LOGIN“Bukan urusanmu,” jawab Brama. Matanya menatap Iqbal dengan tajam.
Dengan cepat Brama ingin membawa Cantika pergi, tapi langkahnya terhenti saat mendengar apa yang dikatakan Iqbal. “Kasihan sekali wanita cantik ini, harus jadi korban karena kamu gila harta,” Tangan Brama yang sebelah langsung terkepal, Wajahnya juga terlihat memerah karena menahan emosi. “Sebaiknya urus saja urusanmu,” ucap Brama, tanpa menyahut perkataan Iqbal yang sudah membuat dirinya emosi. Dengan cepat Brama langsung menarik tangan Cantika untuk segera pergi. Lagi-lagi Cantika hanya menurut saja, tapi matanya sempat melihat Iqbal, yang sedang tertawa sinis melihat diri nya dan Brama. “Siapa dia? kenapa Brama sampai semarah itu?” batin Cantika. Kini Brama sudah sampai di toko perhiasan, Wajahnya masih terlihat menahan emosi, matanya langsung melihat Cantika. “Cepat pilih yang kamu mau,” “Menurut selera ku?” tanya Cantika. “Iya,” jawab Brama, dengan nada kesal. “Kalau mahal?” “Ck, aku bukan orang miskin yang nggak bisa bayar perhiasan yang kamu pilih. Bahkan toko ini bisa aku beli kalau kamu mau,” geram Brama. “Jangan marah, aku hanya bertanya. Soalnya kan kamu menikah denganku karena harta. Bisa jadi saat ini kamu masih kere,” “Kamu!” geram Brama. Cantika tidak peduli, yang ada Cantika langsung menatap etalase, Matanya melihat begitu banyak cincin yang terlihat indah dipandang mata. “Ada yang bisa kita bantu, mbak?” tanya karyawan toko. “Saya mau liat-liat cincin nikah?” “Baik, sebentar biar saya ambilkan koleksi terbaru kita,” Cantika hanya menjawab dengan anggukan kepala. Tidak lama, karyawan toko membawa cincin nikah sepasang dan menunjukkan pada Cantika. “Ini koleksi toko kita yang terbaru, Mbak,” Cantika langsung melihat beberapa macam model yang ditunjukkan karyawan toko. Brama sendiri hanya diam, tapi matanya ikut melihat cincin yang ada di hadapannya. “Kamu pilih yang mana?” Cantika menatap Brama sekilas, kemudian kembali melihat cincin di hadapannya. “Nggak tahu, kamu aja yang pilih, bagiku itu cincin sama semua modelnya,” “Ck, dasar nggak tahu model,” “Apa kamu bilang?” Brama tidak terima saat mendengar gumaman Cantika. “Aku nggak ada bicara, kamu salah dengar kali,” ucap Cantika, menahan tawa saat melihat raut wajah Brama yang terlihat kesal. “Jangan suka marah-marah, nanti kamu cepat tua,” “Kamu!!” geram Brama. Sayangnya Cantika tidak peduli, dan kembali fokus memilih cincin yang akan dibeli. “Ini bahan milik cowoknya apa?” tanya Cantika, menunjuk salah satu cincin yang terlihat indah, karena sedikit berwarna biru, sedangkan cincin untuk perempuannya, memiliki berlian dengan berwarna biru juga. Terlihat simple namun tetap terlihat mewahnya. “Cincin ini dari bahan Tungsten mbak. Dan kebetulan ini hanya ada satu model,” jelas karyawan toko. “Kalau suka sama yang itu, ambil aja,” ucap Brama. “Suka, tapi–,” “Saya beli yang ini, langsung di bungkus,” Brama langsung membeli perhiasan yang diinginkan Cantika, jelas saja Cantika terkejut. “Main beli aja, bukannya ditanya dulu harganya,” batin Cantika, yang jelas tahu kalau cincin itu pasti sangat mahal. Setelah urusan cincin sudah selesai, Brama langsung melangkah keluar dari toko perhiasan. Tapi jas kerjanya ditarik oleh Cantika. Membuat Brama langsung menolehkan kepalanya menatap