Di lantai tertinggi sebuah hotel mewah yang menghadap gemerlap Broadway, malam membeku dalam keabadian sunyi.
Aurora terhuyung, napasnya berat, kulitnya seolah membara di bawah balutan kemeja tipis yang kini terasa terlalu panas. Matanya, setengah terpejam karena efek wine dan obat perangsang yang diminumnya. Seorang pria bertubuh tinggi, berjas gelap sempurna, dengan aura yang menggetarkan, menggendong tubuh mungil itu dalam pelukannya. Langkahnya mantap saat ia membaringkan Aurora di atas ranjang berseprai putih bersih, beraroma segar lavender dan kekayaan. Pria itu menatapnya sejenak, seolah ragu. Ia bukan pria yang bisa tidur dengan sembarang wanita. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari sana. Namun sebelum sempat menjauh, tangan mungil Aurora—gemetar, lemah, tapi penuh keputusasaan—meraih dasinya. Ia menariknya ke arah wajahnya, menghapus jarak di antara mereka hingga wajah mereka hanya tinggal beberapa senti. Mata mereka bertemu. Aurora bisa melihat dirinya sendiri di dalam mata pria itu: retak, hilang, haus akan sesuatu yang lebih besar daripada rasa sakit ini. “Aku... mohon...,” bisiknya parau. “Bawa aku pergi... malam ini saja... buat aku melupakan semuanya…” Pria itu menahan napasnya, matanya menggelap. Aroma tubuh Aurora, hangat dan manis, merayap ke dalam hidungnya, membakar akal sehat yang tersisa. Dengan gerakan perlahan namun pasti, ia mengurung tubuh kecil itu, sebelah tangannya bertumpu di sisi wajah Aurora. Otot-otot di bawah jasnya menegang, menahan diri dari hasrat liar yang hampir meledak. "Kau yakin, Nona?" Suara pria itu dalam, serak, seperti tanah longsor yang akan menelan segalanya. Aurora hanya mengangguk. Ia sudah melewati titik tanpa kembali. Malam ini, ia ingin hancur, ingin meleleh dalam pelukan pria asing ini, membiarkan rasa sakitnya mengalir pergi bersama keringat dan air mata. Senyum tipis—nyaris kejam—menghiasi bibir pria itu. "Kalau begitu... kau akan mendapatkan lebih dari yang kau minta." Tanpa menunggu lagi, ia membungkuk dan mencium Aurora. Ciuman itu kasar, dalam, seolah ingin menyerap seluruh keputusasaannya. Aurora tersentak, namun secepat itu pula tubuhnya membalas: merangkul leher pria itu, menariknya lebih dalam, mengoyakkan sisa-sisa kendali yang ada. Tangannya mencengkeram jas pria itu, mencari pegangan di tengah badai yang menelannya. Jari-jarinya menelusup ke balik kemeja, menyentuh kulit panas di baliknya. “Ahh…” Desahan pertama lolos dari bibir Aurora saat pria itu mendorong tubuhnya lebih dalam ke ranjang. Ia menelusuri leher Aurora dengan bibir dan lidah, menjilat, menggigit, meninggalkan jejak merah basah yang berdenyut. Aurora menggeliat, punggungnya melengkung dengan indah. Kancing kemejanya satu per satu terlepas di tangan pria itu. Kulit pucatnya terbuka, memperlihatkan lekuk tubuh yang begitu memesona dalam keremangan lampu kamar. Pria itu berhenti sejenak, memandangi keindahan Aurora seolah ia adalah karya seni terlarang. Dengan gemetar, Aurora menarik pria itu turun, membisikkan keputusasaan di telinganya. "Jangan berhenti..." Permintaannya membakar darah pria itu. Ia membungkuk, mencium leher Aurora dengan rakus. Lidahnya menari di sepanjang tulang selangka, turun perlahan ke bukit kembar yang naik turun dengan napas terengah-engah. Aurora menangis tanpa suara. Entah karena rasa sakit, atau karena