Share

6

Ruang keluarga yang biasanya terasa hangat, malam ini begitu dingin. Tak ada canda tawa, yang terlihat hanya gurat marah dan kecewa.

"Panggil wanita itu!" perintah Papa.

"Untuk apa Pa?" pertanyaan aneh itu terlontar dari mulut Bang Tama.

"Panggil saja, tak usah banyak tanya!" sahut Papa tegas, terlihat jelas jika beliau tak ingin dibantah.

Bang Tama pun ke kamar untuk memanggil Mbak Raya. Kini aku tengah menyiapkan hati. Apapun yang terjadi nanti, aku akan mempertahankan apa yang sudah aku miliki. Bagiku, sedari awal dia adalah milikku. Wanita itulah yang merebut suamiku.

"Assalamualaikum ..." salam dari Mbak Raya membuyarkan lamunanku. Kulihat dengan sopan ia berusaha untuk mencium tangan mama dan papa yang sayangnya ditolak secara halus oleh mertuaku itu. Wajah sendu tak dapat disembunyikan olehnya, tapi hal itu justru membuatku bahagia. Jahat? Biarlah.

"Duduk kamu!" perintah mama ketus.

Setelah semuanya duduk, seperti biasa aku menyuguhkan teh sebagai teman mengobrol. Sayangnya malam ini tak akan ada obrolan hangat penuh cinta diantara kami.

"Katakan siapa namamu!" masih dengan suara ketus mama memerintah mbak Raya.

"Naraya, Ma. Mama bisa panggil aku Raya," sahutnya sembari tersenyum manis.

"Jangan panggil saya mama! Kamu bukan anak saya." sahut Mama ketus. Tak sedikitpun mama berusaha untuk menyembunyikan rasa tidak sukanya pada mbak Raya.

"Ma ..."

"Diam kamu Tama! Mama tidak sedang berbicara denganmu!" sela Mama cepat sebelum Bang Tama menyelesaikan kalimatnya itu. "Katakan pada kami, sejak kapan kamu menjadi istri dari putraku!" lanjutnya.

"Sebelum Mas Satria menikah dengan Zahwa, ia terlebih dahulu menikahiku secara agama."

"Apa kalian saling mencintai?" kali ini bukan mama, tapi ayahlah yang bertanya. Dengan suara lembut khas milik ayah, beliau bertanya pada mbak Raya.

"Tidak!" bukan mbak Raya yang menjawab melainkan Bang Tama. Kulihat, istri pertama suamiku itu mendengus. Mungkin ia tak menyangka jika suaminya akan menjawab demikian.

"Lalu kenapa kalian bisa menikah?"

"Amanah ayah. Ayahnya Naraya mengamanahkan putrinya kepadaku," sahut Bang Tama.

"Bagiamana bisa? Apa orang tuanya mengenalmu?"

"Ayahnya adalah korban kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaianku ayah. Sebelum beliau meninggal, beliau memintaku untuk menikahi putrinya!"

"Kapan kejadian itu terjadi?" kali ini Papalah yang bertanya.

Kemudian mengalirlah cerita dari Bang Tama. Cerita yang sama dengan apa yang ia katakan padaku tadi. Kecuali bagian dimana Mbak Raya yang memaksa untuk menerima permintaan ayahnya. Entahlah, mungkin Bang Tama tak ingin membuat keluarga kami semakin membenci istri pertamanya itu.

"Kamu bisa menolak permintaan itu. Tapi kenyataannya kamu memilih untuk menerima. Kamu membohongi kami semua." ujaran penuh kekecewaan itu terlontar dari cinta pertamaku.

"Maafkan Tama ayah. Sungguh saat itu yang ada dalam pikiran Tama adalah menyelesaikan masalah itu tanpa harus menyakiti Zahwa. Tama yakin sekali jika saat itu saya jujur, maka saat itu juga pernikahan kami akan batal. Tama sangat mencintai Zahwa ayah, maka dari itu pilihan yang tepat adalah dengan menyembunyikan semuanya," jelas Bang Tama.

"Tak ingin menyakiti adikku katamu? Kamu pikir dengan menjadikan adikku sebagai istri kedua, hal itu tak akan menyakitinya? Kamu pikir, jika semua orang tahu adikku adalah istri kedua tak akan ada yang menghujatnya begitu?" cecar Kak Nando.

"Jika begitu, lebih baik sekarang selesaikan saja semuanya!" Tiba-tiba saja mbak Raya mengambil alih percakapan. "Mas Satria bisa tetap berpoligami, atau dia harus menceraikan Zahwa!' ujarnya kembali membuatku terkejut.

