Andara selalu saja dibuat geram akan kebodohan natural dari Risyad. "Lu tau nggak, kenapa kita dipertemukan sama Tuhan?" tanya Andara. "Kita tidak dipertemukan! Saya yang mencari kamu," jawab Risyad, menentang. "Ya lu emang cari, tapi lu mana tau yang bakalan lu dapatin itu gue. Bisa aja launtie lain," kukuh Andara. Risyad yang sedang duduk di kursi satu orang di depannya hanya menghela napas. Tampaknya masih terbebani akan keadaan Shama yang marah. Demi membuat kepalanya tenang, Risyad pun membiarkan Andara melanjutkan kalimatnya
Risyad hanya ingin Shama membalas cintanya. Dia tidak peduli meski seberapa buruk kini perempuan itu memperlakukannya, yang terpenting adalah, Shama tahu dan sadar bahwa cinta Risyad hanyalah untuknya seorang. Sebelum bertemu dengan Andara, tujuan awal Risyad mengunjungi Indonesia hanyalah sebatas perjalanan bisnis. Namun, usai pertemuan dengan beberapa rekan di sana, banyak teman yang mengusulkan pada Risyad untuk mencoba hal baru yang akan menentukan apakah Shama bisa menerimanya atau tidak.Dan cara itu adalah, mencari gadis yang rela dijadikan kelinci percobaan. Perempuan yang kastanya lebih rendah dari Shama. Gunanya agar Shama bisa membuat dirinya seolah tidak terkalahkan dan mungkin akan berakhir menunjukkan pada Risyad kalau dirinyalah yang paling pantas menjadi nyonya Risyad Al Maktoum. **Andara terbangun dari alam bawah sadarnya. Tidurnya lelap tadi malam, hanya saja tidak terlalu nyaman. Sofa memang tidak terlalu dianjurkan untuk tempat mengistirahatkan tubuh. Badannya s
Risyad keluar lebih dulu. Sepasang matanya langsung saja menangkap potret Shama tengah duduk sendiri di meja makan sambil mengaduk-aduk salad sayur di depannya. Laki-laki itu terus memperhatikan istrinya yang terlihat sedang memendam banyak masalah. Shama melamun. Dia hilang dari tempatnya saat ini. "Kenapa tidak makan? Kamu sakit?" ujar Risyad sambil mendekat. Shama lantas menoleh malas. Tatapan sinis penuh kebencian itu terpampang jelas. Daripada besarnya kebencian Shama pada sang ayah mertua, sebenarnya Shama jauh lebih membenci Risyad mau sebaik apa pun sikap laki-laki itu. "Puas? Ada lagi yang kau inginkan, Risyad?" Alih-alih menjawab, Shama lebih tertarik mengajak Risyad kembali berperang. Sosok jangkung yang mengenakan jas biru polos itu menunda duduk di kursi. Mendengar tanya Shama membuatnya mendadak ingat kejadian pagi ini. Risyad menghela napas, kini dilema. Harusnya bukan ini hasil yang diterima Risyad. Laki-laki itu tidak menyadari akan seburuk ini tanggapan Shama ten
Andara berjalan dengan perasaan jengkel yang masih tersimpan. Tangannya masih tersisa jejak saos salad yang sempat membersihkan kepala Risyad. Tak sengaja, keduanya orang itu kembali berpapasan dengan keadaan Risyad yang sudah kembali rapi dan bersih. Jas birunya berubah jadi kemeja hitam.Andara bergeming begitu menatap Risyad yang diam di depannya. Sementara Risyad melirik tangan Andara yang kotor. Melihat betapa berantakannya kini Andara, dengan kemeja yang kebesaran, rambut acak-acakan, dan kaki jenjang hingga pahanya tak tertutup apa-apa, membuat Risyad inisiatif memberikan kartu kreditnya. "Ajak sopir belanja. Kamu sudah seperti orang gila," titahnya sambil menyodorkan kartu kredit. Alis Andara langsung menyatu, dengan bibir yang sinis. Tatapannya masih sama pada Risyad. Jengkel. "Dih, lu nggak nyadar? Yang gila itu elu, buka gue!" cetus Andara membalas. "Jangan membantah. Di rumah tidak ada yang memasak juga. Kamu boleh beli apa pun dan makan apa pun di luar. Ini kesepakatan