akhirnya ada seseorang—walau hanya malam ini—yang membuatnya merasa hidup lagi. Tangan pria itu menjelajahi tubuhnya tanpa ampun. Setiap sentuhan, setiap gesekan kulit ke kulit, membawa Aurora lebih dalam ke pusaran kenikmatan dan penderitaan. Baju Aurora akhirnya tercampak ke lantai. Begitu pula pakaian pria itu, menyisakan tubuhnya yang berotot, keras, dan panas melawan tubuh Aurora yang rapuh namun penuh keberanian. Mereka saling bertatapan dengan napas yang terengah dan wajah yang memerah. Pria itu kembali menunduk, menciumi leher Aurora yang jenjang dan putih. Mereka saling membelit di atas ranjang, seperti dua makhluk terluka yang mencari keselamatan satu sama lain. Setiap desahan, erangan, dan jeritan tertahan bergema di ruangan itu, menggema dalam jiwa mereka yang kosong. “Aaaaarrrggghh!” Saat pria itu masuk ke dalamnya, dalam satu gerakan lambat namun pasti. Aurora terisak, bukan karena sakit, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam: sebuah rasa kehilangan yang kini berubah menjadi letupan hasrat mentah. Mereka bergerak bersama, ritmis, liar, penuh kebutuhan purba. Seprai terpelintir, bantal-bantal jatuh dari ranjang, udara di kamar itu menjadi tebal oleh aroma kenikmatan, keringat, dan patah hati. Aurora mencakar punggung pria itu, meninggalkan jejak merah. Pria itu membalas dengan ciuman penuh gigitan kecil di leher dan bahunya, mengklaimnya untuk malam itu. Tubuh mereka berpadu dalam irama tak suci, berulang kali mencapai puncak, tenggelam bersama ke dalam jurang kenikmatan yang melenakan. Dan ketika tubuh mereka akhirnya menyerah, mereka jatuh, terkulai dalam satu pelukan lengket, saling menggenggam seolah takut kehilangan satu sama lain. Di tengah keheningan setelahnya, Aurora menutup matanya, membiarkan air mata jatuh diam-diam ke bantal. Tak ada kata-kata di antara mereka. Tak ada janji. Hanya tubuh yang saling membungkus, saling menghangatkan di tengah kehampaan malam. *** Pagi harinya. Sinar matahari menerobos tirai, membelai wajah Aurora yang tertidur lelap. Ia mengerjap pelan, kepalanya berat, tubuhnya terasa remuk. Setiap otot mengeluh saat ia mencoba bergerak. Napasnya berat, kulitnya masih membawa sisa panas malam itu. Ia menggeliat, mencari kehangatan di sebelahnya. Namun ranjang itu kosong. Aurora membuka mata sepenuhnya. Tak ada siapa-siapa. Hanya seprai kusut, baju-baju bertebaran di lantai, dan aroma samar tubuh pria itu yang masih mengambang di udara. “Apa yang aku lakukan tadi malam?” gumamnya masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Dengan gemetar, Aurora duduk. Selimut meluncur dari bahunya, memperlihatkan kulitnya yang penuh tanda merah kebiruan, jejak kepemilikan yang tertinggal di sepanjang leher dan dadanya. “Bodoh sekali!” Ia memeluk dirinya sendiri, tiba-tiba merasa sangat kecil. Di tengah kekacauan kamar, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah kartu nama di lantai, dekat sofa kulit hitam. Aurora merangkak, mengambilnya dengan tangan gemetar. Matanya membelalak saat membaca nama yang tertera di sana: Leonhart D’Amico. D’Amico. Nama itu...Saat tengah malam, Aurora berdiri di bawah cahaya lampu jalan yang remang, hoodie abu-abunya setengah menutupi wajah. Nafasnya berembus putih di udara malam yang dingin. Matanya menyapu jalan sepi, sampai lampu sorot mobil hitam muncul perlahan dari tikungan. Rolls