Cantika. “Ada apa?” tanya Brama. “Aku lapar,” “Hahk!” terkejut Brama. Cantika langsung bangkit dari duduknya, wajahnya terlihat kesal menatap Brama. “Ini semua gara-gara kamu, pake main tarik aja. Aku tadi baru balik dari ketemu klien, dan aku juga belum makan siang. Karena kamu main tarik-tarik aja, dompet dan hp ku ketinggalan, sekarang aku lapar, dan aku nggak mau pingsan disini,” cerocos Cantika. “Traktir aku makan sekarang,” ucap Cantika, langsung melangkah meninggalkan Brama yang masih bengong mendengar cerocosan Cantika. “Ayo,” ajak Cantika, saat melihat Brama masih setia mematung di tempatnya. “Ciih….makin berani aja dia,” geram Brama, tapi Brama tetap melangkah mengikuti Cantika. . . Hari pernikahan Brama dan Cantika pun tiba. Sesuai permintaan Brama, tidak ada resepsi, dan hanya dihadiri oleh keluarga saja. Pernikahan Brama dan Cantika juga diadakan di kediaman kakek Brama. Ibu dan adik Cantika yang datang ke Jakarta, untuk menghadiri pernikahan Cantika. Di ruang tamu, pak penghulu dan beberapa kerabat kakek Prabu sudah siap menyaksikan Brama yang untuk ijab kabul. Termasuk Iqbal. Sudah duduk tenang di kursi yang disediakan. “Benar-benar pernikahan yang memprihatinkan,” ucap Sarah, Mami dari Iqbal. “Dan yang lebih memprihatinkan lagi itu mempelai wanitanya, Mi. Dia jadi korban Brama, untuk bisa mewarisi harta kakek,” sahut Iqbal. “Diam, jangan sampai ucapan kalian didengar kakek, bisa-bisa kalian ditendang dari sini,” bisik Pak Dana. Papi Iqbal. Candra yang duduknya tepat dibelakang Iqbal, mendengar pembicaraan Iqbal dan Sarah. Tangannya langsung terkepal, merasa tidak terima kalau kakaknya dinikahi, hanya karena warisan saja. “Bisa kita mulai akad nikahnya?” tanya pak penghulu. “Bisa pak,” jawab kakek Prabu dengan semangat. “Mari, jabat tangan saya,” pak penghulu langsung mengulurkan tangannya ke arah Brama. “Brama Adiyaksa,” “Saya pak,” “Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Cantika Olivia Putri Binti Ahyar Syahputra Almarhum, dengan mahar 0,285 karat berlian dan uang tunai senilai 1 Milyar dibayar tunai,” “Saya terima nikah dan kawinnya Cantika Olivia Putri binti Ahyar Syaputra Almarhum dengan mahar tersebut tunai,” “Bagaimana saksi?” “Sah,” “Sah,” “Sah.” “Alhamdulillah,” Di kamar tamu, air mata Cantika langsung menetes setelah mendengar ijab kabul yang baru saja selesai. “Selamat memasuki dunia baru Cantika,” ucap Cantika dari dalam hati, menguatkan dirinya sendiri. “Ayo kita keluar nak, suamimu sudah menunggu,” ajak Bu Irma. Cantika hanya menjawab dengan anggukan kepala saja. Tanpa suara, Cantika langsung bangkit dari duduknya. Dengan ditemani Bu Irma dan juga Ema. Cantika keluar dari kamar. “Masya Allah cantik sekali,” puji salah satu kerabat kakek Prabu. Membuat semua mata langsung menatap Cantika. Di kursi khusus tamu, Sarah menatap Cantika dengan tajam, “Setelah hari ini, dipastikan hidup wanita itu akan suram,” “Tapi aku nggak akan pernah biarin kakakku hidup menderita,” ucap Candra, membuat Iqbal, Sarah dan Dana terkejut. “Kamu adiknya wanita itu?” tanya Sarah, menatap Candra dengan tatapan sinis. “Wanita itu punya nama, dan namanya Cantika,” jawab Candra, menatap balik Sarah tak kalah sinisnya. “Saya nggak peduli,” ucap Sarah. “Sebaiknya kamu bersiap-siap saja untuk bawa pergi kakakmu dari