Share

Bab 4. Ancaman Sang Penguasa

Pertemuan yang sudah diagendakan oleh pimpinan Intext akhirnya berlangsung. Sesuai apa katanya, pertemuan ini akan mengundang beberapa rekan bisnis yang sudah tidak asing lagi diranahnya. Juga tentang anak dan menantunya yang harus turut ikut menghadiri. Entah apa sebenarnya maksud dan tujuan pertemuan ini, yang pastinya, laki-laki berusia lanjut itu ingin memberikan sesuatu yang dianggap ancaman lebih pada orang yang hendak dia inginkan kejelasannya.

"Bagaimana, apa bisa kita mulai acara pertemuan ini?" tanya salah satu rekan yang hadir. Salah satu owner grup yang beken diranahnya.

"Tentu saja. Semuanya sudah hadir, silakan berikan beberapa statment kalian," jawab Lukas Enembe, pimpinan Intext.

Sementara orang-orang sedang fokus pada acara pertemuan yang terasa sangat intim dan lekat akan pembahasan yang serius, di sisi lain ada dua orang yang sedang menebak-nebak begitu keras, apa sebenarnya yang hendak direncakan oleh Lukas lagi.

Risyad dan Shama sama-sama terlihat sedang berusaha membaca niat Lukas, yang entah apa lagi kali ini rencananya.

Risyad terkesiap saat ceo dari grup lain memberikan dokumen cetak kearahnya. Mata Risyad seketika saja memamerkan tanda tanya.

"Kami sudah membuat akumulasi tentang hal ini. Dan sudah ada keputusan akhir. Melbox, akan mengakuisisi Mextech jika belum juga ada pemberitahuan tentang pewaris alih," jelas laki-laki berkacamata bening tersebut.

Bak diserang petir disiang bolong, begitulah kira-kira keterkejutan Risyad yang baru saja mendengar ucapan pria itu.

"Apa?" Risyad bergumam. Tanda tanya dan bingung dimatanya, beralih menatap dokumen cetak yang baru saja disodorkan. "Akuisisi? Tapi dalam hal apa? Bahkan Mextech Grup sedang baik-baik saja," lanjutnya, protes.

Shama sudah yakin ini akan terjadi. Selama Lukas masih menjadi pemegang saham utama di perusahaan yang dia kelola, maka apa pun bisa terjadi. Dan bukan peringatan baru memang hal ini, hanya saja Shama sudah lebih dulu dibuat jengkel dan tentunya nyaris terbakar.

"Ayah-"

"Pimpinan!" potong Lukas, saat Shama akan memotong topik yang sedang berlangsung.

"Pimpinan, apa yang sedang terjadi? Untuk apa akusisi ini? Mextech baik-baik saja. Mungkin jauh lebih baik dan tidak ada sisi mana pun yang harus membuatnya mengganti kepemilikan," kata Shama ikut tidak terima.

Lukas tidak berkutik saat ditanyai oleh Shama. Matanya tetap saja bertahan melihat ke depan, membuat aura kepemimpinannya terpapar sempurna.

"Lanjutkan tentang hasil akumulasi kalian. Berapa dana yang kalian sanggup keluarkan untuk Mextech?" tanya Lukas, mengabaikan protes Shama.

Gadis itu mengerang dalam dada, berusaha menenangkan diri dari amukan amarah yang membuncah. Andai saja ini bukanlah pertemuan yang formal, Shama sudah lebih dulu meninggalkan ruangan yang terasa seperti pembakaran lemak babi.

"Melbox akan mengakuisisi dengan harga satu juta dollar. Jika di bandingkan pemegang saham kedua, Melbox akan lebih unggul. Jadi bisa dibilang, Melbox akan menggantikan posisi owner Mextech saat ini," ujar si kepala plontos itu.

Shama dan Risyad sama kagetnya. Mereka membulatkan bola mata, seakan memaki semua orang lewat tatapan.

Risyad mulai gerah dengan ancaman ayahnya ini. Laki-laki bertubuh jangkung tersebut melepaskan kacamata miliknya, lantas saja berujar,

"Pertemuan ini cukup sampai di sini saja. Saya perlu bicara dengan pimpinan. Kalian boleh bubar dan akan saya kabari perkembangannya nanti."