Risyad benar-benar tidak menanggapi serius apa yang baru saja dikatakan Andara. Baginya, Andara itu tetap gadis 'gila' yang mengatakan suatu hal yang tak mendasar. Itu kenapa Risyad hanya menghela napas lalu melupakan peringatan Andara. Dia kembali pada rekannya yang menunggu. Begitu tiba di kursinya lagi, dari jarak yang berbeda Andara satu kali lagi memastikan kalau Risyad benar-benar tidak percaya padanya. Dan benar saja, laki-laki itu sudah kembali duduk dan siap meneguk wine miliknya. "Gilak ya tu orang!" sungut Andara dalam hati. Dia melihat dengan jelas bagaimana Risyad meneguk dengan santai minuman 'beracun' itu. Anggap saja hari ini Risyad sedang beruntung, atau Andara yang lagi baik-baiknya. Gadis itu siap di anggap tolol karena tetap diam mengawasi Risyad untuk memastikan laki-laki itu aman. Andara tahu dimenit keberapa obat itu akan bereaksi. Itu kenapa Andara memilih diam sejenak dan kembali duduk di tempat yang jaraknya lebih dekat, tanpa Risyad tahu. Risyad akhirnya
Kesadaran Risyad benar-benar sudah tidak terkendali lagi. Bahkan jauh lebih baik kalau laki-laki itu tidak sadarkan diri agar Andara lebih mudah membawanya masuk ke dalam rumah. Namun, nyatanya Risyad masih terjaga sampai saat ini. Bahkan setelah Andara membawanya masuk ke dalam rumah pun, laki-laki itu masih meraung-raung kecil, bergumam tidak jelas. "Dikit lagi, sabar dong!" gerutu Andara masih berusaha sekuat mungkin memapah Risyad. Andara mendadak berhenti di depan pintu kamar Risyad kala suatu rencana muncul di kepalanya. Dia menatap lagi Risyad yang sempoyongan lalu menatap pintu kamar Shama yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari kamar Risyad. "Buset, gue pinter banget," ucapnya girang. "Kali ini lu bakal berterima kasih dua kali sama gue, Bro!" lanjutnya kemudian sambil berjalan melewati pintu kamar laki-laki itu.Andara berniat membiarkan Risyad yang mabuk berada di kamar Shama. Dengan begitu pasti suatu 'kecelakaan' akan terjadi. Mustahil rasanya jika kedua orang itu t
Andara perlahan terjaga. Mulutnya menganga, menguap. Gadis itu meregangkan otot dengan mengangkat kedua tangannya ke atas sambil merintih pelan melepas semua penat. Masih dalam tahap meregangkan ototnya, profil Risyad yang muncul dari balik pintu kamar mandi membuat Andara buru-buru menurunkan tangannya. Pria itu sudah rapi. Dia mengenakan kaos oblong hitam dengan celana bahan bernada sama. Bisep padat itu tercetak sempurna. Entah otot Risyad yang terlalu besar, atau ukuran bajunya yang terlalu kecil. Entahlah, yang pasti laki-laki itu benar-benar memikat dengan tampilan santai seperti saat ini. Risyad menyadari kalau Andara sudah terjaga. Sambil mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk, laki-laki itu ikut menatap diam Andara sebelum akhirnya Risyad menaikkan alisnya.Andara segara mengalihkan pandangan sambil mengerjap-erjap. Sial! Andara merasa pipisnya sedang panas. Juga dadanya, kenapa pula harus berdetak cepat? Sambil berjalan ke arah cermin Risyad bersuara, "Saya ngasih k