Pertemuan yang sudah diagendakan oleh pimpinan Intext akhirnya berlangsung. Sesuai apa katanya, pertemuan ini akan mengundang beberapa rekan bisnis yang sudah tidak asing lagi diranahnya. Juga tentang anak dan menantunya yang harus turut ikut menghadiri. Entah apa sebenarnya maksud dan tujuan pertemuan ini, yang pastinya, laki-laki berusia lanjut itu ingin memberikan sesuatu yang dianggap ancaman lebih pada orang yang hendak dia inginkan kejelasannya.
"Bagaimana, apa bisa kita mulai acara pertemuan ini?" tanya salah satu rekan yang hadir. Salah satu owner grup yang beken diranahnya."Tentu saja. Semuanya sudah hadir, silakan berikan beberapa statment kalian," jawab Lukas Enembe, pimpinan Intext.Sementara orang-orang sedang fokus pada acara pertemuan yang terasa sangat intim dan lekat akan pembahasan yang serius, di sisi lain ada dua orang yang sedang menebak-nebak begitu keras, apa sebenarnya yang hendak direncakan oleh Lukas lagi.Risyad dan Shama sama-sama terlihat sedang berusaha membaca niat Lukas, yang entah apa lagi kali ini rencananya.Risyad terkesiap saat ceo dari grup lain memberikan dokumen cetak kearahnya. Mata Risyad seketika saja memamerkan tanda tanya."Kami sudah membuat akumulasi tentang hal ini. Dan sudah ada keputusan akhir. Melbox, akan mengakuisisi Mextech jika belum juga ada pemberitahuan tentang pewaris alih," jelas laki-laki berkacamata bening tersebut.Bak diserang petir disiang bolong, begitulah kira-kira keterkejutan Risyad yang baru saja mendengar ucapan pria itu."Apa?" Risyad bergumam. Tanda tanya dan bingung dimatanya, beralih menatap dokumen cetak yang baru saja disodorkan. "Akuisisi? Tapi dalam hal apa? Bahkan Mextech Grup sedang baik-baik saja," lanjutnya, protes.Shama sudah yakin ini akan terjadi. Selama Lukas masih menjadi pemegang saham utama di perusahaan yang dia kelola, maka apa pun bisa terjadi. Dan bukan peringatan baru memang hal ini, hanya saja Shama sudah lebih dulu dibuat jengkel dan tentunya nyaris terbakar."Ayah-""Pimpinan!" potong Lukas, saat Shama akan memotong topik yang sedang berlangsung."Pimpinan, apa yang sedang terjadi? Untuk apa akusisi ini? Mextech baik-baik saja. Mungkin jauh lebih baik dan tidak ada sisi mana pun yang harus membuatnya mengganti kepemilikan," kata Shama ikut tidak terima.Lukas tidak berkutik saat ditanyai oleh Shama. Matanya tetap saja bertahan melihat ke depan, membuat aura kepemimpinannya terpapar sempurna."Lanjutkan tentang hasil akumulasi kalian. Berapa dana yang kalian sanggup keluarkan untuk Mextech?" tanya Lukas, mengabaikan protes Shama.Gadis itu mengerang dalam dada, berusaha menenangkan diri dari amukan amarah yang membuncah. Andai saja ini bukanlah pertemuan yang formal, Shama sudah lebih dulu meninggalkan ruangan yang terasa seperti pembakaran lemak babi."Melbox akan mengakuisisi dengan harga satu juta dollar. Jika di bandingkan pemegang saham kedua, Melbox akan lebih unggul. Jadi bisa dibilang, Melbox akan menggantikan posisi owner Mextech saat ini," ujar si kepala plontos itu.Shama dan Risyad sama kagetnya. Mereka membulatkan bola mata, seakan memaki semua orang lewat tatapan.Risyad mulai gerah dengan ancaman ayahnya ini. Laki-laki bertubuh jangkung tersebut melepaskan kacamata miliknya, lantas saja berujar,"Pertemuan ini cukup sampai di sini saja. Saya perlu bicara dengan pimpinan. Kalian boleh bubar dan akan saya kabari perkembangannya nanti."Orang-orang di sana saling melempar tatap lalu berakhir menatap Lukas. Diamnya Lukas membuat para pengusaha konglomerat itu paham dan akhirnya patuh pada kata-kata