Orang-orang di sana saling melempar tatap lalu berakhir menatap Lukas. Diamnya Lukas membuat para pengusaha konglomerat itu paham dan akhirnya patuh pada kata-kata Risyad. Perlahan, satu-persatu, orang-orang mulai menghilang. Kursi-kursi yang tadinya penuh, akhirnya kosong dan meninggalkan Lukas dengan anak dan menantunya.

"Pulanglah lebih dulu, aku yang akan bicara dengan ayah," suruh Risyad. Shama yang sudah muak dan gerah sedari tadi, tidak berpikir dua kali untuk meninggalkan tempatnya.

Shama ikut menghilang. Ruangan kembali Hening. Risyad masih mencari kata-kata yang tepat untuk membuat ayahnya ini kembali memikirkan semua dari awal lagi.

"Ayah, kenapa kau melakukan ini? Cara ini terlalu klise hanya untuk sesuatu yang kecil. Tolong jangan berlebihan, Ayah. Kasihan Shama. Dia mati-matian berjuang untuk Mextech. Apa kau sama sekali tidak punya hati lagi?" ucapnya akhirnya berani bersuara.

Lukas menanggapi dengan datar. Begitu ucapan sang putra terlontar, Lukas tak berniat langsung membalas. Laki-laki tua itu lebih memilih meraih secangkir teh miliknya yang ada di atas meja. Benar-benar santai, seolah sedang mengabaikan kehadiran Risyad.

"Aku bahkan hanya meminta sesuatu yang kecil itu. Tapi kenapa kalian tidak memberikannya?" Mata Lukas menatap Risyad.

Risyad menelan ludah begitu samar. Dia tidak tertarik menatap wajah sang ayah, hingga beralih meraih botol air putih didepannya lalu meneguk membersihkan tenggorokan.

"Bukan kami tidak ingin memberikan pewaris, Ayah. Tapi Shama masih belum siap. Juga, ini masih tentang rejeki. Kita tidak bisa mengaturnya begitu mudah. Pasti ada saatnya, Ayah. Bersabarlah," bujuk Risyad, sangat berharap ayahnya itu paham.

"Apa menurutmu beristrikan Shama itu rejeki? Aku menikahkan kalian karena kalian itu dari keluarga yang sempurna. Dan aku mau memiliki keturunan dari perempuan yang jelas latar belakangnya. Apa menurutmu rejeki itu memang tidak bisa diatur?" balas Lukas, benar-benar diluar pemikiran Risyad.

Risyad diam sejenak, menatap lamat pahatan wajah sang ayah. Sebenarnya Risyad tidak keberatan dengan keinginan ayahnya ini, hanya saja, situasinya sangat bertolak belakang dari yang seharusnya. Shama belum berniat untuk menjadi seorang ibu, jangankan untuk memikirkan ke arah sana, untuk 'tidur' saja bersama sang suami, Shama enggan melakukannya.

"Beri aku waktu satu bulan saja, Ayah. Aku akan membuat Shama memenuhi apa maumu."

**

Andara tidak habis pikir dengan apa yang dia lihat saat ini. Decak kagum, binar takjub, terulas sempurna dari sepasang matanya. Baru kali ini Andara melihat dan menapaki kaki di rumah megah yang lebih tampak seperti istana ini. Dari pintu utama yang dilewati tadi, Andara belum juga habis-habisnya melongo menatap seluruh keindahan dan kemegahan rumah Risyad ini.

"Gila, gila, ini rumah? Udah kayak tempat pemakaman umum coii, lebar amat!" decaknya, kagum.

Baru saja dibuat larut dalam pandangan ke segala sudut rumah, tiba-tiba saja gadis itu terlonjak kaget saat pintu rumah didorong paksa dari luar hingga suara gaduh itu memburu rungu.

Brak!

"Anjir!!!" umpat Andara, kaget.

Andara melirik ke arah suara, dan menemukan dua orang yang tengah bertengkar.

"Shama, dengarkan aku dulu!"

Perempuan itu tidak berniat menghentikan langkahnya walau sang suami sudah menegur. Shama kembali merasakan sakit hati, hingga amarahnya membuncah bak lava.

