LOGIN“Ma, aku pulang, ya.” Savita menyandang tasnya lalu berdiri dari duduknya di ruang makan.
“Kenapa buru-buru, Vita? Papamu paling sebentar lagi pulang.” Citra ikut berdiri lalu mengikuti Savita yang berjalan menuju ruang depan.
Hari masih pagi. Savita memutuskan untuk menginap di rumah itu. Sepanjang malam, Savita tidak bisa tidur. Mahendra tidak meneleponnya sama sekali dan itu pertanda bahwa Kaivan tidak mencarinya.
Savita mengirim pesan singkat semalam. menanyakan kabar Kaivan akan tetapi tidak ada balasan dari Mahendra sampai pagi tiba. Savita menatap sekilas jam tangannya. Pukul 05.30 pagi.
“Kaivan kan besok sekolah, Ma.” Savita menjawab ringan. “Aku harus pastikan semua keperluannya lengkap. Kalau nggak begitu, nanti ada yang ketinggalan.” Imbuhnya lagi.
“Oh yasudah.” Citra mengangguk paham. “Hati-hati di jalan.”
Savita mengendarai mobilnya perlahan. Diperhatikannya Citra melambaikan tangan seraya tersenyum.
Tangan Savita terulur menyalakan radio. Suara penyiar radio yang ceria menyapa telinganya. Savita mendengarkan seraya menyetir mobilnya menuju rumah yang jaraknya 1 jam dari rumah orang tuanya.
“Bi, mana Kaivan” tanya Savita ketika yang membuka pintu asistem rumah tangganya.
“Ada di ruang makan, Bu.”
Savita mengangguk pelan. Dia melangkah masuk. Tetapi berhenti ketika melihat asisten rumah tangga itu masih berdiri di tempatnya seraya menunduk. Melihat ada yang janggal. Savita menghentikan langkahnya.
“Kenapa, Bi Uti?” tanyanya pelan.
“Nggak, Bu.” Bi Uti menyahut pelan seraya menggeleng.
“Bi,” Savita menghela napas. “Cerita saja sama saya. Kayak sama siapa aja.” Tambahnya lalu tersenyum.
Bi Uti merupakan asisten rumah tangga di keluarga itu semenjak Savita hamil Kaivan. Sudah lama bersama dengannya sehingga Savita paham jika Bi Uti memiliki masalah atau ada sesuatu yang ingin disampaikan.
“Anu,” Bi Uti menggaruk dagunya. Ditatapnya Savita ragu.
Savita mengangkat alisnya. Menunggu Bi Uti melanjutkan ucapannya. “Ya, kenapa, Bi?” tanyanya sabar.
“Mbak Gita masih di sini. Dari kemarin, Bu.”
Informasi dari Bi Uti itu membuat senyum di bibir Savita pudar.
‘Mungkin itu sebabnya Mahendra tidak membalas pesanku semalam. Dia sibuk sama Gita.’ Pikir Savita sedih.
Savita menelan ludah susah payah. Dia berjalan menuju Dapur. “Kaivan?” panggilnya dengan suara sedikit keras.
Dia melihat Kaivan sedang duduk di kursi makan. Sibuk dengan sesuatu di dalam wadah berukuran sedang.
“Kaivan? lagi apa?” tanya Savita lagi. Savita tahu jika Kaivan sudah menyukai sesuatu, maka dia tidak akan memedulikan sekitar.
Kaivan segera menoleh. Senyum mengembang melihat Savita datang. “Mama!” serunya tetapi anak itu tidak beranjak dari kursinya. Matanya kembali pada wadah itu. “Aku lagi main playdough yang dibuat Bunda Gita barusan.”
Savita mengangguk. “Sudah sarapan belum?” tanyanya. Jam di tangannya menunjukkan pukul 7 pagi.
“Belum.” Kaivan menjawab pelan. “Bunda lagi mandi, Papa lagi di kamar.”
Savita memejamkan mata sekilas. Dia tidak ingin tahu apa yang dilakukan mereka berdua di rumah itu. Kemudian Savita menuju lemari dapur. “Mau sarapan apa? pancake?”
“Iya, Mama.” Kaivan membalas singkat seraya sibuk dengan mainannnya. “Bunda Gita pinter deh, Ma. Bisa buat kue, buat playdough dari terigu.”
Savita bergumam membalas. Mencoba mengesampingkan rasa iri di hatinya karena telah merebut perhatian Kaivan. Sebaliknya dia mencari bahan pancake instan di dalam lemari penyimpanan tetapi tidak ketemu.
“Seingatku kemarin masih ada, deh. Lumayan banyak.” Savita bergumam sendiri. “Yasudahlah, terpaksa buat sendiri.”
Savita mengambil bahan-bahan untuk membuat pancake juga menyiapakn peralatannya. “Mama butuh waktu buat pancakenya, Nak. Bisa nunggu, kan?”
“Iya, Ma. Bisa.” Kaivan menjawab.
“Eh, Mbak Vita.”
Sapaan itu membuat Savita menoleh. Gita berdiri tidak jauh darinya.