Risyad. Perlahan, satu-persatu, orang-orang mulai menghilang. Kursi-kursi yang tadinya penuh, akhirnya kosong dan meninggalkan Lukas dengan anak dan menantunya."Pulanglah lebih dulu, aku yang akan bicara dengan ayah," suruh Risyad. Shama yang sudah muak dan gerah sedari tadi, tidak berpikir dua kali untuk meninggalkan tempatnya.Shama ikut menghilang. Ruangan kembali Hening. Risyad masih mencari kata-kata yang tepat untuk membuat ayahnya ini kembali memikirkan semua dari awal lagi."Ayah, kenapa kau melakukan ini? Cara ini terlalu klise hanya untuk sesuatu yang kecil. Tolong jangan berlebihan, Ayah. Kasihan Shama. Dia mati-matian berjuang untuk Mextech. Apa kau sama sekali tidak punya hati lagi?" ucapnya akhirnya berani bersuara.Lukas menanggapi dengan datar. Begitu ucapan sang putra terlontar, Lukas tak berniat langsung membalas. Laki-laki tua itu lebih memilih meraih secangkir teh miliknya yang ada di atas meja. Benar-benar santai, seolah sedang mengabaikan kehadiran Risyad."Aku bahkan hanya meminta sesuatu yang kecil itu. Tapi kenapa kalian tidak memberikannya?" Mata Lukas menatap Risyad.Risyad menelan ludah begitu samar. Dia tidak tertarik menatap wajah sang ayah, hingga beralih meraih botol air putih didepannya lalu meneguk membersihkan tenggorokan."Bukan kami tidak ingin memberikan pewaris, Ayah. Tapi Shama masih belum siap. Juga, ini masih tentang rejeki. Kita tidak bisa mengaturnya begitu mudah. Pasti ada saatnya, Ayah. Bersabarlah," bujuk Risyad, sangat berharap ayahnya itu paham."Apa menurutmu beristrikan Shama itu rejeki? Aku menikahkan kalian karena kalian itu dari keluarga yang sempurna. Dan aku mau memiliki keturunan dari perempuan yang jelas latar belakangnya. Apa menurutmu rejeki itu memang tidak bisa diatur?" balas Lukas, benar-benar diluar pemikiran Risyad.Risyad diam sejenak, menatap lamat pahatan wajah sang ayah. Sebenarnya Risyad tidak keberatan dengan keinginan ayahnya ini, hanya saja, situasinya sangat bertolak belakang dari yang seharusnya. Shama belum berniat untuk menjadi seorang ibu, jangankan untuk memikirkan ke arah sana, untuk 'tidur' saja bersama sang suami, Shama enggan melakukannya."Beri aku waktu satu bulan saja, Ayah. Aku akan membuat Shama memenuhi apa maumu."**Andara tidak habis pikir dengan apa yang dia lihat saat ini. Decak kagum, binar takjub, terulas sempurna dari sepasang matanya. Baru kali ini Andara melihat dan menapaki kaki di rumah megah yang lebih tampak seperti istana ini. Dari pintu utama yang dilewati tadi, Andara belum juga habis-habisnya melongo menatap seluruh keindahan dan kemegahan rumah Risyad ini."Gila, gila, ini rumah? Udah kayak tempat pemakaman umum coii, lebar amat!" decaknya, kagum.Baru saja dibuat larut dalam pandangan ke segala sudut rumah, tiba-tiba saja gadis itu terlonjak kaget saat pintu rumah didorong paksa dari luar hingga suara gaduh itu memburu rungu.Brak!"Anjir!!!" umpat Andara, kaget.Andara melirik ke arah suara, dan menemukan dua orang yang tengah bertengkar."Shama, dengarkan aku dulu!"Perempuan itu tidak berniat menghentikan langkahnya walau sang suami sudah menegur. Shama kembali merasakan sakit hati, hingga amarahnya membuncah bak lava."Shama!" bentak Risyad. Dia geram saat istrinya itu terus saja berjalan mengabaikannya. "Dengarkan aku! Perlakuan ayah ini tidak akan mengubah apa pun!" lanjutnya saat Shama menatap ke arahnya."Apa katamu? Tidak mengubah apa pun?" Shama menyeringai. Matanya berembun, basah. Menatap sang suami rasanya sama seperti menatap ayah mertuanya tadi. "Dengar, Risyad, aku tidak akan lagi mau mengalah untuk ayahmu itu. Dia itu sudah