Share

Bab 3. Akar Permasalahan

"Bagaimana kalau kita memperluas Mextech Grup dengan mengambil salah satu proyek yang sedang banyak ditawarkan? Mungkin saya rasa tidak akan merugikan kita dalam aspek mana pun."

"Tapi bukankah ada pihak ketiga yang akan ikut ambil alih dalam pengambilan proyek ini? Saya banyak membaca laporan dari beberapa dewan direksi, bahwa dana yang mereka tawarkan itu juga cukup fantastis. Apa sebaiknya kita tidak perlu gegabah? Juga proyek ini tidak terlalu dibutuhkan oleh Mextech G, hanya akan membuang-buang waktu menurut saya pribadi."

"Itu benar. Pihak ketiga itu berasal dari pasar-pasar yang sudah luas. Saya sedang tidak berniat menjangkau seberapa luas dan berpengaruhnya Mextech saat ini, hanya saja, grup-grup dari pihak ketiga itu bukan tanding untuk kita. Saya rasa, abaikan saja untuk yang ini. Bagaimana kalau kita fokus untuk membesarkan pasar dalam lokal saja? Seperti memperbanyak toko dan juga merekrut beberapa desainer terkenal untuk membentuk lagi brand-brand yang berkualitas."

Shama menatap lamat layar monitor didepannya sambil mengangguk-angguk samar menyimak pembicaraan rekan bisnisnya. Dalam kepalanya ada banyak ide untuk hal-hal baru, hanya saja mungkin sudah cukup sampai di sini untuk hari ini. Menurutnya membahas masalah yang berat seperti ini, lebih baik mendapati kepala-kepala yang segar.

"Baiklah, kali ini aku akan menurutimu," kata Shama pada rekannya yang baru saja mengungkapkan pendapat. "Kita sudahi rapat ini sampai di sini saja. Saya akan mengabari untuk pertemuan selanjutnya. Rapat boleh dibubarkan."

Ruangan pertemuan orang-orang penting itu akhirnya berangsur kosong. Kursi-kursi clinton mewah itu akhirnya kehilangan beban. Namun, Shama yang baru saja membubarkan rapat justru dia yang belum beranjak dari tempat. Masih ada yang mengganjal dalam kepalanya tentang pembicaraan yang mereka bahas tadi.

Bagi Shama, melebar dan meroketnya perusahaan yang dia pimpin adalah impian dan juga tujuannya. Akan sangat terbebani bagi kepalanya, jika dia menemukan satu pesaing saja yang bisa melebihi perusahaanya yang diberi nama Mextech Grup tersebut.

Saat banyak hal-hal yang sedang membakar kepala Shama, tiba-tiba saja getaran dari telepon genggamnya mengajak sepasang bola matanya untuk beralih. Benda pipih itu bergetar seolah bisa berjalan sendiri diatas meja. Shama segera meraih benda persegi tersebut, guna melihat siapa yang sedang menghubunginya.

'Ada pertemuan di Intext pukul delapan malam. Ajak Risyad, dan jangan lupa bahwa pertemuan ini penting untuk Mextech. Jadi pastikan kalian terlihat baik.'

Panggilan itu langsung saja terputus setelah ucapan dari sosok di seberang sana terlontar. Shama yakin, ini bukan tentang Mextech. Tujuan pertemuan ini pasti hanya untuk mendikte pernikahannya yang belum juga dikarunia anak dan ini sudah menjadi kebiasaan yang tak sudah-sudah. Dan Shama yakin, yang menyinggung soal ini masih saja ayah mertuanya, pemimpin Intext.

Intext properties adalah salah satu perusahaan pengembang properti yang berbasis di Dubai. Dan Intext juga sudah merupakan salah satu perusahaan real estate terbesar di dunia. Juga jangan lupa, kalau pemimpin Intext itu adalah mertuanya, alias ayah Risyad.

Shama segera melempar pelan ponsel ke atas meja. Suasana hatinya tiba-tiba saja menurun drastis. Baru saja dia akan menyibukkan diri dengan mencari siapa pihak ketiga yang hendak bersaing dengannya, justru kepalanya langsung dipecahkan oleh kabar pertemuan-pertemuan tidak penting yang baru saja diterimanya.

**

Dubai 27 April

Sepasang bola mata yang legam terlihat berbinar usai menyisir pemandangan kota yang baru saja bertemu tatapnya. Binar kekaguman begitu terpancar hingga membuat mulutnya ikut melebar. Bangunan pencakar langit yang tidak lagi asing di setiap jalan yang dilewati, menjadi salah satu wujud dari takjubnya.

