Bab 2
Riri berlari kecil menghampiri Daffa dan Nelly yang berdiri di depan ruang ICU. Di belakangnya nampak Leo mengiringi dengan langkah-langkah panjangnya.Setelah menerima telepon dari Daffa, Leo memutuskan untuk mengantar Riri ke rumah sakit yang disebut oleh Daffa. Leo harus tahu situasi yang sebenarnya agar ia bisa mengambil manfaat dari keadaan tersebut.
Daffa sama sekali tidak berbohong. Ibu mereka yang bernama Diana itu memang dirawat di rumah sakit.
"Bagaimana keadaan Ibu, Mas?" Nafas Riri terengah. Gadis itu berdiri di depan sang kakak. Riri meraih tangan Daffa dan menggenggamnya erat.
"Ibu masih belum sadar...." Nelly menjawab mendahului Daffa.
"Ya, tapi kita tidak punya uang untuk membiayai operasi itu, meskipun sudah ada donornya, yaitu Mas sendiri." Suara Daffa terdengar lirih, lalu menghela nafas berat. Dia pun bingung dan pusing. Dia rela berbagi ginjal dengan ibunya, tapi untuk melakukan operasi itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Pekerjaan Daffa hanya buruh pabrik, sementara pekerjaan Riri dulunya hanya sebagai baby sister sebelum kini ia menganggur. Mereka bukan orang kaya.
"Maaf sudah merepotkanmu, Dik. Bagaimanapun, tanggung jawab Ibu seharusnya ada pada Mas Daffa sebagai anak lelaki," timpal Nelly. Wanita muda itu pun sebenarnya tak kalah cemas.
"Aku nggak apa-apa, Mbak. Itu sudah kewajibanku sebagai seorang anak. Kita harus saling memahami," sahut Riri.
"Memangnya berapa biaya operasi itu, Mas Daffa?" tiba-tiba Leo yang baru saja sampai di hadapan mereka angkat bicara. Pria tampan itu menatap lurus Daffa. Ekspresi wajahnya terlihat sangat serius.
"Kamu siapa?" Daffa baru menyadari jika ternyata adiknya tidak datang sendiri. Ada seorang lelaki yang mendampingi adiknya. Lelaki bertubuh tinggi tegap, berparas tampan dan terlihat bukan orang sembarangan dari pakaian yang ia kenakan.
"Maaf, kenalkan, nama saya Leo. Saya kekasihnya Riri," ucap lelaki itu sopan.
"Akting!" dengus Riri dalam hati.
Namun dia tidak sampai hati meralat ucapan Leo. Riri membiarkan saja kedua lelaki itu serius berdiskusi, sementara dia mengajak Nelly untuk sedikit menjauh dan berbicara tentang topik yang lain.
***Akhirnya Diana menjalani operasi ginjal dengan Daffa sebagai donornya. Sebenarnya Riri ingin menjadi pendonor, tapi Daffa melarang. Daffa mengatakan, jika mereka harus berbagi sebagai saudara. Riri yang menanggung semua biaya pengobatan ibunya melalui Leo, sementara Daffa akan berbagi ginjal dengan ibunya.
Bukankah itu impas?
"Terima kasih, Mas," ucap Riri lirih saat keduanya berdiri di sebuah lorong setelah keluar dari ruangan kerja dokter spesialis penyakit dalam.
"Kamu tahu apa yang aku inginkan, bukan?" Ucapan Leo begitu datar. "Tidak ada makan siang yang gratis!"
"Kamu memaksaku dengan cara ini, Mas. Kamu memaksaku dengan tidak memberikan aku pilihan," keluh Riri.
"Apa susahnya sih menjadi kekasihku, lalu kita menikah? Itu pekerjaan paling mudah. Kamu tinggal duduk manis di apartemen. Lagi pula, ini hanya sementara dan aku berjanji tidak akan ngapa-ngapain kamu. Jikalau kita bercerai pun, kamu akan tetap utuh dan bisa memberikan sesuatu yang berharga untuk suamimu nantinya," bujuk Leo. Pria itu menggeleng. Ternyata sesulit ini membujuk Riri. Meskipun Riri berasal dari keluarga sederhana, tapi ia tak bergeming dengan kemewahan yang ia tawarkan. Jauh berbeda dengan wanita-wanita yang di tawarkan orang tuanya.
