Share

Bab 3 Rencana Licik Rendy

Rendy masih terbayang-bayang oleh tiap sentuhan si penari striptis tadi pada tubuhnya. Tapi sayang, ia tak bisa membalas balik sentuhan itu karena adanya larangan. Meski begitu, Rendy tak putus asa. Ia mulai menyusun strategi dan membuat rencana agar penari itu bisa tidur dengannya malam ini. 

Sembari menyusun strategi di dalam otaknya, Rendy tak lupa untuk bersenang-senang. Ia merayakan ulang tahunnya yang ke-30 tahun dengan mentraktir ketiga temannya untuk minum-minum di meja bar. Sebagai permulaan, Rendy membeli dua botol anggur merah cap Orang Dewasa dan segelas kopi espresso dingin. 

"Cheers!" Mereka bersulang untuk merayakan pertambahan umur Rendy. Di antara mereka berempat, hanya Azkara yang meminum segelas kopi espresso. 

Gelas demi gelas berisi anggur merah telah diteguk Rendy. Anggur merah telah membuatnya meracau dan semakin terbayang-bayang oleh penampilan si penari striptis. Karena ia tak bisa membendung rasa penasarannya lebih lama, Rendy pun akhirnya bertanya pada salah seorang bartender yang berdiri di depannya. 

"Lo tahu namanya nggak?" tanya Rendy sambil menatap mata si bartender. 

Seketika si bartender menghentikan aktivitasnya saat sedang meracik minuman. "Maksud lo?"

"Penari yang barusan nari sama gue."

"Siapa? Yang rambutnya pirang?"

"Iya, yang tadi nari sama gue."

Si bartender tampak kebingungan. Pasalnya, sejak tadi dia tidak memperhatikan sosok penari yang menari di atas panggung karena terlalu sibuk bekerja meracik pesanan minumannya. 

"Oooh…" Si bartender menggumam. Ia sedang mengira-ngira. "Namanya Ivy."

"Ivy?"

"Iya. Dia penari striptis paling terkenal di kelab ini."

"Hmm, menarik. Gue pengen tidur bareng dia malam ini. Gimana caranya?" tanya Rendy to the point. 

Sesaat, si bartender terkejut. Namun akhirnya ia mendekati Rendy, dan membisikkan sebuah kalimat di telinganya. "Kalau lo mau tidur bareng dia, gue bisa kenalin lo sama dia."

Mata Rendy langsung berbinar. Tanpa pikir panjang ia mengangguk antusias dan menyetujui tawaran si bartender. 

"Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Lo mau kasih gue duit berapa?" Si bartender tersenyum licik. 

Rendy terbahak. "Gila! Ternyata lo mata duitan juga ya."

Si bartender hanya menyunggingkan bibir. "Gimana? Berani nggak?" tantangnya lagi. 

"Oke, lo minta berapa?"

Si bartender itu mengacungkan kelima jarinya. "Lima ratus ribu aja."

"Oke!" Rendy setuju. Ia mengeluarkan dompetnya, lalu memberikan lima lembar uang seratus ribuan kepada si bartender. 

Setelah transaksi berhasil, si bartender bergegas pergi menemui Ivy. Ia membawa wanita berambut pirang itu menuju tempat dimana Rendy duduk. 

"Nih, ada yang mau kenalan sama lo," kata si bartender kepada Ivy. 

Ivy menyambut niatan Rendy untuk berkenalan dengannya. Ia menghampiri pria itu dan berdiri di sampingnya. 

Sambil tersenyum tipis, Ivy mengulurkan salah satu tangannya. Ia berinisiatif memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. "Ivy," ujarnya memperkenalkan diri. 

Rendy menyambut uluran tangan Ivy dengan pandangan bergairah. Bahkan matanya sejak tadi tak beralih menatap dua gundukan besar milik Ivy yang menyembul dari dalam branya. 

Ia menjabat tangan wanita berambut pirang itu dengan sangat erat. "Gue Rendy," katanya memperkenalkan diri. 

Mata Rendy mengamati Ivy dari ujung kepala sampai ujung kaki. Wanita itu tak lagi memakai pakaian transparannya saat menari di atas panggung, melainkan memakai gaun mini berwarna merah. Tak hanya mini, gaun yang dipakai Ivy juga sangat ketat hingga mencetak jelas lekuk-lekuk tubuhnya. Riasan wajahnya juga tampak lebih natural, namun tetap seksi karena bibirnya dipoles oleh lipstik tebal berwarna merah. 

Jay yang duduk di samping Rendy mulai penasaran. Ia pun bertanya pada Rendy sambil berbisik-bisik. "Siapa Ren?"

"Ivy," bisik Rendy. "Penari yang tadi nari sama gue."