"Gila, ini negara, Cok? Keren banget, anjai! Wuiii... gedung-gedungnya tinggi-tinggi bat, udah kayak harapan orangtua," gumam Andara mengekspresikan kekagumannya.

Risyad hanya bisa mendengar decak kagum Andara. Sepasang iris mata dengan goresan keemasan itu difokuskan pada layar ponsel yang sedari tadi bergetar. Ada panggilan masuk sudah lebih dari empat kali. Dilayar ponsel terpatri nama ayahnya yang Risyad simpan dengan nama 'Pimpinan'.

"Halo," ucap Risyad, akhirnya menjawab panggilan. "Ada apa, Ayah?"

"Di mana kau? Kenapa begitu lama hanya untuk menjawab telepon? Sesibuk itu sampai tidak sempat menjawab panggilan dari Ayah?" Suara bariton khas orang tua itu lolos ke dalam telinga Risyad.

"Aku sedang ada perjalanan bisnis kemarin. Pagi ini aku baru pulang. Aku sedang dalam perjalanan, Ayah. Maaf tadi aku tidak langsung menjawab panggilanmu. Ponselku masih mode diam," kilahnya, tidak ingin memperpanjang.

"Baiklah, kalau begitu. Ayah hanya ingin memberitahukan padamu kalau nanti malam ada pertemuan. Kau dan istrimu harus benar-benar datang. Ini bukan hanya pertemuan biasa. Ada banyak rekan-rekan sejawat Ayah yang akan hadir. Jadi Ayah minta, tolong menjadi pasangan yang baik malam nanti. Apa kau paham?"

Risyad memejamkan matanya sekilas, lalu mengiyakan sambil mengangguk walau sang ayah tidak akan bisa melihat itu.

"Baiklah, Ayah. Terimakasih sudah memberi tahuku. Aku akan datang bersama Shama," jawabnya, menyetujui.

"Drescode warna—”

"Wuii... ganteng banget, Cok! Bang, lima puluh satu kali main!"

Ucapan pimpinan Intext itu terhenti saat suara melengking Andara menginterupsi. Sama halnya dengan orang yang ada dibalik telepon, Risyad juga ikut dibuat kaget.

"Sedang ada di mana kau, Risyad? Siapa itu?" tanya sang Ayah.

"Ah ... itu suara dari ponsel, Ayah. Aku tidak sengaja mendengarkan akun-akun gosip. Maaf," kilah Ramon, memberikan alasan.

"Baiklah. Jangan lupa, nanti malam pakai drescode warna hitam. Ingat?"

"Baik, Ayah."

Begitu suara panggilan terputus, Risyad segera menarik ponsel dari daun telinga. Saat suara Risyad sudah tidak terdengar, detik itu juga Andara memutar kepala untuk menatap laki-laki itu.

"Udah boleh ngomong belum?" tanyanya. Risyad tadi sempat mengancam Andara untuk tidak bersuara.

"Diam dan jangan bertingkah! Saya sebenarnya jijik melihat perempuan yang menyukai perhatian kosong laki-laki. Benar-benar tidak tahu malu," cibirnya, pedas.

"Gilak ya. Lu makan pake apa sih? kenapa tiap lu ngomong berasa pedes banget kaya omongan tetangga," cerosos Andara. Tubuhnya kembali diposisikan ke arah sebelum, menghadap jalan.

"Kita akan langsung ke rumah saya. Sampai di sana, bersikaplah seperti apa yang sudah kita sepakati. Apa kau mengerti?" ingatkan Risyad lagi.

"Udah deh, lu diam aja. Udah kayak guru TK, ngingetin mulu. Gue yang engap dengernya, sumpah dah!" sahutnya malah sewot.

Risyad pun hanya bisa memutar bola matanya merasa jengah. Jika saja tidak ingin membuat sang istri menjadi miliknya, mungkin gadis dengan lidah liar itu sudah dihempas jauh olehnya. Tapi mau bagaimana? Risyad butuh Andara. Dan entah kenapa, Risyad sangat yakin kalau Andara mampu membuat Shama cemburu hingga jatuh cinta padanya. Walau pun saat ini Risyad sudah mulai terpengaruh kalau kehadiran Andara hanya akan menjadi petaka untuknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status