semena-mena terhadapku! Dia terlalu egosi. Untuk masalah seperti ini saja kenapa harus membawa-bawa Mextech! Menjijikkan!" erangnya, murka."Jangan buru-buru menyimpulkan tentang hal itu, Shama. Ayah itu hanya ingin yang terbaik untuk Mextech. Mari pikiran ini lagi dengan kepala dingin. Aku yakin kau akan paham maksud ayah tadi.""Lepaskan aku!" Shama menghentakkan tangan Risyad yang memegangi lengannya. "Terserah apa katamu. Yang penting saat ini, aku tidak akan pernah mau menuruti apa maunya. Dia mau cucu dariku? Tidak akan pernah kuberikan!" kecam Shama mengingatkan Risyad.Hendak pergi dari hadapan Risyad, sepasang mata Shama baru saja menyadari akan kehadiran orang asing di rumahnya. Ya, dia Andara. Gadis 21 tahun itu akhirnya bertemu tatap dengan Shama, si nyoya rumah."Siapa kau?" tanya Shama, heran."Nggak usah peduliin saya, Mbak. Lanjut aja lanjut. Monggo...," jawab Andara mengabaikan tanya Shama.Shama mengerutkan dahinya, bingung. Sebelum perang kembali terjadi, Risyad buru-buru mengalihkan Shama lagi agar tidak tertarik membahas Andara untuk di waktu yang tidak tepat seperti saat ini."Shama, ayo bicara baik-baik. Kita bisa-""Stop!" potong Shama, cepat. Dia menatap pahatan wajah sang suami. "Kau sudah mendapatkan apa yang kau mau. Giliranku, aku juga harus mendapatkan apa yang kumau!" lanjutnya menekankan.Risyad terlihat bingung. Kerutan dahi itu tercetak begitu jelas, sampai tidak ada kalimat yang bisa dia lontarkan lagi untuk membalas ucapan sang istri.Begitu menyadari Shama sudah menaiki anak tangga, barulah Risyad berniat mengejar lagi. Namun, alih-alih mengejar Shama, dia justru tertahan oleh Andara yang sengaja menahan lengannya."Lepaskan! Apa-apaan kamu?!" ucap Risyad gusar sambil menepis tangan Andara."Pantesan aja lu dianggurin. Orang lu tololnya kelewatan," sahut Andara justru mencibir. Risyad makin dibuat geram."Tugas kamu bukan untuk mendikte kehidupan saya!"Andara menggeleng samar sambil memangku tangannya. "Lu mau istri lu, kan? Ikutin saran gue! Jangan kejar dia. Biarin aja. Cewek nih ya, paling suka dikejar-kejar sampe kutub utara sekalian pun nggak bakal capek dia. Yang ada lu yang capek, kenapa? Ya harus nurutin gengsinya tuh cewek. Jadi, biarin aja mulai sekarang. Cepat atau lambat, dia juga bakalan nengok ke belakang buat liat lu. Nggak percaya? Tuh tunguin, dia pasti liat kebelakang!"Risyad menurut. Dia menatap ke arah Shama yang menaiki anak tangga yang lumayan banyak, lalu menemukan hal yang baru saja dikatakan Andara. Benar, Shama melihat kebelakang dan bertemu tatap Risyad. Dua detik setelahnya, Shama kembali naik dengan kilat kemarahan yang makin bertambah."Masih raguin gue?" celetuk Andara, membuat laki-laki di dekatnya itu menatapnya secara perlahan."Hal pertama yang harus lu lakuin! Jangan bujuk istri lu apa pun yang terjadi!" "Kamu sudah gila? Bagaimana mungkin saya tidak membujuk istri saya. Dia itu perempuan yang baik dan ada banyak orang yang hendak menjatuhkannya. Mana bisa saya hanya diam saja," protes Risyad, tidak suka statment Andara. Andara lagi-lagi membuang napas frustrasi. Di dalam kamar yang cukup luas ini, dia dan si pria kaya sedang membahas rencana yang akan mereka lakukan. Namun, Andara selalu saja dibuat geram akan kebodohan natural dari Risyad. "Lu tau nggak, kenapa kita dipertemukan sama Tuhan?" tanya Andara. "Kita tidak dipertemukan! Saya yang mencari kamu," jawab Risyad, menentang. "Ya lu emang cari, tapi lu mana tau yang bakalan lu dapatin itu gue. Bisa aja launtie lain," kukuh Andara. Risyad yang sedang duduk di kursi satu orang di depannya hanya menghela napas. Tampaknya masih terbebani akan keadaan Shama yang marah. Demi membuat kepalanya tenang, Risyad pun membiarkan Andara melanjutkan kalimatnya