Apalagi, Nilam!
Huh!
Leo mendengus. Amit-amit jika sampai menikahi Nilam. Jangan pikir ia tidak tahu kepentingan keluarga Gunadi di balik perjodohan itu.
"Bukan itu maksudku, Mas." Riri menggeleng seraya menghempaskan tangan Leo yang kembali melekat pada bahunya,
"Baiklah." Nada suaranya seperti putus asa.
"Kalau kamu memang ingin aku melakukan hal yang kamu inginkan, aku punya syarat...."
"Syarat apapun akan aku penuhi," ucap Leo cepat.
"Mintalah aku kepada Ibu dan Mas Daffa, karena dia yang bertanggung jawab atas diriku sekarang. Kita itu akan nikah beneran, Mas, meskipun kenyataannya hanya di atas kertas. Mintalah aku secara baik-baik kepada orang yang berhak atas diriku...."
Leo langsung berdehem. "Itu urusan gampang. Jika kamu bisa berakting untuk menghadapi keluargaku, aku pun juga bisa berakting untuk menghadapi keluargamu. tapi kukira menghadapi keluargamu tidak akan sulit. Mereka pasti akan menyetujui pernikahan ini." Lagi-lagi Leo menyela dengan penuh percaya diri. Pria itu meraih tangan Riri dan menariknya pelan, mengajaknya untuk menjauhi tempat itu.
***
"Maafkan Ibu, Nak Leo. Belum apa-apa sudah merepotkanmu, padahal kamu belum resmi menjadi suaminya Putri Ibu." Wanita tua itu meraih tangan Leo, menggenggamnya hangat.
Akhirnya setelah beberapa jam, Diana pun tersadar. Leo menggunakan kesempatan itu untuk membujuk Diana agar mau menerima dirinya sebagai menantu di keluarga ini.
"Itu sudah kewajibanku sebagai calon menantu Ibu. Ibu jangan khawatir. Ibu fokus pada kesehatan ibu saja. Jangan berpikiran macam-macam ya, Bu." Leo balas menggenggam tangan keriput itu, menggenggamnya lembut dengan senyum yang senantiasa terukir di bibirnya.
Akting yang sempurna!
Selalu itu yang diucapkan oleh Riri dalam hati ketika melihat interaksi antara Leo dengan ibunya. Gadis itu berdiri tegak tak jauh dari ranjang yang ditempati oleh Diana.
"Maaf Bu, mungkin semuanya tidak seperti yang Ibu harapkan. Aku harus melakukan ini demi Ibu. Demi Ibu, aku akan melakukan apapun. Tidak boleh ada yang tahu di keluarga kita jika sebenarnya Mas Leo itu hanya akan menjadi suami pura-puraku." Riri menggigit bibirnya. Dia menatap Leo yang masih asyik berbicara dengan ibunya.
"Kesini, Nak," panggil Diana pelan.
Riri pun akhirnya mendekat. Dia berdiri tepat di samping Leo yang duduk di kursi dekat pembaringan Diana.
"Ibu bersyukur kamu bisa bertemu dengan lelaki baik ini. Ibu merestuimu, Nak." Pandangan mata itu begitu teduh. Diana yang polos sama sekali tidak bisa membaca tatapan mata sendu milik putrinya. Tatapan sendu itu hanya terbaca oleh Diana yang berpikiran bahwa putrinya pasti merasa sedih, karena setelah menikah nanti Riri tidak akan bisa bekerja seperti biasanya.
"Menikahlah dan raih kebahagiaanmu. Jangan mikir yang macam-macam. Ibu akan segera sembuh dan kamu tidak perlu lagi harus pantang-panting cari uang untuk biaya pengobatan Ibu." Diana mengulas senyumnya.
Melihat interaksi ibu dan anak itu, seketika senyum Leo terbit. Semudah ini ia membujuk Diana, tidak seperti saat ia membujuk Riri. Ya, jelas saja, karena Diana tidak tahu kesepakatan yang telah Leo dan Riri buat.
"Sayang.... Di depan ibumu, aku ingin melamarmu. Maukah kamu menjadi istriku?" Tiba-tiba saja Leo mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik bajunya. Leo segera membukanya dan seuntai kalung yang indah tampak menyembul dari kotak berukuran mungil itu.