“Savita. Bukan Vita.” Savita mengoreksi sapaan Gita. Dia tidak suka sapaan kesayangan orang tuanya digunakan juga oleh Gita. ‘Nggak sudi aku,’ gerutunya dalam hati.
“Iya, Mbak Savita.” Gita mengoreksi. “Lagi buat pancake ya?” tanyanya lagi.
Savita tidak menjawab.
“Maaf, ya, kemarin aku pake semuanya. Kukira Mbak nggak bakalan butuh.” Gita menghampiri. “Aku bantuin deh. Aku singkirkan dulu piringnya, ya, kuatir pecah.”
Gita mengambil piring kotor yang ada di dekat Savita. Diangkatnya piring itu hendak dibawa ke tempat cuci piring ketika Savita menoleh menatap Gita tidak suka.
“Kata Mahendra, Mbak Savita nggak boleh masak karena kan tangannya untuk pegang piano,” ucap Gita lagi. Senyum manis terpasang di wajah cantik itu.
Ucapan itu membuat Savita mengepalkan tangannya.
“Nggak perlu dibantu.” Savita berkata dengan nada pelan tetapi jelas tidak suka.
“Nggak apa-apa, Mbak. Aku biasa di dapur kok. Maklum, pernah tinggal sendiri.” sahut Gita.
Savita melihat Gita berjalan melewatinya yang sedang memanaskan wajan di atas kompor.
“Eh, Mbak, aduh!” Gita berkata saat kakinya tersandung kakinya sendiri dan piring yang dibawanya dijatuhkan ke lantai. “Aw!” pekik Gita lalu memegangi perutnya.
Bunyi suara kencang itu membuat Mahendra berlari.
“Gita?!” teriak Mahendra panik.
“Aduh, Mbak!” Gita menatap Savita dengan wajah memucat dengan tangan masih di perutnya. “Mbak hati-hati Mbak.”
Savita berdiri mematung dan tidak dapat mengedip walau sekali. Dia terkejut juga.
“Gita, kamu baik-baik aja?” tanya Mahendra memegangi kedua bahu Gita. Lalu tatapannya tertuju pada Savita. “Vita, kamu itu gimana sih. Hati-hati. Gita kan lagi hamil.”
Suara Mahendra meninggi. Suaminya yang tidak pernah marah itu sekarang meninggikan suaranya.
Kaivan berlari menghampiri Gita. “Bunda nggak apa-apa?”
Gita menggeleng pelan. “Nggak kayaknya,” jawabnya.
“Ayo, kamu istirahat aja. Kita ke kamar.” Mahendra menggandeng Gita dan Kaivan bersamanya.
“Piringnya?” Gita menatap piring yang pecah itu.
Mahendra menatap Savita. “Biarin Bibi yang bersihin,” ucapnya. “Ayo, Kaivan. Ikut Papa.”
Savita membeku di tempat. Dia ingin membela diri tetapi tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya. Sebaliknya, perutnya terasa sangat mual. Ditahannya rasa ingin muntah dengan menutup mulutnya.
“Bi,” panggil Savita. “Buat saya saja smoothiesnya.”Bi Uti meletakkan smoothies di depan Savita. “Silakan, Nyonya.” Bi Uti berkata dengan gugup.Savita mengangguk seraya memasang senyumnya. Setidaknya dia mencoba untuk tersenyum pada Bi Uti.“Oiya!” Gita berseru kemudian. “Mbak maaf ya. Aku nggak buatin kamu sarapan. Aku nggak tau apa yang kamu suka.”Savita melihat Gita dengan mata sedikit menyipit.“Nggak apa-apa.” Savita menjawab kaku. “Saya nggak biasa sarapan berat kalau pagi. Biasanya makan roti saja.”“Oh,” balas Gita. “Rotinya habis, Mbak. Maaf ya.”Savita menahan mulutnya untuk berkata pedas pada Gita. Dia hanya memasang senyum kakunya lagi. Menurutnya, Gita memang sedang menguji emosinya.“Semal
“Sayang, sudah bangun?”Suara berat itu terdengar saat Savita sedang merapikan rambutnya. Savita tidak menjawab. Dia kembali memulas bedak di wajahnya secara tipis-tipis.“Aku tunggu di ruang makan ya. Kaivan sudah bangun juga.”Savita melihat dari balik pintu yang tertutup itu, Mahendra bergerak menjauh. Savita meletakkan bedaknya di atas meja rias lalu menghela napas. Dia teringat kejadian kemarin. Keputusan Mahendra untuk segera menikahi Gita. Pernikahan itu terjadi kemarin di kantor KUA.Savita melihat betapa orang tua Gita begitu senang ketika tahu putrinya akan menikahi Mahendra. Katanya mereka menerima segala keputusan anaknya.Savita menelan ludah. Ditutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu menghela napas. Setelah menikah kemarin, Mahendra berkata padanya bahwa dia akan tidur di rumah Gita untuk semalam. Savita tidak bisa berbuat apa-apa.“Beruntung kemarin Kaivan nggak ikut.” Gumam Savita.Kaivan kemarin merengek ingin ke rumah nenek Citra. Savita tersenyum senang menanggap