Paham dengan maksud Rendy, Jay pun manggut-manggut. "Mau lo apain?"

"Mau gue ajak tidur," lalu Rendy terkekeh. 

"Mantap." Jay tersenyum lebar sambil mengacungkan jempol. 

Rendy pun mengusir Jay agar beranjak dari tempat duduknya. "Lo bisa minggir nggak?" pintanya. 

Tanpa penolakan, Jay pun menuruti kata-kata Rendy. Ia beranjak dari kursinya dan pindah duduk di sebelah Azkara. 

Setelah kursi yang ada di sampingnya kosong, Rendy pun mempersilahkan Ivy untuk duduk di sebelahnya. 

"Lo mau minum apa?" tanya Rendy dengan suara serak. 

"Gue mau minuman yang paling mahal," jawab Ivy, menantang Rendy. 

Sebenarnya, Ivy menjawab seperti itu hanya untuk mengukur kemampuan finansial dari laki-laki yang mau mendekatinya. Kalau laki-laki itu bisa membelikannya minuman paling mahal yang ada di klub ini, artinya laki-laki itu lolos seleksi Ivy. 

Khusus untuk urusan pria, Ivy termasuk wanita yang suka pilih-pilih. Kalau pria yang mendekatinya itu tidak kaya, Ivy bakal menolak mentah-mentah ajakan pria tersebut untuk mendekatinya. 

Dan malam ini, hal itu juga terjadi pada Rendy. 

"Sorry, lo minta gue beliin minuman paling mahal di kelab ini?" Rendy mengulang permintaan Ivy. 

Sambil bersedekap, Ivy menjawab, "Iya! Lo mampu gak beliin gue minuman?"

Karena merasa terhina, Rendy akhirnya menjawab, "Oke! Gue bakal beliin lo minuman paling mahal yang ada disini, tapi nggak sekarang. Gue bakal beliin lo kapan-kapan sehabis kita check in di hotel. Gimana?"

"Cih…." Ivy mendecih. Ujung bibirnya menyungging karena tahu Rendy bukan pria kaya. Dari gelagat dan cara bicaranya yang berbelit-belit saja Ivy sudah tahu kalau Rendy adalah tipe pria pelit sekaligus nggak modal. 

"Gue nggak minum. Lo beli aja buat diri lo sendiri," suruh Ivy. 

Tentu saja Rendy pantang menyerah. Meski ajakannya ditolak oleh Ivy, tapi Rendy tak kehabisan akal. Diam-diam, Rendy memesan secangkir minuman keras dan membubuhi minuman itu dengan sebuah serbuk yang bisa membuat peminumnya tak sadarkan diri. 

"Lo nggak bakal nolak kan kalau gue beliin minuman ini?" Rendy menyuguhkan secangkir minuman keras yang sudah dibubuhi serbuk itu ke Ivy. 

Rendy mengangkat gelasnya yang sudah terisi oleh setengah anggur merah. Memaksa Ivy untuk mengangkat gelasnya juga dan ikut bersulang bersamanya. 

"Cheers!"

Mau tak mau Ivy pun ikut bersulang. Tanpa rasa curiga sedikitpun Ivy menikmati minumannya. Bahkan, Ivy meneguk minuman itu sampai habis.

Lambat laun, kesadaran Ivy mulai menghilang. Pandangan matanya mulai kabur. Dalam hitungan detik, tubuh Ivy lemas dan akhirnya ambruk begitu saja. 

Dalam kondisi Ivy yang tidak sadar, Rendy pun membopong tubuh wanita itu, lalu membawanya keluar dari kelab malam. 

"Gue booking dulu ya!" pamitnya ke si bartender. 

"Oke!" 

Dari awal, Rendy sudah merencanakan hal ini. Dia akan membuat Ivy tak sadarkan diri, lalu membawanya ke sebuah hotel. 

Dibantu oleh dua temannya yang lain, Rendy pun membopong tubuh Ivy keluar dari gedung kelab Arena. Mereka berencana membawa Ivy ke sebuah kamar hotel, lalu menggerayangi tubuh sintal Ivy bersama-sama. Namun, Azkara menolak rencana licik tersebut. 

"Gue nggak ikut," tegasnya. "Gue mau pulang."

Buru-buru Rendy menahan tangan Azkara. 

"Come on, bro! Ini hari ulang tahu gue. Harusnya lo ngikutin semua kata-kata gue dong," bujuknya sambil marah-marah. 

Namun, Azkara tetap bersikeras. Ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya. 

"Gue nggak mau ikut-ikut!" seru Azkara. 

"Oke, kalau gitu persahabatan kita sampai disini aja," ancam Rendy. 

-TO BE CONTINUED- 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status