Sesuai rencana, sore itu Abimanyu menjemput Kemala dan Abiya untuk diajak menemui ibunya. Sama halnya dengan Abi yang sedikit gelisah dengan akan bertemunya kembali calon istrinya dengan Bu Rosmala, Kemala pun bolak balik mengganti pakaiannya. Terlihat sekali raut tegang di wajah wanita itu. “Udah pakai itu aja, Ma. Bagus kok. Mama cantik,” puji putrinya yang sedari tadi mengamati tingkah ibundanya dengan tulus. Kemala melirik Abiya sekilas untuk menghadiahinya senyuman, yang justru terlihat oleh Abiya seperti seringai yang aneh. “Mama kenapa sih? Kok tegang gitu? Kan harusnya seneng mau ketemu sama ibunya Papa Abi.”Kemala menghentikan jemarinya yang setengah jalan menarik resleting dressnya ke atas. Tiba-tiba dia merasa sangat terganggu dengan panggilan ‘Papa’ yang disematkan oleh Abiya di depan nama Abimanyu. Padahal biasanya, dia baik-baik saja mendengar kata-kata itu. Setelah akhirnya selesai menutup penuh resletingnya, Kemala menghampiri sang putri yang sedang duduk menunggu d
Kemala rupanya tak terlalu menyadari perubahan wajah calon suaminya yang menjadi cukup tegang. Dia hanya bisa merasakan tangan Abi yang semakin erat menggenggamnya. “Assalamu’alaikum …,” ucap keduanya kompak saat sudah semakin dekat dengan meja. Saat itulah Kemala baru menyadari bahwa ada satu perempuan yang belum dia pernah dikenalnya ada di tempat itu. Dia duduk di antara ibunda dan dua kakak perempuan Abimanyu. “Ngaret banget sih, Bi.” Tak ada yang menyahut salam mereka. Tapi justru terdengar suara Galuh–kakak sulung Abimanyu–yang menyindir kedatangan adik lelakinya yang sedikit terlambat. “Jalanan agak macet tadi, Mbak,” jelas lelaki itu. Tak ingin menunjukkan rasa kesal pada keluarganya, Abi pun berusaha bersikap biasa saja. Dia kemudian berjalan berkeliling dan mulai mencium punggung tangan ibunda dan dua kakaknya. Sementara itu, Kemala dan Abiya ikut setia di belakangnya. Terlihat sedikit malas-malasan, para wanita itu mengulurkan tangan untuk dijabat oleh Kemala. “Ini ya
Abimanyu mengejar Kemala keluar dari restoran. Namun lelaki itu sedikit panik saat melihat ibu dan anak itu justru tak menuju ke arah mobilnya saat sampai di pelataran. Kemala terus berjalan menggandeng tangan putrinya yang sesekali masih menengok ke belakang mengetahui Abimanyu mengejarnya. Lalu terlihat Kemala berhenti di tepi jalan dan mulai mengoperasikan ponselnya saat lelaki itu sampai tepat di tempat keduanya berdiri. “Sayang, kenapa di sini?” Lelaki itu mencoba untuk meraih tangan wanitanya, tapi selalu ditepis lembut. Kemala justru lebih memilih sibuk dengan ponsel di tangannya. “Ayo kita ke mobil,” bujuk lelaki itu kemudian. Abi terus mengajaknya bicara, tapi Kemala tak meresponnya. “Aku udah bilang kan dari kemarin. Ini yang aku takutkan kalau memaksa mempertemukan kamu sama keluargaku. Makanya kemarin aku memilih untuk menunggu waktu yang tepat dulu, Mala.” Setengah putus asa, lelaki itu pun akhirnya mengungkapkan kekecewaan kenapa harus ada pertemuan antara calon istri
Rupanya Bu Rosmala shock menyaksikan ending yang terjadi akibat rencana yang telah disusunnya. Apalagi mendengar anak-anaknya justru menyalahkan dirinya atas perginya Abimanyu. Wanita itu pun pingsan setelah pikiran buruk menghantuinya. Dia begitu ketakutan kalau kalau anak lelaki satu-satunya itu lebih memilih kekasihnya dibanding dengan dirinya. Beruntungnya, wanita itu segera siuman dalam perjalanan menuju rumah sakit. Setelah diperiksa, dokter pun mengatakan bahwa kondisi Bu Rosmala baik-baik saja. Tak hanya Galuh dan Lintang, Abimanyu pun lega mendengar penjelasan itu. Namun dari semua yang ada di dalam ruang pemeriksaan itu, tentu saja Bu Rosmala sendiri lah yang paling lega, karena melihat Abimanyu ternyata sudah ada di dekatnya lagi. Setelah mendapat izin dari dokter, ketiga anaknya langsung membawa Bu Rosmala pulang. Tabitha tentu masih ada bersama dengan mereka. Awalnya Abimanyu mengira gadis itu akan segera berpamitan setelah dia dan keluarganya sampai di rumah. Akan teta