Royce hitam itu berhenti tepat di depannya. Kaca jendela depan perlahan turun. “Masuk,” suara Leonhart terdengar tegas dari balik kemudi. Aurora menelan ludah. Ia masuk ke dalam mobil tanpa banyak bicara. Aroma kulit dan parfum mahal langsung membungkusnya. Mereka diam beberapa saat. Mobil melaju. Namun bukan ke arah pusat kota, juga bukan ke mansion Leonhart. Aurora mengerutkan kening. “Kita... mau ke mana?” Leonhart tak menjawab. Fokus pada jalan. Wajahnya gelap, rahangnya mengeras. Aurora menggigit bibir. “Aku—maaf soal tadi. Aku benar-benar harus menemani Ibu—” “Kenapa kau tak membalas pesanku seharian?” potong Leonhart, dingin. “Aku... sibuk. Di ruang operasi. Aku... aku takut mengganggumu dengan k
Setelah malam panas itu, keesokkan harinya Aurora kembali ke apartemen kecilnya untuk mengganti pakaiannya. Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. ia pun duduk di tepi ranjang untuk melihat notifikasi apakah itu.Ia terdiam menatap layar ponselnya. Seseorang telah mentransfer sejumlah uang dalam nominal besar. Angka itu membuatnya nyaris terjatuh.Transfer masuk: $500.000Pengirim: Leonhart D’AmicoJantungnya berdentum hebat. Itu bukan mimpi. Bukan khayalan. Angka nol yang berderet itu nyata. Membanjiri rekeningnya dan menyulut satu hal yang sudah lama ia kubur dalam-dalam: harapan.Tanpa menunggu lama, Aurora segera meraih jaket dan tas kecilnya. Langkahnya menyusuri lorong apartemen sempit, lalu memanggil taksi ke rumah sakit tempat ibunya dirawat. Hari itu, ia hanya punya satu tujuan: menyelamatkan ibunya. Apapun caranya.Aurora langsung menuju rumah sakit di mana Ibunya dirawat. Tujuannya saat ini adalah loket administrasi. “Pembayaran diterima, Miss Smith.”Petugas administrasi
Ciuman itu liar, brutal, penuh amarah yang tak lagi bisa dibendung.Aurora membalas dengan semangat yang sama, menyalurkan semua dendam, keinginan, dan rasa sakit yang selama ini dia kubur.Tangan Leonhart menjalar ke pinggangnya, menariknya lebih dekat, seolah ingin menyatu dengan tubuhnya.Aurora melilitkan tangannya di leher pria itu, membalas ciumannya dengan gigitan kecil di bibir bawahnya yang membuat Leonhart menggeram rendah, liar.Mereka seolah kehilangan diri dalam badai gairah.Tangan Leonhart bergerak turun, mengusap garis pinggang Aurora, lalu mengangkat tubuhnya dengan mudah, menekan tubuh mungil itu di dinding. Aurora melilitkan kakinya di pinggang Leonhart.Dalam kepungan ciuman dan desahan, Aurora bisa merasakan... ini bukan hanya tentang hasrat.Ada sesuatu yang lebih dalam.Sesuatu yang menakutkan... dan membahayakan.Karena saat Leonhart mencengkeramnya, saat napas mereka bertaut, Aurora tahu, pria ini bisa menghancurkannya.Dan mungkin... mungkin dia jug
Leonhart D’Amico.Pria itu mengenakan setelan abu-abu gelap, dasinya hitam polos, rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, membingkai wajah yang begitu tampan namun dingin. Mata kelamnya mengangkat dari dokumen di tangannya dan bertemu langsung dengan mata Aurora.Untuk sesaat, dunia seolah membeku.Mata itu... mata yang sama yang menatapnya dalam kegelapan malam itu.Aurora bisa melihat kilatan keterkejutan di sorot mata pria itu. Sangat cepat, sangat samar, tapi nyata. Sebuah kerutan kecil muncul di antara alis Leonhart sebelum ia menghilangkannya secepat kilat, kembali ke ekspresi datar dan dingin.Aurora menggigit bibirnya. Dadanya bergemuruh liar.“Silakan duduk,” suara Leonhart terdengar rendah, serak, namun sangat terkontrol.Aurora duduk perlahan, menahan seluruh gemetar dalam tubuhnya. Ia bisa merasakan tatapan pria itu membakar kulitnya, seolah menyayat semua lapisan ketenangannya.Leonhart meletakkan dokumen di mejanya, lalu menyandarkan punggung ke kursi dengan si