"Kenapa harus Zahwa? Bukankah di sini posisimu yang paling rawan? Aku sangat yakin jika pernikahan kalian baru sah secara agama saja," sahut Kak Nando ketus.

"Kenapa harus Zahwa ya? Jawabannya adalah karena saat ini aku tengah mengandung anak Mas Satria," sahut Mbak Raya.

Hampa ... satu kata yang meluncur dari mulut mbak Raya baru saja membuat duniaku seakan hancur. Mengikis habis rasa percaya diriku.

Apa yang aku takutkan benar terjadi. Selain menjadi istri pertama, kini dialah yang lebih dulu berhasil mengandung penerus Bang Tama. Lantas bagaimana denganku?

"Sayang, dengarkan Abang..." tiba-tiba saja suamiku itu telah berdiri di hadapanku, mencoba untuk memeluk tubuh ini.

"Cukup, aku rasa cukup Bang. Tak usah lagi diteruskan karena itu hanya akan semakin menyakiti hatiku. Baiklah jika memang harus memilih, aku bukan wanita jahat yang akan menjadikan seorang anak tak memiliki ayah bahkan sebelum ia lahir. Abang bisa ceraikan aku sekarang juga!" putusku yang mungkin saja akan aku sesali seumur hidup.

"Tidak akan ada perceraian antara Zahwa dan Tama. Demi Allah mama tak akan ridho jika jalan itu yang kalian ambil!" teriak Mama.

"Dek, Abang tidak akan pernah menceraikanmu!" sahut Bang Tama yang membuatku sedikit merasa lega. Oh hati, sebenarnya apa yang kamu mau?

"Jadi kamu akan tetap berpoligami Mas?"

"Raya, saya mohon jangan memperkeruh suasana. Kamu tahu pasti jika saya tidak akan pernah menceraikan Zahwa!" sahut Bang Tama yang sama sekali tidak membuatku merasa bahagia.

"Kalau aku sih gak masalah ya Mas!" ucapan bernada santai dari wanita itu membuatku ingin sekali menamparnya. "Tapi kalau Zahwa keberatan ya kamu harus segera menceraikannya! Ingat janjimu pada almarhum ayahku!" lanjutnya lalu pergi meninggalkan ruang keluarga.

"Wanita seperti itukah yang akan menjadi ibu dari cucuku? Ya Allah, apa salahku sehingga cucuku harus lahir dari wanita tak tahu diri sepertinya?" ratap mama mertuaku.

"Tama, ayah harap kamu bisa ambil keputusan bijak. Menyatukan keduanya jelas tidak mungkin. Untuk melepaskan salah satunya ayah rasa kamu tak akan pernah bisa. Ayah tahu pasti jika kamu juga mencintai istri pertamamu itu. Terbukti jika saat ini dialah yang mengandung anakmu." ucap ayah lembut. Ayah, andai aku bisa dapat lelaki seperti dirimu yang bahkan saat marah tetap bisa berbicara selembut itu.

"Ayah, Tama akan tetap menjadi suami Zahwa. Tidak akan ada perceraian diantara kami. Tapi ayah, maafkan Tama jika saat ini tidak bisa melepaskan Raya. Ayah jelas tahu apa sebabnya!" sahut Bang Tama membuat hatiku mencelos. Ah hati, mulai saat ini kamu harus terbiasa menerima rasa sakit.

"Bagaimana dek?" tanya ayah padaku.

Bagaimana ya? entahlah aku sendiri tak bisa menjelaskan apa mauku. Saat ini tak ada pilihan terbaik menurutku. Berpisah dengannya itu berarti aku kalah dan aku benci dengan itu. Jika tetap bersamanya, itu artinya aku harus siap menerima semua kesakitan yang pasti akan aku rasakan nanti.

"Sayang, dengarkan Papa nak. Sholatlah, minta jawaban dari Allah. Apapun keputusanmu nanti, kami semua akan bersama denganmu. Bertahan atau berpisah, papa jamin tidak akan ada yang mencoba untuk mempengaruhi hatimu saat mengambil keputusan nanti. Baik itu mama atau Tama. Keputusan itu mutlak dari hatimu," ujar Papa.

"Terima kasih banyak Pa. Insyaallah apapun yang terjadi nanti akan menjadi keputusan terbaik untuk masalah rumah tangga kami," sahutku. Oh ayolah Zahwa, tadi dengan gampangnya kamu meminta cerai tapi sekarang? Hatiku benar-benar bimbang. Bertahan atau melepaskan?

Kulihat mama kembali menangis. Maafkan anakmu ini Ma ...

"Zahwa adalah putri mama. Sampai kapanpun Zahwa tetaplah putri mama," ujar Mama lalu memelukku erat.

"Maafkan Zahwa Ma, maaf telah membuat mama menangis!" bisikku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status