Abimanyu turun ke ruang makan pagi itu sudah dengan pakaian rapi. Kegelisahan semalaman membuat pagi itu dia berencana ingin segera menemui Kemala. Meeting pagi di kantor pun sudah dibatalkannya demi menyelesaikan masalah dengan sang calon istri. Tapi semangatnya untuk mengisi perut yang sudah keroncongan itu tiba-tiba buyar kala melihat Tabitha sedang mengobrol asik dengan Bu Rosmala di meja makan. Abi sudah hampir memutar langkah, mengurungkan niatnya untuk sarapan, saat ibundanya memanggil. “Sini, Bi! Ayo sarapan! Tabitha udah bikinin nasi goreng loh buat kamu.” Abimanyu pun urung pergi. Dengan langkah malas dia menuju ke meja makan, lalu mendudukkan diri di sebelah ibunya. “Sayang, tolong dong ambilin Mas Abi nasi gorengnya.” Melihat putranya sudah nyaman dengan di kursinya, Bu Rosmala pun mulai beraksi. Tabitha pun dengan cekatan bangkit dan membalikkan piring yang sudah tertata rapi di depan lelaki itu. “Nggak usah! Aku nggak sarapan,” sergahnya. Mendengar penolakan itu, Tab
“Apa, Bu?! Putus sama Pak Abi?” Pagi itu selepas mengantarkan Abiya ke depan rumah untuk berangkat sekolah dengan mobil jemputan, Mbok Narti membawakan sarapan Kemala ke dalam kamar. Wanita paruh baya itu jelas panik merasakan hangat di kening Kemala. Pantas saja semalaman majikannya itu tak terlihat keluar dari kamarnya. Usai menemaninya sarapan sembari mengobrol, barulah Mbok Narti tahu apa penyebab wanita itu sampai jadi murung seperti itu. “Nggak ada jalan lain lagi, Mbok. Diteruskan juga percuma, karena keluarga Mas Abi satupun nggak ada yang menyukaiku.” Kemala mencoba bersikap biasa saja saat menjelaskan itu pada asisten rumah tangganya, hanya demi tak membuat Mbok Narti ikutan sedih juga sepertinya.“Tapi apa nggak sayang to, Bu? Kam hubungannya sudah lama. Pak Abi itu orangnya juga baik banget. Sama Non Bia juga udah dekat. Nggak gampang loh Bu nyari pendamping hidup yang kayak gitu.” Mbok Narti tak berharap sarannya didengarkan oleh sang majikan. Tapi setidaknya, Kemala a
“Kenapa sih kamu, Ren? Dari tadi aku perhatikan uring-uringan mulu? Nggak dapet jatah ya dari Keenan?” Heni menusuk bahu rekan kerjanya dengan ujung pulpen usai melihat Irene marah-marah pada seorang office boy yang membawakannya secangkir kopi. “Dah deh Hen, nggak usah inget-ingetin aku sama dia. Bete aku tuh.”“Memangnya kenapa sih? Jangan-jangan beneran nih kamu belum dapet jatah? Katamu gaji Keenan tuh gede. Kamu bilang nggak akan mati kalau cuma dipecat dari kantor ini? kan ada ‘Mas Keenan’ dengan gaji manajernya?” Heni pun terkekeh, menirukan gaya bicara Irene beberapa hari lalu yang membanggakan suaminya.“Bisa diem nggak sih kamu?” Irene langsung melotot pada sahabatnya itu. “Aku tuh lagi sumpek Hen, tau nggak sih? Jangan nambah-nambahin pusing kepalaku deh.”“Kenapa sih, Irene Sayang? Cerita dong kayak biasanya gitu kek. Kalau punya masalah tuh jangan dipendam sendirian, entar bisulan baru tau rasa.” Irene menghentikan aktifitas di keyboard laptopnya, sebelum akhirnya merap
Keenan terlihat lebih bersemangat hari itu di kantornya. Dia yang sudah berhasil mengambil alih kembali mobilnya, memang sudah merencanakan sesuatu usai pulang dari tempat kerja. Apa lagi kalau bukan untuk menemui Kemala. Rupanya, kepergiannya ke rumah mantan istrinya waktu itu dan bertemu dengan anak semata wayangnya, membuat suasana hatinya sedikit berbeda. Sejak malam itu, dia bahkan sudah tak lagi gundah memikirkan kapan akan memiliki anak dari Irene. Kecurigaan ibunya yang mengatakan bahwa istrinya itu mandul pun, tak lagi menjadi beban baginya. Toh dia sudah punya Abiya, yang diyakininya akan bisa menjadi jembatan membaiknya hubungannya dengan Kemala. Keenan tak menyadari, bahwa sore itu Irene menyetujui usul Heni untuk memata-matainya. Lelaki itu bahkan tak merasa curiga sedikitpun saat sebuah mobil terus mengikuti kemanapun arah mobilnya menuju. Sementara itu di dalam mobil Heni, tampak dia dan Irene serius menatap ke depan. Sesekali kepala Irene harus menunduk untuk bersemb