"Shama!" bentak Risyad. Dia geram saat istrinya itu terus saja berjalan mengabaikannya. "Dengarkan aku! Perlakuan ayah ini tidak akan mengubah apa pun!" lanjutnya saat Shama menatap ke arahnya.

"Apa katamu? Tidak mengubah apa pun?" Shama menyeringai. Matanya berembun, basah. Menatap sang suami rasanya sama seperti menatap ayah mertuanya tadi. "Dengar, Risyad, aku tidak akan lagi mau mengalah untuk ayahmu itu. Dia itu sudah semena-mena terhadapku! Dia terlalu egosi. Untuk masalah seperti ini saja kenapa harus membawa-bawa Mextech! Menjijikkan!" erangnya, murka.

"Jangan buru-buru menyimpulkan tentang hal itu, Shama. Ayah itu hanya ingin yang terbaik untuk Mextech. Mari pikiran ini lagi dengan kepala dingin. Aku yakin kau akan paham maksud ayah tadi."

"Lepaskan aku!" Shama menghentakkan tangan Risyad yang memegangi lengannya. "Terserah apa katamu. Yang penting saat ini, aku tidak akan pernah mau menuruti apa maunya. Dia mau cucu dariku? Tidak akan pernah kuberikan!" kecam Shama mengingatkan Risyad.

Hendak pergi dari hadapan Risyad, sepasang mata Shama baru saja menyadari akan kehadiran orang asing di rumahnya. Ya, dia Andara. Gadis 21 tahun itu akhirnya bertemu tatap dengan Shama, si nyoya rumah.

"Siapa kau?" tanya Shama, heran.

"Nggak usah peduliin saya, Mbak. Lanjut aja lanjut. Monggo...," jawab Andara mengabaikan tanya Shama.

Shama mengerutkan dahinya, bingung. Sebelum perang kembali terjadi, Risyad buru-buru mengalihkan Shama lagi agar tidak tertarik membahas Andara untuk di waktu yang tidak tepat seperti saat ini.

"Shama, ayo bicara baik-baik. Kita bisa-"

"Stop!" potong Shama, cepat. Dia menatap pahatan wajah sang suami. "Kau sudah mendapatkan apa yang kau mau. Giliranku, aku juga harus mendapatkan apa yang kumau!" lanjutnya menekankan.

Risyad terlihat bingung. Kerutan dahi itu tercetak begitu jelas, sampai tidak ada kalimat yang bisa dia lontarkan lagi untuk membalas ucapan sang istri.

Begitu menyadari Shama sudah menaiki anak tangga, barulah Risyad berniat mengejar lagi. Namun, alih-alih mengejar Shama, dia justru tertahan oleh Andara yang sengaja menahan lengannya.

"Lepaskan! Apa-apaan kamu?!" ucap Risyad gusar sambil menepis tangan Andara.

"Pantesan aja lu dianggurin. Orang lu tololnya kelewatan," sahut Andara justru mencibir. Risyad makin dibuat geram.

"Tugas kamu bukan untuk mendikte kehidupan saya!"

Andara menggeleng samar sambil memangku tangannya. "Lu mau istri lu, kan? Ikutin saran gue! Jangan kejar dia. Biarin aja. Cewek nih ya, paling suka dikejar-kejar sampe kutub utara sekalian pun nggak bakal capek dia. Yang ada lu yang capek, kenapa? Ya harus nurutin gengsinya tuh cewek. Jadi, biarin aja mulai sekarang. Cepat atau lambat, dia juga bakalan nengok ke belakang buat liat lu. Nggak percaya? Tuh tunguin, dia pasti liat kebelakang!"

Risyad menurut. Dia menatap ke arah Shama yang menaiki anak tangga yang lumayan banyak, lalu menemukan hal yang baru saja dikatakan Andara. Benar, Shama melihat kebelakang dan bertemu tatap Risyad. Dua detik setelahnya, Shama kembali naik dengan kilat kemarahan yang makin bertambah.

"Masih raguin gue?" celetuk Andara, membuat laki-laki di dekatnya itu menatapnya secara perlahan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ne9901Ch
sejauh ini Andara yang paling cegil wkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status