sini, karena sudah pastikan dia nggak akan lama tinggal disini,” “Siapa kamu bisa berkata seperti pada Candra?” Sarah, Iqbal dan Dana sama-sama balik badan, mata ketiganya membulat melihat kakek Prabu sudah berdiri di belakang mereka. “Bukan kakakku yang pergi dari sini, tapi kalian,” ucap Candra langsung melangkah memilih pergi. Cantika sendiri hanya diam, tapi helaan napas sudah keluar dari mulutnya, karena melihat keributan yang baru saja terjadi. “Belum ada setengah jam aku menjadi istri dia, tapi sudah ada kejadian memalukan seperti ini,” batin Cantika. “Kamu kenapa? Takut?” “Nggak,” “Yakin?”Makan malam berakhir dengan wajah merah Brama dan kekesalan Sarah dan juga Dana.Cantika yang terlihat tenang dan selalu menampilkan senyuman di bibirnya, tetap saja dadanya terasa sesak saat mendapatkan perlakuan tidak enak dari Sarah dan Dana.Kakek Prabu bisa melihat bagaimana perasaan Cantika saat ini. Itu sebabnya, setelah selesai makan malam, Kakek Prabu langsung menyuruh Cantika untuk beristirahat di kamar.“Cantika, langsung istirahat saja di kamar, kakek tahu kamu pasti lelah.. Untuk kamu, Bram. Ke ruangan kerja Kakek dulu. Ada yang mau Kakek bicarakan sama kamu,” ucap Kakek Prabu dengan nada tegas.“Bi, antarkan Cantika ke kamar, Brama.” Kakek Prabu langsung memerintahkan art di rumahnya. Dengan sopan, Bi Murni pun menjawab dengan anggukan kepala.“Mari, Non.”“Panggil Tika saja, Bi,” ucap Cantika dengan sopan.“Nona Cantika ini istrinya Den Brama, jadi mana mungkin saya memanggil istri majikan saya hanya nama saja,” sahut Bi Murni tidak kalah sopan.Mendapat perlakuan spesi
Cantika langsung menatap Brama dengan wajah yang terlihat serius. Hembusan napas keluar dari mulut Cantika dengan pelan.“Apa Kamu melihat wajahku seperti ketakutan?” bukannya menjawab, Cantika justru bertanya balik.Brama tidak menjawab, tapi matanya menatap Cantika dengan tatapan tajam. “Ingat pak Brama yang terhormat, saya bukan wanita lemah yang bisa ditindas sesuka hati. Paham!!” Cantika kembali menatap para tamu. Wajah yang tadinya terlihat datar, seketika berubah terlihat manis, karena Cantika langsung menunjukkan senyumannya.“Pintar sekali aktingnya, padahal jelas-jelas tadi aku liat dia seperti tertekan,” batin Brama.Di tempat Sarah, Dana dan Iqbal berdiri, kakek Prabu menatap ketiganya dengan tajam. “Tolong hargai acara pernikahan Brama dan Cantika. Jangan merusak suasana dengan sikap kalian yang tidak punya etika itu,” tegur kakek Prabu. “Maaf, Pa,” ucap Dana, dengan wajah sedikit ketakutan.“Jangan diulangi lagi, ini terakhir kalinya kalian buat rusuh,” kakek Brama men
“Bukan urusanmu,” jawab Brama. Matanya menatap Iqbal dengan tajam. Dengan cepat Brama ingin membawa Cantika pergi, tapi langkahnya terhenti saat mendengar apa yang dikatakan Iqbal. “Kasihan sekali wanita cantik ini, harus jadi korban karena kamu gila harta,” Tangan Brama yang sebelah langsung terkepal, Wajahnya juga terlihat memerah karena menahan emosi. “Sebaiknya urus saja urusanmu,” ucap Brama, tanpa menyahut perkataan Iqbal yang sudah membuat dirinya emosi. Dengan cepat Brama langsung menarik tangan Cantika untuk segera pergi. Lagi-lagi Cantika hanya menurut saja, tapi matanya sempat melihat Iqbal, yang sedang tertawa sinis melihat diri nya dan Brama. “Siapa dia? kenapa Brama sampai semarah itu?” batin Cantika. Kini Brama sudah sampai di toko perhiasan, Wajahnya masih terlihat menahan emosi, matanya langsung melihat Cantika. “Cepat pilih yang kamu mau,” “Menurut selera ku?” tanya Cantika. “Iya,” jawab Brama, dengan nada kesal. “Kalau mahal?” “Ck, aku bukan orang miskin