"Maaf jika ini terlalu mendadak buat kamu. Aku sudah nggak sabar. Aku pun mempersiapkan ini dadakan. Seharusnya aku melamarmu dengan cincin, tetapi kenyataannya hanya benda ini yang bisa aku siapkan." Pria itu berdiri dan tanpa menunggu jawaban dari Riri, Leo memutar tubuhnya dan berhenti tepat di belakang gadis itu, lalu memasangkan kalung ke leher Riri yang hanya bisa pasrah.
Gadis itu menahan nafasnya, karena aroma maskulin itu lagi-lagi menguar saat mereka berdekatan.
Diana menatap sepasang anak muda itu dengan senyum teduhnya. Dia benar-benar bersyukur dan merasa sangat bahagia.
Hari demi hari terus berganti dan kini kondisi Diana sudah jauh lebih baik. Leo merasa waktunya sudah tepat. Dia harua membawa Riri ke hadapan keluarganya.
Siang ini ia berencana akan membawa gadis itu ke hadapan papa dan mamanya. Sebelumnya ia mempermak penampilan gadis itu agar terlihat lebih modis dan cantik. Leo membawa Riri ke sebuah salon.
Dua jam kemudian, Riri muncul dihadapan Leo. Gadis itu mengenakan dress berwarna kuning muda, terlihat begitu cantik. Rambutnya dibuat sedikit bergelombang, bahkan helaiannya mengenai dada Leo saat keduanya berdekatan. Riri memang memiliki rambut yang cukup panjang dan itu membuatnya kian terlihat anggun.
"Kamu cantik," puji Leo tulus. "Orang tuaku pasti akan menerima kamu. Jadi jangan merasa gugup. Rileks ya, Ri." Saat ini keduanya sudah berada di mobil dan meluncur menuju kediaman utama keluarga Arnando.
Tak perlu memakan waktu lama, akhirnya keduanya pun sampai. Leo mengerutkan kening saat melihat ada sebuah mobil tak dikenal yang terparkir di halaman rumah. Namun Leo memilih untuk tak ambil pusing. Dia membukakan pintu mobil untuk Riri. Keduanya berjalan bergandengan menuju teras yang terhubung dengan pintu utama. Pintu utama pun juga sudah terbuka. Leo melangkah ke dalam seraya melirik Riri sekilas. Terlihat jelas gadis itu mencoba untuk tetap bersikap tenang.
Sembari melangkah dengan tetap menggandeng Riri, Leo menatap lurus beberapa orang yang duduk di sofa. Ah, ternyata benar. Kedua orang tuanya memang tengah menerima tamu.
Bab 3Riri berusaha untuk tetap tenang meskipun lima pasang mata tengah memandangnya dengan tatapan menindas. Ya, di ruangan itu ada Arnando, Sinta, Gunadi, Rossi dan Nilam. Gunadi dan Rossi adalah ayah dan ibu Nilam, wanita yang tengah dijodohkan dengan Leo.Setidaknya itu yang Riri ketahui dari cerita pria itu."Siapa gadis ini, Leo?" Meskipun sudah mengenakan pakaian yang bagus, tapi di mata Sinta, Riri tetap saja kampungan. Dia bisa menebak gadis itu sengaja di make over Leo untuk mengelabui pandangan mereka.Cuih!Jangan harap mereka bisa tertipu!"Kenalkan Pa, Ma, ini Riri. Dia kekasihku," ujar Leo lantang. Pernyataannya membuat semua mata tertuju kepadanya.Riri mengulurkan tangan kepada Sinta. Namun wanita tua itu segera menepis kasar. "Jangan sentuh! Jangan harap saya mau bersalaman dengan gadis kampung seperti kamu!""Ma!" pekik Leo spontan."Kenapa Mama bersikap kasar kepada Riri? Dia kekasihku, Ma. Gadis pilihanku! Bukankah Mama dan Papa selama ini ingin agar aku membawa