Aurora berdiri terpaku di depan kamar rawat inap. Napasnya terasa berat, seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu dan melangkah masuk. Di atas ranjang rumah sakit yang serba putih itu, sosok Ibunya tampak jauh lebih kecil dan rapuh dibandingkan yang ia ingat. Selang infus menempel di tangan kurus itu, dan wajahnya yang pucat membuat Aurora merasa seolah dunia di sekitarnya runtuh perlahan. “Ibu...” bisik Aurora, suaranya bergetar. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang hampir keluar. Sang Ibu membuka matanya perlahan, tersenyum lemah. “Aurora... kamu datang...” Aurora menggenggam tangan ibunya, membiarkan air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. “Ibu... jangan khawatir soal biaya, ya. Aku... aku akan segera mendapatkannya,” katanya dengan suara parau, berusaha terdengar kuat walau hatinya remuk. Namun sang Ibu hanya menggeleng pelan, air mata menggenang di sudut matanya. “Nak... Ibu tidak mau jadi beban ka
Di lantai tertinggi sebuah hotel mewah yang menghadap gemerlap Broadway, malam membeku dalam keabadian sunyi. Aurora terhuyung, napasnya berat, kulitnya seolah membara di bawah balutan kemeja tipis yang kini terasa terlalu panas. Matanya, setengah terpejam karena efek wine dan obat perangsang yang diminumnya. Seorang pria bertubuh tinggi, berjas gelap sempurna, dengan aura yang menggetarkan, menggendong tubuh mungil itu dalam pelukannya. Langkahnya mantap saat ia membaringkan Aurora di atas ranjang berseprai putih bersih, beraroma segar lavender dan kekayaan. Pria itu menatapnya sejenak, seolah ragu. Ia bukan pria yang bisa tidur dengan sembarang wanita. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari sana. Namun sebelum sempat menjauh, tangan mungil Aurora—gemetar, lemah, tapi penuh keputusasaan—meraih dasinya. Ia menariknya ke arah wajahnya, menghapus jarak di antara mereka hingga wajah mereka hanya tinggal beberapa senti. Mata mereka bertemu. Aurora bisa melihat dirinya sendir
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aurora, memaksa kepala wanita muda itu menoleh ke samping. Rasa panas segera menjalar di kulitnya, membuat matanya berkaca-kaca, tetapi dia menahan air matanya dengan segenap kekuatan. “Katakan sekali lagi!” seru seorang wanita bergaya edgy dengan riasan tebal—Emily Lorenz, suaranya tajam mengiris udara sore di dalam mansion megah itu. “Aku wanita yang merebut Ayahmu?! Hah?!” Aurora menahan napas, lidahnya hampir kelu. Tapi rasa sakit di pipinya kalah dibandingkan luka di hatinya. Ia mengangkat wajahnya, menatap Emily dengan mata penuh dendam. “Ya!” suaranya bergetar namun lantang. “Kau hanya selingkuhan Ayahku! Tapi kau mendapatkan segalanya! Aku... aku hanya minta sedikit bagianku... untuk operasi Ibuku!” Emily menghela napas panjang dengan ekspresi jijik. Ia berbalik sambil mengisap rokok di jemarinya, kemudian meniupkan asap ke langit-langit, seperti merendahkan Aurora hanya dengan keberadaannya. “Bahkan ibumu,” Emily menyer