“Ma, aku pulang, ya.” Savita menyandang tasnya lalu berdiri dari duduknya di ruang makan.“Kenapa buru-buru, Vita? Papamu paling sebentar lagi pulang.” Citra ikut berdiri lalu mengikuti Savita yang berjalan menuju ruang depan.Hari masih pagi. Savita memutuskan untuk menginap di rumah itu. Sepanjang malam, Savita tidak bisa tidur. Mahendra tidak meneleponnya sama sekali dan itu pertanda bahwa Kaivan tidak mencarinya. Savita mengirim pesan singkat semalam. menanyakan kabar Kaivan akan tetapi tidak ada balasan dari Mahendra sampai pagi tiba. Savita menatap sekilas jam tangannya. Pukul 05.30 pagi. “Kaivan kan besok sekolah, Ma.” Savita menjawab ringan. “Aku harus pastikan semua keperluannya lengkap. Kalau nggak begitu, nanti ada yang ketinggalan.” Imbuhnya lagi.“Oh yasudah.” Citra mengangguk paham. “Hati-hati di jalan.”Savita mengendarai mobilnya perlahan. Diperhatikannya Citra melambaikan tangan seraya tersenyum. Tangan Savita terulur menyalakan radio. Suara penyiar radio yang ceri
“Apa kabar, Sayang?” Citra memeluk singkat Savita. Kemudian diperhatikan putri semata wayangnya itu saksama. “Kamu kurusan.”Savita tersenyum tipis.“Dan agak pucat.” Citra kembali berbicara. “Mungkin aku kelelahan, Ma.” Savita berkata pelan tanpa melihat mata Citra. Dia khawatir saat melihat mata Mamanya, maka pertahanannya runtuh seketika. “Yuk masuk.” Citra mengajak putrinya masuk ke dalam rumah itu. Rumah yang ukurannya tidak terlalu besar. Hanya diisi oleh kedua orang tua Savita dan seorang asisten rumah tangga yang mengurusi segalanya. “Mahendra sibuk kerja ya?” tanya Citra saat membawa Savita ke ruang tengah. Savita mengangguk pelan. “Begitulah, Ma. Sibuk.”“Kalau nggak sibuk, ajak kemari. Sudah lama Mama nggak ketemu Mahendra.” Citra tersenyum. “Oiya,” ucapnya kemudian.“Ada apa, Ma?” tanya Savita saat melihat Mamanya seolah teringat sesuatu.“Kamu tau, kan, artis Gita Yohani?” Alis Savita naik. “Kenapa, Ma?” mendadak jantungnya berdebar. Dia takut Mamanya sudah tahu dar
“Bagaimana kabarmu, Nak? Baik-baik saja, kan?” Suara Citra, Ibunya, membuat Savita menutup mata. Dihela napasnya pelan lalu tersenyum.“Baik, Ma,” balas Savita. “Aku lagi di sekolahan Kaivan.”“Loh, Kaivan bukannya ada mobil antar jemputnya dari sekolah kan, Vita?” terdengar suara heran dari Citra. Savita mengangguk masih tersenyum. Dia senang mendengar suara Ibunya walau dari sambungan telepon. Saat ini dia sedang menunggu di dalam mobil, di depan sekolah Kaivan. “Iya, Ma. Ada. Cuma aku lagi pengen aja jemput,” balasnya. Diperhatikan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktunya masih jauh dari jam jemput. Masih ada dua jam lagi. Savita butuh keluar dari rumah itu sebab di rumah tersebut ada Gita. Dia sedang tidak ingin bersama dengan Gita satu atap untuk sekarang.“Kamu belum jawab pertanyaan Mama. Kamu baik-baik aja?”Senyum Savita memudar. Ditahannya air mata agar tidak jatuh. Mendadak dadanya terasa sakit hingga dia bahkan hampir sulit bernapas. Perlahan, dia membuka
"Kabar bahagia sekaligus mengejutkan datang dari artis papan atas, Gita Yosani!" suara ceria host acara gosip selebriti terdengar dari layar televisi.Savita duduk memandangi layar dengan tatapan kosong. Ditampilkan potongan video Gita beserta unggahan pernyataan resmi di laman pribadinya."Ya, ini benar-benar mengejutkan. Gita Yosani, artis cantik yang dikenal sangat tertutup soal kehidupan asmaranya, tiba-tiba mengumumkan pernikahan!"Host wanita berpenampilan kasual itu tersenyum lebar, suaranya riang dan ringan."Dalam unggahan tersebut, Gita hanya menulis caption singkat sambil mengenakan gaun pengantin putih. Namun, dia tidak menandai siapa pun. Hal ini tentu saja membuat para penggemar penasaran dengan sosok pria yang berhasil mempersuntingnya."Dua hari lalu, setelah Savita mengizinkan Mahendra menikahi Gita, pria itu langsung mempersiapkan segalanya tanpa menunda. Dan kemarin, Gita resmi mengumumkan pernikahannya di media sosial.Suara host kembali terdengar, "Mari kita lihat