Bab 4Riri yang membaca situasi sudah tak mengenakkan segera menghindar. Dia berlari kecil menjauhi tempat itu, sehingga luput dari amukan Arnando. Meski tidak hafal dengan lika-liku rumah ini, tetapi tanpa sadar Riri berjalan melewati pintu samping yang terhubung dengan kamar pribadi Leo."Kenapa kamu meninggalkanku sendirian? Memangnya kamu pikir menghadapi orang tuamu itu mudah?" protes Riri. Dia yang dengan segera bisa menemukan kamar Leo, membuka pintunya yang memang sudah tidak terkunci. Riri melangkah masuk dengan wajah masam.Leo yang tengah berbaring segera bangkit, spontan menepuk-nepuk kasur di sisinya. "Duduk dulu, Ri. Aku tahu itu bukan hal yang mudah, tapi kamu baik-baik saja, bukan? Kamu nggak diapa-apain sama mereka, kan?"Gadis itu menggeleng. "Tapi aku harus berdebat habis-habisan dengan mereka. Itu pun aku tidak yakin bisa membuat mereka berpikir dan memberikan restu pada rencana pernikahan kita," ungkapnya."Dengan restu atau tidak, pernikahan kita tetap akan berl
Bab 5Riri terus memejamkan mata sampai aroma tubuh maskulin itu benar-benar lenyap dari indera penciumnya, baru setelah itu ia menutup pintu apartemen, kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa.Riri memegang keningnya. Bekas bibir Leo masih begitu terasa, begitu lembut dan hangat. Harus diakui, terkadang sikap Leo begitu manis kepadanya, meski itu tak bisa menyembunyikan sifat aslinya yang dingin dan sedikit arogan "Ah, apa yang aku pikirkan? Kenapa aku malah memikirkan ciuman Mas Leo barusan? Tidak menutup kemungkinan jika itu hanya akting, kan? Bukankah kami hanya teman dan partner sebuah perjanjian? Tidak seharusnya aku terbawa perasaan padanya." Sebuah sisi di hatinya menegur.Namun tak urung, dadanya serasa dipukul. Pukulan bertalu-talu yang membuat gadis itu memegang dadanya."Ada apa denganku? Kenapa dadaku seperti ini?" Gadis itu kembali memejamkan mata seraya mengingat-ingat apa yang sudah mereka lewati hingga berada di titik ini.Berawal dari diberhentikannya dirinya dari
Bab 6"Jangan bilang kamu ingin menggodaku, Ri, desis Leo seraya melangkah mundur. Matanya menatap sekilas gadis di hadapannya, sesudah itu ia membuang muka.Leo lelaki normal. Munafik rasanya jika ia tidak tergoda dengan penampilan gadis itu. Seluruh tubuh Riri terekspos dan ia tahu betul, Riri masih perawan. Kenyataan itu memacu adrenalinnya. Sekali lagi Leo mundur selangkah, sembari mati-matian berusaha menahan diri. Jika menurutkan hati, ingin rasanya ia menerkam Riri saat itu juga. Tapi ia ingat, bukan cuma Riri yang tidak boleh terbawa perasaan, tetapi juga dirinya"Kenapa kamu menggunakan pakaian laknat ini?! Jangan melanggar perjanjian, Ri." Sepasang mata itu berkilat-kilat. Leo benar-benar kecewa. Rahangnya bahkan mengeras lantaran emosi."Mas, aku bisa jelaskan...." l.idah Riri serasa kelu saat melihat tangan Leo yang terangkat."Stop! Aku nggak butuh penjelasan apapun darimu. Kamu udah bikin aku kecewa. Buat apa kamu mengenakan pakaian seperti ini? Ini bukan pernikahan yan
Bab 7Sepasang mata gadis itu mengerjap dan tersentak kaget saat melihat wajah tampan yang berjarak sangat dekat dengan dirinya. Dada Riri seketika berdesir. Tubuhnya langsung terasa panas dingin. Tangan kokoh itu masih saja membelai-belai rambutnya.Ah.... Desahan itu lolos begitu saja dari mulut Riri seolah memberi sinyal kepada Leo untuk melakukan hal yang lebih.Pandangan Leo seketika mengabut. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja raut wajah Riri berubah menjadi wajah seorang wanita yang namanya selama ini ia tulis rapi di dalam hatinya. Zakia!Ya, dialah Zakia. Sayang, dia sudah jadi istri orang. Seandainya suaminya bukan Arkan, barangkali Leo akan bertindak nekat merebut wanita itu dari dekapan suaminya. Entah ini dinamakan pengecut atau bukan, tapi Leo tak mau berurusan dengan Arkan. Dia tahu betul level Arkan berada dimana. Jangan sampai ia mati konyol karena bermasalah dengan bos besar Jaguar Mobil itu.Ya, Leo hanya bisa mencintai Zakia dalam diam.Leo semakin mendekatkan wa