Risyad hanya ingin Shama membalas cintanya. Dia tidak peduli meski seberapa buruk kini perempuan itu memperlakukannya, yang terpenting adalah, Shama tahu dan sadar bahwa cinta Risyad hanyalah untuknya seorang. Sebelum bertemu dengan Andara, tujuan awal Risyad mengunjungi Indonesia hanyalah sebatas perjalanan bisnis. Namun, usai pertemuan dengan beberapa rekan di sana, banyak teman yang mengusulkan pada Risyad untuk mencoba hal baru yang akan menentukan apakah Shama bisa menerimanya atau tidak.Dan cara itu adalah, mencari gadis yang rela dijadikan kelinci percobaan. Perempuan yang kastanya lebih rendah dari Shama. Gunanya agar Shama bisa membuat dirinya seolah tidak terkalahkan dan mungkin akan berakhir menunjukkan pada Risyad kalau dirinyalah yang paling pantas menjadi nyonya Risyad Al Maktoum. **Andara terbangun dari alam bawah sadarnya. Tidurnya lelap tadi malam, hanya saja tidak terlalu nyaman. Sofa memang tidak terlalu dianjurkan untuk tempat mengistirahatkan tubuh. Badannya s
Risyad keluar lebih dulu. Sepasang matanya langsung saja menangkap potret Shama tengah duduk sendiri di meja makan sambil mengaduk-aduk salad sayur di depannya. Laki-laki itu terus memperhatikan istrinya yang terlihat sedang memendam banyak masalah. Shama melamun. Dia hilang dari tempatnya saat ini. "Kenapa tidak makan? Kamu sakit?" ujar Risyad sambil mendekat. Shama lantas menoleh malas. Tatapan sinis penuh kebencian itu terpampang jelas. Daripada besarnya kebencian Shama pada sang ayah mertua, sebenarnya Shama jauh lebih membenci Risyad mau sebaik apa pun sikap laki-laki itu. "Puas? Ada lagi yang kau inginkan, Risyad?" Alih-alih menjawab, Shama lebih tertarik mengajak Risyad kembali berperang. Sosok jangkung yang mengenakan jas biru polos itu menunda duduk di kursi. Mendengar tanya Shama membuatnya mendadak ingat kejadian pagi ini. Risyad menghela napas, kini dilema. Harusnya bukan ini hasil yang diterima Risyad. Laki-laki itu tidak menyadari akan seburuk ini tanggapan Shama ten
Andara berjalan dengan perasaan jengkel yang masih tersimpan. Tangannya masih tersisa jejak saos salad yang sempat membersihkan kepala Risyad. Tak sengaja, keduanya orang itu kembali berpapasan dengan keadaan Risyad yang sudah kembali rapi dan bersih. Jas birunya berubah jadi kemeja hitam.Andara bergeming begitu menatap Risyad yang diam di depannya. Sementara Risyad melirik tangan Andara yang kotor. Melihat betapa berantakannya kini Andara, dengan kemeja yang kebesaran, rambut acak-acakan, dan kaki jenjang hingga pahanya tak tertutup apa-apa, membuat Risyad inisiatif memberikan kartu kreditnya. "Ajak sopir belanja. Kamu sudah seperti orang gila," titahnya sambil menyodorkan kartu kredit. Alis Andara langsung menyatu, dengan bibir yang sinis. Tatapannya masih sama pada Risyad. Jengkel. "Dih, lu nggak nyadar? Yang gila itu elu, buka gue!" cetus Andara membalas. "Jangan membantah. Di rumah tidak ada yang memasak juga. Kamu boleh beli apa pun dan makan apa pun di luar. Ini kesepakatan