“Gimana apanya?” tanya Cantika, dengan alis berkerut menatap Ema.“Ya…kamu gimana sama tuh cowok yang di jodohkan sama kamu? suka nggak?” Cantika menatap foto keluarganya yang ada di atas meja. Melihat senyum ayah, ibu dan adiknya. Cantika juga ikut tersenyum. Hembusan nafas juga keluar dari mulutnya.“Kalau dibilang perasaan, jelas belum ada sama sekali, Ma. Tapi setiap wanita pasti berharap kebahagian bersama dengan suaminya, ketika sudah menikah. Dan aku juga berharap seperti itu, walaupun aku menikah tanpa ada rasa cinta. Aku berharap Allah akan memberikan rasa cinta untuk aku dan dia nanti,” “Aaamiinn,”..Dua hari sudah berlalu sejak Brama memberitahu kakek Prabu kalau dirinya menerima perjodohan yang sudah di atur kakeknya. Brama pikir masalah itu sudah selesai, tapi pikirannya salah besar.Saat Brama fokus dengan pekerjaannya, tiba-tiba telpon dari kakek Prabu, membuat Brama langsung berdecak kesal.“Apalagi sih?” kesal Brama, tapi tetap menjawab telpon dari kakek Prabu.“A
Brama tidak langsung menjawab pertanyaan Cantika soal perjodohan. Yang ada Brama justru menyandarkan tubuhnya di kursi. Matanya menatap Cantika dengan tajam.“Sebelum saya menjawab, saya mau tanya sesuatu ke kamu,” “Apa?” tanya Cantika.“Mau pesan apa?”“Hahk!” terkejut Cantika.“Saya bukan pria pelit yang dengan teganya membiarkan lawan bicara saya tidak memesan minum atau makanan,” jelas Brama.“Aku kira dia mau beralih jadi waitress,” gumam Cantika. Sayangnya Brama masih bisa mendengar apa yang dikatakan Cantika.“Saya dengar apa yang kamu bilang,” tegur Brama. Cantika hanya diam saja. Kepalanya langsung menoleh ke kanan dan kiri, melihat waitress.“Mbak,” panggil Cantika. Waitress yang dipanggil Cantika pun langsung datang.“Mau pesan apa, Mbak?” tanya waitress dengan sopan.“Matcha latte nya satu. No sugar,” “Ada lagi?” tanya waitress.Cantika menatap Brama, “Kamu ada mau dipesan lagi nggak?” tanya Cantika, tentu dengan nada judes.“Nggak,” Cantika pun kembali menatap Waitress
Apa yang dikatakan Ema siang tadi. membuat Cantika kepikiran. Hembusan nafas berkali-kali keluar dari mulutnya.“Kalau aku menolak perjodohan ini, alm ayah pasti kecewa,” ucap Cantika. Matanya melihat ke foto yang ada di nakas. Tangannya mengambil foto tersebut. Senyum terbit melihat foto dirinya bersama Ayah, ibu dan adiknya. Foto yang diambil tiga tahun lalu, saat Cantika baru saja lulus kuliah. “Tika memang tidak pernah bertemu dengan Pria yang bernama Brama, Yah. Tapi Tika pernah mendengar kalau dia adalah pria yang kejam,” ucap Tika, seolah-olah sedang curhat dengan Ayahnya.“Kenapa bisa ayah menjodohkan Tika dengan pria itu? apa Ayah punya hutang dengan keluarga mereka?” tanya Cantika. Hembusan Nafas kembali keluar dari mulutnya.“Sepertinya aku harus tanya ibu,” ucap Cantika.*******“Ayahmu nggak pernah punya hutang uang, Tik. Tapi Ayahmu punya hutang budi dengan pak Prabu,” jelas bu Irma. Saat ini Tika sudah berada di kampung halaman, hanya demi menanyakan kenapa Ayahnya bis