Bab 8"Memanfaatkan keadaan? Apa maksud Mas?" Riri mengerutkan keningnya sembari beringsut menjauh. Meskipun penampilan Leo berantakan, tetapi itu tak mengurangi kadar ketampanannya, bahkan ketampanannya malah bertambah berkali-kali lipat. Aroma tubuh lelaki itu pun sangat memabukkan. Riri tak bisa berdekatan dengan lelaki itu terlalu lama dan memutuskan melangkah menuju sofa. Namun lelaki itu segera mengejar. Pria itu berjalan tanpa peduli dirinya sendiri yang dalam keadaan polos, tak mengenakan sehelai benang pun.Riri segera menutup mata. Tak sampai hati ia melihat pemandangan itu, meski rasa ingin tahunya terhadap lekuk tubuh lelaki itu begitu besar. Dia tak ingin mata perawannya terus ternodai dengan memandang pahatan indah ciptaan Tuhan, walaupun sebenarnya ia boleh melihatnya kapanpun ia inginkan."Jangan berpura-pura, Ri! Aku tahu kamu melakukan sesuatu tadi malam. Jika tidak, bagaimana mungkin diriku sampai tidak berbusana seperti ini. Pasti kamu kan, yang sudah...." Lelaki
Bab 9"Tapi gadis ini jelas tidak seimbang denganmu. Dia hanya tahu memasak dan mencuci pakaian. Hanya itu, kan, yang bisa ia kerjakan?!" tukas Sinta seolah tak peduli dengan air mata yang terus berhamburan dari sudut mata Riri."Menurut Mama, apakah pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan yang hina?!" sahut Leo. Dadanya turun naik. Menghadapi sang ibunda memang selalu menguras emosinya."Apa salahnya seorang istri memasak dan mencuci pakaian suaminya? Aku tidak pernah meminta Riri untuk melakukan hal itu, tapi dia sendiri yang ingin mengerjakannya. Bahkan aku pernah menawarkan untuk mencarikan asisten rumah tangga, tetapi Riri hanya mengizinkan asisten rumah tangga yang dibayar per jam untuk membantu pekerjaannya. Apakah itu salah?" Leo mendongak, memandang Sinta dengan tajam. Pandangannya begitu mengintimidasi. Lalu bibirnya mulai mengukir senyuman, lebih tepatnya menyeringai."Aku lebih baik memiliki istri yang hanya bisa memasak dan mencuci pakaian, daripada punya istri yang kerjan
Bab 10"Kamu tanya apa tadi?!" ulang Leo dengan sorot mata yang begitu tajam."Apakah kamu mencintai Nyonya Zakia, Mas?" tanya Riri dengan berani. Dia harus memastikan dugaannya. Boleh jadi jawaban Leo pahit, tetapi dia harus mendengar pengakuan itu langsung dari mulut Leo."Kamu terlalu banyak ingin tahu, Ri." Seketika wajah lelaki itu merah padam. Suaranya mendesis."Bagaimana mungkin aku tidak memiliki rasa ingin tahu, jika suamiku menyebut nama wanita lain saat akan menyatukan...." Omongan Riri seketika terhenti saat sebuah tangan membekap mulutnya."Itu bukan urusanmu, Ri. Dan itu adalah privasiku. Kamu nggak berhak untuk mengetahuinya. Kamu itu cuma istri pura-pura! Sadar dong dengan posisimu?" Leo melepaskan tangannya dari mulut Riri."Tetapi pernikahan kita sah dan bagiku nggak ada pernikahan pura-pura. Mungkin bagi kamu ini adalah pernikahan pura-pura dan menganggapku hanya sekedar istri pura-pura. Tapi bagiku nggak, Mas. Aku melakukan ini karena aku sayang sama Ibu. Aku ingi