Risyad benar-benar tidak menanggapi serius apa yang baru saja dikatakan Andara. Baginya, Andara itu tetap gadis 'gila' yang mengatakan suatu hal yang tak mendasar. Itu kenapa Risyad hanya menghela napas lalu melupakan peringatan Andara. Dia kembali pada rekannya yang menunggu. Begitu tiba di kursinya lagi, dari jarak yang berbeda Andara satu kali lagi memastikan kalau Risyad benar-benar tidak percaya padanya. Dan benar saja, laki-laki itu sudah kembali duduk dan siap meneguk wine miliknya. "Gilak ya tu orang!" sungut Andara dalam hati. Dia melihat dengan jelas bagaimana Risyad meneguk dengan santai minuman 'beracun' itu. Anggap saja hari ini Risyad sedang beruntung, atau Andara yang lagi baik-baiknya. Gadis itu siap di anggap tolol karena tetap diam mengawasi Risyad untuk memastikan laki-laki itu aman. Andara tahu dimenit keberapa obat itu akan bereaksi. Itu kenapa Andara memilih diam sejenak dan kembali duduk di tempat yang jaraknya lebih dekat, tanpa Risyad tahu. Risyad akhirnya
Kesadaran Risyad benar-benar sudah tidak terkendali lagi. Bahkan jauh lebih baik kalau laki-laki itu tidak sadarkan diri agar Andara lebih mudah membawanya masuk ke dalam rumah. Namun, nyatanya Risyad masih terjaga sampai saat ini. Bahkan setelah Andara membawanya masuk ke dalam rumah pun, laki-laki itu masih meraung-raung kecil, bergumam tidak jelas. "Dikit lagi, sabar dong!" gerutu Andara masih berusaha sekuat mungkin memapah Risyad. Andara mendadak berhenti di depan pintu kamar Risyad kala suatu rencana muncul di kepalanya. Dia menatap lagi Risyad yang sempoyongan lalu menatap pintu kamar Shama yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari kamar Risyad. "Buset, gue pinter banget," ucapnya girang. "Kali ini lu bakal berterima kasih dua kali sama gue, Bro!" lanjutnya kemudian sambil berjalan melewati pintu kamar laki-laki itu.Andara berniat membiarkan Risyad yang mabuk berada di kamar Shama. Dengan begitu pasti suatu 'kecelakaan' akan terjadi. Mustahil rasanya jika kedua orang itu t
Andara perlahan terjaga. Mulutnya menganga, menguap. Gadis itu meregangkan otot dengan mengangkat kedua tangannya ke atas sambil merintih pelan melepas semua penat. Masih dalam tahap meregangkan ototnya, profil Risyad yang muncul dari balik pintu kamar mandi membuat Andara buru-buru menurunkan tangannya. Pria itu sudah rapi. Dia mengenakan kaos oblong hitam dengan celana bahan bernada sama. Bisep padat itu tercetak sempurna. Entah otot Risyad yang terlalu besar, atau ukuran bajunya yang terlalu kecil. Entahlah, yang pasti laki-laki itu benar-benar memikat dengan tampilan santai seperti saat ini. Risyad menyadari kalau Andara sudah terjaga. Sambil mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk, laki-laki itu ikut menatap diam Andara sebelum akhirnya Risyad menaikkan alisnya.Andara segara mengalihkan pandangan sambil mengerjap-erjap. Sial! Andara merasa pipisnya sedang panas. Juga dadanya, kenapa pula harus berdetak cepat? Sambil berjalan ke arah cermin Risyad bersuara, "Saya ngasih k
Setelah merapikan diri dengan busana yang lebih nyaman, Andara segera keluar dari kamar Risyad. Dia tidak lagi melihat keberadaan pria itu dalam jangkauan pandangannya saat ini. Saat kakinya usai menapaki seluruh anak tangga, suara gaduh dari arah dapur mengalihkan atensinya. Perlahan Andara berjalan, mengikis jarak. Pandangan binar kagum mendadak terpancar dari dua bola mata Andara kala mendapati potret Risyad sedang berpacu dengan alat masak. Pria dengan potongan rambut ala korea itu sedang fokus. Dia memasak. Kali ini Andara tak tahan diam saja. Dia berjalan mendekati, lalu diam di jarak lima langkah di depan Risyad. Meja panjang menjadi pembatas antara mereka. Kepala Risyad menoleh singkat menyadari kedatangan Andara. Gadis itu sudah rapi dengan dres selutut berwarna cream. Cantik. "Lu ngapain?" tanya Andara, heran. "Kamu buta?" singkat Risyad. Dia tak menatap wajah Andara yang pastinya sudah mengerutkan dahi. "Lu bisa masak? Yakin lu?" Sembari memasukkan makanan yang baru